Pemilihan Umum dan Perubahan Tata Cara Pemilu 2009

2.6 Pemilihan Umum dan Perubahan Tata Cara Pemilu 2009

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Setelah amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat sehingga pilpres pun dimasukkan ke dalam rezim pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu diadakan pertama kali pada Pemilu 2004. Pada 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Di tengah masyarakat, istilah "pemilu" lebih sering merujuk kepada pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan setiap lima tahun sekali (Wikipedia, 2009).

Pemilu di Indonesia menganut asas "Luber" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia.” Asal "Luber" sudah ada sejak zaman Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri (Wikipedia, 2009).

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil.” Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil.” Asas jujur mengandung arti bahwa pemilihan

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Bab 1 Pasal 1 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilihan Umum selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No 42 Tahun 2008 Bab

1 Pasal 1 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan umum presiden dan wakil presiden menyatakan bahwa selanjutnya disebut Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, adalah pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemilu 2009 adalah Pemilu yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada tata cara pemilihan suara. Dari pemilu pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955 sampai tahun 2004, tatacara memilih adalah dengan cara mencoblos, sedangkan pada Pemilu 2009 tata

cara memilih adalah dengan cara mencontreng. 5 Mencontreng yang dimaksudkan di sini adalah memberi tanda contreng (Ö) pada gambar partai, anggota legislatif,

KPU. Diatur dalam Peraturan KPU No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Tahun 2009 Pasal 40, op. cit., p. 1.

maupun presiden dan wakil presiden. Berikut ini adalah bunyi dari Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2008 Pasal 40 yang berisi tentang tata cara memilih dalam Pemilu 2009, menyatakan bahwa suara pada surat suara Pemilu anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota, dinyatakan sah apabila:

a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS;

b. bentuk pemberian tanda adalah tanda centang (√) atau sebutan lainnya;

c. pemberian tanda sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan hanya satu kali pada kolom nama partai termasuk tanda gambar dan nomor urut partai politik atau kolom nomor urut calon atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

d. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat di dalam kolom nama partai politik, walaupun ujung garis tanda centang (√) melewati garis kolom nama partai politik;

e. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat pada kolom nomor urut calon atau kolom nama calon, tetapi bagian akhir garis tanda centang (√) atau sebutan lainnya melampaui kolom nomor urut calon atau kolom nama calon.

Dilanjutkan dengan Pasal 40 Ayat (2), yaitu suara pada surat suara Pemilu anggota DPD, dinyatakan sah apabila:

a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan

b. bentuk pemberian tanda adalah tanda centang (√) atau sebutan lainnya;

c. pemberian tanda sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan hanya satu kali pada kolom yang memuat nomor urut, foto, dan nama salah satu calon Anggota DPD.

d. sudut tanda centang (√) atau sebutan lainnya terdapat pada kolom yang memuat nomor urut, foto dan nama salah satu calon Anggota DPD, walaupun ujung garis tanda centang (√) atau sebutan lain melewati garis kolom yang memuat nomor urut, foto dan nama salah satu calon Anggota DPD yang bersangkutan.