Di luar Pengadilan UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH JANDA APABILA PEMBAGIAN

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH JANDA APABILA PEMBAGIAN

WARISAN SUAMI YANG MENINGGAL DUNIA TIDAK DAPAT DISELESAIKAN MENURUT HUKUM ADAT WARIS BALI

A. Di luar Pengadilan

Upaya yang dilakukan oleh janda apabila pembagian warisan suami yang meninggal dunia menurut hukum waris adat Bali adalah dengan cara musyawarah mufakat diantara keluarga yang berkaitan. 99 Didalam hukum waris adat Bali, sebenarnya janda yang mampu dan berusaha dan telah menjalankan kewajiban serta dharmanya sebagai janda akan selalu betekun terhadap kewajibannya, memelihara anaknya dengan baik, mengurusi kekayaan suaminya, mengurusi pura keluarga dengan sepenuh hati serta tidak menghamburkan kekayaan almarhum adalah janda yang berhak sepenuhnya menikmati kekayaan almarhum untuk kepentingan kelanjutan hidupnya. Sedangkan dalam hal kepentingan keluarga dan almarhum, janda juga berhak akan tetapi berdasarkan atas ijin keluarga terdekat untuk menjual harta yang ada untuk kepentingan pura, pengabenan, dan lain-lainnya. Harta dalam keluarga yang diurus oleh si janda dikehendaki agar dipergunakan untuk kepentingan kesejahteraan keluarga, dalam arti kesejahteraan meteril dan immaterial. Dan apabila janda sudah punya ulah yang lain, yaitu 99 Wawancara dengan Made Reni, tanggal 16 Juli 2010. 113 Universitas Sumatera Utara menghambur-hamburkan kekayaan almarhum, kawin lagi tidak meminta izin, berzinah maka janda tersebut telah keluar dari jalur dharmanya sebagai janda, sehingga keluarga berhak menegur untuk mengigatkan agar janda tidak berbuat demikian. Tetapi jika tetap terus serakah maka janda berhak diusir karena telah berbuat bertentangan dengan tugas sucinya sebagai janda. Dalam hal janda mengangkat anak menurut hukum adat Bali, mungkin kini sudah menjadi rahasia umum di Bali, keadaan diatas ini selalu di permasalahkan, khususnya bagi daerah-daerah pinggiran, gunung-gunung yang umumnya paling sering menjadi umpan perkara. Tetapi yang paling banyak di lupakan oleh banyak pihak adalah janda itu boleh dan tidak boleh menggangkat anak serta logika pengangkatan dan serta maknanya apa pula. Suatu kasus terjadi di kabupaten bangle. seorang janda mengangkat anak tanpa sepengetahuan keluarga garis laki-laki purusa dan yang diangkat kebetulan orang luar garis laki-laki. Bagi desa yang menghadapi kasus seperti itu hanya bisa berupaya untuk menegur janda tersebut agar tidak melakukan perbuatan seperti itu. 100 Untuk memahami setiap tindakan hukum dalam hal upaya pengalihan harta warisan di Bali termasuk pula didalamnya upaya pengalihan harta warisan lewat jalur mengangkat anak, harus di ingat batas-batasyang ada yaitu hubungan harta waris dengan hak-hak dan kewajiban kepada leluhur penurun harta warisan. 100 www.Google.com, Kasus Janda mengangkat anak, diakses pada tanggal 16 February 2010,pukul 10.00 WIB. Universitas Sumatera Utara Menurut hukum adat Bali, harta pusaka yang di turunkan oleh pewaris selalu dilekatkan kepada kewajiban-kewajiban kepada tempat-tempat persembahayangan di tempat-tempat leluhur-leluhur penurunan harta warisan di semayamkan atau disucikan, didalam hal ini harta warisan itu selalu lekat hubungannya dengan tugas- tugaskewajiban ke tempat-tempat persembahayangan itu sanggahdadia sehingga untuk perbaikan-perbaikan pura, pemeliharaan, pembiayaan upacara di ambilkan dari harta warisan pusaka itu. Untuk mempertahankan ini pihak keluarga berusaha sedapat-dapatnya mempertahankan harta-harta yang ada supaya selalu berada di lingkungan keluarga, dan jika saja harta itu sampai jatuh ketangan orang luar, maka ini pertanda suatu alamat buruk bagi kehidupan materiil dan keagamaan bagi keluarga tersebut. Dalam hubungan ini, janda bisa ditonjolkan