Bagian Porsi Warisan Untuk Janda Dari Suami Yang Meninggal Dalam Hukum Waris Adat Bali.

Selain harta yang telah diuraikan diatas, dibahas juga mengenai harta yang tidak termasuk harta warisan. Adapun jenis harta yang tidak termasuk kategori harta warisan, adalah sebagai berikut : 1. Harta pusaka 2. Harta pencaharian atau usaha sendiri dari seseorang ahli waris. 3. Harta yang telah direlakan penggunaannya untuk keperluan lain menurut ajaran agama, misalnya wakaf dan hibah-hibah lainnya.

C. Bagian Porsi Warisan Untuk Janda Dari Suami Yang Meninggal Dalam Hukum Waris Adat Bali.

Sepintas diatas telah dibahas tentang sistem kekerabatan dan kekeluargaan Hindu, baik menurut Kitab Weda maupun menurut tradisi yang hidup antara penduduk beragama Hindu di Bali. Perkawinan mempengaruhi hukum pewarisan, sah tidaknya perkawinan menurut hukum Hindu dapat mempengaruhi status seorang anak sebagai ahli waris dalam hukum pewarisan itu, karena itu pengesahan perkawinan dianggap sangat penting sekali karena mempunyai akibat hukum yang sangat luas. Adapun hal yang penting dalam masalah pewarisan berkenaan dengan perkawinan itu, berdasarkan sistem yang dijumpai didalam kitab weda adalah didasarkan atas azas perkawinan Hindu terdapat adanya dua kemungkinan, yaitu : 1. Dalam hal perkawinan monogami, perkawinan harus bersifat sederajat, perkawinan yang tidak sederajat mempengaruhi pula pewarisan itu. Bila perkawinan bersifat monogami dan sederajat, semua anak-anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah anak sah dan mewarisi harta orang tuanya dan berbagi sama. 2. Dalam hal perkawinan poligami, bila suami beristeri lebih dari satu sampai empat, memiliki akibat dari pada adanya perbedaan hak perolehan menurut Universitas Sumatera Utara 93 Pewarisan dan besarnya perolehan sebagai akibat adanya perkawinan poligami itu, secara tetap ditentukan sistem pembagiannya menjadi berikut : a. Kelompok anak Brahmana memperoleh 3 bagian b. Kelompok anak Ksatria memperoleh 2 bagian c. Kelompok anak waisya memperoleh 1 12 bagian d. Kelompok anak sudra memperoleh 1 bagian. Atau dapat pula dibagi 10 dimana pembagian dinyatakan sebgai berikut : a. Kelompok anak Brahmana memperoleh 4 bagian b. Kelompok anak Ksatria memperoleh 3 bagian c. Kelompok anak waisya memperoleh 2 bagian d. Kelompok anak sudra memperoleh 1 bagian. 94 Mengenai sistem pembagian ini selanjutnya dinyatakan pula bahwa ada tidaknya kelompok anak pertama dan seterusnya itu, kelompok anak sudra tetap dianggap memperoleh satu bagian, atau sepersepuluh dari jumlah harta warisan. Dalam catatan hukum adat yang dipergunakan dalam peradilan raad kerta peradilan Agama mengenai pewarisan berdasarkan catur uddhara diuraikan pengaruh perkawinan dan sistem pembagian warisan berkenaan dengan jumlah isteri. Dengan demikian ada 4 empat kemungkinan : a. Seorang Brahmana dengan isteri 4 harta dibagi atas sepuluh bagian b. Seorang Ksatria dengan istri 3 harta dibagi atas enam bagian c. Seorang Waisya dengan isteri 2 harta dibagi tiga d. Seorang Sudra dengan isteri satu harta tidak dibagi. 95 93 Gede, I Pudja, Hukum Kewarisan Yang Diresepir Kedalam Hukum Adat Di Bali dan Lombok, CV. Junasco, Jakarta 1990. 94 Ibid. 95 Ibid. Universitas Sumatera Utara Pembagian warisan itu di tentukan menurut berbagai faktor menurut masalah kasta, pembagian warisan menurut hukum hindu sebagaimana dijumpai dalam weda menjadi dua bidang yaitu: 1. Pembagian warisan antara ahli waris dalam hal sederajat Dalam hal ini terdapat dua sistem pembagian warisan yaitu pembagian warisan antara ahli waris yang sederajat, yaitu dimana para ahli waris sederajat kastanya sama dan pembagian warisan dalam hal seorang suami beristrikan lebih dari satu yang berbeda warna berkelainan kasta. Berdasarkan hal ini dapat ditegaskan bahwa pembagian warisan pertama yang dibahas adalah dalam perkawinan sederajat dimana para