BAB DUA BELAS FRANK
BAB DUA BELAS FRANK
Frank, Percy, dan Hazel menerabas musuh, menjegal apa pun yang menghalangi. Kohort I dan II —kebanggaan
emahan Jupiter, pasukan perang berdisiplin tinggi nan licin —
imbangan di bawah serangan tersebut, sekaligus dikalahkan
ketidakwaspadaan mereka sendiri karena tak biasa-biasanya
ada di pihak yang kalah. Sebagian masalah mereka bersumber dari Percy. Dia berkelahi ada di pihak yang kalah. Sebagian masalah mereka bersumber dari Percy. Dia berkelahi
bertempur yang lain daripada yang lain, menebaskan alih-alih
enikamkan pedang layaknya yang biasa dilakukan seorang
petarung Romawi, menggetok para pekemah dengan permukaan bilahnya, dan secara umum menyebabkan kepanikan massal. Octavian menjerit-jerit dengan suara melengking —mungkin memerintahkan Kohort I agar bertahan dengan gagah, mungkin sedang mencoba menyanyi sopran — tapi Percy menghentikannya. Percy bersalto melampaui sebaris tameng dan menghantamkan
pangkal pedangnya ke helm Octavian. Sang Centurion kontan
melemas bagaikan boneka kaus kaki.
Frank menembakkan anak panah sampai wadah panahhnya
kosong, menggunakan misil bermata tumpul yang tak
membunuh, tapi meninggalkan memar-memar menyakittkan
Pilum Frank patah kena kepala seorang prajurit pertahanan, maka
dia pun dengan enggan menghunus gladius-nya.
Sementara itu, Hazel naik ke punggung Hannibal. Hazel Sementara itu, Hazel naik ke punggung Hannibal. Hazel
teman-temannya. "Ayo, Lamban!"
Demi dewa-dewi Olympus, dia cantik sekali, pikir Frank.
Mereka lari ke pusat markas besar. Menara utama praktis tidak
dijaga. Pasukan pertahanan jelas tak pernah mimpi bahwa regu
penyerang bisa sampai sejauh ini. Hannibal mendobrak pintu besar menara tersebut. Di dalam, pembawa panji-panji Kohort I dan II sedang duduk-duduk di balik meja sambil main kartu Mythomagic dan figurin. Bendera kohort disandarkan ke dinding sekenanya saja, tidak dijaga sama sekali.
Hazel dan Hannibal langsung masuk ke ruangan tersebut Para pembawa panji-panji jatuh terjengkang dari kursi mereka.
Hannibal menginjak meja, dan berhamburanlah keping-keping
permainan.
Pada saat anggota kohort yang lain menyusul mereka, Percy dan Frank sudah melucuti musuh, merebut panji-panji, dan memanj at ke punggung Hannibal bersama Hazel. Mereka berderap
keluar dari menara utama sambil membawa panji-panji musuh, sudah menang.
Kohort V membentuk barisan di sekeliling mereka. Bersamasama, mereka berarak-arakan ke luar benteng, melewati musuh yang terbengong-bengong dan pasukan sekutu yang sama herannya.
Reyna berputar-putar rendah di punggung pegasusnya. sudah dimenangi!" Dia kedengarannya sedang ber-
Gaya tidak tertawa. "Berkumpul untuk memberi pengI!"
pelan para pekemah berhimpun kembali di Lapangan
Frank melihat banyak cedera ringan —luka bakar, patah
lingkaran hitam di seputar mata, luka iris dan robek, juga
tatanan rambut sangat menarik karena terbakar atau kena
meriam air —tapi tak ada yang tidak bisa diobati.
Frank meluncur turun dari gajah. Rekan-rekannya mengeiuninya, menepuk punggungnya dan memujinya. Frank
bertanya apakah dia bermimpi. Ini adalah malam terbaik
hidupnya —sampai dia melihat Gwen.
`Tolong!" Seseorang berteriak. Dua pekemah bergegas keluar `Tolong!" Seseorang berteriak. Dua pekemah bergegas keluar
mereka menurunkannya, dan anak-anak lain mulai lari mendekat.
darii jauh sekalipun, Frank bisa tahu bahwa perempuan itu adalah
gwen. Kondisinya payah. Gwen berbaring menyamping di
lgan, pilum mencuat dari baju tempurnya —seolah-olah dia
sedang memegangi tombak itu di antara dada dan tangannya, tapi
darahnya terlalu banyak.
