Tingkat Kualitas Hidup Pasien Kusta Yang Datang Berobat Ke RSU DR. Pirngadi Medan September-Oktober 2011
TINGKAT KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA YANG
DATANG BEROBAT KE RSU DR. PIRNGADI MEDAN
SEPTEMBER-OKTOBER 2011
Oleh:
SADDAM EMIR PRATAMA
080100235
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(2)
TINGKAT KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA YANG
DATANG BEROBAT KE RSU DR. PIRNGADI MEDAN
SEPTEMBER-OKTOBER 2011
KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH
SATU SYARAT MERAIH GELAR SARJANA KEDOKTERAN
Oleh:
SADDAM EMIR PRATAMA
080100235
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
(3)
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Selain berbagai permasalahan multidimensional tersebut, kusta dapat menyebabkan kecacatan sehingga nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tujuan:Mengetahui tingkat kualitas hidup penderita kusta di kota Medan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Data diambil secara angket menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari World Health Organization Quality of Life 100 (WHO QOL-100) Field Trial 1995 dan Finlay Kahn Dermatologic Quality Life Index (DLQI) dan dilakukan pengukuran secara tujuh kriteria, yaitu kesehatan dan penampilan fisik, aktivitas fisik, ekonomi, psikologis, kehidupan dan dukungan sosial, kepuasan tidur dan fungsi seksual, dan kehidupan spiritual. Sampel sebanyak jumlah populasi.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan 17 pasien penderita kusta dengan distribusi 12 orang laki-laki dan 5 orang perempuan dengan distribusi umur paling banyak 25-30 tahun (35,4%), terjadi kecacatan tingkat 1 pada tangan dan kaki (70,6%) dan kecacatan tingkat 2 (29,4%), tingkat kecacatan tingkat 1 pada mata (11,8%), penghasilan subjek yang berada di atas UMR (58,8%). Pada penilaian psikologis didapatkan bahwa keluhan paling banyak adalah depresi ringan (52,9%) dan stress ringan (58,8%). Pada penilaian kehidupan sosial didapatkan tidak ada pengucilan dan hanya sebagian kecil yang mengasingkan diri dari masyarkat (29,4%). Pada penilaian tingkat kualitas hidup didapatkan tingkat kualitas hidup sedang (58,8%) dan tingkat kualitas hidup buruk (41,2%), tidak ada subjek yang memiliki tingkat kualitas hidup yang baik.
Kesimpulan: Mayoritas penderita kusta di kota Medan memiliki tingkat kualitas hidup yang sedang, diharapkan kepada dinas kesehatan untuk meningkat kinerja dalam penanganan dan pencegahan kusta agar tidak terjadi komplikasi yang dapat menimbulkan kecacatan.
(4)
ABSTRACT
Backgrounds: Lepra is one of the contagious disease that implied very complex problems. Lepra is not only implied medical problem, but also social problem, culture problem, economic problem. Lepra is still a threatening disease in community, including medical personnel. This condition is caused by lack of knowledge and wrong assumptions about lepra and its complication (disability).
Objectives:The purpose of this research is to assesed the quality of life of patient with lepra in Medan.
Methods: This research is conducted with descriptive research method. The approach used in the design of this study is cross-sectional study. Data were taken from the questionaire adapted from World Health Organization Quality of Life 100 (WHO QOL-100) Field Trial 1995 and Finlay Kahn Dermatologic Quality Life Index (DLQI). 7 criterias measured include health and body image, physical activities, economies, psychologic, life and social supports, sleep quality and sexual function, and spiritual life. The number of samples is as many as the number of population.
Results: The result showed 17 patients suffering lepra consists of 12 men and 5 women. The most common respondents are in age group is 25-30 years old (35,4%), having first grade disability (70,6%) and second degree disability (29,4%) on hands and feet, having first degree disability on eye (11,8%), and monthly income above the minimum wages (58,8%). On psychological assesment, it’s found that the most common complaint is mild depression (52,9%) and mild stress (58,8%). On social life assesment, it’s found that there is no social isolation and only a few respondents separate from community (29,4%). On quality of life assesment, it’s found that respondents have intermediate quality of life (58,8%) and low quality of life (41,2%), no subject with good quality of life.
Conclusion: The majority of patient with lepra are in the intermediate quality of life, so it’s expected to Ministry of Health to improve the programs preventing and curating lepra in order to prevent the disability and other complications.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan KTI (Karya Tulis Ilmiah) ini yang berjudul “Tingkat Kualitas Hidup Penderita Kusta di Kota Medan”. Karya tulis ilmiah ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedoteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp. PD-KGEH selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dosen - dosen Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Komunitas (IKM / IKK ) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3. dr. Imam Budi Putra, Sp.KK selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberikan petunjuk, saran dan bimbingan kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.
4. dr. Yetti Machrina, M.Kes selaku dosen penguji I serta dr. Isti Ilmiati Fujiati, M.Sc selaku dosen penguji II yang telah bersedia menguji, memberikan masukan, dan saran kepada penulis.
5. dr. H. Sukardi, Sp.A dan Laksmiwati Angggraini, S.E. selaku orang tua penulis yang telah banyak memberikan semangat dan motivasi dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
6. dr. Syahril Lubis, Sp.KK yang telah banyak memberi bahan kepustakaan dalam penyusunan penelitian ini.
7. dr. Yunilda Andriyani, MKT selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan banyak nasihat dan masukan kepada penulis dalam menghadapi masalah perkuliahan.
8. Komisi Etik dan Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah menyetujui pelaksanaan penelitian ini.
(6)
9. Bidang Pendidikan dan Penelitian Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan izin melakukan penelitian.
10. dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp. KK selaku ketua SMF Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Kusta dr. Pirngadi Medan, dan pak Amin Nasution serta seluruh staf kusta di poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum Pirngadi Medan atas dukungan, semangat, dan bantuan dalam pengambilan data penelitian ini.
11. Teman-teman seperjuangan penulis Rafi Junior Adnani, dan kak Sumika Irnanda, serta teman-teman yang telah mendukung penuh selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini Harry Andrean, M. Nawal Hasya, Ayub Basaldi, M. Ikhsan, Fairuz Syarifuddin, Wawan Harimawan, Setia Yuda Nugraha, Okmaronab Febriza, Sri Nauli Dewi, Medina Muslim, dan Puja Nastia.