ahli warisnya itu tergolong satu warna golongan saja saudara seibu sebapak yang sederajat, walaupun ahli waris itu tergolong hanya dalam satu golongan yang sama, mengatur mengenai masalah besar kecilnya perolehan diantara para ahli warisnya. Pembagian yang tidak sama diantara para ahli waris dengan ajaran sistem uddhara, didalam pembagian sistem uddhara anak tertua memperoleh hak lebih sehingga perolehannya akan lebih banyak dari sulung, besar perolehannya dapat bagian dari saudara laki-laki tertua satu setengah bagian saudara yang lahir berikutnya adiknya saudara yang bungsu masing-masing satu bagian sama demikian ditetapkan oleh dharma. Berdasarkan ketentuan diatas anak sulung jelas lebih besar dari saudara berikutnya sehingga demikian perbedaan putra sulung dan putra lainnya akan berbanding 3:2 bagian. Selanjutkan dinyatakan pula kalau di dalam pembagian Universitas Sumatera Utara warisan itu masih ada anak perempuan yang belum kawin, berhak atas perolehannya sabagai bagian dari pada pembagian harta warisan, jadi dalam hal ini tampak adanya hak seorang anak perempuan untuk ikut berbagi warisan walau tida dinyatakan sebagai ahli waris. hanya besar perolehannya di tentukan dari anak laki. Jadi dalam hal ini berbagai waris saudara lakinya wajib memberikan saudara perempuannya yang belum kawin bahagia yang jumlahnya tidak lebih dari seperampat bagian dari apa yang dapat diperoleh oleh saudara laki-lakinya. Dengan kata lain anak perempuan akan memperoleh ¼ dari besar perolehan anak laki-laki sehingga perbandingan perolehan antara antara anak laki-laki dengan anak perempuan 4:1. Pembagian ini pun hanya berlaku kalau anak itu tidak di angkat statusnaya kestatus laki purusa karena kalau di angkat statusnya sebagai status laki purusa besar perolehannya sama seperti saudara laki-laki lainnya. Didalam pembagian sistem uddhara banyak ketentuan yang harus di tinjau di pertimbangkan yang umumnya memberi hak yang istimewa terhadap anak-anak sulung didalam hukum Hindu, disamping itu hak lebih yang telah ditentukan diatas, bila yang dibagi itu adalah binatang-binatang ternak, maka binatang ternak tertentu harus di serahkan kepada anak yang sulung, binatang ternak tidak boleh dibagi melainkan untuk jenis binatang ternak seperti domba biri-biri binatang ternak tak berkuku, kambing, harus diserahkan kepada anak yang sulung. binatang itu tidak di perkenankan untuk di jual dimana kemudian nilainya dapat di bagi diantara para ahli warisnya. Universitas Sumatera Utara Mengenai hak uddhara atau hak lebih dari anak yang sulung dibatasi oleh hukum, yaitu selama anak sulung itu di anggap layak. 96 misalnya tidak kehilangan hak nya untuk menduduki hak itu, hak itu dapay di gantikan oleh saudara saudaranya yang lain dengan tujuan hak lebih itu tidak lain karena fungsi jabatan karena menggantikan kedudukan pewaris dalam hukum kekeluargaan, artinya pengaruh tingkah laku seorang anak didalam keluarga itu dan sifat adil yang dimiliki olek anak sulung untuk menduduki tempat yang terhormat itu didalam hukum adat di bali disebut juga dengan sistem panca uddhara atau catur uddhara. Disamping sistem pembagian itu ada juga yang menyebutkan bahwa besarnya tambahan hak lebih atau uddhara yang di berikan kepada adak yang sulung adalah sebesar seper dua puluh bagian dari besarnya harta warisan jadi besar yang dapat di bagi menurut hukum adalah 1920 bagian dan dapat yang di serahkan mutlak kepada putra yang sulung adalah 120 bagian, hanya saja lebih jauh di tegaskan bahwa yang 120 bagian itu adalah merupakan benda-benda pilihan terbaik dari pada semua harta warisan itu. Adapun sisa bagian itu yang berjumlah sebesar 1920 di bagi antara para ahli waris bersama yang perolehannya sesuai menurut dharma, anak sulung mendapatkan 120 bagian dari seluruh harta warisan ditambahkan kepada jumlah yang dapat diperolehnaya menurut dharma, anak paling