BAB TIGA PULUH EMPAT FRANK

BAB TIGA PULUH EMPAT FRANK

MEREKA BERHENTI DI BERANDA DEPAN. Sebagaimana yang Frank takutkan, terdapat banyak api unggun di hutan, membentuk lingkaran longgar di sekitar properti. Namun, rumah itu sendiri tampaknya tidak diusik-usik.

Lonceng angin nenek bergoyang-goyang terkena siliran malam. Kursi rotan nenek yang kosong menghadap jalan. Lantai bawah terang benderang, tapi Frank memutuskan untuk tidak membunyikan bel pintu. Dia tidak tahu sudah jam berapa sekarang, apakah nenek sudah tidur atau bahkan ada di rumah. Dia justru mengecek patung gajah batu di pojok —duplikat mungil patung gajah di Portland. Kunci serep masih terselip di bawah kakinya.

Frank ragu-ragu di depan pintu. "Ada apa?" tanya Percy. Frank teringat pagi itu, ketika dia membukakan pintu ini untuk opsir militer yang memberitahunya tentang ibunya. Dia ingat menuruni undakan beranda untuk menghadiri pemakaman sambil membawa kayu bakar dalam jaketnya untuk pertama kali. Dia ingat berdiri di sini dan menyaksikan para serigala keluar dari

hutan —anak buah Lupa, yang kemudian mengantarkannya ke Perkemahan Jupiter. Kejadian tersebut serasa sudah lama sekali, padahal baru enam bulan lalu.

Kini dia kembali. Akankah nenek memeluknya? Akankah dia berkata, Frank, puji syukur kepada dewa- dewi! Untung kau kembali: Aku dikepung monster!

Namun, kemungkinan besar nenek bakal mengomelinya, atau mengira mereka adalah penyusup dan mengusir mereka dengan waj an.

"Frank?" tanya Hazel. "Ella gugup," gumam si harpy dari tempatnya bertengger di pagar beranda, "Gajah itu —gajah itu memandangi Ella."

"Tidak apa-apa." Tangan Frank gemetar hebat sampai-sampai dia kesulitan memasukkan kunci ke lubangnya. "Jangan keluyuran. Tetaplah bersamaku."

Di dalam rumah tersebut berbau apak. Biasanya udara beraroma dupa melati, Namun, kali ini semua pedupaan kosong melompong.

Mereka mengecek ruang tengah, ruang makan, dapur. Tumpukan piring kotor teronggok di bak cuci. Ini tidak wajar. Pembantu nenek datang tiap hari —kecuali dia jadi takut karena melihat Raksasa-Raksasa itu.

Atau disantap untuk makan siang, pikir Frank. Ella bilang Laistrygonian adalah kanibal.

Dienyahkannya pemikiran itu. Monster mengabaikan manusia biasa. Paling tidak, biasanya begitu.

Di ruang tamu, patung Buddha dan dewa-dewi Tao menyeringai kepada mereka bagaikan badut sinting. Frank teringat pada Iris, sang Dewi Pelangi, yang coba-coba mempelajari Buddhisme dan Taoisme. Frank menduga satu kunjungan ke rumah tua angker ini bakal menyembuhkan hobinya itu.

Vas-vas porselen besar milik nenek diselimuti sarang laba-laba. juga tidak wajar. Nenek menuntut agar koleksinya dikebuti secara teratur. Saat melihat porselen itu, Frank jadi merasa bersalah karena telah menghancurkan banyak sekali ornamen pada hari pemakaman. Sekarang perbuatannya menjadi terkesan konyol — marah-marah pada nenek, padahal banyak sekali pihak lain yang sepatutnya dipersalahkan: Juno, Gaea, para Raksasa, ayahnya Mars. Terutama Mars. Perapian gelap dan dingin.

Hazel mendekap dadanya seakan hendak mencegah kayu bakar melompat masuk ke perapian. "Apa itu —"

"Iya," kata Frank, "itu tempatnya." "Tempat apa? tanya Percy. Ekspresi Hazel penuh simpati, tapi itu justru membuat perasaan Frank semakin tidak enak. Dia ingat betapa Hazel tampak ngeri, tampak jijik ketika dia menyaksikan Frank memanggil Abu.

"Perapian," kata Frank kepada Percy. Kedengarannya konyol sekali, karena memang sudah kentara. "Ayo, kita cek lantai atas."

