Infeksi Opportunistik dan penyakit yang ditangani di Rumah Sakit rujukan strata II meliputi:
1. Pernafasan: TB, Pneumonia
2. Neurologis: Toksoplasmosis, Kiptokokosis, Meningitis
3. Kulit dan Mukosa: Kandidiosis, Herpes Simpleks, Herpes Zoster,
Dermatitis Seboroik 4.
Diare 5.
Demam: Septisemia 6.
Infeksi virus sitomegali 7.
Kanker leher rahim
2.6 Perawatan Penderita AIDS
Bila kasus AIDS semakin banyak ada baiknya dipikirkan membuat Unit AIDS tersendiri. Keuntungan dan kerugian membuat unit tersebut, dibandingkan
dengan merawat penderita di unit-unit lain yang tersedia, adalah sebagai berikut:
Unit AIDS tersendiri:
1. Koordinasi lebih mudah. Smeua sarana, termasuk sarana administrasi
dapat direncanakan berada di suatu tempat. 2.
Penderita-penderita dapat bergaul baik satu dengan yang lain. 3.
Staf yang berpengalaman dan betul-betul berminat merawat penderita AIDS dapat dipusatkan di satu unit.
4. Rumah sakit dapat menghemat biaya pendidikan dan pelatihan untuk staf
yang lain dan dapat menghindari masalah dengan staf yang tidak bersedia merawat.
5. Memperkuat rasa persatuan antar staf.
6. Pelayanan penderita menjadi lebih baik. Sarana dan tenaga terlatih dapat
dipusatkan untuk daerah dengan jumlah kasus rendah. 7.
Memudahkan riset di daerah yang kasusnya banyak.
Pasien dirawat di unit yang sudah ada di rumah sakit:
1. Penderita-penderita penyakit lain di ruang yang sama merasa keberatan
2. Semua staf rumah sakit mendapat kesempatan merawat penderita AIDS
dan kecemasan serta ketakutan staf dapat dikurangi. 3.
Memudahkan penderita mendapatkan pelayanan medik khusus di unit lain seperti hematologi, onkologi dan jantung.
4. Memudahkan penderita berkumpul dengan sanak saudara dan teman yang
berkunjung, terutama di daerah yang kasusnya masih amat jarang. 5.
Tidak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak. Murni, 2009 Dianjurkan untuk membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa dokter,
perawat dan pekerja sosial. Tim ini bertugas mengorganisir seluruh pelayanan AIDS di rumah sakit. Penderita AIDS rawat inap akan dirawat oleh dokter yang
ada di unit-unit seperti tersebut diatas, yang bergabung dalam Tim Dokter Khusus. Bila ada kesulitan akan dikonsultasikan kepada dokter-dokter yang
tergabung dalam Tim Konsultasi Multidisiplin Murni, 2009.
2.7 Konseling HIV
Konseling adalah hubungan kerjasama antara konselor dan klien untuk membantu klien memecahkan masalah yang dihadapinya. Konseling mencakup
bantuan kepada klien mengenal perilakunya yang memudahkannya tertular HIV.
Konseling juga bertujuan menolong klien membuat keputusan untuk mengubah perilaku tersebut dengan perilaku sehat yang bertanggung jawab, dan membantu
klien mempertahankan perilaku yang baru Djoerban, 2001. Lapisan masyarakat yang memerlukan konseling HIV, yaitu:
a. Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita AIDS
b. Saudara kandung, orangtua, sahabat dan kenalan serta suami, isteri
ataupun pacar ODHA c.
Orang yang minta pemeriksaan darah terhadap HIV, karena khawatir terinfeksi
d. Orang yang baru saja tes HIV, baik hasilnya positif ataupun negatif
e. Aktivis LSM Peduli AIDS yang aktif memberikan bantuan dan dukungan
kepada ODHA f.
Dokter, perawat, pegawai laboratorium dan lain-lain yang memeriksa dan mengobati ODHA atau spesimen darah ataupun spesimen lain yang
berasal dari ODHA, dan g.
Orang-orang yang ingin menghindarkan diri terinfeksi HIV, atau ingin membantu agar orang lain tidak terinfeksi HIV Djoerban, 2001.
Konseling HIV dilakukan sebelum dan sesudah Testing HIV.
2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV
Konseling sebelum tes diberikan kepada orang yang sedang mempertimbangkan dirinya untuk test HIV. Konseling pra test mencakup
pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV, serta kemungkinan dampak yang terjadi untuk seseorang yang terinfeksi HIV atau
untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan, hukum, medis dan personal. Pemberian informasi diberikan
dengan bahasa yang mudah dipahami dan yang terbaru. Dalam konseling test HIV dibahas sebagai suatu tindakan yang positif dan dikaitkan dengan perubahan
perilaku untuk menurunkan resiko tertular HIV Djoerban, 2001.