12. Seluruh civitas academica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah membantu selama perkuliahan.
Demikian ucapan terima kasih ini disampaikan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca, dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Medan, 12 Desember 2011
(7)
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Persetujuan .………. .. i
Abstrak... ii
Abstract………... ii
Daftar Isi... iv
Daftar Tabel... v
Daftar Lampiran... vi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Rumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 4
1.4.Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 6
2.1. Kusta ... 6
2.1.1 Defenisi Kusta ... ... 6
2.1.2 Epidemiologi... 6
2.1.3 Gejala Klinis ... 8
2.1.4 Klasifikasi ... 9
2.1.5 Patogenesis ... 10
2.1.6 Pemeriksaan... 13
2.1.7 Pengobatan... . 14
2.1.8 Prognosis... .. 15
2.1.9 Reaksi kusta... 15
2.1.10 Cacat Kusta... 17
2.1.11 Rehabilitasi... 19
2.1.12 Pencegahan Cacat Kusta... 20
2.1.13 Relaps... 21
2.2. Kualitas Hidup ... 22
(8)
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 24
3.2. Defenisi Operasional... 24
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian ... 28
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 28
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 28
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29
4.5. Metode Analisis Data... 29
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian 5.1.1. Deskripsi tempat penelitian... 30
5.1.2. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin... 30
5.1.3. Distribusi subjek berdasarkan umur... 31
5.1.4. Distribusi subjek berdasarkan jenis pekerjaan... 31
5.1.5. Distribusi subjek berdasarkan lama menderita kusta... 32
5.1.6. Distribusi subjek berdasarkan tipe kusta... 32
5.1.7. Gambaran kualitas hidup subjek... 33
5.2. Pembahasan... 41
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 46
6.2. Saran... 47
(9)
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel
1. Distribusi subjek berdasarkan jenis kelamin... 30
2. Distribusi subjek berdasarkan umur... 31
3. Distribusi subjek berdasarkan jenis pekerjaan... 31
4. Distribusi subjek berdasarkan lama menderita kusta... 32
5. Distribusi subjek berdasarkan tipe kusta... 32
6. Distribusi kualitas hidup subjek menurut kesehatan dan penampilan fisik... 33
7. Distribusi penilaian kualitas hidup kesehatan dan penampilan fisik... 34
8. Distribusi aktivitas fisik subjek... 34
9. Distribusi kualitas aktivitas fisik subjek... ... 35
10. Distribusi ekonomi subjek... 35
11. Distribusi kualitas tingkat ekonomi subjek... 36
12. Gambaran psikologis subjek... ....36
13. Kategori keadaan psikologis subjek... 37
14. Distribusi kehidupan dan dukungan sosial subjek... 37
15. Kategori kehidupan dan dukungan sosial subjek... 38
16. Gambaran kepuasan tidur dan fungsi seksual subjek... 39
17. Kategori kepuasan tidur dan fungsi seksual subjek... 39
(10)
19. Kategori kehidupan spiritual subjek... 40 20. Distribusi kualitas hidup subjek menurut skala penilaian... 41 21. Distribusi kualitas hidup subjek... 41
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Riwayat Hidup 2. Rancangan lembar penelitian 3. Surat Izin Penelitian
4. Ethical Clearance 5. Data Induk
(12)
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Selain berbagai permasalahan multidimensional tersebut, kusta dapat menyebabkan kecacatan sehingga nantinya akan mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Tujuan:Mengetahui tingkat kualitas hidup penderita kusta di kota Medan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Data diambil secara angket menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari World Health Organization Quality of Life 100 (WHO QOL-100) Field Trial 1995 dan Finlay Kahn Dermatologic Quality Life Index (DLQI) dan dilakukan pengukuran secara tujuh kriteria, yaitu kesehatan dan penampilan fisik, aktivitas fisik, ekonomi, psikologis, kehidupan dan dukungan sosial, kepuasan tidur dan fungsi seksual, dan kehidupan spiritual. Sampel sebanyak jumlah populasi.
Hasil: Hasil penelitian didapatkan 17 pasien penderita kusta dengan distribusi 12 orang laki-laki dan 5 orang perempuan dengan distribusi umur paling banyak 25-30 tahun (35,4%), terjadi kecacatan tingkat 1 pada tangan dan kaki (70,6%) dan kecacatan tingkat 2 (29,4%), tingkat kecacatan tingkat 1 pada mata (11,8%), penghasilan subjek yang berada di atas UMR (58,8%). Pada penilaian psikologis didapatkan bahwa keluhan paling banyak adalah depresi ringan (52,9%) dan stress ringan (58,8%). Pada penilaian kehidupan sosial didapatkan tidak ada pengucilan dan hanya sebagian kecil yang mengasingkan diri dari masyarkat (29,4%). Pada penilaian tingkat kualitas hidup didapatkan tingkat kualitas hidup sedang (58,8%) dan tingkat kualitas hidup buruk (41,2%), tidak ada subjek yang memiliki tingkat kualitas hidup yang baik.
Kesimpulan: Mayoritas penderita kusta di kota Medan memiliki tingkat kualitas hidup yang sedang, diharapkan kepada dinas kesehatan untuk meningkat kinerja dalam penanganan dan pencegahan kusta agar tidak terjadi komplikasi yang dapat menimbulkan kecacatan.
(13)
ABSTRACT
Backgrounds: Lepra is one of the contagious disease that implied very complex problems. Lepra is not only implied medical problem, but also social problem, culture problem, economic problem. Lepra is still a threatening disease in community, including medical personnel. This condition is caused by lack of knowledge and wrong assumptions about lepra and its complication (disability).
Objectives:The purpose of this research is to assesed the quality of life of patient with lepra in Medan.
Methods: This research is conducted with descriptive research method. The approach used in the design of this study is cross-sectional study. Data were taken from the questionaire adapted from World Health Organization Quality of Life 100 (WHO QOL-100) Field Trial 1995 and Finlay Kahn Dermatologic Quality Life Index (DLQI). 7 criterias measured include health and body image, physical activities, economies, psychologic, life and social supports, sleep quality and sexual function, and spiritual life. The number of samples is as many as the number of population.
Results: The result showed 17 patients suffering lepra consists of 12 men and 5 women. The most common respondents are in age group is 25-30 years old (35,4%), having first grade disability (70,6%) and second degree disability (29,4%) on hands and feet, having first degree disability on eye (11,8%), and monthly income above the minimum wages (58,8%). On psychological assesment, it’s found that the most common complaint is mild depression (52,9%) and mild stress (58,8%). On social life assesment, it’s found that there is no social isolation and only a few respondents separate from community (29,4%). On quality of life assesment, it’s found that respondents have intermediate quality of life (58,8%) and low quality of life (41,2%), no subject with good quality of life.
