Analisis Implementasi Penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige Tahun 2015

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI PENANGANAN HIV DAN AIDS

DI RUMAH SAKIT HKBP BALIGE

TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH:

YOHANA P.R PARDEDE

111000142

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

ANALISIS IMPLEMENTASI PENANGANAN HIV DAN AIDS

DI RUMAH SAKIT HKBP BALIGE

TAHUN 2015

Skripsi Ini Diajukan Sebagai

Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH:

YOHANA P.R PARDEDE 111000142

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

(4)

ABSTRAK

HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDG’s tahun 2015. Kasus HIV dan AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Rumah Sakit sebagai instansi kesehatan berperan penting dalam penurunan kasus HIV dan AIDS. Oleh sebab itu, Menteri Kesehatan membuat suatu kebijakan dengan menetapkan sebanyak 358 rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk Rumah Sakit HKBP Balige. Klinik VCT-CST merupakan tempat pelayanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit. Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 105 orang pengidap HIV dan 254 orang pengidap AIDS.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam mengenai implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, yang terdiri dari 1 orang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, 1 orang dokter, 1 orang konselor, 1 orang manajer kasus, 1 orang perawat, 1 orang apoteker, 1 orang analis laboratorium dan 2 orang penderita HIV dan AIDS. Analisa data menggunakan metode Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penanganan HIV dan AIDS belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya tenaga pelaksana yaitu ODHA yang dihunjuk sebagai manajer kasus dan konselor sehingga berfungsi sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya, kurangnya sarana dan prasarana, serta dukungan dana dari pemerintah daerah masih belum optimal. Selain itu, koordinasi diantara tenaga pelaksana di klinik VCT-CST dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir masih belum berjalan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan kepada Direktur Rumah Sakit agar melengkapi dan menetapkan tenaga pelaksana yang bekerja full timer di Klinik VCT-CST serta melengkapi sarana prasarana yang mendukung pelayanan. Selain itu, diharapkan agar koordinasi antara klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dapat berjalan dengan baik dan pemerintah daerah turut andil dalam hal ini.


(5)

ABSTRACT

HIV and AIDS is one of the MDG’s targets in 2015. HIV and AIDS cases

increase from year to years all over the world, including Indonesia. Hospital as the health instance has an important role to decrease HIV and AIDS cases. Therefore, the Ministry of Health made a policy by authorizing around 358 hospitals in Indonesia in reconciliation of HIV and AIDS, including HKBP Balige’s Hospital. VCT-CST clinic is a place for HIV and AIDS service in hospital. The data in Health Department of Toba Samosir regency registered until December 2014 shows that there are about 105 people infected HIV and 254 people infected AIDS.

This research is qualitative research which aims to know clearly and deeply about the implementation of HIV and AIDS treatment in HKBP Balige’s Hospital. The method of collecting data is in-depth interview. There will be nine persons as the informants of this research, they are an employee of Health Department of Toba Samosir regency, a doctor, a counselor, a case manager, a nurse, a pharmacist, a laboratory analyst, and two ODHA (People with HIV and AIDS). The technique of analyzing data is the method of Miles and Huberman.

The result of this research shows that the implementation of HIV and AIDS treatment has not been optimally conducted. It was due to the lack of human resources namely ODHA as HIV and AIDS case manager and counselor to promote medication adherence and peer proponent group. Furthermore, it was also due to the lack of facilities and infrastructure and the insufficiency of financial aid from local government. What made it worse is the coordination among the ones in charged in the VCT-CST clinic and Health Department of Toba Samosir regency were not run well.

Based on the result, the Director of Hospital is expected to complete and authorize the staff to work full time in VCT-CST clinic and also equipthe facilities and infrastructure to support the treatment. Further, it also expected that VCT-CST clinic, HKBP Balige’s Hospital and Health Department of Toba Samosir regency can coordinate well and local government took a part of this case.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Yohana P.R Pardede

Tempat Lahir : Balige

Tanggal Lahir : 28 Februari 1994

Suku Bangsa : Batak Toba

Agama : Kristen Protestan

Nama Ayah : Sahat Togar Pardede Suku Bangsa Ayah : Batak Toba

Nama Ibu : Lisda Sitinjak

Suku Bangsa Ibu : Batak Toba

Alamat Rumah : Jl. Siliwangi no. 9, Balige

Pendidikan Formal

1. SD/ Tamat tahun : SDN no. 173524 Balige / 1999 – 2005 2. SLTP/ Tamat tahun : SMP N 4 Balige / 2005-2008

3. SLTA/ Tamat tahun : SMA N 1 Laguboti / 2008-2011 4. Lama studi di FKM USU : September 2011 – Mei 2015


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Analisis Implementasi Penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige Tahun 2015” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat.

Dalam penyusunan skripsi ini mulai dari awal hingga akhir penulis banyak memperoleh bimbingan, dukungan, bantuan, saran dan kritik dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak dr. Heldy B.Z, MPH, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Juanita, S.E, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu dr. Rusmalawaty, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, bimbingan, pengarahan, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.


(8)

5. Ibu Siti Khadijah, SKM, M.Kes, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini. 6. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan kritik, saran dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini. 7. Seluruh Dosen dan Staf di FKM USU, terutama Departemen AKK yang telah

memberikan ilmu, bimbingan serta dukungan moral selama perkuliahan. 8. Ibu dr. Frida Sinaga, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Toba

Samosir dan Bapak Lambok Siahaan SKM, selaku Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

9. Bapak dr. Tihar Hasibuan MARS, selaku Direktur Rumah Sakit HKBP Balige, Bapak Harry, selaku Kepala Tata Usaha, bapak dr. Maruli Tua Sianipar, bapak Tamba Edwin Hutagaol, SE, Ibu Diak. Nurhayati Silalahi, Ibu Diak. Oka Nurhayati Harianja, Ibu Melva Siahaan, Am.Kep, Ibu Mariana S. Napitupulu, S.Si,Apt, dan Ibu Diak. Ardiana Sihombing, selaku tenaga pelaksana di Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis, Ayahanda Sahat Togar Pardede dan Ibunda Lisda Sitinjak yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat, serta dukungan kepada penulis selama ini.

11. Adik-adik tersayang Berliana J.M Pardede, Ulion Alberto P. Pardede, Altiroy R.M Pardede dan seluruh keluarga besar penulis yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.


(9)

12. Ismail Sinaga yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

13. Sahabat-sahabat tersayang Dwi Anggun Alami, Siti Saodah, Yenni Farida Siregar yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 14. Sahabat-sahabat d’Dearest tersayang Betty Marshaulina Simanjuntak, Ruth

Mandasari Sianipar, Pistarina Pasaribu dan sahabat penulis Swarman Siahaan yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

15. Kelompok kecil TABITA tersayang Kak Ira Primona, Delima Simbolon, Elisabeth Hutagalung, Lamtiur Junita Bancin, Marta Elnist, Mei Sianturi yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

16. Teman-teman di Kost Vina yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

17. Teman-teman Departement AKK FKM USU, terkhusus kepada teman-teman seperjuangan AKK angkatan 2011.

18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dukungan dan doa selama ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Medan, Mei 2015


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

i DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

i DAFTAR ISTILAH ... xi

v BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Implementasi Kebijakan ... 9

2.2 HIV-AIDS... 10

2.2.1 Pengertian HIV-AIDS ... 10

2.2.2 Ciri-ciri Penderita ... 11

2.2.3 Penularan HIV-AIDS... 13

2.2.4 Penanggulangan HIV-AIDS ... 13

2.3 Pelayanan Kesehatan untuk AIDS ... 14

2.4 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS di Indonesia ... 16

2.5 Kebijakan pada Perluasan Layanan PDP ... 18

2.5.1 Sistem Rujukan PDP ... 19

2.5.2 Rumah Sakit Rujukan ODHA ... 21

2.6 Perawatan Penderita AIDS ... 25


(11)

2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV ... 27

2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV ... 28

2.8 Testing HIV ... 31

2.9 Terapi Antiretroviral (ARV) ... 31

2.10 Komite HIV-AIDS... 32

2.10.1 Voluntary Counselling Test (VCT) ... 33

2.10.2 Prinsip Pelayanan VCT... 34

2.11 Kerangka Pikir ... 35

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3 Informan Penelitian ... 38

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 38

3.5 Instrumen dalam Pengambilan Data ... 39

3.6 Teknik Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 40

4.1 Gambaran Umum Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige ... 40

4.2 Materi Talkshow ... 41

4.3 Karakterikstik Informan... 42

4.4 Standar Operational Prosedur ... 43

4.5 Wawancara Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige ... 44

4.5.1 Pernyataan Informan tentang Sertifikat Pelatihan Khusus HIV- AIDS ... 44

4.5.2 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan ODHA yang Dihunjuk sebagai Manajer Kasus atau Konselor ... 45

4.5.3 Pernyataan Informan tentang Pendanaan Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP ... 45

4.5.4 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Peralatan Kesehatan yang Mendukung Pelayanan Kesehatan Rujukan... 46

4.5.5 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Obat-Obatan ... 47

4.5.6 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Perlengkapan untuk Pencegahan HIV-AIDS ... 49

4.5.7 Pernyataan Informan tentang Ketersediaan Perlengkapan untuk Monitoring dan Evaluasi... 50

4.5.8 Pernyataan Informan tentang Proses Capasity Building ... 51

4.5.9 Pernyataan Informan tetang kendala dalam melaksanakan Program Capasity Building... 53

4.5.10 Pernyataan Informan tentang Proses Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) ... 54

4.5.11 Pernyataan Informan tentang Kendala dalam Pelaksanaan KIE ... 55 4.5.12 Pernyataan Informan tentang Kedudukan Klinik VCT-CST


(12)

