Syarat-syarat Perkawinan Bentuk Perkawinan Dan Syarat-syarat Perkawinan 1.

kaum wanita hanya tampak sebagai anggota pendukung yang tidak memiliki peranan penting didalamnya. Namun, pada saat sekarang bila ada rencana atau waktu untuk mengadakan upacara, kaum wanita tidak hanya sebagai anggota bahkan ada yang memimpin. Disini tampak jelas bahwa kaum wanita sudah memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki.

2. Syarat-syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 meliputi syarat materil dan syarat formil. Syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai diri pribadi calon mempelai, sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan. Syarat materil itu sendiri ada yang berlaku untuk semua perkawinan umum dan yang berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja. Syarat-syarat materil yang berlaku umum, yaitu : 1. Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai 2. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun. 3. tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal yang di ijinkan dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4. 4. Pasal 11 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pasal 39 PP No. 91975 mengenai waktu tunggu bagi seseorang wanita yang putus perkawinannya yaitu : a. 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian. Universitas Sumatera Utara b. 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan masih berdatang bulan. c. 90 hari, bila putus karena perceraian tapi tidak datang bulan. d. waktu tunggu sampai melahirkan, bila si janda dalam keadaan hamil. e. tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan kelamin. f. penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena kematian. 51 Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ketidakwenangan untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan. Sementara syarat materil yang berlaku khusus berlaku hanya untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai diatur dalam pasal 8, 9 dan 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang yang : a. behubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas. b. berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping. c. berhubiungan semenda. d. berhubungan susuan. 51 Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974. Universitas Sumatera Utara e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemanakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. g. masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat 2 dan pasal 4. h. telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain. 2. Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21 tahun, bila salah satu orang tua telah meninggal, ijin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup, bila itu pun tidak ada dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau bias juga ijin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin dimintai ijinnya. Sedangkan syarat-syarat formil perkawinan ialah : 1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan kepada pegawai pencatatan perkawinan. 2. Pengumuman oleh pegawai pencatatan perkawinan. 3. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing. 4. pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan. Universitas Sumatera Utara Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau oleh wakilnya dan memuat nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama isteri atau suami terdahulu, bila salah seorang atau keduanya pernah kawin. Menurut agama Hindu, karena sahnya perkawinan didasarkan kepada hukum agama, maka syarat-syarat perkawinan menurut hukum Hindu adalah : 1. Perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan kedua belah pihak Manudharmasastra menegaskan bahwa suatu hubungan saling cinta mencintai antara pria dan wanita yang terkait oleh tali perkawinan hendaknya dijalin sebaik- baiknya untuk mencapai kebahagiaan dan menurunkan keturunan yang baik dengan berusaha supaya selalu mencegah perceraian. 2. Telah mencapai usia yang layak untuk kawin Mengenai umur yang layak ini, apabia sudah mencapai 21 tahun atau kalau jasmaniahnya telah layalk atau mampu untuk dikawinkan. 3. Harus ada ijin orang tua. Bila tidak ada orang tua atau sanak keluarganya yang dapat bertindak sebagai wali, perwaliannya dilakukan oleh pemerintah. 4. Tidak melanggar larangan kawin, yaitu kedua calon mempelai tidak : a. mempunyai hubungan darah yang terlampau dekat b. punya penyakit turunan atau menular Universitas Sumatera Utara c. mempunyai nama yang tidak baik d. cacat tubuh e. merupakan anak tunggal bagi calon mempelai wanita f. telah bersuami bagi calon mempelai wanita g. mendahului kakanya dalam perkawinan h. merupakan putri saudara perempuan ayah atau ibunya i. merupakan putri dari yang seibu. Adapun formalitas perkawinan menurut agama Hindu adalah perkawinan dilakukan menurut tata cara hukum Hindu dan dilakukan oleh Brahmana atau pendeta atau pejabat agama Hindu yang mempunyai wewenang untuk itu. Suatu perkawinan hanya dapat disahkan agama Hindu apabila kedua mempelai tersebut beragama Hindu. Menurut Gde Djaksa, pada masyarakat Hindu Bali yang hukum perkawinnya sudah banyak bercampur dengan hukum adat, maka perkawinan menurut hukum Hindu sudah dianggap sah setelah secara beakala atau beakaon dan dilakukan didepan sanggar yang ada atau di natar atau marajan. 