menengah akan memperoleh jumlah ½ dari besarnya tambahan yang di peroleh anak sulung sedangkan anak yang bungsu 96 Wawancara dengan Mangku Reken, tanggal 15 Juli 2010. Universitas Sumatera Utara akan memperoleh sebesar ¼ dari besar tambahan anak yang sulung di tambahkan kepada besarnya perolehan, dengan demikian maka sisa dari itu tidak lagi sebanya 1920 melainkan sebanyak 3740. Pembagian dengan cara penyamarataan juga di kenal didalam kitab weda dimana tiap-tiap ahli waris berhak sama atas semua harta warisan yang besarnya perolehan itu akan sama nilainya, dimungkinkan adanya pembagian yang sama diantara para ahli waris itu, kecuali terhadap anak perempuan yang tidak diangkat statusnya tetap tanpa ada perobahan besarnya perolehan. Dimana anak sulung akan menerima perolehan yang nilainya lebih banyak dari anak pewaris lainnya hanya saja tambahan yang diberikan itu sedemikian rupa nilainya sehingga tidak mempengaruhi besarnya penerimaan anak-anak pewaris lain. Dengan penentuan ini maka sistem udara hanya sebagai alternative saja dan bukan bersifat mutlak. 2. Pembagian warisan antara ahli waris dalam hal yang tidak sederajat. Pembagian warisan dalam arti yang tidak sederajat menyangkut pengertian pembagian warisan antara para ahli waris yang status ibunya berbeda-beda, sebagai akibat dari pada adanya perkawinan poligami yang menurut hukum Hindu hanya satu saja isteri yang sederajat. Didalam hal ini terdapat dua perbedaan pendapat mengenai berbagai masalah hukum yang akan berpengaruh kepada hukum pewarisan, salah satu ketentuan yang digunakan adalah kemungkinan anak-anak itu di anggap sebagai anak dari dua atau tiga atau empat orang ibu bersama, jadi tidak saja anak dari seorang ibu akan tetapi dari beberapa orang ibu. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian ketentuan semua yang menekankan bahwa dalam hal poligami hanya satu saja isteri yang seerajat kela di tinggalkan. terhadap anak yang sederajat akan berlaku pembagian yang sama besar, jika kesemua anak itu bersama sama berkumpul dan kemudian berbagi harta warisan mengnai masalah besar kecilnya perolehan harta masing-masing para ahli waris itu. Pada dasarnya dalam hal poligami status anak-anak itu tidak sama, maka akan berlaku sistem pembagian warisan, sesuai dengan dasar pertimbangan satu saja dari istri yang sederajat maka akan ada empat istri sebagai batas maksimum. Harta warisan setelah dikurangi untuk anak yang sulung dan biaya-biaya lainnya, sisanya akan dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama. Dari sepuluh bagian itu, empat bagian untuk ahli waris dari istri 1 sederajat, tiga bagian untuk istri II, dua bagian untuk ahli waris istri yang ke III dan satu bagian untuk ahlia waris yang ke empat, yang keempat-empatnya masing-masing di dalam kitab disebut sebagai ahli waris dari golongan brahmana dari golongan ksatria, dari golongan waisya dan dari golongan sudra secara berturut-turut. 97 Setiap ahli waris akan berbagi sama di antara ahli waris yang sederajat sehingga dengan demikian ahli waris dari keturunan istri I akan berbagi sama diantara ahli waris yang lahir dari istri I, dan demikian selanjutnya masing-masing kelompok harus puas dengan masing-masing ketentuan itu. seorang anak yang lahir karena levirate, ia berhak atas pemberianperolehan atas harta warisan sebesar 16 atau ¼ bagian dari besar yang diterima oleh seorang ahli waris. 