Diantara Klinik VCT lainnya... 56

4.5.13 Pernyataan Informan tentang Kerjasama dengan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir ... 57

4.5.14 Pernyataan Informan tentang Keterlibatan LSM ... 58

4.5.15 Pernyataan Informan tentang Sistem Pelaporan ... 59

BAB V PEMBAHASAN ... 61

5.1 Masukan (Input)... 61

5.1.1 Tenaga Pelaksana... 61

5.1.2 Biaya Operasional ... 62

5.1.3 Sarana dan Prasarana ... 64

5.2 Proses ... 65

5.2.1 Capasity Building ... 66

5.2.2 Komunikasi, Informasi dan Edukasi ... 70

5.2.3 Sistem Pelaporan ... 74

5.3 Output ... 76

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 77

6.1 Kesimpulan ... 77

6.2 Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Pedoman Wawancara

Surat Izin Penelitian dari FKM USU

Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir Surat Izin Penelitian dari Rumah Sakit HKBP Balige

Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2012


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah ODHA di Kabupaten Toba Samosir ... 3 Tabel 4.1 Karakteristik Informan ...42 Tabel 4.2 Matriks pernyataan informan tentang sertifikat pelatihan khusus

HIV-AIDS ...44 Tabel 4.3 Matriks pernyataan informan tentang ketersediaan ODHA yang

Dihunjuk sebagai manajer kasus atau konselor...45 Tabel 4.4 Matriks pernyataan informan tentang Sistem Pendanaan

Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP ...45 Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan

Peralatan Kesehatan yang Mendukung Pelayanan Kesehatan

Rujukan ...46 Tabel 4.6 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan

Obat-Obatan ...47 Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan

Perlengkapan untuk Pencegahan HIV-AIDS ...49 Tabel 4.8 Matriks Pernyataan Informan tentang Ketersediaan

Perlengkapan untuk Monitoring dan Evaluasi ...50 Tabel 4.9 Matriks Pernyataan Informan tentang Proses Capasity Building ...51 Tabel 4.10 Matriks Pernyataan Informan tetang kendala dalam

melaksanakan Program Capasity Building ...53 Tabel 4.11 Matriks Pernyataan Informan tentang Proses Komunikasi,

Informasi dan Edukasi (KIE) ...54 Tabel 4.12 Matriks Pernyataan Informan tentang Kendala dalam

Pelaksanaan KIE ...55 Tabel 4.13 Matriks Pernyataan Informan tentang Kedudukan Klinik VCT-

CST diantara Klinik VCT lainnya ...56 Tabel 4.14 Matriks Pernyataan Informan tentang Kerjasama dengan


(14)

Tabel 4.15 Matriks Pernyataan Informan tentang Keterlibatan LSM ...58 Tabel 4.16 Matriks Pernyataan Informan tentang Sistem Pelaporan ...59


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pikir ... 35 Gambar 4.1 Standar Operasional Prosedur ... 43


(16)

DAFTAR ISTILAH

Singkatan : Singkatan dari

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome ART : Antiretroviral Therapy

ARV : Antiretroviral ASA : Aksi Stop AIDS

BKKbN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

CST : Care Support Treatment Depkes : Departemen Kesehatan Dinkes : Dinas Kesehatan

ELCA : Evangelical Luteran Church of America FHI-ASA : Family Health Internasional-Aksi Stop AIDS HiKHA : Himpunan Konselor HIV-AIDS

HIV : Human Immunodeficiency Virus HKBP : Huria Kristen Batak Protestan IDU : Injecting Drugs User

IMS : Infeksi Menular Seksual KB : Keluarga Berencana Kemkes : Kementerian Kesehatan KEPMENKES : Keputusan Menteri Kesehatan KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi KPA : Komisi Pemberantasan AIDS LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MDG’s : Millenium Development Goals MRI : Magnetic Resonance Imaging

NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif ODHA : Orang dengan HIV-AIDS

PDP : Perawatan, Dukungan dan Pengobatan Penasun : Pengguna Narkoba Suntik

Permenkes : Peraturan Menteri Kesehatan PMK : Pengendalian Masalah Kesehatan

PMTCT : Prevention of Mother To Child Transmission Pokja : Kelompok Kerja

PPP : Profilaksis Pasca Pajanan PSK : Pekerja Seks Komersial RI : Republik Indonesia Risti : Risiko Tinggi

RS : Rumah Sakit

SANTOSA : Sanggar Toba Support SOP : Standar Operating Prosedurs


(17)

Subdit : Sub Direktorat SUMUT : Sumatera Utara TBC : Tuberkulosis

UEM : United Evangelism Miss

UNAIDS : United Nations Programme on HIV-AIDS VCT : Voluntary Counselling and Testing

WHO : World Health Organization WHO-SEARO : South-East Asia Region of WHO


(18)

ABSTRAK

HIV dan AIDS merupakan salah satu target MDG’s tahun 2015. Kasus HIV dan AIDS semakin meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Rumah Sakit sebagai instansi kesehatan berperan penting dalam penurunan kasus HIV dan AIDS. Oleh sebab itu, Menteri Kesehatan membuat suatu kebijakan dengan menetapkan sebanyak 358 rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Indonesia, termasuk Rumah Sakit HKBP Balige. Klinik VCT-CST merupakan tempat pelayanan HIV dan AIDS di Rumah Sakit. Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 105 orang pengidap HIV dan 254 orang pengidap AIDS.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam mengenai implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam. Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang, yang terdiri dari 1 orang pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, 1 orang dokter, 1 orang konselor, 1 orang manajer kasus, 1 orang perawat, 1 orang apoteker, 1 orang analis laboratorium dan 2 orang penderita HIV dan AIDS. Analisa data menggunakan metode Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi penanganan HIV dan AIDS belum terlaksana secara optimal. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya tenaga pelaksana yaitu ODHA yang dihunjuk sebagai manajer kasus dan konselor sehingga berfungsi sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya, kurangnya sarana dan prasarana, serta dukungan dana dari pemerintah daerah masih belum optimal. Selain itu, koordinasi diantara tenaga pelaksana di klinik VCT-CST dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir masih belum berjalan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, diharapkan kepada Direktur Rumah Sakit agar melengkapi dan menetapkan tenaga pelaksana yang bekerja full timer di Klinik VCT-CST serta melengkapi sarana prasarana yang mendukung pelayanan. Selain itu, diharapkan agar koordinasi antara klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dapat berjalan dengan baik dan pemerintah daerah turut andil dalam hal ini.


(19)

ABSTRACT

HIV and AIDS is one of the MDG’s targets in 2015. HIV and AIDS cases

increase from year to years all over the world, including Indonesia. Hospital as the health instance has an important role to decrease HIV and AIDS cases. Therefore, the Ministry of Health made a policy by authorizing around 358 hospitals in Indonesia in reconciliation of HIV and AIDS, including HKBP Balige’s Hospital. VCT-CST clinic is a place for HIV and AIDS service in hospital. The data in Health Department of Toba Samosir regency registered until December 2014 shows that there are about 105 people infected HIV and 254 people infected AIDS.

This research is qualitative research which aims to know clearly and deeply about the implementation of HIV and AIDS treatment in HKBP Balige’s Hospital. The method of collecting data is in-depth interview. There will be nine persons as the informants of this research, they are an employee of Health Department of Toba Samosir regency, a doctor, a counselor, a case manager, a nurse, a pharmacist, a laboratory analyst, and two ODHA (People with HIV and AIDS). The technique of analyzing data is the method of Miles and Huberman.

The result of this research shows that the implementation of HIV and AIDS treatment has not been optimally conducted. It was due to the lack of human resources namely ODHA as HIV and AIDS case manager and counselor to promote medication adherence and peer proponent group. Furthermore, it was also due to the lack of facilities and infrastructure and the insufficiency of financial aid from local government. What made it worse is the coordination among the ones in charged in the VCT-CST clinic and Health Department of Toba Samosir regency were not run well.

Based on the result, the Director of Hospital is expected to complete and authorize the staff to work full time in VCT-CST clinic and also equipthe facilities and infrastructure to support the treatment. Further, it also expected that VCT-CST clinic, HKBP Balige’s Hospital and Health Department of Toba Samosir regency can coordinate well and local government took a part of this case.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kesehatan yaitu situasi sejahtera dari tubuh, jiwa serta sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif dengan cara sosial serta ekonomis (UU Kesehatan, 2009). Banyak kebijakan-kebijakan yang telah disusun dalam meningkatkan pembangunan kesehatan manusia. Salah satu kebijakan kesehatan yaitu dengan membentuk Millenium Development Goals (MDG’s) yang diadopsi oleh 189 negara pada bulan September tahun 2000, termasuk Indonesia.

MDG’s mempunyai 8 target yang harus dicapai dengan 18 target dan 48 indikator yang diharapkan. Salah satu target MDG’s yaitu mengendalikan penyebaran HIV dan AIDS dan mulai menurunkan jumlah kasus baru pada tahun 2015, yang tertera pada target keenam. Namun jumlah kasus HIV dan AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus meningkat dan tidak ada negara yang tidak terkena dampak dari HIV dan AIDS meskipun berbagai upaya pencegahan terus dilakukan (Depkes RI, 2006).

HIV dan AIDS (Human Immunodeficiency Virus- Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah global yang hampir dihadapi di seluruh dunia saat ini dan belum ada satu negarapun yang dinyatakan bebas dari HIV dan AIDS. Epidemi HIV dan AIDS telah bergerak dari tingkat epidemi yang rendah ke arah tingkat epidemi pada kelompok resiko tinggi sehingga mengkhawatirkan masyarakat dunia karena di samping belum menemukan obat dan vaksin


(21)

pencegahan, HIV dan AIDS juga memiliki window periode atau fase tanpa gejala (asimptomatik) yang relatif panjang dalam perjalanan penyakitnya. Hal tersebut menyebabkan pola perkembangannya seperti fenomena gunung es (iceberg phenomena) (Depkes RI, 2006).