Frank menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Tidak,
tidak, tidak gumamnya sambil lari ke sisi Gwen.
Paramedis membentaki semua orang supaya mundur dan .rnberi Gwen udara. Seisi legiun membisu sementara para
penyembuh bekerja —berusaha menaburkan bubuk tanduk
unicorn dan membalutkan perban di bawah baju tempur Gwen untuk menghentikan pendarahan, berusaha menyuapkan nektar dengan paksa ke dalam mulutnya. Gwen tidak bergerak. Wajahnya pucat pasi.
Akhirnya salah seorang paramedis mendongak untuk menatap
Reyna dan menggelengkan kepala.
Selama sesaat, tidak ada suara apa pun kecuali bunyi
yang mengucur dari meriam rusak ke tembok benteng. Hannibal
mengelus rambut Gwen dengan belalainya.
Reyna mengamat-amati para pekemah dari pegasusny
Ekspresinya sekaku dan sekelam besi. "Akan ada penyelidikan
Siapa pun yang melakukan ini, kalian menyebabkan legiu
kehilangan seorang perwira yang baik. Kematian yang terhormat
memang pantas dipuji. Tapi ini .."
Frank tidak yakin apa maksud Reyna. Kemudian
menyadari bahwa pada gagang kayu pilum terukir tulisan
CHS I LEGIO XII F. Senjata itu milik Kohort I, dan mata tombak
tersebut mencuat dari depan baju tempur Gwen. Gwen telah
ditombak dari belakang —kemungkinan setelah permainan usai
Frank menelaah kerumunan orang untuk mencari Octavian
Sang Centurion sedang menonton, ekspresinya tertarik alih-a
khawatir, seakan-akan dia sedang mengamat-amati boneka beruang
yang jeroannya baru saja dia keluarkan. Dia tidak membawapi/u
Telinga Frank menjadi panas. Dia ingin mencekik Octavian
dengan tangan kosong, tapi tepat saat itu, Gwen menarik napas
Semua orang melangkah mundur. Gwen membuka mauta
Rona kembali ke wajahnya.
"A-ada apa?" Gwen berkedip. "Kenapa semua orang melongo?"
Dia sepertinya tidak menyadari keberadaan seruit sepanjang satu
meter yang mencuat dari dadanya.
Di belakang Frank, seorang paramedis berbisik, "Tidak
mungkin. Dia sudah mati. Dia seharusnya sudah mati."
Gwen mencoba duduk tegak, tapi tidak bisa. “Ada sungai, dan seorang pria meminta koin? Aku berbalik dan terbukalah kamu keluar. Jadi, aku aku pergi saja. Aku tidak mengerti. Apa yang terjadi?"
Semua orang menatap Gwen dengan ngeri. Tak seorang pun
berusaha menolong.
"Gwen." Frank berlutut di sebelah Gwen. "Jangan mencoba duduk tegak dulu. Pejamkan saja matamu sebentar, ya?"
"Kenap a? Apa —" "Percaya saja padaku." Gwen melakukan yang diminta. Frank mencengkeram gagang pilum di bawah mata tombak,
tapi tangannya gemetaran. Kayu tersebut licin. "Percy, Hazel — bantu aku."
Salah seorang paramedis menyadari apa yang sedang Frank
rencanakan. "Jangan!" katanya. "Bisa-bisa kau —"
"Apa?" bentak Hazel. "Memperparah kondisinya?"
Frank menarik napas dalam-dalam. "Pegangi dia. Satu, dua, agar
Ditariknya pilum dari depan. Gwen bahkan tidak berjengit.
Darah dengan cepat berhenti mengalir.
Hazel membungkuk untuk memeriksa luka Gwen. "Lukanya menutup sendiri," ujar Hazel, "aku tidak tahu bagaimana bisa
begitu, tapi —"
"Aku merasa sehat-sehat saja," protes Gwen, "kenapa semua
orang khawatir sekali sih?"
Sambil dibantu Frank dan Percy, Gwen berdiri. Frank memelototi Octavian, tapi wajah si Centurion semata-mata menampilkan kecemasan yang sopan.
Nanti, pikir Frank. Hadapi dia nanti saja. "Gwen," ujar Hazel lembut, "tidak mudah mengatakan ini.
tapi tadi kau sudah meninggal. Entah bagaimana, kau hidup
kembali."