97 Wawancara dengan Luh Ketut Bona, tanggal 16 Juli 2010. Universitas Sumatera Utara Mengenai kemungkinan pembagian secara uddhara dalam hal pembagian warisan diantara anak-anak yang tidak sederajat berlaku pula ketentuan yang terdapat dalam hal anak yang lahir dari perkawinan monogami, mengenai pembagian harta warisan bagi anak-anak sederajat akan berlaku pula mengenai sistem pembagian yang akan di berikan kepada masing-masinganak menurut keadaan umumnya. Manusmriti yang memerinci perbandingan perolehan 4:3:2:1 untuk tiap golongan berturut-turut, ada juga yang memerinci 3:2:12:1 untuk penggolongan yang sama, jadi ajaran ini merupakan ajaran alternatif saja karena pembagian dapat dilakukan lain dengan membagi sepuluh dan kemudian menentukan perolehan setiap kelompok. Jika di tinjau lebih jauh maka tampak adanya ketetapan cara pembagian itu karena dikatakan bahwa apapun anak itu, cara pembagian menjadi sepuluh bagian itu tetap, bila padanya hanya ada anak dari istri kelompok ke IV, besar perolehannya tidak berubah yaitu 110 dari seluruh harta warisan. Ketentuan diatas ternyata hanya berlaku bagi seorang pewaris yang tergolong brahmana dengan istri empat, terdapat pula pembatasan lain yaitu yang menentukan bahwa bila seorang ksatria yang beristri tiga, pembagiannya tidak dalam 10 bagian melain dalam enam bagian, dimana ahli waris dari istri ksatria akan memperoleh tiga bagiannya, ahli waris dari istri sudra dinyatakan hanya satu bagian saja. Pembagian inipun nyatanya berorietasi pada sumber yang sama, manawadharmasastra yang dianggap dasar dari pada sumber hukum Hindu, cara pembagian warisan itu dapat dilakukan sebaik mungkin hanya saja karena merupakan Universitas Sumatera Utara ajaran-ajaran umum semata-mata dan tidak merumuskan berbagai kaedah hukum secara mendetail, kiranya di dalam pelaksanaan hukumnya akan timbul berbagai kesulitan yang akan melahirkan yurisprudensi baru. Sebagai pedoman dalam mengambil keputusan bagi badan-badan peradilan di daerah-daerah, di samping pemikiran-prmikiran pembaharuan yang ada nantinya kalau-kalau ada lahir kasus-kasus tersendiri yang berdiri sendiri sebagai hukum yurisprudensi dalam bidang ilmu hukum, termasuk novasi hukum dalam bidang hukum Hindu. Status janda sebagai pengurus karta atas harta warisan itu terbatas hak dan wewenangnya pada pengurusan saja dan bukan menguasai secara mutlak, demikian pula misalnya kalau pengurusan itu dilakukan oleh salah satu dari anak pewaris. 98 Di bidang hukum adat sebelum berlakunya undang-undang perkawinan, ketentuan tentang hartra benda perkawinan sebagai akibat tarjadinya perceraian terutama terhadap harta bersama berbeda-beda di perbagai daerah di Indonesia. Bali menganut sistem kekeluagaan partilineal sehingga budaya patriarkhe sangat besar pengaruhnya dalam menentukan hak istri terhadap harta bersama yang didalam hukum adat disebut dengan gunakanya, atau ada yang menyebut sebagai druwegabro. Adapun hak istri atas gunakaya atau druwegabro ini apabila terjadi perceraian adalah 13 bagian dan suami 23 bagian, seperti tercermin pada putusan pengadilan klungkung maupun pengadilan Negeri Singaraja, sedangkan dalam putusan 98 I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, hal.57. Universitas Sumatera Utara pengadilan negeri No. 4611999 tanggal 8 januari 1999 sudah mengalami perkembangan, dimana istri diberi bagian ½ bagian dan suami ½ bagian. Pada tahun 1975 berlakulah undang-undang perkawinan U.U. No. 1 tahun 1974 yang dinyatakan berlaku secara efektif tahun 1975. Dengan berlakunya undang-undang perkawinan maka berarti dibidang hukum perkawinan berlaku satu kesatuan hukum di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Mengingat hukum perkawinan ini terkait erat dengan bidang agama dan budaya maka di dalam kenyataannya keanekaragaman hukum tetap berlaku. Oleh karena itu bahwa hukum perkawinan sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Contoh kasus porsi silsilah keluarga : I Made Enteg memiliki saudara kandung I Wayan Tegir dan I Nyoman Peneng. I Made Enteg menikah dengan Ni Ketut Kerti dan memiliki seorang anak perempuan yaitu Ni Wayan Simpen. Ni Wayan Simpen dikawinkan dengan I Ketut Kaut melalui adat kawin keceburin yang dalam perkawinannya dikaruniai seorang anak perempuan yaitu Ni Wayan Ribeg, namun tak lama setelah itu Ni Wayan Simpen dan I ketut Kaut bercerai. Setelah