Laporan Epidemi United Nations Programme on HIV dan AIDS (UNAIDS 2012) menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% diantaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV. Menurut Laporan Perkembangann HIV dan AIDS South-East Asia Region of WHO( WHO-SEARO) 2011, sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.

Afrika Selatan, sebagai negara yang mengidap penyakit HIV dan AIDS terbanyak di dunia, tercatat sebanyak 7.540.000 orang terkena infeksi virus HIV dan AIDS hingga tahun Desember 2013. Tingkat prevalensi dewasa adalah 17,9% menurut CIA World Fact Book statistik. Di Afrika Selatan anak juga dipengaruhi oleh virus. Sebanyak 11,2% dari kejadian HIV pada anak-anak dan pemuda yang berada di bawah usia 24 tahun. Ketika dicari proporsi jumlah mereka yang mengidap HIV dengan jumlah penduduk, ternyata anak-anak menyumbang 11% dari total populasi (data PBB, 2013).

Penderita HIV dan AIDS di Indonesia yang dilaporkan dari tanggal 1 Januari sampai September 2014 tercatat 150.296 orang pengidap HIV dan 55.799


(22)

orang pengidap AIDS. Persentase infeksi HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,4%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,4%), dan kelompok umur >= 50 tahun (5,3%). Sedangkan persentase AIDS tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun (26%), diikuti kelompok umur 20-29 tahun (25,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (11,6%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014).

Data di Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut, hingga Februari 2014, penemuan kasus HIV dan AIDS berjumlah 5.772 orang. Dari 5.722 kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan, penemuan kasus terbesar dijumpai pada golongan usia 30-39 tahun dengan 2.300 kasus. Begitu juga golongan usia 20-29 tahun dengan jumlah 2.272 kasus, usia 40-49 tahun 768 kasus, dan lebih dari 50 tahun ada 185 kasus. Jumlah kasus HIV dan AIDS pada anak juga cukup besar, yakni dari usia kurang dari 1 tahun hingga usia 19 tahun, ada 197 kasus yang dijumpai sepanjang 20 tahun ini (Dinkes Kota Medan, 2014).

TAHUN HIV AIDS

2003 10 2

2004 4 4

2005 10 8

2006 8 4

2007 3 8

2008 6 3

2009 10 12

2010 2 17

2011 6 30

2012 15 43

2013 18 53

2014 13 70

Jumlah 105 254

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir


(23)

Data di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, hingga Desember 2014 terdapat 359 kasus HIV dan AIDS (HIV sebanyak 105 orang dan AIDS sebanyak 254 orang). Resiko penularan yang paling banyak ditemui yaitu melalui hubungan seksual sebanyak 244 orang dan penasun sebanyak 102 orang. Dari 359 kasus yang dilaporkan, mayoritas penderita HIV dan AIDS terdapat pada kelompok umur produktif 31-40 tahun, termasuk di dalamnya perempuan yang akhir-akhir ini mengalami kenaikan, tercatat 109 orang yang terinfeksi. Sampai saat ini, jumlah penderita HIV dan AIDS yang meninggal tercatat sebanyak 108 orang (Dinkes Kabupaten Tobasa, 2014).

Rumah Sakit merupakan instansi kesehatan yang berperan penting dalam melawan penyebaran HIV dan AIDS. Awalnya di Indonesia hanya 75 Rumah Sakit yang dihunjuk pemerintah sebagai Rumah Sakit yang memberikan perawatan penderita HIV dan AIDS (KEPMENKES RI No. 832/Menkes/SK/X/2006). Saat ini, kasus Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di kalangan masyarakat khususnya masyarakat usia produktif cenderung meningkat, sehingga pemerintah membuat keputusan baru untuk menambah jumlah rumah sakit rujukan ODHA yang tertera pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 451/MENKES/SK/IV/2012 yaitu sebanyak 358 Rumah Sakit. Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien dengan HIV dan AIDS di Sumatera Utara ada 18 Rumah Sakit, salah satunya adalah Rumah Sakit HKBP Balige.

Rumah Sakit HKBP Balige adalah Rumah Sakit strata II untuk penanganan (rujukan) HIV dan AIDS. Sebagai Rumah Sakit Rujukan Strata II,


(24)

RS HKBP Balige harus memiliki: (1) tim pokja HIV dan AIDS; (2) tenaga dokter, perawat, konselor, manajer kasus, tenaga farmasi (apoteker), analis laboratorium yang telah dilatih dan juga harus memiliki ODHA yang berfungsi sebagai pendukung kepatuhan makan obat dan kelompok dukungan sebaya; (3) layanan dan kegiatan; (4) obat, dan sarana laboratorium.

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige dengan melakukan wawancara kepada salah satu tenaga pelaksana rujukan HIV dan AIDS, didapatkan informasi mengenai peningkatan jumlah ODHA setiap tahunnya. Hingga Desember 2014, jumlah ODHA yang berasal dari Kabupaten Toba Samosir ada sebanyak 236 orang (Data Rekam Medik Rumah Sakit HKBP Balige, 2014). Rumah Sakit HKBP Balige juga menerima rujukan dari daerah lain di Sumatera Utara, seperti daerah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Padang Sidempuan, Samosir, Humbang Hasundutan, dan Simalungun.

Rumah Sakit HKBP Balige sebagai Rumah Sakit strata II telah memiliki tenaga pelaksana yang terdiri dari 1 orang dokter, 1 orang dokter gigi, 1 orang apoteker/farmasi, 6 orang perawat, 2 orang konselor, 2 orang analis laboratorium, dan 1 orang manajer kasus. Juga memiliki sarana layanan yang disebut Voluntary Counselling and Testing-Care Support Treatment (VCT-CST). Program-program yang dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige adalah capacity building dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).

Kegiatan pada capacity building yaitu testing HIV, pengobatan, pelayanan konseling dan pendampingan ODHA. Alur pelaksanaannya yaitu pasien yang dirujuk (baik rawat jalan ataupun pasien rawat inap di Rumah Sakit, yang dida


(25)

terkena HIV) akan terlebih dahulu mendapatkan pelayanan konseling lalu pasien tersebut melakukan testing HIV. Jika hasilnya negatif, maka akan di ulang setelah tiga bulan, tetapi jika hasilnya positif akan diberikan pengobatan Anti Retroviral (ARV). Jika kondisi pasien sudah membaik, maka akan dilakukan pendampingan ODHA oleh manajer kasus. Sedangkan kegiatan KIE yaitu mobile klinik, yakni dengan menemui orang-orang-orang yang beresiko tinggi seperti Pekerja Seks Komersial (PSK), tahanan, dan supir untuk diberi informasi agar mereka bersedia melakukan test HIV; Edukasi seperti misalnya melakukan penyuluhan; Advokasi dan Pelatihan khusus.

Penelitian Dayaningsih (2009) menyimpulkan bahwa di RSUP Dr. Kariadi muncul masalah untuk pelayanan VCT-nya yang bersifat pasif, usaha promosi yang sudah dilaksanakan masih kurang, untuk pelayanan VCT di ruang rawat inap belum memiliki ruangan khusus untuk VCT, form untuk konseling pre tes ada 4 lembar dirasa tidak efektif. Penelitian Amin (2010) menyimpulkan bahwa Himpunan Konselor HIV dan AIDS (HiKHA) Jawa Barat mempunyai program yang disebut dengan Aksi Stop AIDS (ASA). Di dalamnya terdapat layanan konseling dan testing sukarela HIV dan AIDS atau disebut juga Voluntary Counseling and Testing (VCT). Program ini bekerja sama dengan sejumlah lembaga dan institusi dari luar maupun dalam negeri.

Rumah Sakit HKBP Balige telah berusaha memberikan pelayanan dengan standar yang telah ditentukan, namun kenyataan di lapangan, masih dijumpai kendala-kendala dalam penanganan HIV dan AIDS seperti pasokan obat ARV yang sering kehabisan, obat ARV yang sering datang terlambat, hal ini


(26)

kemungkinan terjadi karena keterlambatan membuat pelaporan stok ARV yang kosong kepada subdit AIDS Kemkes, keterlambatan mengirimkan order obat. Selain itu, di Rumah Sakit HKBP Balige juga tidak ada ODHA yang dihunjuk sebagai pendukung kepatuhan minum obat dan kelompok dukungan sebaya, sementara menurut pedoman Depkes, hal tersebut harus dimiliki oleh Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS.

Penelitian Yuniar (2012) menyimpulkan bahwa ketersediaan dan keterjangkauan obat ARV dapat meningkatkan kepatuhan minum obat bagi ODHA di Kota Bandung dan Cimahi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian tentang Analisis Implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun 2015.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalahnya adalah bagaimana implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun 2015.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige tahun 2015.


(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak antara lain:

1. Sebagai bahan masukan bagi Rumah Sakit HKBP Balige, agar semakin meningkatkan kualitas Rumah Sakit, karena telah dipercayakan sebagai salah satu rumah sakit rujukan HIV dan AIDS di Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan dalam menganalisa standar penunjukan Rumah Sakit sebagai rujukan HIV dan AIDS dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan sesuai dengan pedoman.

3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan berkelanjutan.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus di-implementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2012). Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara pembentukan suatu kebijakan-seperti halnya pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan- dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika sebuah kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat. Namun bahkan sebuah kebijakan yang brilliant sekalipun jika diimplementasikan buruk bisa gagal untuk mencapai tujuan para perancangnya (Tangkilisan, 2003).

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan tekhnik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi yang lain merupakan


(29)

fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai dampak (outcome).