Anak tangga berderit di bawah kaki mereka. Kamar lama Frank masih sama. Barang-barangnya tidak disentuh sama sekali —busur dan wadah anak panah cadangannya (dia harus mengambil keduanya nanti), piagam lomba mengeja dari sekolah (iya, dia barangkali satu-satunya demigod di dunia yang menjuarai lomba mengeja dan tidak menderita disleksia, menambah daftar keanehannya), dan foto ibunya —mengenakan jaket kamuflase dan helm, duduk dalam Humvee di Provinsi Kandahar; mengenakan seragam pelatih sepakbola, di musim kompetisi saat dia melatih tim Frank; dalam balutan seragam militer berupa setelan jas dan rok, tangannya memegangi bahu Frank, pada saat mengunjungi sekolah Frank di hari karier.

"Ibumu?" tanya Hazel lembut. "Dia cantik."

Frank tidak sanggup menjawab. Dia merasa agak malu —anak lelaki enam belas tahun yang memajang banyak sekali foto ibunya. Terdengar payah, kan? Tapi dia lebih merasa sedih. Sudah enam minggu sejak terakhir kali dia di sini. Entah bagaimana, rasanya bagaikan seabad. Namun, ketika Frank melihat wajah ibunya yang tersenyum di foto-foto itu, luka hati karena kehilangan ibunya terasa sepedih sebelumnya.

Mereka mengecek kamar-kamar tidur yang lain. Dua kamar di bagian tengah kosong juga. Lampu redup menyorotkan sinar dari bawah pintu terakhir —kamar nenek.

Frank mengetuk pintu dengan lembut. Tidak ada jawaban. Didorongnya pintu tersebut hingga terbuka. Nenek berbaring di tempat tidur, tampak tirus dan kuyu, rambut putihnya terkembang di sekeliling wajahnya seperti mahkota Basilisk. Sebatang lilin menyala di meja samping ranjang. Di sebelah tempat Frank mengetuk pintu dengan lembut. Tidak ada jawaban. Didorongnya pintu tersebut hingga terbuka. Nenek berbaring di tempat tidur, tampak tirus dan kuyu, rambut putihnya terkembang di sekeliling wajahnya seperti mahkota Basilisk. Sebatang lilin menyala di meja samping ranjang. Di sebelah tempat

"Mars," ujar Frank. Sang Dewa mendongak dengan raut muka cuek. "Hei, Nak. Sini masuk. Suruh teman-temanmu enyah."

"Frank?" Bisik Hazel. "Apa maksudmu, Mars? Apa nenekmu apa dia baik-baik saja?" Frank melirik teman-temannya. "Kalian tidak melihat dia?" "Melihat siapa?" Percy mencengkeram pedangnya makin erat. "Mars? Mana?"

Sang Dewa Perang terkekeh. "Mereka tidak bisa melihatku. Kurasa lebih baik begitu kali ini. Biar bisa bercakap-cakap empat mata antara ayah/anak laki-laki, benar kan?"

Frank mengepalkan tinjunya. Dia menghitung sampai sepuluh sebelum mengizinkan dirinya bicara.

"Bukan bukan apa-apa kok, Teman-Teman. Dengar, bagaimana kalau kalian pakai saja kamar-kamar tidur di tengah tadi?"

"Atap," kata Ella, "atap bagus buat harpy." "Tentu saja," kata Frank linglung, "barangkali ada makanan di dapur. Bisa kalian beri aku waktu sebentar saja bersama nenekku? Kurasa dia —"

Suara Frank pecah. Dia tidak yakin apakah ingin menangis atau menjerit atau meninju kacamata Mars — mungkin tigatiganya.

Hazel meletakkan tangannya di lengan Frank. "Tentu saja, Frank. Ayo, Ella, Percy."

Frank menunggu sampai langkah kaki teman-temannya kian lamat-lamat di kejauhan. Kemudian dia berjalan masuk ke kamar dan menutup pintu.

"Apa ini benar-benar Ayah?" tanyanya kepada Mars. "Ini bukan trik atau ilusi atau semacamnya?"

Sang Dewa menggelengkan kepala. "Kau lebih suka kalau bukan aku?"

"Ya," Frank mengakui. Mars mengangkat bahu. "Aku tak bisa menyalahkanmu. Tak ada yang menyambut perang dengan senang hati —tidak, kalau mereka pintar.Tapi perang pasti terjadi, cepat atau lambat. Perang memang sudah niscaya."