Conclusion: The majority of patient with lepra are in the intermediate quality of life, so it’s expected to Ministry of Health to improve the programs preventing and curating lepra in order to prevent the disability and other complications.
(14)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya masalah dari segi medis, tapi juga meluas ke masalah sosial, budaya, ekonomi, keamanan, dan juga ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, kesejahteraaan sosial ekonomi pada masyarakat (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi kusta tahun 2000, sehingga penyakit kusta tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Eliminasi yang dimaksud World Health Organization (WHO) adalah suatu keadaan dimana prevalensi (jumlah penderita yang tercatat) kurang dari 1/10.000 penduduk (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan pada 2009 tercatat 17.260 kasus baru kusta di Indonesia (7,49/100.000 penduduk) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91 per 10.000 penduduk.
(15)
Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat10.706 (Angka Penemuan kasus baru/CDR: 4.6/100.000) dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per 10.000 penduduk.
Di Sumatera Utara insiden (jumlah kasus baru) kusta 192 kasus pada Januari-Desember 2010, dan 12 % dari kasus tersebut adalah anak berumur kurang 15 tahun. Berdasarkan data, jumlah penderita kusta di masing terdapat di Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak 10 penderita, Sibolga 13 penderita, Padang Lawas 10 penderita, penderita, Simalungun 17 penderita, penderita dan Tapanuli Selatan 13 penderita.
WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut: impairment, disability, dan handicap. Sedangkan WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain: Tingkat 0, tingkat 1, tingkat 2 (Kosasih, 2008).
Bayangan cacat kusta menyebabkan penderita seringkali tidak dapat menerima kenyataan bahwa ia menderita kusta. Akibatnya akan ada perubahan mendasar pada kepribadian dan tingkah lakunya. Akibatnya ia aka berusaha untuk menyembunyikan keadaannya sebagai penderita kusta. Hal ini tidak menunjang proses pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan memperbesar resiko timbulnya cacat (Kuniarto, 2006).
Masalah psikososial yang timbul pada penderita kusta lebih menonjol dibandingkan masalah medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh adanya stigma dan leprofobi yang banyak dipengaruhi oleh berbagai paham dan informasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan perilaku masyarakat yang negatif terhadap penderita kusta seringkali menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapat tempat di keluarganya dan lingkungan masyarakat (Kuniarto, 2006).
Akibatnya penderita cacat kusta (PCK) cenderung hidup menyendiri dan mengurangi kegiatan sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung kepada orang lain, merasa tertekan dan malu untuk berobat. Dari segi ekonomi, penderita kusta cenderung mengalami keterbatasan ataupun ketidakmampuan dalam bekerja
(16)
maupun mendapat diskriminasi untuk mendapatkan hak dan kesempatan untuk mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya sehingga kebutuhan hidup tidak dapat terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, padahal penderita kusta memerlukan perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kualitas hidup (Kuniarto, 2006).
WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan lingkungan dimana mereka berada.
1.2 Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah disebutkan dari pembahasan latar belakang di atas, penyakit kusta tidak hanya merupakan masalah medis, tapi juga memiliki dampak terhadap masalah psikis, sosial, dan juga ekonomi yang akan mempengaruhi kualitas hidup dari penderita kusta itu sendiri. Maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana kualitas hidup penderita kusta yang berdomisili di kota Medan?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat kualitas hidup penderita kusta yang berdomisili di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat kesehatan dan penampilan fisik juga besarnya tingkat kecacatan pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
(17)
2. Untuk mengetahui permasalahan dalam melakukan aktivitas fisik pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
3. Untuk mengetahui permasalahan dan tingkat ekonomi pada pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
4. Untuk mengetahui permasalahan psikologis atau kejiwaan yang dialami pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
5. Untuk mengetahui gambaran kehidupan sosial dan dukungan sosial pada pasien kusta yang di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
6. Untuk mengetahui masalah tidur dan fungsi seksual pada pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
7. Untuk mengetahui gambaran kehidupan spiritual pasien kusta di kota Medan yang datang berobat ke RSU Pirngadi Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Sebagai kesempatan untuk menambah pengalaman dan kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu dalam hal melakukan penelitian dan juga sebagai pembelajaran bagi peneliti mengenai penyakit kusta dan pengaruh kusta terhadap kualitas hidup penderita kusta.
2. Bagi ilmu pengetahuan dan dunia penelitian
Sebagai informasi, data, bahan kepustakaan dan bahan rujukan bagi penelitian-penelitian berikutnya yang berkaitan dengan kusta.
3. Bagi Dinas Kesehatan dan Pemerintah Daerah
Sebagai informasi mengenai tingkat kualitas hidup pada penderita kusta, sehingga dapat digunakan sebagai bahan rujukan ataupun pertimbangan dalam penetapan kebijakan dan perencanaan dalam program pencegahan dan pemberantasan penyakit kusta.
4.Bagi Masyarakat
Sebagai informasi mengenai kusta dan tingakat kualitas hidup pada penderita kust bagi masyarakat terutama kader-kader pemerhati masalah kusta.
(18)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kusta 2.1.1. Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen (Kosasih, 2003).
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Tidak ada penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman gambaran klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut “The Greatest Imitator” (Halim, 2000).
2.1.2. Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina (Kosasih ,2003).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan-kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia (Linuwih, 2003).
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Perngkat kedua terdapat di Brazil, dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri
(19)
berada di peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009 (WHO, 2010).
Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak (WHO, 2010).
Peenderita kusta pada tahun 2009 di Rumah Sakit Kusta Sicanang, yang merupkan unit pelayanan terpadu untuk penyakit kusta di Sumatera Utara terdapat sebesar 63 orang (Manurung, 2009).
Menurut Ress (1975) dalam Zulkifli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa. 2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dijangkiti. 3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti.
4. Kesadaran sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah.
5. Lingkungan, fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
2.1.3 Gejala Klinis
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Di dalam tulisan ini hanya akan disajikan tanda-tanda secara umum tidak terlampau mendetail, agar dikenal oleh masyarakat awam, yaitu:
1. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
(20)
3. Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.
4. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit 5. Alis rambut rontok
6. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :
1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil. 2. Anoreksia.
3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus. 4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
6. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
7. Neuritis
2.1.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
1. TT (Tuberkuloid Type)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau bberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau Central Healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahka dapat menyeruai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot (Halim et al, 2000).