Implementasi dikonseptualisasikan sebagai suatu proses, atau serangkaian keputusan-keputusan yang diterima oleh lembaga legislatif untuk dijalankan. Implementasi juga bisa diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauh mana tujuan-tujuan yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstrasi yang tinggi, dampak implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bisa diukur dalam masalah yang luas yang dikaitkan dengan program, undnag-undang publik dan keputsan yudisial. Misalnya, apakah kemiskinan telah bisa dikurangi atau warganegara merasa lebih aman dalam kehidupan sehari-harinya dbandingkan pada waktu sebelum penetapan program kesejahteraan sosial atau kebijakan pemberantasan kejahatan. Singkatnya, implementasi sebagai suatu konsep pada semua kegiatan. Sekalipun implementasi merupakan fenomena yang kompleks, konsep itu bisa dipahami sebagai suatu proses, keluaran dan dampak. Implementasi melibatkan sejumlah aktor, organisasi dan teknik pengendalian (Winarno, 2012).

2.2 HIV-AIDS

2.2.1 Pengertian HIV-AIDS

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan. Namun orang tersebut dapat


(30)

menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain (Komite AIDS HKBP, 2011).

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali (Komite AIDS HKBP, 2011).

Pengidap HIV positif adalah seseorang yang telah terinfeksi virus HIV, dapat menularkan penyakitnya walaupun tampak sehat dan tidak menunjukkan gejala penyakit apapun. Penderita AIDS adalah seseorang yang menunjukkan tanda-tanda dari sekumpulan gejala penyakit yang memerlukan pengobatan, setelah sekian waktu (3-10 tahun) terinfeksi HIV (Komite AIDS HKBP, 2011). 2.2.2 Ciri-ciri Penderita

Beberapa orang mungkin menjadi sakit beberapa hari atau minggu sesudah infeksi. Gejala-gejala pertama yang timbul sangat mirip dengan influenza, yaitu: (a) Demam; (b) Rasa lemah dan lesu; (c) Sendi-sendi terasa nyeri; (d) Batuk; (e) Nyeri tenggorokan; (f) Pembentukan kelenjar. Gejala ini disebut sebagai stadium tanpa gejala. Gejala tersebut setelah berlangsung beberapa hari atau minggu akan hilang dengan sendirinya. Dalam stadium ini virus yang di dalam tubuh pengidap secara perlahan terus menyerang sistem pertahanan tubuhnya sehingga selanjutnya dapat terjadi ARC (Komite AIDS HKBP, 2011).


(31)

Gejala-gejala klinis AIDS: (a) Demam (panas badan lebih dari 38o C) disertai keringat malam yang timbul secara berkala atau terus menerus; (b) Penurunan berat badan lebih dari 10 % dalam waktu tiga bulan; (c) Kelemahan tubuh yang mengganggu/menurunkan aktivitas fisik sehari-hari; (d) Pembesaran kelenjar secara lebih meluas di leher, lipatan paha dan ketiak; (e) Diare atau mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas; (f) Batuk dan sesak nafas lebih dari satu bulan secara terus menerus;

(g) Kulit gatal dan bercak-bercak merah kebiruan; (h) Sakit tenggorokan; (i) Pendarahan yang tidak jelas sebabnya.

Tanda-tanda diatas ini tidak khas, karena gejala-gejala ini dapat juga terjadi pada penyakit-penyakit lain. Namun gejala-gejala ini menunjukkan indikasi adanya kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada stadium ini kekebalan tubuh penderita telah demikian rusaknya. Sehingga pada tahap ini penderita mudah diserang penyakit berbahaya yang disebut infeksi opportunistik. Disamping itu juga dapat terjadi: (a) kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker pembuluh darah kapiler; (b) kanker kelenjar getah bening (limfoma). Penyakit-penyakit penyerta ini dapat menyebabkan kematian bagi penderita. Walaupun pada orang sehat (tidak terinfeksi HIV-AIDS) penyakit-penyakit ini tidak berbahaya (Komite AIDS HKBP, 2011).


(32)

2.2.3 Penularan HIV-AIDS

Menurut Komite AIDS HKBP (2011), penularan HIV-AIDS dapat melalui:

1. Darah

Dapat melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV dan melalui pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV

2. Cairan sperma dan cairan vagina. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom

3. Air Susu Ibu

Penularan ini dari seorang ibu hamil yang positif HIV dan melahirkan secara normal, kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Selain itu, HIV juga dapat menular melalui pisau cukur yang dipakai oleh tukang pangkas. 4. Transfusi darah yang tercemar, alat cukur dan peralatan lainnya

Bila seseorang pengidap HIV-AIDS bercukur dan luka, lalu darahnya menempel pada pisau cukur, maka bila orang yang berpangkas berikutnya terluka maka dia akan memiliki resiko besar tertular HIV.

2.2.4 Penanggulangan HIV-AIDS

Sampai saat ini belum ditemukan obat yang mampu membunuh HIV maupun vaksin untuk mencegah penularan. Obat-obatan yang ada dan digunakan saat ini lebih upaya melemahkan daya progresivitas virus, memperlambat perkembangbiakan virus, memperkuat daya tahan tubuh dengan meningkatkan antibodi yang akan meningkatkan kualitas hidup ODHA. Terapi yang dikenal sebagai terapi Anti Retro Viral (ARV) seperti Nevirapine, Efavirens, Tenovir dan


(33)

lain-lain dapat diperoleh di rumah sakit tertentu dan terbukti sangat menolong ODHA (Permenkes, 2013).

Penanggulangan HIV-AIDS yang perlu diprioritaskan adalah upaya pencegahan melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Pendidikan kesehatan reproduksi, program pendidik sebaya (peer educator) merupakan komponen penting dalam KIE disamping upaya lainnya seperti penanggulangan NAPZA, konseling, pendamping dan perawatan ODHA (Permenkes, 2013).

2.3 Pelayanan Kesehatan untuk AIDS

Penderita AIDS/infeksi HIV memerlukan pelayanan kesehatan serupa dengan penderita penyakit menahun yang lain. Mereka memerlukan pelayanan kesehatan berkeseinambungan, pemantauan yang seksama untuk mencegah infeksi, serta pengobatan segera agar infeksi sekunder tidak berlarut-larut dan menyebabkan cacat. Seringkali merawat penderita penyakit ini lebih sulit dari penyakit kronik lainnya, karena: (a) terbatasnya tenaga yang terdidik dan terlatih; (b) penderita memerlukan dukungan emosi khusus; (c) pemantauan medik untuk mencegah kekambuhan sehingga dapat dicegah perawatan di rumah sakit; (d) beberapa tenaga kesehatan sendiri masih cemas dan ketakutan untuk merawat karena belum mendapat penerangan dan pendidikan yang baik.

Fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh penderita HIV-AIDS adalah sebagai berikut:

a) Fasilitas Perawatan Akut

Perawatan rawat inap intensif yang mempunyai staf lengkap dan sudah berpengalaman. Di ruang rawat ini penderita diawasi 24 jam penuh. Jenis


(34)

pelayanan dasar yang diperlukan adalah penyakit dalam, bedah, anestesi, laboratorium, radiologi, gizi dan farmasi.

b) Fasilitas Perawatan Khusus

Adalah fasilitas perawatan yang sudah terbiasa merawat pasien AIDS. Unit ini menyediakan perawatan untuk pasien AIDS yang tidak dalam fase akut tetapi memerlukan perawatan di rumah sakit untuk rehabilitasi.

c) Fasilitas Perawatan Intermediate

Fasilitas ini diperlukan untuk penderita yang tidak terus-menerus memerlukan dokter atau perawat yang berpengalaman. Ini berlaku baik untuk fasilitas rawat inap maupun berobat jalan.

d) Fasilitas Perawatan Masyarakat (shelter)

Penderita AIDS yang sedang tidak dirawat di rumah sakit kadang-kadang memerlukan beberapa jenisfasilitas non-medik, seperti perumahan, pengadaan makanan, dan bantuan aktivitas sehari-hariseperti makan, mandi atau ke toilet. e) Pusat Kesehatan Masyarakat

Puskesmas yang diperlukan adalah yang dilengkapi dengan pelayanan psikologi, rehabiloitasi, sosial, gizi dan pendidikan kesehatan.

f) Perawatan Kesehatan di Rumah

Fasilitas ini diperlukan oleh penderita, agar ia dapat tetap tinggal di rumahnya sambil terus dipantau dan mendapat perawatan medik yang berkesinambungan. Untuk tujuan tersebut diperlukan pekerja sosial, perawat dan relawan baik dari kalangan agama maupun dari lapisan masyarakat lain.


(35)

2.4 Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) di Indonesia Layanan Perawatan, Dukungan dan Pengobatan HIV-AIDS (PDP) atau yang disebut juga sebagai Care Support and Treatment (CST) di Indonesia memang dilaksanakan lebih belakangan daripada layanan pencegahan. Namun dengan meningkatnya jumlah ODHA, maka layanan PDP semakin dibutuhkan masyarakat. Tersedianya obat ARV generik juga mempercepat layanan PDP karena salah satu komponen layanan PDP adalah layanan ARV. Layanan obat ARV di Indonesia meningkat sejak penggunaan obat ARV generik yang didatangkan dari India dan Thailand (Depkes RI, 2007).

Pada tahun 2004, pemerintah Indonesia sesuai anjuran WHO untuk menyediakan layanan ARV bagi semua memberikan subsidi penuh kepada masyarakat sehingga masyarakat yang membutuhkan obat ini dapat memperolehnya dengan gratis. Agar layanan ARV ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat maka dilakukan pelatihan tenaga kesehatan baik untuk dokter, perawat, konselor, farmasi dan lain-lain. Pada tahap pertama 2004 ditunjuk 25 rumah sakit dan pada tahun 2006 jumlah rumah sakit yang melayani ARV ditambah sehingga jumlahnya menjadi 75 rumah sakit. Namun pada kenyataannya rumah sakit yang mampu melayani ARV lebih banyak dari itu karena banyak rumah sakit yang ditunjuk mempunyai rumah sakit satelit yang ikut dalam program layanan ARV (Depkes RI, 2007).