setatusnya di keluarga almarhum suaminya, mana kala janda hanya bisa berbuat dalam batas-batas yang di benarkan oleh hukum adat Bali, yaitu menjalankan dharmanya sebagai janda. Hal ini mengingat janda didalam status kewarisan menurutn hukum adat Bali, di golongkan bukan sebagai ahli waris, tetapi janda hanya berhak menikmati harta pusaka atau peninggalan almarhum suaminya dan kegunaan serta pengelolaan harta tersebut di cantolkan kepada kewajiban untuk memelihara anak dan kewajiban-kewajiban ke tempat-tempat peribadatan. Namun demikian janda dalam kedudukan ini tetap sebagai orang yang bebas, artinya ia setiap saat bisa saja meninggalkan rumah almarhum suaminya kawin, mulih daha, dan lain-lain dalam arti tidak mempunyai ikatan yang mutlak dengan Universitas Sumatera Utara kewajiban menyembah atau berbakti di tempat-tempat suci milik almarhum suaminya, keadaan status janda yang demikian ini menyebabkan janda selalu di golongkan kepada pihak yang selalu harus mendapat pengawasan ketat dalam pengurus harta pusaka atau harta keluarga yang di cantolkan kepada kewajiban- kewajiban keagamaan. 101 Kembali ke pokok persoalan, yaitu apakah janda boleh mengangkat anak, di dalam hal ini harus dikembalikan kepada status janda di atas. hal yang paling pentig di dalam hal ini adalah suatu tujuan agar janda sampai dengan perbuatannya itu bisa mencelakakan keluarga pewaris dengan mengalihkan harta warisa kepada orang luar. Maka oleh karena itu, dalam kasus-kasus janda mengangkat anak, persyaratan utama yang di perlukan adalah harus ada persetujan dari keluarga garis laki-laki, dalam hal ini paling tidah harus diketahui secara jelas maksud pengangkatan itu setidak tidaknaya pengangkatan anak yang di lakukan harus betul-betul mencerminkan kehendak almarhum suaminya janda yang hal ini akan dapat diketahui dari logika kepentingan pemeliharaan tempat-tempat suci dimana almarhum suami dilinggihkan atau disemayamkan, maksudnya jika saja janda melakukan pengangkatan anak seenaknya sendiri tanpa pengetahuan keluarga kepurusan, maka perbuatan itusulit di terima oleh rasa kepatuhan masyarakat adat Bali, sebab keadaan sedemikian akan bisa mencelakakan bagi pemelihara tempat-tempat suci. 101 Wawancara dengan Nyoman Nardi, tanggal 16 Juli 2010. Universitas Sumatera Utara Jika saja janda dapat berbuat seenaknya mengangkat anak, maka ia akan dapat bebas bertingkah laku menghancurkan rumpunan keluarga almarhum suaminya, misalnya dengan jalan mengangkat anak arang jauh luar keluarga sehingga dengan demikian harta pusaka lari ketangan orang luar yang tidak terikat kepada kewajiban untuk memelihara tempat-tempatperibadatan keluarga. Inilah yang nantinya paling celak yaitu harta keluarga orang bisa lepas dari keluarga itu, sedangkan kewajiban-kewajiban terhadap pemeliharaanpembiayaan terhadap tempat-tempat suci yang ada bisa disabot sedemikian rupa, sehingga hal ini secara rangkap dapat menghancurkan keluarga almarhum suami baik dari segi materil maupun immaterial seperti pedang bermata dua, membabat dua pihak sekali sabet. Oleh karena itu, janda di dalam kedudukannya di keluarga almarhum suami tidak langkahnya selalu di batasi dan di awasi karena adanya kemungkinan jalan begitu lurus baginya untuk berbuat jahat, sehingga di Bali dapat di maklumi kepada janda di dalam keluarga tidak dapat mendapatkan tempat yang istimewa. 102 Jandanya mendapat tempat yang sewajarnya bilamana ia bertingkah laku seperti mana ia bersembahayang di tempat suci keluarga almarmuh suami,mau memelihara anak dengan baik dan mau mengurus harta kekayaan untuk kepentingan anak-anak dan tempat-tempat suci itu, tugas-tugas ini memang tidak bisa dikatakan paksa kepada janda, dan setiap saat boleh saja janda tersebut menolak, menolak secara terangan maupun sembunyi-sembunyi. 