Topik Konseling Pra Test
Konseling pra test seharusnya menekankan pembahasan pada dua topik utama, yaitu,
pertama
riwayat pribadi klien dan resiko terpapar HIV.
Kedua
penilaian tentang pemahaman klien mengenai HIV AIDS dan pengalaman di masa lampau sewaktu menghadapi krisis Djoerban, 2001.
Konseling awal sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil test HIV, baik yang positif atau negatif.
Konseling juga bertujuan memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi resiko tertular HIV Djoerban, 2001.
2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV
Jenis konseling sesudah testing HIV tergantung hasil test:
1 Konseling untuk hasil test HIV negative
Kabar tentang hasil test HIV negative biasanya dirasakan oleh klien sebagai rasa nyaman atau
euphoria
senang berlebihan. Tetapi ada beberapa hal yang harus ditekankan:
a. Masa jendela. Setelah seseorang terinfeksi HIV, maka di dalam darahnya
HIV segera bereplikasi dalam jumlah yang besar sekali. Namun pada saat tersbut antibody belum terbentuk, sehingga test darah hasilnya negative.
Untuk diketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test ketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test secara tidak langsung, yakni mendeteksi
antibody. Bila antibodi terhadap HIV positif, berarti ada HIV dalam darahnya. Ada selang waktu sekitar tiga bulan sejak seseorang terinfeksi
ketika test darah negatif tetapi sebetulnya sudah ada HIV dalam darahnya. Test negatif berarti tidak ada infeksi HIV sampai dengan 3 bulan sebelum test
darah. b.
Paparan HIV berikutnya hanya dapat dicegah dengan menghindari perilaku beresiko tinggi. Perlu dijelaskan dengan gambling tentang perlunya tidak
melakukan hubungan seksual kecuali dnegan suamiisteri, menerapkan seks aman, atau menghindari pinjam-meminjam jarum suntik Djoerban, 2001.
2 Konseling untuk hasil test positif
Orang dengan hasil test positif harus diberitahu secepatnya. Diskusi awal membahas berita tersebut harus bersifat amat pribadi dan dirahasiakan. Setelah
beberapa waktu yang diperlukan klien untuk menyesuaikan diri, klien dijelaskan arti dari HIV positif. Saat tersebut bukan saatnya membahas mengenai pengobatan
dan berapa tahun harapan hidupnya. Yang lebih penting dibahas adalah pemahaman tentang
shock
akibat diagnosis positif terinfeksi HIV dan menawarkan dukungan. Juga penting untuk memberikan semangat dan harapan,
bahwa berbagai masalah yang terbentang di depan klien dapat dipecahkan Djoerban, 2001.
Reaksi penerimaan penjelasan tentang infeksi HIV sangat individual tergantung beberapa hal:
a. Keadaan kesehatan klien. Orang yang sedang sakit seringkali bereaksi lambat.
Reaksi yang sebenarnya baru muncul setelah keadaan kesehatannya membaik.
b. Persiapan klien menerima kabar. Orang yang sama sekali tidak mempunyai
persiapan mungkin reaksinya jauh berbeda dengan orang yang siap mendengar kabar bahwa ia terinfeksi HIV.
c. Seberapa jauh dukungan masyarakat sekitarnya, dan seberapa mudah ia
menelepon atau menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Beberapa faktor ikut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menerima kabar terinfeksi
HIV, yaitu kepuasan kerja, kehidupan berkeluarga dan ikatan keluarga, serta kesempatan rekreasi. Reaksi ini bias menjadi semakin buruk bila ada factor
riwayat social yang terisolir, kemiskinan, masa depan pekerjaan suram, dukungan keluarga minimal, dan tempat tinggal yang buruk.
d. Kondisi psikologis dan kepribadian sebelum tes HIV. Bila ada tekanan
kejiwaan sebelumnya, reaksi penerimaan mungkin berbeda dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.
e. Nilai budaya dan agama yang berkaitan dengan AIDS, sakit dan kematian. Di
masyarakat dengan keyakinan adanya kehidupan sesudah mati, atau suasana keagamaan yang kental, maka pemberian informasi bahwa seseorang
teinfeksi HIV lebih mudah diterima dengan tenang Djoerban, 2001.
2.8 Testing HIV
Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang
berbeda-beda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum
atau plasma Murni, 2009. Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau
serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesimen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat
rapid testing
memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan
darah donor skrining, untuk surveilens, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus
menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis maupun manusia dan administratif. Petugas laboratorium perawat mengambil
darah setelah klien menjalani konseling pra testing Depkes RI, 2006.
2.9 Terapi Antiretroviral ARV