(36)

Meskipun jumlah layanan dan cakupan PDP meningkat tajam namun layanan PDP masih menghadapi berbagai masalah yaitu:

1. Sebagian infeksi HIV terdiagnosis pada keadaan tahap lanjut, tak jarang ODHA mempunyai infeksi opportunistik berat bahkan lebih dari satu infeksi opportunistik. Dengan demikian angka kematian perawatan di rumah sakit masih tinggi

2. Perusahaan asuransi tidak bersedia memberikan penggantian biaya untuk kasus AIDS

3. Infeksi HIV di kalangan pengguna narkoba semakin meningkat. Keadaan ini mempersulit penatalaksanaan karena tak jarang seorang ODHA yang dirawat menderita berbagai infeksi opportunistik.

4. Kemampuan layanan PDP masih beragam. Terdapat unit layanan yang sudah mempunyai pengalaman luas dalam PDP namun juga terdapat unit layanan yang baru memulai layanan PDP.

5. Layanan AIDS pada anak masih belum mendapat perhatian yang memadai 6. Agar mampu memberikan layanan PDP pada anak maka diperlukan SDM

yang berpengalaman, fasilitas laboratorium yang mencukupi serta obat ARV untuk anak. Tenaga dokter yang mampu mendiagnosis dan melakukan terapi pada anak yang terinfeksi HIV masih sedikit dan terbatas di kota besar

7. Kerjasama rumah sakit dengan LSM di berbagai unit layanan belum terbina dengan baik


(37)

8. Dukungan pengadaan fasilitas dan peralatan medik untuk menerapkan kewaspadaan universal masih minim.

9. Kurangnya komunikasi antara pembuat kebijakan dengan pelaksana di lapangan. Dukungan untuk pelaksana di lapangan baik berupa dukungan finansial maupun teknik yang diberikan oleh LSM internasional masih kurang terkoordinasi sehingga membingungkan petugas di lapangan.

10. Dalam hal pelaporan, pelaksana layanan PDP dimintakan laporan oleh berbagai pihak yaitu Departemen Kesehatan, lembaga donor dan WHO. 11. Manajemen logistik (perencanaan, pengadaan obat ARV, pendistribusian

dan pemantauan) belum tertata dengan baik sehingga masih dialami adanya kekurangan obat, kelebihan obat, atau terlambatnya distribusi (Depkes RI, 2007).

2.5 Kebijakan pada perluasan Layanan PDP

Perawatan, dukungan dan pengobatan HIV-AIDS di Indonesia relatif masih baru dan dirasakan kebutuhan yang mendesak untuk segera memperluas jangkauan terapi ARV bagi ODHA meskipun sumber daya dan kemampuan masih sangat terbatas. Meskipun di dalam satu institusi seringkali tidak ada koordinasi antar bagian sehingga perawatan dan pengobatan menjadi tidak efektif dan kesinambungan perawatan/pengobatan menjadi terganggu dengan berbagai alasan. Sementara itu layanan yang berbasis komunitas dan LSM hanya terbatas baik secara jenis maupun jangkauan (Depkes RI, 2007).

Oleh karena itu perlu dikembangkan pusat layanan perawatan dan pengobatan HIV-AIDS di setiapKabupaten/Kota dengan membentuk tim (pokja)


(38)

PDP serta mekanisme koordinasinya. Tim PDP akan bekerja secara tim sehingga terjadi interaksi secara intensif antara para petugas kesehatan, ODHA dan semua pihak terkait dalam perawatan dan pengobatan HIV-AIDS. Hal tersebut akan meningkatkan komitmen dalam memberikan layanan perawatan dan pengobatan HIV-AIDS yang efektif (Depkes RI, 2007).

2.5.1 Sistem Rujukan PDP

Rujukan PDP mengikuti sistem rujukan yang ada, yaitu merupakan rujukan timbal balik antara layanan PDP strata I,II, dan III. Tujuan dari pembagian strata dalam sistem layanan kesehatan adalah:

a. Memperjelas garis kompetensi layanan yang harus disediakan di masing-masing strata

b. Meningkatkan efisiensi dan menghindari tumpang tindih dan pembiayaan yang tidak perlu

c. Memungkinkan untuk berkembangnya mekanisme rujukan yang efektif antar jenjang layanan tersebut

d. Menyediakan pedoman dalam perencanaan layanan HIV termasuk perhitungan biaya, alokasi sumber daya baik manusia, obat, diagnostik dan pasokan yang disediakan di tiap jenjang (Depkes RI, 2007).

Mengacu pada SK Menkes no 832/X/2006, maka strata pelayanan kesehatan bagi ODHA di sarana kesehatan di Indonesia dibagi menjadi 3 strata yaitu:


(39)

1. Sarana Layanan Kesehatan Strata III

Sarana layanan kesehatan strata III atau rumah sakit rujukan tertier, merupakan rumah sakit rujukan yang berupa pusat rujukan nasional, regional atau provinsi. Rumah sakit tersebut memiliki klinisi yang pakar di bidang tatalaksana HIV-AIDS dan mampu melakukan diagnosis dan terapi yang lebih canggih. Para pakar di rumah sakit rujukan strata III diharapkan juga mampu memberikan konsultasi, pelatihan atau bimbingan klinis bagi petugas di Layanan Kesehatan Strata II yang pada umumnya berupa rumah sakit di kabupaten/kota. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan setingkat dengan layanan strata III tersebut. Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan dan layanan rawat inap.

2. Sarana Layanan Kesehatan Strata II

Sarana layanan kesehatan strata II atau seringkali disebut juga sebagai rumah sakit rujukan sekunder atau tingkat menengah, yang biasanya merupakan rumah sakit kabupaten/kota sebagai Pusat PDP HIV-AIDS Strata II. Tidak menutup kemungkinan bahwa rumah sakit swasta menempati jenjang layanan setingkat dengan layanan strata II. Jenis layanan untuk HIV berupa layanan rawat jalan dan layanan rawat inap.

3. Sarana Layanan Kesehatan Strata I

Layanan kesehatan strata I merupakan layanan kesehatan dasar yang biasanya diselenggarakan oleh puskesmas dan atau layanan kesehatan berbasis masyarakat. Biasanya terkait dengan perawatan berbasis masyarakat atau perawatan berbasis rumah. Diharapkan bahwa rumah-rumah singgah untuk


(40)

ODHA memiliki hubungan dan berjejaring dengan puskesmas setempat. Letaknya sangat dekat dengan masyarakat. Pengembangan puskesmas sebagai tempat PDP HIV-AIDS strata I hanay akan terbatas di daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, seperti di sekitar pemukiman, kegiatan seks komersial dan lain-lain. Paket yang diselenggarakan di layanan strata I tersebut berupa paket kegiatan dan layanan pendukung untuk puskesmas, perawatan berbasis komunitas/rumah (Depkes RI,2007).

2.5.2 Rumah Sakit Rujukan ODHA

Rumah Sakit Rujukan ODHA bertugas: 1. Menyusun Standar Prosedur Operasional

2. Menjamin ketersediaan obat Anti Retroviral (ARV) yang secara langsung didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur khusus yang berlaku dan obat infeksi oportunistik tertentu.

3. Menyiapkan sarana, prasarana, dan fasilitas yang sesuai denga pedoman. 4. Menyiapkan tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter spesialis,

dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis kesehatan, konselor dan manajer kasus

5. Membentuk tim kelompok kerja/ pokja khusus HIV dan AIDS yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui pelatihan khusus HIV dan AIDS, dan

6. Melaporkan pelaksanaan pelayanan bagi ODHA kepada Menteri Kesehatan melalui Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (Kepmenkes, 2012).


(41)

Rumah sakit rujukan ODHA bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan. Monitoring dan evaluasi terhadap pelayanan kesehatan bagi ODHA dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan dan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaannya (KEPMENKES, 2012).

Rumah Sakit Rujukan ODHA berada pada strata III dan strata II. a. Rumah Sakit Rujukan strata III

Layanan yang ditawarkan dapat berupa layanan rawat jalan maupun layanan rawat inap. Untuk layanan rawat inap secara umum digambarkan sebagai berikut: 1) Ketenagaan

Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS yang melibatkan tenaga dan bagian yang terkait dan dipimpin oleh seorang ketua ; (2) Tenaga klinis yang berpengalaman di bidang HIV-AIDS (dokter, perawat) atau telah dilatih PDP (dasar dan lanjutan); (3) Konselor; (4) Pekerja sosial; (5) Teknisi laboratorium yang terlatih termasuk untuk tes CD4, pemeriksaan kimia darah yang canggih dan bila mungkin untuk pemeriksaan viral load; (6) Tenaga ahli laboratorium; (7) Tenaga ahli farmasi; (8) Tenaga khusus untuk pencatatan dan pelaporan yang sudah dilatih dalam bidang pemantauan dampak ART (ART monitoring).


(42)

2) Paket Layanan dan Kegiatan Canggih

Paket layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Tatalaksana klinis dan medis HIV; (2) Diagnosis dan tatalaksana efek samping obat; (3) Penilaian dan pemeriksaan kemungkinan adanya kegagalan terapi atau resisten terhadap terapi ARV dan pemberian terapi ARV; (4) Dukungan kepatuhan berobat; (5) Rujukan balik ke rumah sakit sasaran layanan di bawahnya untuk tindak lanjut perawatan kronis.

3) Obat, Sarana Laboratorium, dan sumber daya lain

Obat, sarana laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Sarana laboratorium canggih seperti: pemeriksaan CD4, pemeriksaan serologi (HBV, HCV, sifilis), kimia darah (tes fungsi hati, ginjal), pemeriksaan mikrobiologi; (2) Ketersediaan obat ARV dan obat untuk terapi infeksi opportunistik yang rumit atau pada penyakit tahap lanjut; (3) Formulir rujukan untuk menajga kesinambungan perawatan kronik HIV.

b. Rumah Sakit Rujukan strata II

Layanan Rumah Sakit strata II terdiri dari rawat jalan, rawat inap, laboratorium, farmasi dan radiologi. Dilengkapi dengan mekanisme rujukan ke program lain seperti klinik TB, klinik KIA, klinik IMS, klinik KB, dan sebagainya.