2. BT (Borderlines Tuberculoid)
Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak sebrat tipe tuberkuloid,
(21)
biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal (Halim et al, 2000).
3. BB (Mid Borderline)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas (Halim et al, 2000).
4. BL (Borderline Lepramatous)
Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba di tempat predileksi (Halim et al, 2000).
5. LL (Lepramatosa type)
Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilat, berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove and Socking Anesthesi.
Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki (Halim et al,
2000).
(22)
Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara luas oleh para ahli kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang dapat ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan (Halim et al, 2000).
Klasifikasi Internasional (Madrid, 1953) a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuload (T) c. Borderline (B) d. Lepromatosa (S)
Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi 1. Pausibasilar (PB)
Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid dengan BTA negatif (Amirudin et al, 1997).
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif (Amirudin et al, 1997).
2.1.5 Patogenesis
M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa hidung. Pengaruh dari infeksi M. Leprae bergantung pada imunitas seseorang, pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah. Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada sel makrofag di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M. Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk melakukan fagositosis.
(23)
Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular, makrofag tidak mampu menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan bebas sehingga dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, makrofag dapat menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel schwann, basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif (Amirudin et al, 1997).
2.1.6 Pemeriksaan
1. Anamnesis
Anamnase pada pasien kusta sering menjadi tidak informatif, namun hal ini tetap kita lakukan. Tanyakan pada pasien mengenai adanya kebas, rasa seperti tersayat atau terbakar, perubahan lesi pada kulit, kesulitan untuk menggenggam atau berjalan, masalah pada mata, kontak keluarga dengan kusta, riwayat pengobatan dengan dapson (Bryceson et al, 1990).
2. Inspeksi
Jika diperlukan, minta pasien untuk berdiri dan membuka pakaiannya. Perhatikan lesi kulit yang ada pada tubuh pasien di bawah cahaya yang cukup (Bryceson et al, 1990).
3. Tes fungsi saraf a. Rasa raba
Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa perasaan dengan menynggung kulit.
(24)
b. Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus mengakatan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.
c. Rasa suhu
Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi airpanas (40 C) yang lainnya air dingin (20 C) ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai dengan sebelumnya melakukan kontrol pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang dicurigai penderita salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.
d. Tes motoris: Voluntary Muscle Test (Amirudin et al, 1997). 4. Pemeriksaan Bakteriologis
Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M. Leprae.
Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir ini tidak diwajibkan dalam program Nasional. Namun demikian menurut penelitian, pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk mempercepat penegakan diagnosis, karena sekitar &-10% penderita yang datang dengan lesi Pba, merupakan kasus MB yang dini.
Pada kasus yang meragukan harus dilakukan pemeriksaan apusan kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas terlatih. Karena cara pewarnaan yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan dapat dilakukan di puskesmas (PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Amirudin et al, 1997).
5. Pemeriksaan Histopatologik
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinik, secara teliti dan pemeriksaan bakterioskopik. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih meragukan, pemeriksaan histopatologik dapat dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosa penyakit
(25)
kusta, Khisusnya pada anak-anak, bilaman pemeriksaan saraf sensoris tidak mudah dilakukan pada lesi dini, contohnya pada tipe indeterminate, juga untuk menentukan klasifikasi yang tepat (Amirudin et al, 1997).
2.1.7 Pengobatan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil Sulfon) lalu Klofazimin, dan Rifampisin. DDS mulai dipakai
sejak 1948 dan pada tahun 1952 di Indonesia. Kolfazimin dipakai sejak 1962 oleh
Brown dan Hoogerzeil dan rifampisin sejak tahun 1970. pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif, yaitu Ofkloksasin, Minisiklin dan Klartromisin (Kosasih, 2008).
1. DDS (Diamino-difenil-sulfon)
Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintase. Resistensi terhadap dapson timbul akibat kandungan enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa, atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Efek samping yang mungkin timbul anatara lain: erupsi obat, anemia hemofilik, leukopenia, insomnia, neuropati. Namun efek samping tersebut jarang terjadi pada pemberian dosis lazim (Soebono, 1997).
2. Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja dengan menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg BB. Pemberian seminngu sekali dengan jumlah besar dapat menyebabkan flu like syndrome. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit (Soebono, 1997).
Obat ini adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi dengan Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu ditakutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya (Kosasih, 2003).
(26)
3. Klofazimin (lamprene)
Obat ini merupakan turunan iminofenazin dan mempunyai efek bakteriosidal yang setara dengan dapson. Kemungkinan obat ini bekerja melalui gangguan metabolisme oksigen radikal. Obat ini juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat dipakai pada penanggulangan reaksi kusta. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kg BB/ hari.
Efek sampingnya hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri Abdomen, Nausea, Diare, Anoreksi, dan Vomitus). Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. Dapat juga tertimbun di hati. Dapat juga terjadi hiperpigmentasi pada kulit, dan perubahan warna kulit tersebut akan menghilang setelah obat dihentikan (Soebono, 1997).
4. Protionamid dan etionamid
Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkuloasis dan hanya sedikit diakai untuk pengobatan kusta. Dulu kedua obat ini merupakan pengganti klofazimin terutama pada pasien yang merasa keberatan dengan efek hiperpigmentasinya. Obat ini bersifat bakteriostatik, tetapi karena cepat timbul resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta efek hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada pengobatan kusta.
Skema rejimen Multi Drug Therapy (MDT) WHO terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson, rifampsin, dan klofasimin, dengan skema menurut WHOsebagai berikut:
1.Rejimen PB : terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali, dibawah pengawasan ditambah dapson 100 mg/hari (1-2 mg/kg BB) selama 6 bulan.
2. Rejimen MB : terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan,dapson 100 mg. Hari, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 2 tahun.
Setelah penderita menyelesaikan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT (Relasif From Treatment), yang berarti
(27)
tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
1. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas pada lembaran tambahan RFT secara teliti.
a. Semua bercak masih nampak.
b. Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
c. Semua saraf yang masih tebal. d. Semua cacat yang masih ada.
2. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin smear). 3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan skin semar dibuku
register.
Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud RFT, yaitu :
1. Pengobatan telah selesai.
2. Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik agar janga sampai luka.
3. Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk periksaan ulang.
2.1.8. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh pasien.
Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01 – 0,14 % per tahun dalam 10 tahun. Perlu diperhatikan terjadinya resistensi terhadap dapson atau rifampisin.
Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.
(28)
Secara keseluruhan, prognosis kusta pada anak lebih baik karena pada anak jarang terjadi reaksi kusta (Lewis, 2010).
2.1.9 Reaksi Kusta
Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan atau reaksi antigen-antibodi dengan akibat merugikan penderita, terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi (cacat). Reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan tetapi terutama terjadi selama atau sesudah pengobatan. Gambaran klinisnya sangat khas berupa panas, merah, bengkak dan dapat disertai gangguan fungsi saraf. Namun tidak semua gejala reaksi serupa.
1. Reaksi Tipe 1
Reaksi ini banyak terjadi pada penderita yang berada pada spektrum borderline. Reaksi ini terjadi selama pengobatan dan terjadi karena peningkatan hebat respon imun seluler secara tiba-tiba, sehingga terjadi peradangan hebat pada kulit dan saraf. Inflamasi pada saraf dapat mengakibatkna kerusakan dan kecacatan yang timbulnya dalam hitungan hari, jika tidak ditangani secara adekuat. Gejala pada reaksi tipe 1 dapat dilihat berupa perubahan pada kulit, maupun saraf dalam bentuk peradangan. Kulit bengkak, nyeri, dan panas . Pada saraf, manifestasi berupa nyeri dan gangguan fungsi saraf, kdang juga dapat terjadi demam (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
2. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada penderita MB dan merupakan reaksi humoral karena tingginya respon imun humoral pada penderita borderline dan lepromatous, dimana tubuh membentuk antibodi karena salah satu protein M. Leprae bersifat antigenik. Jika terjadi reaksi dengan antibodi sehingga membentuk kompleks imun dan menyebabkan nodul merah yang disebut ENL (Erytema Nodosum Leprosum). Kompleks imun juga biasanya terjadi ekstravaskuler dan dalam sirkulasi darah, sehingga dapat mengendap ke berbagai organ terutama pada kulit, saraf, limfonodus, dan
(29)
testis. Umumnya menghilang dalam 10 hari dan bekasnya daat menimbulkan hiperpigmentasi (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, 2006).
3. Lucio Phenomenon
Reaksi yang terjadi pada tipe LL yang menyerang pasien kusta di negara Meksiko yang tidak mendapatkan pengobatan. Gejalanya berupa bintik merah yang lunak dan nyeri di kulit, biasanya pada ekstremitas, kemudian bintik tersebut menjadi seperti purpura dan bagian tengahnya menjadi ulkus dan akhirnya menjadi seperti krusta yang berwarna coklat atau hitam (Jopling, 1995).
2.1.10. Cacat Kusta
WHO (1980) membatasi istilah dalam cacat kusta sebagai berikut:
1. Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi yang bersifat patologik, fisiologik, atau anatomik, misalnya leproma, ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus, dan absorbsi jari.
2. Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas kehidupan yang normal bagi manusia.
3. Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, jenis kelamin, dan faktor soial budaya. Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial, ekonomi, dan budaya.
WHO Expert Comittee on Leprosy dalam laporan yang dimuat dalam WHO Technical Report Series No. 607 telah membuat klasifikasi cacat bagi penderita kusta. Klasifikasi tersebut antara lain:
1. Tingkat 0 (tidak terdapat gangguan sensibilitas atau deformitas yang terlihat pada kaki, tangan dan mata),
(30)
2. Tingkat 1 (ada gangguan sensibilitas, tanpa ada kerusakan yang terlihat pada tangan dan kaki. Ada gangguan pada mata, tidak terdapat gangguan penglihatan yang berat. Visus 6/60 atau lebih baik).
3. Tingkat 2 (ada deformitas pada tangan dan kaki, visus kurang dari 6/60, terdapat gangguan penglihatan berat) (Kosasih, 2003).
Jenis cacat yang timbul pada penderita kusta dapat dibagi: 1. Kelompok cacat primer
Kelompok kecacatan yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kecacatan sebagai respon kerusakan jaringan terhadap infeksi. Yang termasuk cacat ini:
a. Cacat pada fungsi sensorik, mislanya anestesia, fungsi saraf motorik. Misalnya: claw hand, wrist drop, foot drop, lagoftalmos dan cacat pada fungsi otonom yang dapat menyebabkan kulit kering dan elastisitas kulit berkurang.
b. Infiltrasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit berkerut dan berlipat-lipat. Kerusakan folikel rambut menyebabkan alopesia dan madarosis.
c. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman dapat terjadi tendon, ligamen, sendi, tulang rawan, tulang, testis, dan bola mata (Harijanto, 2000).
2. Kelompok cacat sekunder
Cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anestesi memudahkan luka akibat trauma mekanis maupun termis. Kelumpuhan motorik dapat menyebabkan kontraktur sehingga dapat menimbulkan gangguan mengenggam dan berjalan. Lagoftalmos dapat menyebabkan kornea kering dan terjadinya keratitis (Harijanto, 2000).
Menurut Kuniarto (2006), terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kecacatan pada penderita kusta, yaitu:
a. Pekerjaan b. Status ekonomi
(31)
c. Lama sakit
d. Tidak teratur minum obat e. Riwayat reaksi
f. Lokasi lesi g. Perawatan diri
2.1.11. Rehabilitasi Cacat Kusta
Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas suatu usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya (Depkes, 1977).
Maxwell Jones, Leonardi Mayo, dan Hinsi dan Campbell memberi pengertian rehabilitasi sebagai berikut:
1. Rehabilitasi ditujukan bagi orang cacat dan yang mempunyai keterbatasan atau handicap.
2. Rehabilitasi adalah pertolongan yang berdasarkan pada pemberian hak azasi, bukan pada filanterofi.
3. Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan individu menjadi manusia normal, mandiri dan berguna.
4. Rehabilitasi merupakan upaya yang terpadu dan terkordinasi meliputi berbagai aspek yang dijalankan menurut sistem dan metode tertentu secara bertahap (Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta). Maka dari itu, Penderita Cacat Kusta (PCK) perlu mendapat berbagai macam rehabilitasi melalui pendekatan paripurna mencakup:
1. Rehabilitasi bidang medis:
a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program Pencegahan Cacat (POD), Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau
Self Care Group.
b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan medis dan konseling medik (Soewono, 1997). 2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
(32)
Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma sosial agar PCK dapat berintegrasi sosial meliputi: konseling, advokasi, penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi ditujukan untuk perbaikan ekonomi dan kualitas hidup meliputi: meliputi keterampilan kerja (vocational training), fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri, modal bergulir, modal usaha, dll (Soewono, 1997).