102 Wawancara dengan Ni Wayan Suarti, tanggal 16 Juli 2010. Universitas Sumatera Utara Menolak secara sembunyi ini yang paling berbahaya, dimana ia bisa melakukan tindakan-tindakan seperti di atas, maka dari itu janda mendapat pengawasan yang ketat dan pada prinsipya tidak boleh mengangkat anak kecuali hal itu memang sangat diperlukan dan yang menentukan siapa yang boleh diangkat dan bagai mana caranya harus dicantolkan kepada persepakatan keluarga laki-laki almarhum suami. ini untuk usaha menyelamatkan keutuhan keluarga dan keutuhan kewajiban keagamaan. Janda pada prinsipnaya tidak boleh mengangkat anak, kecuali tindakannya itu betul-betul mencerminkan kehendak almarhum suaminya, cerminan kehendak almarhum suami ini dapat di simpulkan dari kemungkinan dapat dihindarkan sejauh mungkin hal-hal yang nantinya dapat menterlantarkanterlalaikannya kewajiban ketempat persembahayangan di mana almarmum peninggal warisan di semayamkan. Keadaan ini tentunya paling dekat diketahui oleh keluarga almarhum suami pihak laki-laki, sebab kewajiban keagamaan yang sedemikian adalah umumnya ada di bawah pundak dan tanggung jawab pihak laki-laki, dalam hubungan ini dilihat suatu makna bahwa harta warisan dari pada pewaris di Bali tidak terputus tali penghubungnaya setelah pewaris meninggal dunia, sebab pada hakikatnya harta warisan harta pusaka dan harta pembagian untuk almarhum suami tetap mempunyai cantolan sedemikian kuat dan memang hal ini sulit di terangkan, sebab masalahnaya adalah soal keagamaan. Universitas Sumatera Utara Namun jika dilihat secara nyata, maka hal itu sesungguhnaya sulit dianggap tidak menentukan, jika saja oleh hanya pengangkatan anak terjadi keadaan yaitu orang tua penurun harta warisan tidak terperhatikantidak mendapat penghormatan sebagai mana mestinya sesuai dengan kepercayaan, maka keadaan ini mesti harus di hindari. IB Ngurah Adi S.H. mengatakan bahwa ada bukti nyata janda mengangkat anak orang luar kebahagian rumah tangganya semangkin baik dan sebaliknya terjadi pengangkatan keluarga dekat, 103 maka saya juga punya cerita nyata seorang janda mengangkat anak orang luar dan setelah anak ini memegang seluruh harta warisan dari almarhum suaminya janda itu pulang kerumah aslinya mulih dada, tentu karena suatu sebab sedang si anak angkat ini secara pelan-pelan kembali bersembahayang kerumah sanggah orang tua aslinya, dan sanggah dimana orang tua angkatnya disemayamkan secara diam-diam ditinggalkan. 104 Konon katanya ia diganggu oleh arwah orang tua aslinya, tentu saja masalahnya sangat pribadi dan sesungguhnya sulit dilukiskan dengan kata-kata, namun kini rupanya demikianlah batas kemampuan saya menggambarkan dalam kalimat diatas, terlepas dari cerita di atas yang tentu saja dapat memaklumi sebagai mana jika anak angkat meninggalkan atau melalaikannya tempat persembahayangan 103 Wawancara dengan Made Reni, tanggal 16 Juli 2010. 104 I Ketut Artadi, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Pustaka Bali Post, Denpasar, 2003, hal.157. Universitas Sumatera Utara leluhur orangtua angkatnya sedang keluarga purusan mengalami kesulitan sebab pengangkatat ini tidak setahu atau seijinnya. Maksudnya jika anak angkat itu ditegur, diusir dan lain-lain maka hal ini tampak ganjil karena kehadiran anak angkat di keluargannya itu bukan persetujuan dan sepengetahuannya, sehingga bagai mana ia boleh melaksanakan pengusiran akan keadaan yang ia tidak tahu apa sudah terjadi pengangkatn yang sah atau belum. Keluarga purusa harus memberi persetujuan jika dilakukan pengangkatan anak di Bali, makna ini menggantungkan suatu tanggung jawab atau hak bahkan juga kewajiban bagi keluarga untuk ikut mengarahkan anak angkat untuk selalu bakti kepada leluhurnya tidak drowaka, tanggung jawab disini adalah suatu tanggung jawab keluarga purusa untuk selalu usaha sedapat-dapatnya