1) Ketenagaan

Ketenagaan yang dimaksud adalah: (1) Memiliki tim pokja HIV-AIDS atau seorang koordinator yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi dari perawatan dan pengobatan HIV dengan melibatkan


(43)

ODHA yang terpilih atau petugas kesehatan untuk mengkoordinasikan kegiatan pertemuan berkala dengan berbagai pihak, seperti misalnya pertemuan klien, pertemuan klinik, dsb; (2) Untuk tatalaksana klinis diperlukan tenaga dokter, perawat, konselor, manajer kasus, tenaga farmasi (apoteker), analis laboratorium yang telah dilatih dan juga harus memiliki ODHA yang berfungsi sebagai pendukung kepatuhan makan obat dan kelompok dukungan sebaya.

2) Layanan dan Kegiatan

Layanan dan kegiatan yang dimaksud adalah: (1) Pemberdayaan daan koordinasi pada para pelaku utama, termasuk ODHA; (2) Konseling dan test HIV; (3) Layanan klinis dan terapi ARV; (4) Dukungan psikologis dan sosioekonomi; (5) Pencegahan HIV

3) Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain

Obat, Sarana Laboratorium dan sumber daya lain meliputi: (1) Test HIV; (2) Pemeriksaan klinis yaitu peralatan laboratorium; (3) Obat: Obat untuk terapi dan profilaksis Infeksi Opportunistik, obat ARV (Zidovudine, lamivudin, Nevirapine dan Efavirenz), dan obat untuk terapi substitusi (metadon, buprenorfin); (4) Pencegahan: kondom, paket peralatan suntik steril yaitu jarum suntik dan semprit, usapan alkohol, pasokan obat untuk kewaspadaan universal; (5) Monitoring dan Evaluasi: Formulir catatan medis (kartu pasien, ikhtiar perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral (ARV), follow-up perawatan pasien dan terapi ARV, register pra ART, register ART, laporan bulanan dan laporan kohort), kartu atau formulir rujukan pasien (Depkes RI, 2007).


(44)

Infeksi Opportunistik dan penyakit yang ditangani di Rumah Sakit rujukan strata II meliputi:

1. Pernafasan: TB, Pneumonia

2. Neurologis: Toksoplasmosis, Kiptokokosis, Meningitis

3. Kulit dan Mukosa: Kandidiosis, Herpes Simpleks, Herpes Zoster, Dermatitis Seboroik

4. Diare

5. Demam: Septisemia 6. Infeksi virus sitomegali 7. Kanker leher rahim

2.6 Perawatan Penderita AIDS

Bila kasus AIDS semakin banyak ada baiknya dipikirkan membuat Unit AIDS tersendiri. Keuntungan dan kerugian membuat unit tersebut, dibandingkan dengan merawat penderita di unit-unit lain yang tersedia, adalah sebagai berikut: Unit AIDS tersendiri:

1. Koordinasi lebih mudah. Smeua sarana, termasuk sarana administrasi dapat direncanakan berada di suatu tempat.

2. Penderita-penderita dapat bergaul baik satu dengan yang lain.

3. Staf yang berpengalaman dan betul-betul berminat merawat penderita AIDS dapat dipusatkan di satu unit.

4. Rumah sakit dapat menghemat biaya pendidikan dan pelatihan untuk staf yang lain dan dapat menghindari masalah dengan staf yang tidak bersedia merawat.


(45)

5. Memperkuat rasa persatuan antar staf.

6. Pelayanan penderita menjadi lebih baik. Sarana dan tenaga terlatih dapat dipusatkan untuk daerah dengan jumlah kasus rendah.

7. Memudahkan riset di daerah yang kasusnya banyak. Pasien dirawat di unit yang sudah ada di rumah sakit:

1. Penderita-penderita penyakit lain di ruang yang sama merasa keberatan 2. Semua staf rumah sakit mendapat kesempatan merawat penderita AIDS

dan kecemasan serta ketakutan staf dapat dikurangi.

3. Memudahkan penderita mendapatkan pelayanan medik khusus di unit lain seperti hematologi, onkologi dan jantung.

4. Memudahkan penderita berkumpul dengan sanak saudara dan teman yang berkunjung, terutama di daerah yang kasusnya masih amat jarang.

5. Tidak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak. (Murni, 2009)

Dianjurkan untuk membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa dokter, perawat dan pekerja sosial. Tim ini bertugas mengorganisir seluruh pelayanan AIDS di rumah sakit. Penderita AIDS rawat inap akan dirawat oleh dokter yang ada di unit-unit seperti tersebut diatas, yang bergabung dalam Tim Dokter Khusus. Bila ada kesulitan akan dikonsultasikan kepada dokter-dokter yang tergabung dalam Tim Konsultasi Multidisiplin (Murni, 2009).

2.7 Konseling HIV

Konseling adalah hubungan kerjasama antara konselor dan klien untuk membantu klien memecahkan masalah yang dihadapinya. Konseling mencakup bantuan kepada klien mengenal perilakunya yang memudahkannya tertular HIV.


(46)

Konseling juga bertujuan menolong klien membuat keputusan untuk mengubah perilaku tersebut dengan perilaku sehat yang bertanggung jawab, dan membantu klien mempertahankan perilaku yang baru (Djoerban, 2001).

Lapisan masyarakat yang memerlukan konseling HIV, yaitu:

a. Orang yang terinfeksi HIV ataupun orang yang sudah menderita AIDS b. Saudara kandung, orangtua, sahabat dan kenalan serta suami, isteri

ataupun pacar ODHA

c. Orang yang minta pemeriksaan darah terhadap HIV, karena khawatir terinfeksi

d. Orang yang baru saja tes HIV, baik hasilnya positif ataupun negatif

e. Aktivis LSM Peduli AIDS yang aktif memberikan bantuan dan dukungan kepada ODHA

f. Dokter, perawat, pegawai laboratorium dan lain-lain yang memeriksa dan mengobati ODHA atau spesimen darah ataupun spesimen lain yang berasal dari ODHA, dan

g. Orang-orang yang ingin menghindarkan diri terinfeksi HIV, atau ingin membantu agar orang lain tidak terinfeksi HIV (Djoerban, 2001).

Konseling HIV dilakukan sebelum dan sesudah Testing HIV. 2.7.1 Konseling Sebelum Testing HIV

Konseling sebelum tes diberikan kepada orang yang sedang mempertimbangkan dirinya untuk test HIV. Konseling pra test mencakup pemberian informasi mengenai aspek teknis dan medis tes HIV, serta kemungkinan dampak yang terjadi untuk seseorang yang terinfeksi HIV atau


(47)

untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Dampak yang dibahas meliputi dampak sosial, kejiwaan, hukum, medis dan personal. Pemberian informasi diberikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan yang terbaru. Dalam konseling test HIV dibahas sebagai suatu tindakan yang positif dan dikaitkan dengan perubahan perilaku untuk menurunkan resiko tertular HIV (Djoerban, 2001).

Topik Konseling Pra Test

Konseling pra test seharusnya menekankan pembahasan pada dua topik utama, yaitu, pertama riwayat pribadi klien dan resiko terpapar HIV. Kedua penilaian tentang pemahaman klien mengenai HIV AIDS dan pengalaman di masa lampau sewaktu menghadapi krisis (Djoerban, 2001).

Konseling awal sebaiknya meliputi diskusi dan penilaian pengertian klien tentang arti dan konsekuensi hasil test HIV, baik yang positif atau negatif. Konseling juga bertujuan memberikan pengertian pentingnya perubahan perilaku yang dapat mengurangi resiko tertular HIV (Djoerban, 2001).

2.7.2 Konseling Sesudah Testing HIV

Jenis konseling sesudah testing HIV tergantung hasil test: 1) Konseling untuk hasil test HIV negative

Kabar tentang hasil test HIV negative biasanya dirasakan oleh klien sebagai rasa nyaman atau euphoria (senang berlebihan). Tetapi ada beberapa hal yang harus ditekankan:

a. Masa jendela. Setelah seseorang terinfeksi HIV, maka di dalam darahnya HIV segera bereplikasi dalam jumlah yang besar sekali. Namun pada saat tersbut antibody belum terbentuk, sehingga test darah hasilnya negative.


(48)

Untuk diketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test ketahui, test yang biasanya dikerjakan adalah test secara tidak langsung, yakni mendeteksi antibody. Bila antibodi terhadap HIV positif, berarti ada HIV dalam darahnya. Ada selang waktu sekitar tiga bulan sejak seseorang terinfeksi ketika test darah negatif tetapi sebetulnya sudah ada HIV dalam darahnya. Test negatif berarti tidak ada infeksi HIV sampai dengan 3 bulan sebelum test darah.

b. Paparan HIV berikutnya hanya dapat dicegah dengan menghindari perilaku beresiko tinggi. Perlu dijelaskan dengan gambling tentang perlunya tidak melakukan hubungan seksual kecuali dnegan suami/isteri, menerapkan seks aman, atau menghindari pinjam-meminjam jarum suntik (Djoerban, 2001). 2) Konseling untuk hasil test positif

Orang dengan hasil test positif harus diberitahu secepatnya. Diskusi awal membahas berita tersebut harus bersifat amat pribadi dan dirahasiakan. Setelah beberapa waktu yang diperlukan klien untuk menyesuaikan diri, klien dijelaskan arti dari HIV positif. Saat tersebut bukan saatnya membahas mengenai pengobatan dan berapa tahun harapan hidupnya. Yang lebih penting dibahas adalah pemahaman tentang shock akibat diagnosis positif terinfeksi HIV dan menawarkan dukungan. Juga penting untuk memberikan semangat dan harapan, bahwa berbagai masalah yang terbentang di depan klien dapat dipecahkan (Djoerban, 2001).