Menurut Soewono (1997), pada rehabilitasi PCK, peranan fisioterapi sangatlah penting, beberapa peranan fisioterapi bagi PCK adalah:
1. Mengembalikan tonus otot yang mengalami kelumpuhan
2. Mencegah atrofi atau kontraktur otot yang mengalami kelumpuhan 3. Mencegah timbulnya kontraktur dan mempertahankan range sendi
normal
4. Membuat kulit tetap lembut dan lunak.
Sebagai kesatuan dari rehabilitasi kusta, maka perlu dilakukan tindakan bedah pada penderita kusta yang cacat, khususnya bedah rekonstruksi, dengan tujuan:
1. Memperbaiki fungsi anggota badan seoptimal mungkin. 2. Mencegah cacat berlanjut menjadi berat
3. memperbaiki penampilan (kosmetik)
Agar pembedahan dapat berhasil dengan baik, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Basil tahan asam (M. Leprae) negatif atau penderita sudah bebas terapi (CTC = Completetion to treatment cure)
2. Bebas reaksi lebih dari 6 bulan
3. Tidak pernah mendapat pengobatan steroid dalam 6 bulan terakhir 4. Kelumpuhan otot sudah menetap
5. Tidak ada kontra indikasi pada operasi umum
6. Penderita kooperatif dan ada motivasi untuk dioperasi
2.2.12 Pencegahan Cacat Kusta
(33)
a. Diagnosis dini
b. Pengbaan secara teratur dan adekuat
c. Diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis d. Diagnosis dini dan penatalaksanaan reaksi 2. Upaya Pencegahan cacat sekunder, meliputi:
Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
a. Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur
b. Bedah rekonstruksi untuk otot yang mengalami kelumpuhan
c. Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi sehingga pada proses penyembuhan tidak terlalu banyak jaringan yang hilang
Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi dan mengalami kelumpuhan otot. (Wisnu, 1997)
2.1.13 Relaps Kusta
Menurut Amirudin (1997), relaps adalah kembalinya penyakit secara aktif kepada penderita yang sesungguhnya telah menyelesaikan pengobatan yang telah ditentukan dan karena itu pengobatannya telah dihentikan oleh petugas yang berwenang
1. Relaps pada pasien kusta PB dapat bermanifestasi:
a. Terjadi pada kulit dan saraf yang klasifikasi tipe kusta asalnya sama b. Manifestasi relaps mungkin lebih jelek dari klasifikasi asalnya, contoh: penderita dengan klasifikasi asal BT dengan relaps dengan ciri-ciri BT atau BL
c. Dapat bermanifestasi relaps dalam bentuk yang lebih baik, contoh: penderita yang asalnya BT dapat relaps dalam bentuk TT
Relaps pada pasien kusta MB dapat bermanifestasi:
a. Terjadi pada kulit dan saraf yang klasifikasi tipe kusta asalnya sama b. Manifestasi relaps mungkin lebih jelek dari klasifikasi asalnya,
contoh: penderita dengan klasifikasi asal BB atau BT dengan relaps dengan ciri-ciri LL
(34)
c. Dapat bermanifestasi relaps dalam bentuk yang lebih baik, contoh: penderita yang asalnya LL dapat relaps dalam bentuk borderline, misalnya BL, BB atau BT
d. Tipe lesi aneh yang disebut histoid dapat terjadi pada beberapa kasus. Relaps yang khas ini disebabkan oleh resistensi obat (terutama terhadap dapson) (Amirudin et al, 1997).
Gambaran klinis relaps:
1. Meluasnya lesi yang telah ada, menebal, eritematosa atau terjadinya infiltrat pada lesi yang sebelumnya telah menghilang atau terbentuknya lesi baru.
2. Penebalan atau kerusakan saraf, atau adanya saraf baru yang terkena 3. Ditemukan bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif dan atau
positif pada lesi yang baru (Amirudin et al, 1997).
2.2.1. Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup, harapan, standar, dan lainnya yang terkait.
Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan hubungan lingkunan dimana mereka berada. Menurut Testa dan Simonson (1998) dalam Peterman, Rothrock, dan Cella (2008), kualitas hidup merepresentasikan apresiasi subjektif pasien terhadap pengaruh penyakit yang dideritanya ataupun pengaruh dari pengobatan penyakitnya terhadap dirinya yang penilaiannya dilakukan secara multidimensional. Kelompok pasien yang memiliki penyakit yang sama dan tujuan terapi yang sama dapat memiliki laporan kualitas hidup yang berbeda dikarenakan oleh perbedaan harapan dan kemampuan beradaptasi dari masing-masing pasien terhadap penyakit yang dideritanya.
Dikutip dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999), Kualitas hidup mencakup :
(35)
a. Gejala fisik
b. Kemampuan fungsional (aktivitas) c. Kesejahteraan keluarga
d. Spiritual e. Fungsi sosial
f. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan) g. Orientasi masa depan
h. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri i. Fungsi dalam bekerja
Penelitian Joseph dan Rao (1999) yang meneliti mengenai kualitas hidup pada penderita kusta, menilai hal-hal dibawah ini sebagai parameter kualitas hidup pada penderita kusta:
a. Kesehatan dan Aktivitas fisik b. Psikologis
c. Tingkat kebergantungan terhadap orang lain d. Hubungan sosial
e. Lingkungan f. Spiritual
(36)
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Gambar 3.1. : Kerangka Konsep Penelitianh
3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Penderita Kusta
Penderita kusta merupakan pasien yang menderita infeksi kronis oleh
Mycobacterium leprae yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis kulit dan
kelamin di unit kusta RSU dr. Pirngadi Medan, baik pasien lama maupun pasien baru.
3.2.2. Cacat Kusta
Kecacatan yang terjadi akibat perjalanan penyakit kusta atau yang disebut cacat primer, maupun kecacatan yang terjadi akibat cacat primer atau yang disebut
Kesehatan dan penampilan fisik
Aktivitas fisik
Kualitas Hidup Penderita Kusta Masalah ekonomi
Masalah psikososial Kehidupan dan dukungan sosial
Kepuasan tidur dan fungsi Kehidupan spiritual
(37)
cacat sekunder yang telah ditetapkan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin RSU dr. Pirngadi Medan.
3.2.3. Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap persepsi dirinya terhadap penyakit yang dideritanya.