52 Beakaon timbul dari upacara yang disebut wiwaha homa yang terdiri dari fase-fase keagamaan, yaitu : 1. upacara penerimaan mempelai secara simbolik sapadi 2. upacara mempertemukan kedua calon mempelai panigrahana 52 Gde Djaksa, Himpunan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, Pemerintah Propinsi Bali, Denpasar, 2003, hal.13. Universitas Sumatera Utara 3. upacara agnihoma dilakukan setelah kedua acara tersebut diatas, dikenal sebagai upacara wiwahoma. 4. upacara pemberkahan oleh pendeta pemimpin agama yaitu upacara mejaya- jaya. Dengan berlakunya hukum agama sebagai syarat sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974, maka hukum agama Hindu tidak saja berlaku untuk masyarakat Hindu di Bali akan tetapi berlaku juga untuk masyarakat Hindu diseluruh Indonesia. Pengesahan suatu perkawinan menurut hukum agama Hindu tidak ada suatu escape clausule yang memungkinkan Brahmana untuk melakukan pengesahan upacara perkawinan yang dilakukan kalau antara kedua mempelai terdapat perbedaan agama. Sedangkan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil hanyalah merupakan tata administratif saja dan tidak mempengaruhi sahnya perkawinan, karena menurut hukum Hindu yang dicatat pada Catatan Sipil bukanlah perkawinannya melainkan akan dilakukannya perkawinan dan tidak akan menjamin perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama. Sedangkan syarat-syarat perkawinan menurut hukum adat Bali, yaitu : 1. Syarat umur Untuk dapat kawin, maka wanita dan pria itu harus sudah dewasa. Tidak ada ketentuan untuk ukuran sudah dewasa ini. Didalam pergaulan masyarakat pada umumnya dikenal menek bajang datang bulan pertama dan laki-laki sudah Ngembakin berubah suaranya. Universitas Sumatera Utara Wanita yang tidak pernah datang bulan dianggap tidak sehat dan secara relegius dianggap letuh atau kuming. 53 2. Syarat Kesehatan Hukum adat Bali, khususnya dilihat dari sudut agama Hindu maka syarat kemampuan melakukan sanggama dapat dipandang sebagai syarat penting. Orang-orang yang mengalami gangguan fisik sebagai berikut dilarang kawin : a. Pria impoten b. Gila, sakit ingatan c. Wanita Kuming vagina sempit d. Pria Basur buah pelir besar Dalam Kitab Kutara Menawa Dharmasastra, didalam kerajaan Majapahit undang-undang Majapahit pasal 169 menyebutkan, seorang wanita berhak membatalkan perkawinan apabila ternyata : a. Sakit Kuming b. Impoten dalam bersetubuh c. Banci d. Punya penyakit budug perut, paha dan pantat. e. punya penyakit ayan atau gila. 54 53 I Gusti Ketut Kaler, Op. Cit, hal. 8. 54 Slametmuljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhatara, Jakarta, 1970, hal.12. Universitas Sumatera Utara 3. Hubungan Kekeluargaan a. Dihindari perkawinan gamia atau sumbang, misalnya seorang pria kawin dengan seorang wanita, dimana kedua nya ada hubungan sepupu. b. Dihindari perkawinan misan laki-laki antara anak-anak dari laki-laki bersaudara kandung. c. Perkawinan apit-apit tetangga sederet jarak satu tetangga. 4. Kebebasan Kehendak Syarat yang cukup penting, adanya kebebasan kehendak dari mereka yang akan kawin. Kebebasan kehendak artinya bahwa akhirnya kedua belah pihak kemudian menyatakan diri dengan tegas kehendak untuk kawin. Ketidaksetujuan orang tua dalam hal ini dapat digugurkan. Dalam sistem sosial yang lama kaum wanita di Bali mutlak harus ikut kehendak kerabat laki-lakinya atau dalam istilah lainnya disebut dengan adat virilokal yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar tempat kediaman kaum kerabat suami. Walaupun sampai saat sekarang setiap wanita di Bali baru menikah, masih akan ikut menetap disekitaran tempat kediaman kaum kerabat suami atau laki- laki, namun keadaanya tidak seketat seperti pada sistem sosial yang lama. 55 Adat menetap sesudah menikah saat ini sudah bergeser, dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa saat ini bagi kaum wanita yang sudah menikah dapat menentukan tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok disekitar kediaman kaum kerabat 55 Ibid, hal. 68. Universitas Sumatera Utara suami maupun isteri neolokal. Adat menetap sesudah menikah di Bali saat ini secara perlahan-lahan ada kecenderungan untuk bergeser dari adat virilokal keadat neolokal. Hal ini banyak ditentukan oleh kedudukan dan peranan wanita itu sendiri sebagai akibat semakin majunya pendidikan yang mereka peroleh serta sepanjang ekonomi yang mereka miliki memungkinkan.

D. Akibat Perkawinan Terhadap Hubungan Suami Isteri Dan Harta