(49)

Reaksi penerimaan penjelasan tentang infeksi HIV sangat individual tergantung beberapa hal:

a. Keadaan kesehatan klien. Orang yang sedang sakit seringkali bereaksi lambat. Reaksi yang sebenarnya baru muncul setelah keadaan kesehatannya membaik.

b. Persiapan klien menerima kabar. Orang yang sama sekali tidak mempunyai persiapan mungkin reaksinya jauh berbeda dengan orang yang siap mendengar kabar bahwa ia terinfeksi HIV.

c. Seberapa jauh dukungan masyarakat sekitarnya, dan seberapa mudah ia menelepon atau menceritakan masalah ini kepada teman-temannya. Beberapa faktor ikut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menerima kabar terinfeksi HIV, yaitu kepuasan kerja, kehidupan berkeluarga dan ikatan keluarga, serta kesempatan rekreasi. Reaksi ini bias menjadi semakin buruk bila ada factor riwayat social yang terisolir, kemiskinan, masa depan pekerjaan suram, dukungan keluarga minimal, dan tempat tinggal yang buruk.

d. Kondisi psikologis dan kepribadian sebelum tes HIV. Bila ada tekanan kejiwaan sebelumnya, reaksi penerimaan mungkin berbeda dan memerlukan penatalaksanaan yang berbeda.

e. Nilai budaya dan agama yang berkaitan dengan AIDS, sakit dan kematian. Di masyarakat dengan keyakinan adanya kehidupan sesudah mati, atau suasana keagamaan yang kental, maka pemberian informasi bahwa seseorang teinfeksi HIV lebih mudah diterima dengan tenang (Djoerban, 2001).


(50)

2.8 Testing HIV

Prinsip testing HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiaannya. Testing dimaksud untuk menegakkan diagnosis. Terdapat serangkaian testing yang berbeda-beda karena perbedaan prinsip metode yang digunakan. Testing yang digunakan adalah testing serologis untuk mendeteksi antibodi HIV dalam serum atau plasma (Murni, 2009).

Spesimen adalah darah klien yang diambil secara intravena, plasma atau serumnya. Pada saat ini belum digunakan spesimen lain seperti saliva, urin, dan spot darah kering. Penggunaan metode testing cepat (rapid testing) memungkinkan klien mendapatkan hasil testing pada hari yang sama. Tujuan testing HIV ada 4 yaitu untuk membantu menegakkan diagnosis, pengamanan darah donor (skrining), untuk surveilens, dan untuk penelitian. Hasil testing yang disampaikan kepada klien adalah benar milik klien. Petugas laboratorium harus menjaga mutu dan konfidensialitas. Hindari terjadinya kesalahan, baik teknis maupun manusia dan administratif. Petugas laboratorium (perawat) mengambil darah setelah klien menjalani konseling pra testing (Depkes RI, 2006).

2.9 Terapi Antiretroviral (ARV)

Dahulu kita sering mendengar bahwa AIDS disebut sebagai penyakit yang tidak ada obatnya. Ini adalah istilah yang salah. Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, bahkan dicegah, dengan obat yang tidak terlalu mahal dan tersebar luas. Dan sekarang ada obat yang lebih canggih yang dapat memperlambat kegiatan HIV menulari sel yang masih sehat. Obat ini disebut obat antiretroviral (Murni, 2009).


(51)

Dalam pengobatan HIV, tidak boleh memakai satu jenis obat saja. Kita harus memakai kombinasi tiga macam obat ARV yang berbeda agar terapi ini efektif untuk jangka waktu yang lama. Terapi ini disebut terapi retroviral atau ART. ART dulu sangat mahal, tetapi sekarang tersedia gratis untuk semua orang di Indonesia dengan subsidi sepenuhnya oleh pemerintah, melalui sejumlah Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan ARV (Murni, 2009).

ART hanya berhasil jika dipakai secara patuh, sesuai dengan jadwal, biasanya dua kali sehari, setiap hari. Kalau dosis terlupakan, keefektifan terapi akan cepat hilang. Beberapa orang akan mengalami efek samping ketika memakai ART, terutama pada minggu-minggu pertama penggunaannya. Penting sekali pengguna ART diawasi oleh dokter yang berpengalaman dengan terapi ini. (Murni, 2009).

2.10 Komite HIV-AIDS

Menurut Loly, yang dikutip oleh Suzanna C Hutagalung (2011), Komite HIV-AIDS adalah salah satu organisasi peduli AIDS yang didirikan HKBP sebagai wujud perhatian gereja dalam penanganan HIV-AIDS. Komite ini dibentuk dengan tujuan :

1. Meningkatkan kualitas spiritual anggota gereja untuk mampu memelihara dirinya mencegah penularan HIV-AIDS sehingga tidak terinfeksi HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA.

2. Merawat, mengobati dan mendukung meningkatkan kualitas hidup ODHA dan penyalahgunaan NAPZA.


(52)

3. Mengupayakan Rumah Sakit HKBP Balige sebagai pusat rujukan penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA untuk daerah sekitarnya.

4. Memotivasi pelayan dan anggota gereja atau masyarakat bertekad menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) ditengah gereja dan masyarakat.

5. Mengembangkan fungsi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA di tingkat pusat dan Distrik dalam bentuk koordinasi.

6. Mengembangkan institusi Komite Penanggulangan HIV-AIDS dan penyalahgunaan NAPZA HKBP untuk mandiri dalam sumber daya

2.10.1 Voluntary Counselling Test

VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV dan AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV dan AIDS. Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and Testing (VCT) merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV-AIDS berkelanjutan.

a. Layanan VCT dapat dilakukan berdasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari pertolongan medik dan testing yaitu dengan memberikan layanan dini dan memadai baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif.


(53)

Layanan ini termasuk konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik dan ARV.

b. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi efektif dimana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV dan AIDS, mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat.

c. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan tekanan, segera setelah klien memahami berbagai keuntungan, konsekuensi dan risiko. 2.10.2 Prinsip Pelayanan VCT

a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV

Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien. Kecuali testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU, rekrutmen pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan. b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas

Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks


(54)

kunjungan klien. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.

c. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif

Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk untuk mengurangi perilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil testing positif.

d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT

WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang disetujui oleh klien (Anonim, 2014).

2.11 Kerangka Pikir Input

• Tenaga Pelaksana

• Biaya Operasional

• Sarana dan prasarana

Proses

• Capacity Building

• Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Output

• Implementasi penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige


(55)

Berdasarkan kerangka pikir tersebut diatas, dapat dirumuskan defenisi konsep sebagai berikut:

1. Input adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melakukan program HIV-AIDS.

a. Tenaga Pelaksana

Tenaga pelaksana program HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige sebagai rumah sakit rujukan adalah dokter ahli, dokter/dokter gigi, perawat, apoteker, analis laboratorium, konselor, manajer kasus dan tim pokja khusus HIV-AIDS.

b. Biaya Operasional

Biaya Operasional merupakan sumber dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan untuk mencegah penyakit.

c. Sarana dan prasarana

Sarana prasarana yang meliputi peralatan kesehatan untuk pemeriksaan klinis (Laboratorium test serum darah), pasokan obat ARV, perlengkapan untuk pencegahan (kondom, paket peralatan suntik steril, pasokan obat untuk kewaspadaan universal), dan perlengkapan untuk monitoring dan evaluasi (formulir catatan medis dan rujukan pasien).


(56)

2. Proses adalah serangkaian kegiatan yang dirancang dalam usaha meningkatkan kompetensi input demi menghasilkan output yang bermutu. a. Capasity Building

Capasity Building meliputi pelayanan konseling, testing HIV,

pengobatan ARV dan pendampingan ODHA. b. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE),

KIE meliputi mobile klinik, edukasi, advokasi dan pelatihan khusus anak sekolah.

3. Output adalah sesuatu yang terjadi akibat proses tertentu dengan menggunakan masukan/input yang telah ditetapkan yaitu implementasi penanganan HIV dan AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige.


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kualitatif yang dilakukan dengan cara menganalisis data yang didapatkan dari wawancara mendalam.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RS HKBP Balige yang berlokasi di Jl. Gereja No. 17 Balige, Kabupaten Toba Samosir. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah didasarkan pada keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 760/Menkes/VI/2007 yang menetapkan RS HKBP Balige sebagai rumah sakit rujukan HIV AIDS . Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2015.

3.3 Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini diambil secara purposive (bertujuan) yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir; tenaga pelaksana di klinik VCT-CST (dokter, apoteker/farmasi, perawat, konselor, analis laboratorium, manajer kasus) dan ODHA.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder.

1. Data primer dihimpun melalui wawancara mendalam (indepth interview) terstruktur yang artinya peneliti melakukan wawancara berdasarkan


(58)

pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya kepada tenaga pelaksana di VCT-CST.

2. Data sekunder diperoleh dari Profil Rumah Sakit HKBP Balige, Rencana Strategis Komite AIDS Rumah Sakit HKBP Balige, Buku Komite AIDS HKBP tentang kesehatan reproduksi.

3.5 Instrumen dalam Pengambilan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa alat tulis, buku catatan dan alat perekam.

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data, interpretasi data dan dibuat matriks untuk mempermudah dalam melihat data secara lebih sistematis (Miles dan Huberman dalam Herdiansyah, 2012).

Uji validitas pada penelitian kualitatif adalah triangulasi. Penelitian ini menggunakan triangulasi antar sumber yaitu upaya membandingkan suatu informasi yang diperoleh dari sumber lain di kelompok yang diamati dan triangulasi antar teori yaitu upaya membandingkan informasi yang didapatkan dengan teori yang sudah ada.