"Aku apa?" Gwen menabrak Frank, kehilangan keseimbangan
bangan. Tangan Gwen menekan lubang bergerigi di baju
tempurnya. "Bagaimana —bagaimana?"
"Pertanyaan bagus." Reyna menoleh kepada Nico, yang sedang
menyaksikan dengan raut muka suram dari tepi kerumunan orang.
"Apakah ini berkat kekuatan Pluto?"
Nico menggelengkan kepala. "Pluto tidak pernah membiarkan
orang mati hidup kembali."
Nico melirik Hazel seolah-olah memperingatkannya
tutup mulut. Frank bertanya-tanya apa maksud Nico, tapi tidak punya waktu untuk berpikir soal itu.
Suara menggemuruh berkumandang di padang: Ma
kehilangan pegangan. Ini baru permulaan.
Para pekemah menghunus senjata. Hannibal membunyikan
belalainya dengan gugup. Scipio mendompak, hampir saja menjatuhkan Reyna.
"Aku kenal suara itu," ujar Percy. Dia kedengarannya tidak
senang.
Di tengah-tengah legiun, pusaran api yang menggelegak
tiba-tiba menjulang ke udara. Hawa panas menggosongkan bulu
mata Frank. Pakaian para pekemah yang mulanya basah kuyup
kena semburan meriam serta-merta menjadi kering karena air
menguap. Semua orang buru-buru mundur saat seorang prajurit
Raksasa melangkah keluar dari ledakan api tersebut.
Frank tidak punya banyak rambut, tapi semua helai rambut
yang dia miliki kontan berdiri: Prajurit itu tingginya tiga meteer mengenakan seragam kamuflase gurun Tentara Kanada. Dia memancarkan kepercayaan diri dan kekuatan. Rambut hitammn dipotong cepak seperti rambut Frank. Wajahnya menyiku dan tampak brutal, berbekas torehan pisau di sana-sini. Matanya yang dia miliki kontan berdiri: Prajurit itu tingginya tiga meteer mengenakan seragam kamuflase gurun Tentara Kanada. Dia memancarkan kepercayaan diri dan kekuatan. Rambut hitammn dipotong cepak seperti rambut Frank. Wajahnya menyiku dan tampak brutal, berbekas torehan pisau di sana-sini. Matanya
ddia mengenakan sabuk perkakas yang memuat pistol, pisau, dan beberapa butir granat. Di tangannya ada senapan M16 yang kebesaran.
Parahnya, Frank justru merasa tertarik pada pria tersebut. Sementara yang lain melangkah mundur, Frank malah maju. Dia menyadari bahwa prajurit itu mengajaknya maju tanpa berkatakata.
Frank setengah mati ingin kabur dan sembunyi, tapi dia tidak
bisa. Dia maju tiga langkah lagi. Kemudian dia merosot, bertumpu pada satu lutut.
Para pekemah lain mengikuti teladannya dan berlutut. Bahkan
Rena juga turun.
"Begitu baru bagus," kata sang prajurit, "berlutut itu bagus. Sudah lama sejak aku terakhir kali mengunjungi Perkemahan
Jupiter."
Frank menyadari bahwa ada satu orang yang tidak berlutut. Percy Jackson, pedangnya masih di tangan, sedang memelototi prajurit itu.
"Kau Ares," kata Percy, "apa yang kau inginkan?" Dua ratus pekemah dan seekor gajah terkesiap secara serempak.
Frank ingin mengucapkan sesuatu supaya Dewa itu memaklumi
sikap Percy dan tidak marah, tapi dia tidak tahu harus berkata apa.
Dia takut kalau-kalau si Dewa perang bakal menembaki temannya
dengan kegedean itu.
Namun, sang Dewa justru memamerkan gigi putihnya yang
cemerlang.
'Kau punya nyali, Demigod," katanya, "Ares adalah wujud Yunaniku."
Tapi bagi para pengikut yang ini, bagi anak-anak
romawi, aku adalah Mars —pelindung kekaisaran, bapak dewata
Romulus dan Remus."
"Kita pernah bertemu," kata Percy, "kita ... kita bertarung ...."