dewasa Ni Wayan Ribeg dikawinkan dengan I Made Bila melalui adat kawin keceburin I Made Bila dan Ni Wayan Ribeg tinggal di rumah peninggalan kakeknya yaitu I Made Enteg, dan hidup dari mengolah sawah peninggalan I Made Enteg. I Wayan Tegir menikah dan memiliki dua orang anak yaitu I Wayan Meng dan I made Universitas Sumatera Utara geblekan. Keadaan menjadi berubah tidak harmonis pada tahun 1983 ketika I Made Enteg dan I Wayan Tegir meninggal. I Wayan Meng, anak dari I Wayan tegir, Alm. Menyatakan dirinya berhak atas harta peninggalan I Made Enteg, yaitu berupa Rumah dan sawah yang sekarang di kuasai oleh Ni Wayan Ribeg. I Wayan Meng menyatakan bahwa perkawinan dari Ni Wayan Ribeg tidak berdasarkan adat kawin keceburin, sehingga seharusnya Ni Wayan Ribeg tidak berhak atas harta peninggalan I Made Enteg, dan I Wayan Meng lah yang berhak. Ni Wayan Ribeg menolak permintaan dari I Wayan Meng sehingga I Wayan Meng menggugat Ni Wayan Ribeg. Harta peninggalan sawah dengan luas 18 are terletak di subak buaji, desa kesiman, kecamatan Denpasar Timur, kabupaten Badung yang tercatat dalam buku penetapan huruf C ipeda Tk.I Bali atas nama I Made Enteg. Sawah dengan luas 29,5 are terletak di subak buaji, desa kesiman, kecamatan Denpasar timur, kabupaten badung yang tercatat dalam buku penetapan huruf C Ipeda Tk.I Bali atas nama I Made Enteg. Harta peninggalan tanah pekarangan beserta rumah seluas 6,5 are di dusun dangin tangluk, desa kesiman, kecamatan Denpasar timur, kabupaten Badung yang tercatat dalam buku daftar huruf C Ipeda Tk. I Bali. Analisa Sistem kekeluargaan masyarakat bali pada dasarnya Patrilineal, sehingga apabila hanya ada seorang anak perempuan saja tidak ada anak laki-laki dalam satu keluarga, maka ketika di kawinkan dengan melalui adat keceburin, status Universitas Sumatera Utara yang melekat pada perempuan itu adalah sebagai Purusa, dan Predana pada si laki- lakinya. Purusa merupakan status sebagai laki-laki yang diberikan pada perempuan yang melangsungkan pernikahannya melalui adat keceburin salah satu sistem perkawinan adat Bali. Predana merupakan status sebagai perempuan yang diberikan kepada laki-laki yang di kawinkan dengan prempuan purusa melalui adat keceburin. Akibat Hukum Seseorang yang hanya memiliki anak tunggal perempuan, yang kemudian dikawinkan melalui upacara keceburin maka dia sebagai Purusa dari ayahnya dan bisa menjadi ahli waris dari ayahnya. Patrilineal beralih-alih seorang laki-laki bisa menyandang status sebagai perempuan, juga sebaliknya perempuan bisa berstatus sebagai laki-laki. dikenal juga upacara “Nyentane rajeg”. Berdasarkan analisis, maka ahli warisnya adalah Ni Wayan Ribeg, meskipun di Bali sudah terjadi pergeseran norma sosial, misalnya berdasarkan kep. MA no.179sip1961 tanggal 23 okt 1961, yang mengakui persamaan hak anak perempuan dan laki-laki sebagai ahli waris. Putusan Pengadilan Negeri dalam konpensi, menolak gugatan penggugat, dimana dalam rekonpensi menolak eksepsi tergugat, mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, menyatakan tanah dan sawah adalah harta perolehan dari I Made Enteg, perkawinan adat Ni Ribeg dan I M Bila sah menurut adat keceburin, menyatakan Ni Wayan Ribeg adalah ahli waris yang berhak atas harta perolehan I Made Enteg. Universitas Sumatera Utara Putusan Pengadilan Tinggi membatalkan putusan hakim Pengadilan Negeri mengadili sendiri, mengabulkan gugatan penggugat I Wayan Meng, menyatakan harta perolehan adalah peninggalan I Made Enteg, menyatakan penggugat adalah ahli waris dari I Made Enteg, menyatakan tanah dan sawah sah milik penggugat, membatalkan putusan PN dalam gugatan rekonpensi. Putusan Mahkamah Agung, Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi, mengadili sendiri, dan menolak gugatan penggugat. Universitas Sumatera Utara

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH JANDA APABILA PEMBAGIAN