(59)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Klinik VCT-CST (Voluntary Counseling and Test-Care Support Treatment) Rumah Sakit HKBP Balige

Klinik VCT berawal dari ditemukannya satu kasus HIV-AIDS yang meninggal di Rumah Sakit HKBP Balige. Agar upaya penanggulangan HIV-AIDS mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir, maka dibentuklah Komite penanggulangan HIV-AIDS pada tanggal 29 April 2003. Komite AIDS HKBP Balige berkantor di salah satu ruangan Rumah Sakit HKBP Balige yang terletak di Jalan Gereja No. 17 Balige-Toba Samosir.

Pada tanggal 15 Maret 2007 Komite AIDS HKBP memiliki Klinik IMS (Infeksi Menular Seksual) dan VCT serta ruangan laboratorium sederhana yang berlokasi di kompleks RS HKBP Balige. Atas upaya yang dilakukan oleh Komite AIDS HKBP, maka Menteri Kesehatan Republik Indonesia menetapkan RS HKBP Balige menjadi salah satu rumah sakit rujukan HIV-AIDS melalui Kepmenkes Nomor 760/Menkes/VI/2007 pada tanggal 27 Juni 2007.

Pembiayaan klinik ini awalnya difasilitasi oleh FHI-ASA (Family Health Internasional-Aksi Stop AIDS), salah satu lembaga donor peduli AIDS namun kontrak dukungan dana dari FHI-ASA untuk klinik ini telah berakhir pada Juni 2008. Meskipun demikian, klinik ini tetap berjalan dan melanjutkan programnya. Kasus HIV dan AIDS semakin berkembang dari tahun ke tahun, sehingga kunjungan ODHA di Rumah Sakit HKBP Balige pun semakin banyak. ODHA


(60)

tersebut tidak hanya berasal dari daerah Kabupaten Toba Samosir saja melainkan dari luar daerah. Sejak tahun 2013, klinik IMS tidak bergabung lagi di VCT, sehingga namanya saat ini adalah klinik VCT-CST. Klinik VCT-CST RS HKBP Balige buka setiap hari Senin-Kamis pukul 07.25 WIB -16.00 WIB, dan Jumat pukul 7.25 WIB - 13.00 WIB. Hari Sabtu, Minggu dan hari-hari besar klinik VCT-CST libur, tetapi mereka tetap bersifat on call.

4.2 Materi Talkshow

Materi talkshow yang akan dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di klinik VCT-CST periode Februari-Desember 2015 adalah sebagai berikut:

1. Komite AIDS HKBP dan kegiatannya

2. HIV-AIDS secara umum dan HIV-AIDS dipandang dari segi theologia 3. PMTCT (Prevention Mother To Child Transmission)

4. Malam Renungan AIDS Nasional (MRAN 2015)

5. Peranan perempuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di Distrik Toba Hasundutan dan Distrik Toba

6. Co-infeksi TB-Hepatitis 7. Anak dan HIV

8. Pengobatan pasien AIDS berbasis rumah 9. ODHA berhak sehat

10. Aku hidup dengan HIV-AIDS – Testimoni 11. Hari AIDS Sedunia 2015


(61)

4.3 Karakteristik Informan

Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.1 Karakteristik Informan

No Nama Jenis

Kelamin

Umur

(Tahun) Pendidikan Jabatan 1 Lambok

Siahaan, SKM

Laki-laki 48 S1

Kesehatan Masyarakat Kabid. Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Dinkes Kabupaten Toba Samosir

2 dr. Maruli Tua Sianipar

Laki-laki 26 S1

Kedokteran Umum

Dokter Pelaksana dan Koordinator Klinik VCT-CST 3 Tamba Edwin

Hutagaol, SE

Laki-laki 34 S1

Ekonomi

Konselor 4 Diak. Oka

Nurhayati Harianja

Perempuan 25 Diakones Manajer Kasus

5 Melva Siahaan, Am.Kep

Perempuan 38 Akper Perawat & Kepala Ruangan Zaal F

6 Mariana S. Napitupulu, S.Si, Apt

Perempuan 37 S1

Farmasi

Apoteker/ Kepala Instalasi Farmasi 7 Diak. Ardina

Sihombing, AMAK

Perempuan 37 D3 Analis

Laboratorium

8 Sito Sihite Laki-laki 40 SMA ODHA

9 Mrs. X Perempuan 38 SMA ODHA

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa jumlah informan dalam penelitian ini adalah 9 orang, yang terdiri dari 1 informan pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir yaitu Kabid PMK yang berusia 48 tahun dengan pendidikan S1, 1 informan dokter yang merupakan dokter pelaksana sekaligus Koordinator di Klinik VCT-CST yang berusia 26 tahun dengan pendidikan dokter


(62)

Konseling Pasca Testing HIV

Pendampingan ODHA

umum, 1 informan konselor yang berusia 34 tahun dengan pendidikan S1 Ekonomi, 1 informan manajer kasus yang berusia 25 tahun dengan pendidikan Diakones, 1 informan perawat yang merupakan Kepala ruangan zaal F (ruangan untuk ODHA) yang berusia 38 tahun dengan pendidikan akademi keperawatan (D3), 1 informan apoteker yang merupakan kepala instalasi farmasi Rumah Sakit HKBP Balige yang berusia 37 tahun dengan pendidikan apoteker, 1 informan analis laboratorium yang berusia 37 tahun dengan pendidikan , dan 2 informan ODHA dengan pendidikan SMA dan usia 40 dan 38 tahun.

4.4 Standar Operational Prosedur

Gambar 4.1 Standar Operational Prosedur Konseling Pra

Testing HIV

Testing HIV

Konseling Pasca Testing HIV

Positif Negatif

Terapi Antiretroviral

Risti Diulang Setelah 3 Bulan


(63)

4.5 Wawancara Penanganan HIV-AIDS di Rumah Sakit HKBP Balige 4.5.1 Pernyataan Informan tentang sertifikat pelatihan khusus HIV-AIDS Tabel 4. 2 Matriks Pernyataan Informan tentang sertifikat pelatihan

khusus HIV-AIDS

Informan Pernyataan

Informan 2 “Semuanya sudah dapat sih kak sertifikasinya. Kan gak dijabarkan sih kak sertifikatnya seperti apa. Kalau saya sih kak pernah mengikuti observasi di VCT-nya Adam Malik eh di VCT-nya Pirngadi. Megang pasien juga disana. Ikut pelatihan juga ke Jakarta. Tapi itu diluar pelatihan yang dibuat Kemenkes sih. Biasanya mereka membuat pelatihan rutin per tahun tapi 2 tahun belakangan ini gak ada...”

Informan 3 “Benar. Semua sudah. 2 orang disini konselor, kita juga sudah dapat sertifikat konselor profesional yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi. Jadi sebelum kita jadi konselor di tahun 2007 saya sudah dilatih sama Dinas Kesehatan provinsi untuk mendapatkan sertifikat konselor profesional. Semuanya sudah, manajer kasus, konselor, dokter, jadi kalo misalnya dilihat data-datanya Dinas Kesehatan Provinsi mana-mana aja yang udah dilatik, pasti nama-namanya sudah ada disitu...”

Informan 4 “Sebenarnya kalau untuk sertifikat kan dek belum ada sertifikat yang sah seperti itu. Cuman kita kan seringnya mengikut pelatihan-pelatihan di Dinkes misalnya kan ke Jakarta, ke Medan gitu kan. Tapi sering juga walaupun mengikuti pelatihan kek gitu gak terus ada sertifikatnya seperti itu walaupun resmi dari Dinkes...”

Informan 5 “Gak tau dek...”

Informan 6 “Kalo masalah sertifikat saya gak tau. Yah mungkin mereka dapat. Tanya aja nanti sama bu Oka ya dek. kalo saya hanya bagian memberikan obat aja nya itu pun kalo diminta. Kalo urusan itu saya tidak tau. Karna ruangan pun kan terpisahnya dek..”

Informan 7 “Ya ada...”

Dari pernyataan informan di atas dapat diketahui bahwa tenaga pelaksana di klinik VCT-CST telah mendapat pelatihan dari Dinas Kesehatan Provinsi dan sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang diadakan namun hanya konselor yang mendapatkan sertifikat untuk tenaga pelaksana yang profesional.


(1)

c. Perlengkapan untuk pencegahan HIV-AIDS - Kondom

- Paket peralatan suntik steril (jarum suntik, usapan alkohol) - Pasokan dan obat untuk kewaspadaan universal dan Profilaksis

Post Paparan (PPP)

d. Perlengkapan untuk monitoring dan evaluasi

- Formulir catatan medis, register dan formulir pelaporan

(Kartu Pasien, Ikhtisar Perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral, Follow-Up Perawatan Pasien & Terapi Antiretroviral, Register pra-ART, register ART, Laporan bulanan, Laporan Kohort)

- Kartu atau formulir rujukan pasien

5. Menurut Bapak/Ibu bagaimana proses Capasity Building?

6. Menurut Bapak/Ibu, apa saja kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya?

7. Bagaimana proses terjadinya Komunikasi, Informasi dan Edukasi? 8. Apa saja kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaannya?

9. Bagaimana kedudukan klinik VCT-CST diantara klinik lainnya yang ada di Sumatera Utara?

10.Bagaimana kerjasama Klinik VCT-CST dengan Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir?

11.Bagaimana keterlibatan LSM?


(2)

C. Daftar pertanyaan untuk Orang Dengan HIV-AIDS (ODHA) I. Data Umum

1. Nama :

2. Umur :

3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan Terakhir : 5. Tanggal Wawancara : II. Data Khusus

1. Apakah sebelumnya saudara pernah mendapatkan penyuluhan mengenai HIV-AIDS? Dari siapa dan dimana?

2. Darimanakah saudara mengenal Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige?

3. Pelayanan apa sajakah yang didapat dari Klinik VCT-CST?

4. Pernahkah saudara tidak mendapatkan obat ARV saat stok obat anda habis?


(3)

(4)

(5)

(6)