35
adalah makan setiap hari dengan lauk pauk yang sederhana. Lauk pauk yang umum adalah ikan laut sepanjang masih bisa diperoleh oleh nelayan.
Pemenuhan kebutuhan ini baik kebutuhan primer, sekunder, tersier maupun kebutuhan perlengkapan dalam melaut akan dapat terpenuhi bergantung pada tingkat penghasilan nelayan.
Untuk itu nelayan Bagan berusaha untuk menyeimbangkan pendapatan yang dihasilkan dengan pengeluaran yang dibutuhkan untuk pengeluaran mereka sehari-hari. Dalam hal ini isterilah yang
memegang peranan besar bagaimana berusaha menyeimbangkan pengeluaran yang semakin hari harga kebutuhan semakin melambung dengan hasil yang pas-pasan. Biasanya isteri nelayan
akan mensiasatinya dengan pola makan yang hemat, yaitu dengan mengandalkan hasil tangkapan, sehingga uang bisa dipergunakan untuk membeli beras, sayur tidak menjadi pola
makan yang diutamakan.
3.2.1 Pemenuhan Kebutuhan Hidup Mata Pencaharian
Mata pencaharian hidup suku Melayu erat berkaitan dengan sumber daya yang tersedia di lingkungan tempat tinggal kediaman mereka. Kaitan yang erat itu tampak dari keanekaragaman
mata pencaharian orang Melayu, yaitu sebagai petani bila tinggal di daerah rendah dan jauh dari laut, dan sebagai nelayan bila mereka tinggal di tepi laut. Berbicara tentang nelayan maka
diidentikkan dengan yang namanya kemiskinan. Kemiskinan nelayan Melayu menjadi lebih dalam lagi mengingat bahwa suku bangsa Melayu yang merupakan salah satu pribumi di
Sumatera Utara yang seharusnya dominan, tapi ternyata mengalami pasang surut kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan terutama setelah penyerahan kedaulatan. Bahkan dapat
Universitas Sumatera Utara
36
dikatakan bahwa sampai sekarang belum juga bangkit dari ketenggelamannya dan masih belum ada usaha untuk menariknya keluar dari pertapaannya yang cukup lama.
38
38
Arif Nasution dkk. Isu-isu Ekonomi Kelautan, dari Kemiskinan Hingga Bajak Laut. Medan : Pustaka Pelajar. 2005
Kita ketahui bahwa etnis Melayu Sumatera Timur ini pernah mengalami kejayaan dan etos kerja yang tinggi, dan saat ini etnis Melayu keadaannya berbanding terbalik dengan masa lalu.
Hal ini terlihat dari proses sejarah yang menunjukkan betapa kemakmuran orang Melayu di zaman kolonial telah merosotkan tanggung jawab bangsawan Melayu terhadap masa depan
orang Melayu itu sendiri, tetapi di lain pihak kemakmuran itu menaikkan status mereka. Pelly menyatakan bahwa kemunduran yang mematahkan kebanggaan Melayu itu adalah
karena perubahan ekologi. Perubahan ekologi akibat dari berbagai migrasi suku-bangsa dan ras ke Sumatera Timur telah mengubah jumlah dan komposisi penduduk yang menyebabkan orang
Melayu menjadi kelompok minoritas di negerinya sendiri. Perubahan ini dapat diumpamakan seperti air bah yang digerakkan oleh kekuatan kapitalisme kolonial yang secara paksa melanda
kehidupan sosial budaya masyarakat Melayu. Setidaknya ada dua gelombang migrasi yang terjadi pada panghujung abad ke 19 dan
permulaan abad ke 20 ke Sumatera Timur. Penguasa kolonial Belanda membuka perkebunan yang pada mulanya mendatangkan orang Cina dan Jawa sebagai kuli kontrak yang merupakan
gelombang migrasi pertama. Orang Cina bekas kuli kebon ini keluar dari perkebunan dan menetap di kota-kota Sumatera Timur, seperti Medan, Pematang Siantar dan Tanjung Balai,
yang kemudian mengembangkan lapangan perdagangan bersama dengan kelompok etnis lain seperti Minangkabau, Mandailing dan Aceh. Bagian terbesar dari mereka merupakan migran
gelombang kedua yang tujuannya selain berdagang juga banyak untuk menjadi pekerja di kantor, sebagai guru atau ulama.
