Konseling Sebelum Testing HIV Konseling Sesudah Testing HIV

Konseling juga bertujuan menolong klien membuat keputusan untuk mengubah perilaku tersebut dengan perilaku sehat yang bertanggung jawab, dan membantu klien mempertahankan perilaku yang baru Djoerban, 2001. Lapisan masyarakat yang memerlukan konseling HIV, yaitu: a. Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita AIDS b. Saudara kandung, orangtua, sahabat dan kenalan serta suami, isteri ataupun pacar ODHA c. Orang yang minta pemeriksaan darah terhadap HIV, karena khawatir terinfeksi d. Orang yang baru saja tes HIV, baik hasilnya positif ataupun negatif e. Aktivis LSM Peduli AIDS yang aktif memberikan bantuan dan dukungan kepada ODHA f. Dokter, perawat, pegawai laboratorium dan lain-lain yang memeriksa dan mengobati ODHA atau spesimen darah ataupun spesimen lain yang berasal dari ODHA, dan g. Orang-orang yang ingin menghindarkan diri terinfeksi HIV, atau ingin membantu agar orang lain tidak terinfeksi HIV Djoerban, 2001. Konseling HIV dilakukan sebelum dan sesudah Testing HIV.

2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV

Konseling sebelum tes diberikan kepada orang yang sedang mempertimbangkan dirinya untuk test HIV. Konseling pra test mencakup pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV, serta kemungkinan dampak yang terjadi untuk seseorang yang terinfeksi HIV atau untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan, hukum, medis dan personal. Pemberian informasi diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan yang terbaru. Dalam konseling test HIV dibahas sebagai suatu tindakan yang positif dan dikaitkan dengan perubahan perilaku untuk menurunkan resiko tertular HIV Djoerban, 2001. Topik Konseling Pra Test Konseling pra test seharusnya menekankan pembahasan pada dua topik utama, yaitu, pertama riwayat pribadi klien dan resiko terpapar HIV. Kedua penilaian tentang pemahaman klien mengenai HIV AIDS dan pengalaman di masa lampau sewaktu menghadapi krisis Djoerban, 2001. Konseling awal sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil test HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling juga bertujuan memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi resiko tertular HIV Djoerban, 2001.

2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV

Jenis konseling sesudah testing HIV tergantung hasil test: 1 Konseling untuk hasil test HIV negative Kabar tentang hasil test HIV negative biasanya dirasakan oleh klien sebagai rasa nyaman atau euphoria senang berlebihan. Tetapi ada beberapa hal yang harus ditekankan: a. Masa jendela. Setelah seseorang terinfeksi HIV, maka di dalam darahnya HIV segera bereplikasi dalam jumlah yang besar sekali. Namun pada saat tersbut antibody belum terbentuk, sehingga test darah hasilnya negative. Untuk diketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test ketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test secara tidak langsung, yakni mendeteksi antibody. Bila antibodi terhadap HIV positif, berarti ada HIV dalam darahnya. Ada selang waktu sekitar tiga bulan sejak seseorang terinfeksi ketika test darah negatif tetapi sebetulnya sudah ada HIV dalam darahnya. Test negatif berarti tidak ada infeksi HIV sampai dengan 3 bulan sebelum test darah. b. Paparan HIV berikutnya hanya dapat dicegah dengan menghindari perilaku beresiko tinggi. Perlu dijelaskan dengan gambling tentang perlunya tidak melakukan hubungan seksual kecuali dnegan suamiisteri, menerapkan seks aman, atau menghindari pinjam-meminjam jarum suntik Djoerban, 2001. 2 Konseling untuk hasil test positif Orang dengan hasil test positif harus diberitahu secepatnya. Diskusi awal membahas berita tersebut harus bersifat amat pribadi dan dirahasiakan. Setelah beberapa waktu yang diperlukan klien untuk menyesuaikan diri, klien dijelaskan arti dari HIV positif. Saat tersebut bukan saatnya membahas mengenai pengobatan dan berapa tahun harapan hidupnya. Yang lebih penting dibahas adalah pemahaman tentang shock akibat diagnosis positif terinfeksi HIV dan menawarkan dukungan. Juga penting untuk memberikan semangat dan harapan, bahwa berbagai masalah yang terbentang di depan klien dapat dipecahkan Djoerban, 2001. Reaksi penerimaan penjelasan tentang infeksi HIV sangat individual tergantung beberapa hal: a. Keadaan kesehatan klien. Orang yang sedang sakit seringkali bereaksi lambat. Reaksi yang sebenarnya baru muncul setelah keadaan kesehatannya membaik. b. Persiapan klien menerima kabar. Orang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan mungkin reaksinya jauh berbeda dengan orang yang siap mendengar kabar bahwa ia terinfeksi HIV. c. Seberapa jauh dukungan masyarakat sekitarnya, dan seberapa mudah ia menelepon atau menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Beberapa faktor ikut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menerima kabar terinfeksi HIV, yaitu kepuasan kerja, kehidupan berkeluarga dan ikatan keluarga, serta kesempatan rekreasi. Reaksi ini bias menjadi semakin buruk bila ada factor riwayat social yang terisolir, kemiskinan, masa depan pekerjaan suram, dukungan keluarga minimal, dan tempat tinggal yang buruk. d. Kondisi psikologis dan kepribadian sebelum tes HIV. Bila ada tekanan kejiwaan sebelumnya, reaksi penerimaan mungkin berbeda dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda. e. Nilai budaya dan agama yang berkaitan dengan AIDS, sakit dan kematian. Di masyarakat dengan keyakinan adanya kehidupan sesudah mati, atau suasana keagamaan yang kental, maka pemberian informasi bahwa seseorang teinfeksi HIV lebih mudah diterima dengan tenang Djoerban, 2001.

2.8 Testing HIV