Sang Dewa menggaruk-garuk dagunya, seolah sedang
mencoba mengingat-ingat. "Aku bertarung dengan banyak orang
Tapi kuyakinkan kau —kau tidak pernah bertarung denganku
dalam wujud Mars. Kalau pernah, kau pasti sudah mati. Na
sekarang berlututlah, layaknya seorang anak Romawi, sebelum
kau membuatku kehilangan kesabaran."
Di seputar kaki Mars, lingkaran api menggelegak di tanah.
"Percy," kata Frank, "kumohon." Percy kentara sekali tidak menyukainya, tapi dia berlutut.
Mars menelaah khayalak ramai. "Bangsa Romawi, pasang
telinga kalian!" Dia tertawa terbahak-bahak dengan riang, tawa
yang menular sampai-sampai hampir membuat Frank tertawa.
meskipun dia masih bergidik ketakutan. "Aku ingin mengatakan meskipun dia masih bergidik ketakutan. "Aku ingin mengatakan
tidak suka kami berkomunikasi secara langsung dengan manusia fana, terutama dewasa ini, tapi dia memberikan perkecualian sekali ini, sebab kalian bangsa Romawi adalah pengikutku yang istimewa_
Aku hanya diizinkan bicara beberapa menit. Jadi, dengarkan."
Mars menunjuk Gwen. "Yang satu ini seharusnya sudah mati,
tapi ternyata tidak. Monster-monster yang kalian lawan tidak
lagi kembali ke Tartarus sesudah mereka dibinasakan. Sejumlah manusia fana yang sudah lama mati kini kembali menjejakkan
kaki di muka bumi."
Apakah Frank berkhayal, atau sang Dewa memang memelototi
Nico di Angelo?
"Thanatos telah dibelenggu." Mars mengumumkan. "Pintu Ajal telah dibuka paksa, dan tidak ada yang mengawasi pintu tersebut —setidaknya, bukan secara tak pandang bulu. Gaea memperkenankan musuh-musuh kita tumpah ruah ke dunia manusia fana. Putra-putranya para Raksasa tengah mengerahkan pasukan untuk melawan kalian —pasukan yang tidak bisa
kalian bunuh. Kecuali Maut dibebaskan sehingga bisa kembali kalian bunuh. Kecuali Maut dibebaskan sehingga bisa kembali
menemukan Thanatos dan membebaskannya dari tawanan para
raksasa. Hanya diet yang bisa membalikkan keadaan."
Mars menengok ke sana kemari, dan menyadari bahwa semua
orang masih berlutut sambil membisu. "Oh, kalian boleh bangun
"sekarang. Ada pertanyaan?"
Reyna bangkit dengan waswas. Dia menghampiri sang dewa
diikuti oleh Octavian, yang membungkuk-bungkuk dan
menyembah-nyembah layaknya penjilat ulung.
"Dewa Mars," kata Reyna, "kami merasa terhormat." "Lebih dari sekadar merasa terhormat," ujar Octavian, "jauh melampaui perasaan terhormat —" "Lalu?" bentak Mars.
"Lalu," kata Reyna, "yang Anda maksud Thanatos sang Dewa Kematian, ajudan Pluto?"
"Benar," kata sang Dewa. "Dan barusan Anda mengatakan bahwa dia telah ditawan
oleh Raksasa."
"Betul." "Dan oleh sebab itu, orang-orang tidak akan mati?" "Tidak serta-merta," kata Mars, "tapi pemisah antara hidup dan
mati akan terus melemah. Mereka yang tahu cara memanfaatkan hal ini akan mengeksploitasinya. Monster sudah susah dihabisi.
Tidak lama lagi, akan mustahil membunuh mereka. Sejumlah
Demigod nantinya juga bisa menemukan jalan untuk kembali dari
Dania Bawah —seperti teman kalian Centurion Sate."
Gwen berjengit. "Centurion Sate?" "Jika dibiarkan," lanjut Mars, "manusia biasa sekalipun takkan ati- mati. Bisakah kalian bayangkan dunia yang tak seorang pun
penghuninya bisa mati —selama-lamanya?"
Octavian mengangkat tangan. "Tapi, Dewa Agung Mars yang Mahaperkasa, jika kami tidak bisa mati, bukankah itu justru bagus? Jika kami bisa hidup hingga waktu yang tak terbatas —"
"Jangan bodoh, Bocah!" raung Mars. "Pembantaian tak berkesudahan? Banjir darah tak henti-henti? Musuh yang bangkit berulang kali dan tidak bisa dibunuh? Itukah yang kau inginkan?"