Universitas Sumatera Utara
37
Akibat migrasi yang terjadi dalam dua gelombang ini orang Melayu kelihatan menjadi minoritas dalam jumlah populasi, walaupun kedudukan mereka dalam bidang politik dan budaya
masih tetap dominan. Namun akhirnya perubahan demografis diikuti perubahan ekologi yang paling mendasar yaitu tanah-tanah orang Melayu yang dijadikan perkebunan. Dengan demikian,
perubahan terjadi pada sistem ekonomi rakyat walaupun oleh Sultan diberi ganti rugi. Tradisi pertanian rakyat bertukar dari kultur pertanian komoditi ekspor menjadi petani
tanaman semusim yang cukup untuk makan saja, karena disediakan tanah jaluran. Cara bertani seperti ini mengakibatkan terjadinya kemiskinan ekonomi bagi orang Melayu. Sebagai penunggu
tanah bekas, menanti panen tembakau untuk menanam pala dan palawija telah menanamkan “ kebiasaan hidup santai” karena ketergantungan kepada bantuan Sultan sebagai kebijakan
pemerintah Kolonial Belanda. Sementara itu, perkembangan kota menuntut pekerjaaan baru seperti pertukangan, perdagangan, jasa industri dan kepegawaian.
Selain tidak tertarik dan kalah bersaing dengan suku lain, pendidikan yang rendah akhirnya membawa orang Melayu tidak kebagian dalam struktur pekerjaan baru itu, sehingga muncullah
tradisi “menepi pada suku bangsa Melayu itu”. Seperti diketahui, bahwa suatu kebudayaan masyarakat faktornya sangat ditentukan oleh
lingkungan fisik dan sosial budaya yang memberikan bentuk tentang apa dan bagaimana kehidupan yang memuaskan. Kehidupan di tengah tidak lagi memberikan kepuasan kepada
mereka akibat perubahan lingkungan tadi. Akhirnya “hidup di tepi pantai lebih memberikan kepuasan”. Namun sayangnya laut tidak menggugah lagi dan tidak dapat meningkatkan
kehidupan yang lebih baik. Kehidupan diterima dengan pasrah dan mereka tidak dapat keluar dari lingkungan serta yang menjerat mereka dalam kehidupan miskin yang mendasar.
Universitas Sumatera Utara
38
Begitu juga dengan keadaan alam dan letak geografis yang dimiliki oleh daerah Bagan ini tentunya akan berpengaruh pada pola kerja sebagai nelayan yang sudah turun temurun digeluti
dari generasi sebelumnya dengan pemanfaatan sumber daya laut yang ada. Nelayan merupakan kelompok masyarakat yang hidupnya jauh lebih miskin dibandingkan dengan komunitas
lainnya.