"Tolol sekali," kata Frank, "perang tidak niscaya. Perang menewaskan orang. Perang —"

" —merenggut nyawa ibumu," pungkas Mars. Frank ingin menghajar wajahnya yang kalem, tapi mungkin aura Mars-lah yang membuatnya menjadi agresif. Frank

memandangi neneknya yang sedang tidur dengan damai. Frank berharap semoga neneknya terbangun. Kalau ada yang bisa menghadapi Dewa Perang, neneklah orangnya.

"Nenekmu sudah siap mati," kata Mars, "sudah bermingguminggu dia siap, tapi, dia bertahan demi kau."

"Demi aku?" Frank terperanjat sekali sehingga hampir saja melupakan amarahnya. "Kenapa? Bagaimana Nenek tahu aku akan kembali? Aku saja tidak tahu!"

"Laistrygonian di luar sana tahu," kata Mars, "kuduga ada Dewi yang memberi tahu mereka."

Frank berkedip. "Juno?" Sang Dewa Perang tertawa amat nyaring sampai-sampai jendela bergetar, tapi nenek bahkan tidak bergerak barang sedikit pun. "Juno? Demi misai celeng, Nak. Bukan Juno! Kau senjata rahasia Juno. Dia tak mungkin mengorbankanmu. Bukan, maksudku Gaea. Jelas bahwa dia Frank berkedip. "Juno?" Sang Dewa Perang tertawa amat nyaring sampai-sampai jendela bergetar, tapi nenek bahkan tidak bergerak barang sedikit pun. "Juno? Demi misai celeng, Nak. Bukan Juno! Kau senjata rahasia Juno. Dia tak mungkin mengorbankanmu. Bukan, maksudku Gaea. Jelas bahwa dia

Frank merasa seakan-akan kamar tersebut menjadi oleng. Dia berharap ada kursi lain yang bisa diduduki. "Ketujuh orang maksud Ayah ramalan kuno itu, yang menyebut-nyebut Pintu Ajal? Aku salah satu dari ketujuh blasteran itu? Begitu juga dengan Jason, dan —"

"Ya, ya." Mars melambaikan tangan tak sabaran. "Ayolah, Nak. Katanya kau jago menyusun taktik. Pikirkan dengan saksama! Jelas bahwa teman-temanmu juga dipersiapkan untuk misi itu, jika kalian berhasil pulang dari Alaska dalam keadaan hidup-hidup, tentu saja. Juno ingin mempersatukan bangsa Yunani dan Romawi serta mengutus mereka guna melawan para Raksasa. Dia yakin itulah satu-satunya cara untuk menghentikan Gaea."

Mars mengangkat balhu, kentara sekali merasa skeptis terhadap rencana tersebut. "Intinya, Gaea tidak mau kau menjadi bagian dari tujuh orang itu. Percy Jackson ... Gaea yakin dia bisa mengontrol bocah itu. Yang lain juga memiliki kelemahan yang bisa dieksploitasi oleh Gaea. Tapi kau —kau membuatnya khawatir. Dia ingin membunuhmu secepatnya. Itulah sebabnya dia memanggil para Raksasa Laistrygonian. Mereka sudah di sini berhari-hari, menunggu."

Frank menggeleng-gelengkan kepala. Apakah Mars bercanda? Tidak mungkin ada Dewi yang khawatir akan potensi Frank, terutama ketika ada seseorang seperti Percy Jackson yang lebih pantas diwaspadai.

"Tidak ada kelemahan?" tanya Frank. "Aku ini sangat lemah. Nyawaku bergantung pada sepotong kayu!"

Mars menyeringai. "Kau menyepelekan dirimu sendiri. Singkat kata, Gaea meyakinkan para Laistrygonian jika mereka memakan anggota keluargamu yang terakhir —yaitu kau—mereka akan mewarisi anugerah keluargamu. Entah itu benar atau tidak, aku tidak tahu. Tapi Laistrygonian sudah lapar. Mereka ingin sekali mencob a."

Perut Frank menjadi mulas. Abu telah membunuh enam Ogre, tapi berdasarkan jumlah api unggun di sekeliling properti versebut, masih ada lusinan makhluk lainnya —semua tidak sabar ingin memasak Frank untuk sarapan.