"Anda Dewa Perang." Percy angkat bicara. "Tidakkah Anda menginginkan banjir darah tak berkesudahan?"
Goggle inframerah Mars berpendar semakin terang. "Kau kurang ajar, ya? Barangkali aku memang pernah bertarung denganmu sebelumnya. Aku bisa mengerti apa sebabnya aku ingin membunuhmu. Aku Dewa Romawi, Nak. Aku ini Dewa kekuatan militer yang digunakan demi tujuan mulia. Aku melindungi legiun. Aku akan dengan senang hati menginjak-injak musuhku sampai remuk, tapi aku tidak sudi bertarung tanpa alasan. Aku tidak menginginkan perang yang tak ada habis-habisnya. Kau akan memahaminya kelak. Kau akan mengabdi kepadaku."
"Kemungkinan besar tidak," ujar Percy.
Frank lagi-lagi menunggu sang Dewa menebas Percy, tapi Mars hanya menyeringai, seakan-akan mereka berdua adalah
kawan lama yang sedang bicara kasar.
"Kuperintahkan sebuah misi!" Sang Dewa mengumumkan.
"Kalian akan pergi ke utara dan mencari Thanatos di Negeri Nirdewa. Kalian akan membebaskannya dan membatalkan rencana para Raksasa. Hati-hatilah terhadap
Gaea! Hati-hatilah terhadap
putranya, Raksasa tertua!"
Di sebelah Frank, Hazel mengeluarkan suara memekik.
"Negeri Nirdewa?"
Mars menatap Hazel, cengkeramannya di M16 makin erat
"Benar, Hazel Levesque. Kau tahu maksudku. Semua orang di sini
masih mengingat negeri tempat legiun kehilangan kehormatannya
barangkali jika misi tersebut berhasil, dan kalian sudah kembali
pada Festival Fortuna ... barangkali kehormatan kalian akan pulih
kembali. Jika kalian tidak berhasil, perkemahan yang bisa kalian
datangi tidak akan ada lagi. Romawi akan digilas, warisannya
hilang untuk selama-lamanya. Jadi, saranku adalah: Jangan gagal."
Octavian entah bagaimana sanggup membungkuk lebih
reandah lagi. "Maaf, Dewa Mars, cuma satu perkara sepele. Misi membutuhkan sebuah ramalan, puisi mistis yang dapat memandu. Dulu kami memperolehnya dari Kitab-kitab Sybilline, tapi augurlah yang bertugas menguak para dewa .” jawab Octavian. “saya boleh mohon permisi sebentar saja dan mengambil sekitar sepuluh boneka isi kapuk dan mungkin sebilah pisau —"
"Kau augurnya?" potong sang Dewa. "I-iya, Dewa." Mars mengambil gulungan perkamen dari sabuk perkakasnya.
"ada yang punya pulpen?"
Para legiunari menatapnya sambil melongo. Mars mendesah. "Dua ratus orang Romawi, dan tak seorang
pun punya pulpen? Sudahlah!"
Sang Dewa menyandangkan M16 ke belakang punggungnya
mengambil sebuah granat tangan. Terdengar jeritan dari
ivak pekemah Romawi. Kemudian granat itu berubah wujud
menjadi sebuah pulpen, dan Mars pun mulai menulis.
Frank memandang Percy dengan mata membelalak. Ucapnya
suara: Bisakah pedangmu berubah jadi granaat?"
Percy balas mengucap, Tidak. Diam. -Beres!" Mars selesai menulis dan melemparkan gulungan
len itu kepada Octavian. "Ramalan. Kau boleh menambah-
wa ke kitabmu, ukir di lantai, terserah."
Octavian membaca gulungan tersebut. "Bunyinya, Tergilah Octavian membaca gulungan tersebut. "Bunyinya, Tergilah
terbenam tanggal 24 Juni kalau tidak mau mati.'"
"Ya," kata Mars, "memangnya tidak jelas?"
"Tapi Dewa ... ramalan biasanya tidak jelas. Ramalan biasa
berbalut teka-teki, berima, dan ...."
Mars dengan santai mengambil sebuah granat lagi dari sabuknya. "Ya?"
"Ramalannya sudah jelas!" Octavian mengumumkan. "Sebt
misi!"