39
Adapun yang dimaksud dengan musim menjadi faktor penentu penghasilan nelayan adalah bahwa nelayan merupakan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan alam, kondisi cuaca
sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan, pengetahuan tentang cuaca merupakan hal yang mutlak harus diketahui oleh nelayan, karena dengan alat tangkap yang
sederhana mereka turun ke laut tidak ada gunanya. Nelayan Bagan membagi musim ke dalam tiga musim. Musim yang pertama ada yang dimaksud dengan musim Barat yang terjadi pada
bulan September, Oktober, November, Desember dan Januari. Yang mana pada musim ini frekuensi angin Barat Daya dan Barat serta curah hujan sangat tinggi, musim ini juga ditandai
dengan ombak besar dan angin kencang yang menyebabkan nelayan mengalami kendala dalam melaut. Namun walaupun demikian, menurut nelayan Bagan musim Barat merupakan musim
yang banyak memberikan pendapatan hasil bagi mereka. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang tinggi akan menambah volume ketinggian air sampai ke tepi pantai dan hutan desa dimana
Mereka tidak memiliki kepastian dalam meniti hari-hari di tengah laut, sehingga pendapatan mereka pun tidak menentu setiap harinya. Musim menjadi salah satu faktor penentu
apakah mereka mendapat ikan hasil tangkapan lebih banyak atau malah sebaliknya. Kondisi ekonomi yang tidak berkembang ini sudah terjadi dari generasi ke generasi. Bertahun-tahun
menjadi seorang nelayan tidak menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi keluarga yang lebih baik. Rumah sederhana dari tepas, pendidikan anak yang rendah, pola pikir yang pasrah terhadap
nasib sudah menjadi ciri khas suatu komunitas nelayan.
39
Aritonang K, Op Cit hal 53
Universitas Sumatera Utara
39
kondisi ini sering dimanfaatkan oleh ikan dan udang untuk bertelur di hutan bakau, hal ini membuat banyak nelayan yang melakukan operasi penangkapan di sekitar tepi pantai dan hutan
desa setelah masuknya musim Timur. Selain musim Barat, nelayan juga mengenal musim Timur, musim ini terjadi pada bulan
Februari, Maret, April, Mei dan Juni. Pada musim ini angin berhembus dari Timur dan Timur laut. Pada musim ini kecepatan angin dan curah hujan relatif hujan pula. Nelayan beranggapan
bahwasannya pada musim Timur merupakan musim perkembangan ikan. Di musim ini ikan tidak sebanyak pada saat musim Barat, tetapi walaupun demikian penghasilan nelayan masih
cukup untuk menghidupi para nelayan. Memasuki akhir bulan Juni sampai bulan Agustus terjadilah apa yang dikatakan nelayan
dengan musim Tenggara. Pada saat musim ini angin berhembus dari arah Tenggara dan membawa hawa panas, terkadang juga angin pada musim ini tidak menentu dan sulit untuk
diketahui. Pada saat kondisi seperti ini umumnya nelayan sulit untuk mendapatkan ikan, sehingga para nelayan Bagan menyebutnya dengan masa peceklik. Ini merupakan musim yang
sangat sedikit penghasilan yang diperoleh nelayan Bagan. Di saat musim paceklik inilah nelayan mengalami masa-masa yang sangat sulit, karena
ikan yang diperoleh sangat sedikit bahkan terkadang hanya bisa untuk dikonsumsi sendiri. Para nelayan juga tidak memiliki tabungan karena pendapatan yang pas-pasan, sehingga di sinilah
peran tauke untuk membantu para nelayan buruh yang kesulitan dalam bentuk pinjaman yang biasanya berupa uang. Ketika hasil tangkapan laut sudah kembali stabil maka nelayan akan
mengembalikan uang yang dipinjamkan dengan cara mencicil. Bagi nelayan yang tidak terlibat pada hubungan patron-klien, maka untuk menyambung hidup di masa-masa yang sulit dalam
Universitas Sumatera Utara
40
keadaan musim paceklik maka isteri nelayan akan berhutang terlebih dahulu di warung-warung sekitar rumah nelayan.
Tabel 5 Nelayan Dan Petani Ikan di Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2000
Kecamatan Nelayan Laut
Nelayan perairan
umumsambilan Petani Ikan
Waktu Penuh Sambilan
PST 1489
425 16
28
Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2000. Dari tabel 6 di atas maka dapat kita lihat bahwa jumlah nelayan waktu penuh merupakan
jumlah nelayan yang paling banyak jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa begitu banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Begitu juga sebaliknya
jumlah nelayan perairan sambilan merupakan jumlah yang paling sedikit.
3.2.2. Peran Istri dan Anak Nelayan Dalam Memenuhi Kebutuhan Hidup