"Aku mau muntah," kata Frank. "Tidak, kau tidak mau muntah." Mars menjentikkan jari, dan

rasa mual Frank kontan menghilang. "Demam panggung sebelum

perang. Menimpa semua orang."

"Tapi nenekku —" "Iya, dia sudah menunggumu. Dia ingin bicara kepadamu. sampai saat ini, para Ogre tidak mengganggunya sama sekali.

Nenekmulah umpannya, paham? Sekarang setelah kau di sini, kuduga mereka sudah membaui kehadiranmu. Mereka akan menyerang besok pagi."

"Kalau begitu, keluarkan kami dari sini!" Tuntut Frank. "Jentikkan jari Ayah dan ledakkan kanibal-kanibal itu."

"Ha! Menyenangkan sekali andaikan bisa begitu. Tapi aku tidak ikut campur dalam pertarungan anak- anakku. Moirae sudah menetapkan, tugas mana yang diperuntukkan bagi Dewa. dan mana yang harus dikerjakan oleh manusia fana. Ini misimu. Nak. Oh, iya, kalau-kalau kau belum tahu, tombakmu baru bisa digunakan dua puluh empat jam lagi. Jadi, moga-moga kau sudah belajar menggunakan anugerah keluargamu. Kalau tidak, kau bakal menjadi hidangan sarapan untuk kanibal-kanibal itu."

Mars bertepuk tangan tanpa bunyi. "Tidak jelek, Nak. Pernah

dengar tentang Pertempuran Carrhae? Bencana besar bagi bangsa Romawi. Mereka bertarung melawan orang-orang Parthia di perbatasan kekaisaran. Seribu lima ratus orang Romawi meninggal. Sepuluh ribu lainnya dijadikan tawanan."

"Dan salah satu tawanan tersebut adalah leluhurku, Seneca

Gracchus?" "Tepat sekali." Mars mengiakan. "Orang-orang Parthia menangkap legiunari untuk dipekerjakan, sebab mereka adalah petarung yang cukup lihai. Hanya saja, Parthia kemudian diinvasi dari arah lain —"

"Oleh orang-orang China." terka Frank. "Dan tawanan Romawi dijadikan tawanan lagi."

"Betul. Memalukan, ya. Pokoknya, begitulah ceritanya sampai legiun Romawi sampai ke China. Orang- orang Romawi akhirnya menetap dan membangun kampung halaman baru bernama —"

"Li-Jien," kata Frank, "ibuku bilang itulah kampung halaman leluhur kami. Li-Jien. Legiun."

Mars meneruskan, "Sekarang baru kau paham. Dan si tua Seneca Gracchus, dia memiliki anugerah keluarga kalian."

"Ibuku bilang dia bertarung melawan naga." Frank mengingatingat. "Ibuku bilang dia dia adalah naga terkuat di antara mereka semua."

"Dia lihai." Mars mengakui. "Memang kurang lihai sehingga tidak bisa menghindari nasib buruk yang menimpa legiunnya, tapi lumayan lihai. Dia menetap di China, mewariskan anugerah keluarga kepada anak-anaknya, dan seterusnya. Akhirnya keluarga

"Dan salah satu tawanan tersebut adalah leluhurku, Seneca Gracchus?" "Tepat sekali." Mars mengiakan. "Orang-orang Parthia menangkap legiunari untuk dipekerjakan, sebab mereka adalah petarung yang cukup lihai. Hanya saja, Parthia kemudian diinvasi dari arah lain —"

"Oleh orang-orang China." terka Frank. "Dan tawanan Romawi dijadikan tawanan lagi."

"Betul. Memalukan, ya. Pokoknya, begitulah ceritanya sampai legiun Romawi sampai ke China. Orang- orang Romawi akhirnya menetap dan membangun kampung halaman baru bernama —"

"Li-Jien," kata Frank, "ibuku bilang itulah kampung halaman leluhur kami. Li-Jien. Legiun."

Mars meneruskan, "Sekarang baru kau paham. Dan si tua Seneca Gracchus, dia memiliki anugerah keluarga kalian."

"Ibuku bilang dia bertarung melawan naga." Frank mengingatingat. "Ibuku bilang dia dia adalah naga terkuat di antara mereka semua."