Cara ukur: Pengisian Kuesioner
Alat ukur: Kuesioner. Referensi dalam penyusunan kuesioner ini adalah World Health Organization Quality of Life 100 (WHO QOL-100) Field Trial 1995 dan Finlay Kahn Dermatologic Quality Life Index (DLQI). Kuesioner berisi 27 pertanyaan yang terbagi dalam 7 area. Penilaian secara kualitas hidup secara umum dilakukan per kategori.
Skala Ukur: kategori
Hasil ukur : Dilakukan penghitungan secara total maupun per area
Perhitungan secara total: 1-30 : Kualitas hidup baik 30-45 : Kualitas hidup sedang 45-60 : Kualitas hidup buruk 60-72 : Kualitas hidup sangat buruk
Perhitungan per area:
3.2.3.1.Kesehatan dan Penampilan Fisik
Kondisi kesehatan dan penampilan fisik responden setelah menderita kusta Cara ukur: Pengisian kuesioner
Alat Ukur: Kuesioner Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-6 Sedang, jika skor: 7-12 Buruk, jika: 13-16
(38)
3.2.3.2. Aktivitas Fisik
Aktivitas atau kegiatan yang bersifat fisik yang dikerjakan oleh responden sehari-hari
Cara ukur: Pengisian kuesioner Alat ukur: Kuesioner
Skala ukur: kategori
Hasil Ukur: Baik, jika skor: 1-3 Sedang, jika skor: 4-6 Buruk, jika skor: 7-8
3.2.3.3. Masalah ekonomi
Segala permasalahan yang menyangkut aspek ekonomi, dalam hal ini yang ditanyakan adalah penghasilan yang diperoleh responden (dengan mengikuti kriteria Upah Minimum Regional kota Medan yang digunakan sebagai standar minimum yang diberikan pelaku usaha untuk memberikan upah kepada pekerja atau pegawainya dalam lingkungan kerjanya dan sudah diatur dalam peraturan tenaga kerja) untuk memenuhi kebutuhan hidup dan jumlah kebutuhan setelah menderita penyakit kusta.
Cara ukur: Pengisian kuesioner Alat ukur: Kuesioner
Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-3 Sedang, jika skor: 4-6 Buruk, jika skor: 7-8
3.2.3.4 Psikologis
Kondisi kejiwaan yang dihadapi responden dalam kesehariannya setelah mendapat penyakit kusta.
(39)
Alat ukur: Kuesioner Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-6 Sedang, jika skor: 7-12
Jelek, jika skor: 13-16
3.2.3.5. Kehidupan dan dukungan sosial
Kehidupan dalam masyarakat responden setelah menderita kusta, dalam hal ini yang dinilai apakah adanya perilaku negatif dari masyarakt atau responden sendiri terhadap kehidupan sosialnya. Dukungan sosial merupakan dukungan yang diterima responden oleh orang-orang disekitarnya yang berkaitan untuk memberi semangat dalam menjalani hidup
Cara ukur: Pengisian kuesioner Alat ukur: kuesioner
Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-6 Sedang, jika skor: 7-12 Buruk, jika skor: 13-16
3.2.3.6. Kepuasan tidur dan aktivitas seksual
Kualitas tidur dan kehidupan seksual responden setelah menderita kusta Cara ukur: pengisian kuesioner
Alat ukur: kuesioner Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-3 Buruk, jika skor: 4-8
(40)
3.2.3.7. Kehidupan spiritual
Aspek kehidupan yang menyangkut kehidupan beragama dan dalam menjalankan ibadah menurut agama atau kepercayaan sampel setelah menderita kusta.
Cara ukur: Pengisian kuesioner Alat ukur: Kuesioner
Skala ukur: kategori
Hasil ukur: Baik, jika skor: 1-2 Buruk, jika skor: 3-4
(41)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survei deskriptif dengan metode uji potong lintang (cross sectional).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian direncanakan telah dilakukan pada bulan September - Oktober 2011. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan data di unit kusta poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Umum dr. Pirngadi Medan dengan membagikan kuesioner kepada pasien kusta yang datang berobat ke unit kusta tersebut.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi
Populasi adalah seluruh penderita kusta yang bertempat tinggal di kota Medan yang datang berobat ke unit kusta poliklinik kulit dan kelamin RSU dr. Pirngadi Medan pada bulan Oktober - November 2011.
Kriteria Inklusi
1. Penderita kusta dengan rentang umur 20 – 60 tahun. 2. Penderita kusta yang sudah berkeluarga atau menikah.
Kriteria Eksklusi
1. Tidak bersedia mengisi kuesioner. 2. Tidak mengisi kuesioner secara lengkap.
4.3.2 Besar Sampel
Perhitungan besar subjek pada penelitian ini menggunakan metode total
(42)
4.4 Metode Pengumpulan Data
Tiap sampel yang memenuhi kriteria inklusi akan dibagikan kuesioner untuk menilai tingkat kualitas hidup pada penderita kusta.
4.4.1 Uji Validitas
Kuesioner pada penelitian ini menggunakan metode content validity
dimana isi pertanyaan dalam kuesioner ini divalidasi oleh dosen pembimbing.
4.5 Metode dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program SPSS® 17.0. Data yang sudah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan penjelasan mengenai data akan disajikan dalam bentuk narasi.
BAB 5
(43)
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Pirngadi Medan yang terletak di Jalan Prof. H. M. Yamin S.H. No. 47 Medan Sumatera Utara. Rumah sakit umum ini milik pemerintah kota Medan yang merupakan rumah sakit pendidikan dan terakreditasi B juga merupakan salah satu rumah sakit rujukan di Provinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini diresmikan pada tanggal 11 Agustus 1928. Selain menjadi salah satu pusat kesehatan di kota Medan, rumah sakit ini juga melakukan kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara sebagai tempat pendidikan dan penelitian untuk dokter muda dan dokter spesialis. Data penelitian ini diambil secara langsung dari pasien yang datang berobat ke unit kusta yang berada di Poliklinik Kulit dan Kelamin yang terletak di lantai 1. Kunjungan rata-rata tiap bulan pasien kusta yang datang berobat ke unit kusta poliklinik kulit dan kelamin RSUD Pirngadi Medanpada tahun 2010 adalah sebanyak 31 orang.
5.1.2. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
Tabel 1 Distribusi jenis kelamin subjek penelitian
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Laki-laki Perempuan
12 5
70,6 29,4 Total 17 100,0
Dari data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa dari 17 subjek terdapat 12 orang berjenis kelamin laki-laki (70,6%) dan 5 orang berjenis kelamin perempuan (29,4%).