membimbing anak angkat itu untuk selalu ada pada batas-batas hormat kepada keluarga dan leluhur, wajib memberi bimbingan yang baik sesuai dengan adat sopan santun rumpun keluarga, dan berhak memecat jika anak angkat itu tidak menjalankan dharmanya sebagai anak angkat. Harus sedapat-dapatnya keluarga purusa sampai derajat ke 8, hal ini mengingat ikatan kewajibanya kepada leluhur sudah sedemikian alami sehingga dalam keadaan bagai mana pun ia tidak bisa memalingkan mukannya dari kewajiban ini atau tidak akan dapat berbuat seperti anak angkat yang diangkat dari keluarga luar yaitu lari ke leluhur semula, memang masuk akal alasan yang mengatakan dari mana pun asal anak angkat itu purusa orang luar jika saja sudah tidak menjalankan dharmanya sebagai anak bisa dipecat. Universitas Sumatera Utara Namun menjadi masalah jika saja pengangkatan anak itu tanpa sepengetahuan atau seijin keluarga purusa, maka yang berhak memecat anak demikian, tentu keluarga purusa tidak pernah mau mengetahui eksitensi anak angkat seperti itu sehingga melakukan tindakan pemecatan yang berarti mengakui pernah terjadi pengangkatan tidak akan dilaksanakan. ini dalam hal orangtua angkat sudah meninggal dan anak angkat mulai melaksanakan dharmanya tidak memelihara sanggah dan lain-lain. Sedangkan dalam soal ijin atau persetujuan keluarga purusa ini perlu diakui sering menjadi kesulitan yang teramat besar. sebab sungguh sering terjadi pertentangan dalam hal pemberian persetujuan ini. Untuk mengatasi persoalan diatas pengadilan disini sudah boleh ikut mengambil bagian. setidak-tidaknya pengadilan membukakan pikiran keluarga yang bertentangan tentang makna dari pengangkatan berusaha mengkaji manfaat dari pengangkatan itu, sehingga terbukalah kedok mengapa pertentangan itu muncul, yakni hanya karena hal-hal yang tidak prinsip. oleh karena itu akan bijaksana apabila pengadilan memutuskan pengangkatan itu patut dilakukan. Patut disini dimaksudkan adalah bukan pengadilan yang mengesahkan pengangkatan anak itu tetapi kepatutan dan acara adat harus dipenuhi sebagi mana mestinya. barang kali baik untuk dicatat suatu hasil penelitian yang dilakukan didaerah Buleleng, Tabanan, dan Klungkung, yang di tuangkan dalam buku kecil berjudul “Kedudukan Wanita Bali Di Dalam Pewarisan Menurut hukum Adat Bali”, berbunyi: Universitas Sumatera Utara 1. mengangkat anak harus diambil dari pihak garis laki-laki. 2. mengangkat anak harus dengan persetujuan ahli waris purusa. Putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 48Pdt1967, putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 19Pdt1965, putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 727Pdt1964 dan putusan Pengadilan Negeri Klungkung No. 23Pdt1967, putusan Pengadilan Negeri Gianyar No. 84pdt1966 yang telah dikumpulkan sebagai kumpulan yurisprudensi oleh pengadilan tinggi sama yaitu putusan Pengadilan Negeri Denpasar di Gianyar No. 84pdt1966. Masalahnya masih perlukan pengadilan meneruskan warisan di atas, jika berjumlah kasus kasusnya yang sama, konsep sarjana Ter Haar bahwa walaupun hakim memutuskan suatu hukum adalah tidak berlaku tetapi dalam kenyataan hukum itu masih kuat berlaku di kampung-kampung, di ladang-ladang maka keputusan hakim akan menjadi kandas. Putusan hakim atau yurisprudensi di atas adalah hukum yang masih hidup di kampung-kampung di ladang-ladang adat, hukum yang masih hidup di kampung, di ladang-ladang sehingga terakhir sekai sudah, bisakah hal diatas kita pakai patokan, bagi kita tinggal memilih, yang paling baik memilih hukum yang masih berlaku di kampung-kampung di ladang-ladang dalam arti hukum yang hidup dan dihormati masyarakat setidak-tidaknya dipilih untuk dapat dipakai tumpuan kearah penumbuhan adat yang maju di masa nanti. Universitas Sumatera Utara

B. Di dalam Pengadilan