"Dia lihai." Mars mengakui. "Memang kurang lihai sehingga tidak bisa menghindari nasib buruk yang menimpa legiunnya, tapi lumayan lihai. Dia menetap di China, mewariskan anugerah keluarga kepada anak-anaknya, dan seterusnya. Akhirnya keluarga

kalian beremigrasi ke Amerika Utara dan sampai ke Perkemahan Jupiter sehingga —"

"Menggenapkan pengembaraan," kata Frank, "Juno bilang aku akan menggenapkan pengembaraan keluarga kami."

"Kita lihat saja nanti." Mars mengangguk ke arah nenek Frank. "Dia ingin memberitahukan semuaya sendiri, tapi kurasa sebaiknya kuceritakan saja sebagian, soalnya perempuan tua ini sudah tidak kuat lagi. Jadi, kau paham apa anugerahmu?"

Frank ragu-ragu. Dia punya tebakan, tapi dugaan tersebut kelewat janggal —bahkan lebih janggal daripada kepindahan keluarga dari Yunani ke Romawi ke China ke Kanada. Dia tidak mau mengucapkannya keras-keras. Kalau dugaannya keliru, bisabisa Mars menertawainya. "Kurasa —kurasa begitu.Tapi melawan sepasukan Ogre itu —"

"Iya, pasti susah." Mars berdiri dan meregangkan badan. "Ketika nenekmu bangun besok pagi, dia akan menawarkan bantuan. Kemudian kuperkirakan dia akan mati."

"Apa?Tapi aku harus menyelamatkan nenek! Dia tidak boleh meninggalkanku begitu saja."

"Dia sudah menjalani kehidupan yang paripurna," kata Mars, "dia sudah siap melangkah maju. Jangan egois."

"Egois!" "Wanita tua itu bertahan selama ini semata-mata karena merasa masih punya kewajiban. Ibumu juga sama. Itulah sebabnya aku mencintai ibumu. Dia selalu mendahulukan kewajibannya. Baginya, tanggung jawab lebih penting daripada apa pun. Bahkan nyawanya."

"Bahkan aku." Mars melepas kacamata hitamnya. Alih-alih mata, di wajahnya

justru ada bola api miniatur yang mendidih seperti ledakan nulclir.

"Mengasihani diri sendiri tidak ada manfaatnya, Nak. Kau tak

pantas bersikap begitu. Sekalipun misalnya dia tidak mewarisimu anugerah keluarga, dia meninggalimu sifat-sifat yang paling penting —keberanian, kesetiaan, kecerdasan. Sekarang kau harus memutuskan, hendak menggunakan sifat-sifat itu seperti apa. Besok pagi, dengarkan nenekmu. Turuti nasihatnya. Kau masih bisa membebaskan Thanatos dan menyelamatkan perkemahan."

"Dan meninggalkan nenekku di sini, membiarkannya mati begitu saja."

"Hidup ini bernilai karena ada akhirnya, Nak. Percayalah. Aku ini Dewa. Jadi, aku tahu. Kalian manusia fana tak tahu betapa beruntungnya kalian."

"Iya," gerutu Frank, "beruntung banget." Mars tertawa —suaranya seperti denting logam memekakkan. "Ibumu dulu sering mengucapkan peribahasa China ini. Pahit dahulu —"

"Pahit dahulu, manis kemudian," kata Frank, "aku benci peribahasa itu."

"Tapi peribahasa itu benar. Apa istilahnya dewasa ini — bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Konsepnya sama. Kalau kau hanya melakukan hal-hal yang mudah, yang enteng, yang adem ayem, ujung-ujungnya hanya kekecewaanlah yang kau dapat. Tapi kalau kau mengambil jalan yang berat — nah, dengan cara itulah kau bisa mengecap imbalan yang manis. Tanggung jawab. Pengorbanan. Itulah hal-hal yang sungguh bermakna."

Frank muak sekali sampai-sampai tidak sanggup bicara. Masa ayahnya begini?

Memang, Frank paham bahwa ibunya pahlawan. Dia paham bahwa ibunya menyelamatkan banyak nyawa dan telah bersikap amat berani. Namun, ibunya meninggalkan Frank sebatang kara. Itu tidak adil. Tidak boleh begitu.

"Sebentar lagi aku pergi," janji Mars. "Tapi pertama-tama — kau bilang kau lemah. Itu tidak benar. Kau ingin tahu apa sebabnya Juno menyelamatkanmu, Frank? Kenapa sebatang kayu itu belum terbakar habis? Sebabnya, kau punya peran untuk dimainkan. Menurutmu kau tidak secakap orang-orang Romawi lainnya. Kau kira Percy Jackson lebih cakap daripada kau."