"Jawaban bagus." Mars mengetukkan granat ke daguny
"Nah, apa lagi, ya? Ada hal lain .... Oh, iya."
Dia menoleh kepada Frank. "Sini, Nak."
Tidak, pikir Frank. Kayu bakar di saku jaketnya terasa let berat. Tungkainya menjadi lemas. Rasa ngeri melandanya, let Tidak, pikir Frank. Kayu bakar di saku jaketnya terasa let berat. Tungkainya menjadi lemas. Rasa ngeri melandanya, let
Frank tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tak
menghentikannya. Frank melangkah maju di luar kehendaknya
Mars menyeringai. "Kerja bagus tadi, Nak, berhasil mengambil
alih tembok. Siapa wasit dalam permainan barusan?"
Reyna mengangkat tangan. "Kau lihat permainan tadi, Wash?" tuntut Mars. "Itu
anakku. Yang pertama menyeberangi tembok, memena
permainan untuk timnya. Kecuali kau buta, dia layak digela
pemain terbaik. Kau tidak buta, kan?"
Dari mimik wajahnya, Reyna kelihatan seperti sedang berusaha
menelan seekor tikus. "Tidak, Dewa Mars."
"Kalau begitu, pastikan dia mendapat Mahkota Mural," tuntut
Mars, "dia anakku!" teriaknya kepada legiun, kalau-kalau ada yang Mars, "dia anakku!" teriaknya kepada legiun, kalau-kalau ada yang
"Putra Emily Zhang," lanjut Mars, "dia prajurit yang baik.
Wanita yang baik. Si Frank ini membuktikan kemampuannya
malam ini. Biar sudah telat, selamat ulang tahun, Nak. Waktunya
menggunakan senjata pria sejati."
Mars melemparkan M16-nya kepada Frank. Selama sepersekian detik, Frank kira dia bakal remuk di bawah bobot senapan mahabesar itu, tapi senjata tersebut berubah bentuk di tengah udara, menjadi lebih kecil dan lebih tipis. Ketika Frank menangkapnya, senjata itu berbentuk tombak. Buluhnya dari cmas imperial, sedangkan mata anehnya yang seputih tulang memancarkan cahaya remang-remang seram.
"Ujungnya terbuat dari gigi naga," kata Mars, "kau belum
belajar menggunakan bakat ibumu, ya? Nah —tombak itu akan memberimu sedikit ruang sampai kau bisa memanfaatkan bakat tersebut. Kau bisa memakainya tiga kali. Jadi, pergunakan dengan bijak."
Frank tidak mengerti, tapi Mars bersikap seolah-olah keputusan tersebut tidak bisa diganggu gugat. "Nah, anakku Frank Zhang Akan memimpin misi untuk membebaskan Thanatos, kecuali ada yang keberatan?"
Tentu saja, tak seorang pun mengucapkan sepatah kata pun. Namun, banyak pekemah yang memelototi Frank dengan tatapan iri, cemburu, marah, getir.
"Kau boleh mengajak dua pendamping," ujar Mars, "begitulah peraturannya. Salah satunya harus anak ini."
Mars menunjuk Percy. "Dia harus belajar menghormati Mars
dalam perjalanan tersebut, atau mati selagi mencoba; sedangkan orang kedua, aku tidak peduli. Pilih siapa saja yang kau mau.
Silakan adakan perdebatan di senat seperti biasa. Kalian semua
jago melakukan itu."
Sosok sang Dewa berkedip-kedip. Petir menyambar-nyambar
di langit.
"Itu isyarat untukku," kata Mars, "sampai lain kali, bangsa
Romawi. Jangan kecewakan aku!"
Sang Dewa meledak menjadi kobaran api, lalu dia pun
menghilang.
Reyna menoleh kepada Frank. Ekspresinya setengah kaget setengah mual, seakan dia akhirnya berhasil menelan tikus tersebut. Reyna mengangkat tangan untuk memberi hormat ala Romawi
"Ave, Frank Zhang, putra Mars."
Seisi legiun mengikuti teladan Reyna, tapi Frank tidak menginginkan perhatian mereka lagi. Malam yang sempurna rusak
sudah.
Mars ayahnya. Dewa perang mengutusnya ke Alaska. Untuk
ulang tahunnya, Frank dihadiahi lebih dari sekadar sebilah tombak
Dia dihadiahi hukuman mati. []