"Memang Percy lebih cakap," gerutu Frank, "dia pernah bertarung melawan Ayah dan menang."

Mars mengangkat bahu. "Mungkin memang begitu. Tapi semua pahlawan punya kekurangan fatal. Percy Jackson? Dia terlalu setia pada teman-temannya. Dia tidak bisa mengorbankan mereka, apa pun taruhannya. Dia sudah diberi tahu tentang itu, bertahun-tahun lalu. Dan suatu hari nanti, tak lama lagi, dia akan dipaksa menghadapi pengorbanan yang tidak sanggup dia buat. Tanpa kau, Frank —tanpa rasa tanggung jawabmu —Percy pasti gagal. Akan terjadi pergeseran kekuatan dalam perang nanti, dan Gaea akan membinasakan dunia kita."

Frank menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak sanggup mendengar ini.

"Perang merupakan kewajiban," lanjut Mars, "kita hanya bisa memilih hendak menerimanya atau tidak, dan hendak memperjuangkan apa. Warisan Romawi sudah di ujung tanduk — hukum, ketertiban, dan peradaban lima ribu tahun. Dewa-dewi, tradisi, dan kebudayaan yang membentuk dunia yang kalian "Perang merupakan kewajiban," lanjut Mars, "kita hanya bisa memilih hendak menerimanya atau tidak, dan hendak memperjuangkan apa. Warisan Romawi sudah di ujung tanduk — hukum, ketertiban, dan peradaban lima ribu tahun. Dewa-dewi, tradisi, dan kebudayaan yang membentuk dunia yang kalian

"Aku bagaimana?" tanya Frank. Mars mengangkat alis. "Bagaimana apa?" "Kekurangan fatalku. Ayah bilang semua pahlawan punya kekurangan fatal."

Sang Dewa tersenyum masam. "Kau harus menjawabnya sendiri, Frank.Tapi kau akhirnya mengajukan pertanyaan yang tepat. Nah, sekarang tidurlah. Kau butuh istirahat."

Sang Dewa melambaikan tangan. Mata Frank terasa berat. Dia pun ambruk, dan segalanya menjadi gelap.[]

Dokumen yang terkait

PENERAPAN MODEL SIKLUS BELAJAR 5E UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS PADA MATERI ASAM BASA Yufitri Nanda, Rody Putra Sartika, Lukman Hadi Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Untan Pontianak Email: yufitrinandagmail Abstrack

0 0 7

Aladawiyah, Masriani, Rody Putra Sartika Program Studi Pendidikan Kimia FKIP Untan Pontianak Email: aladawiyaahgmail.com Abstract - ANALISIS KETERLAKSANAAN PRAKTIKUM KIMIA DI LABORATORIUM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA UNIVERSITAS TANJUNGURA PONTIANAK

1 0 13

Martin Surya Putra State Polytechnics of Samarinda mrtputrayahoo.com Abstract: This paper describes the assessment upon the 3rd semester Busi-

0 0 8

Pengaruh Variasi Campuran Bioetanol dengan Pertalite terhadap Bentuk dan Warna Api Hardyansah Satria Putra

0 0 7

Sistem Pengaturan dan Pemantauan Kecepatan Putar Motor DC berbasis FPGA dan VHDL _ Agfianto Eko Putra – Academia

0 0 6

METODE SECANT-MIDPOINT NEWTON UNTUK MENYELESAIKAN PERSAMAAN NONLINEAR Supriadi Putra sputraunri.ac.id Laboratorium Komputasi Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau Kampus Binawidya Pekanbaru (28293) ABSTRAK - MET

0 0 5

SAKSI IKRAR TALAK MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PARA FUQAHA Syukran dan Andi Putra syukranuin-suska.ac.id dianarosdiana115gmail.com Abstrak - SAKSI IKRAR TALAK MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN PARA FUQAHA

0 0 14

Tabel 1 Standar Kekuatan Otot Atlet Judo Putra Berdasarkan Perhimpunan Ahli Ilmu Faal Olahraga Indonesia

0 1 6

Analisa Dan Perancangan Studio Desain Online Studi Kasus Toko Baju IGKG Puritan Wijaya ADH dan Pande Putu Putra Pertama

0 0 26

Pahlawan Olympus: Pahlawan yang Hilang

0 1 282