(44)
Tabel 2 Distribusi subjek penelitian
Umur Jumlah (n) Persentase (%)
25-30 31-35 36-40 41-45 46-50 51-55 56-60 6 3 2 2 2 1 1 35,4 17,7 11,8 11,7 11,8 5,9 5,9
Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa umur penderita kusta yang menjadi subjek dalam penelitian ini paling banyak berkisar antara 25-30 tahun (35,4%) dan yang paling sedikit adalah kisaran umur 51-55 tahun (5,9%) dan 56-60 tahun (5,9%). Jika dilihat dari penggolongan usia berdasarkan tingkat produktivitasnya (15-45 tahun), maka didapatkan bahwa 13 subjek berada dalam usia produktif.
5.1.4. Deskripsi subjek berdasarkan jenis pekerjaan
Tabel 3 Distribusi subjek berdasarkan jenis pekerjaan
Jenis Pekerjaan Jumlah (n) Persentase (%)
Pekerja tidak tetap Ibu Rumah Tangga Wiraswasta Pegawai swasta Mahasiswa 6 4 2 4 1 35,3 23,5 11,8 23,5 5,9
Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis pekerjaan yang paling banyak pada subjek adalah pekerja tidak tetap (35,3%) dan yang paling sedikit ialah jenis pekerjaan sebagai mahasiswa hanya 1 orang saja (5,9%) sementara sisanya ialah ibu rumah tangga sebanyak 4 orang (23,5%), pegawai swasta sebanyak 4 orang (23,5%), dan wiraswasta sebanyak 2 orang (11,8%). Maka jika dilihat dari distribusi jenis pekerjaan, dimana seseorang akan dikatakan tidak produktif jika tidak memiliki penghasilan sendiri, maka dapat disimpulkan bahwa 11 orang subjek tidak produktif. Dimana 6 orang subjek memiliki
(45)
pekerjaan tidak tetap, 4 orang subjek ibu rumah tangga, dan 1 orang subjek sebagai mahasiswa.
5.1.5. Distribusi subjek berdasarkan lama menderita kusta
Tabel 4 Distribusi subjek berdasarkan lama menderita kusta
Lama Kusta Jumlah (n) Persentase (%)
1 bulan – 6 bulan 7 bulan – 11 bulan 1 tahun – 2 tahun Diatas 2 tahun
5 3 8 1
29,4 17,6 47,1 5,9
Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut diatas didapatkan bahwa sebagian besar subjek atau 8 orang subjek (47,1%) sudah menderita kusta 1 tahun – 2 tahun. Kemudian 5 orang subjek sudah menderita kusta selama 1 bulan – 6 bulan (29,4%), 3 orang sudah menderita kusra selama 7 bulan – 11 bulan (17,6%), dan 1 orang sudah menderita kusta diatas 2 tahun (5,9%)
5.1.6. Distribusi subjek berdasarkan tipe kusta
Tabel 5 Distribusi subjek berdasarkan tipe kusta
Tipe Kusta Jumlah (n) Persentase (%)
Tipe PB Tipe MB
5 12
29,4 70,6 Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa dari 17 sampel terdapat 12 orang terkena penyakit kusta tipe MB (70,6%) dan 5 orang terkena penyakit kusta tipe PB (29,4%)
(46)
Tabel 6 Distribusi kualitas hidup menurut kesehatan dan penampilan fisik
Skala Jumlah (n) Persentase (%)
Penilaian terhadap kesehatan fisik
Sangat baik Baik
Kurang baik Buruk
Kecacatan tangan dan kaki
Mati rasa (Kecacatan tingkat 1) Jari kontraktur (Kecacatan tingkat 2)
Kecacatan mata
Normal/tidak ada gangguan (Tingkat 0) Madarosis (Tingkat 1)
Penampilan fisik Tidak terganggu Sedikit terganggu Terganggu Sangat tergangu 0 4 12 1 12 5 15 2 3 6 8 0 00,0 23,5 70,6 5,9 70,6 29,4 88,2 11,8 17,6 35,3 47,1 00,0
Berdasarkan data tersebut diatas, subjek yang menilai bahwa 12 orang subjek (70,6%) merasa kesehatan fisiknya kurang baik, 4 orang subjek (23,5%) merasa kesehatan fisiknya baik, dan 1 orang subjek (5,9%) merasa kesehatan fisiknya buruk. menderita kecacatan tingkat 1 untuk organ tangan dan kaki adalah sebesar (70,6%), sedangkan untuk kecacatan tingkat 2 organ tangan dan kaki sebesar (29,4%). Subjek yang menderita kecacatan tingkat 0 untuk organ mata adalah sebesar (88,2%), sedangkan untuk kecacatan tingkat 1 organ mata sebesar (11,8%). Pada penilaian terhadap penampilan fisik, 3 orang subjek (17,6%) merasa bahwa tidak terganggu dengan penampilan fisiknya, 6 orang subjek (35,3%) merasa sedikit terganggu dengan penampilan fisiknya, sedangkan 8 orang subjek (47,1%) merasa terganggu dengan penampilan fisiknya.
Tabel 7 Distribusi penilaian kualitas kesehatan dan penampilan fisik
Kesehatan dan penampilan fisik Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Sedang Buruk 5 12 0 29,4 70,6 00,0
Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut diatas, didapatkan bahwa 5 orang subjek (29,4%) memiliki nilai kesehatan dan penampilan fisik yang tergolong baik,
(47)
sedangkan 12 orang subjek (70,6%) memiliki nilai kesehatan dan penampilan fisik yang tergolong sedang dan tidak dijumpai nilai kesehatan dan penampilan fisik yang buruk.
Tabel 8 Distribusi aktivitas fisik subjek
Skala Jumlah (n) Persentase (%) Waktu aktivitas Normal Berkurang Jumlah Aktivitas Normal Berkurang Ketergantungan Tidak ada Sedikit Sangat tergantung 7 10 7 10 4 13 0 41,2 58,8 41,2 58,8 23,5 76,5 00,0
Berdasarkan data diatas, didapati sekitar 10 orang subjek (58,8%) mengurangi waktu beraktivitasnya sehari-hari akibat penyakit kusta yang dideritanya. Sedangkan 7 subjek (41,2%) tidak mengurangi waktu beraktivitasnya. Selain waktu beraktivitas, dilakukan penilaian mengenai jumlah aktivitas yang dilakukan subjek sehari-hari dan didapati 10 orang (58,8%) subjek mengurangi jumlah aktivitasnya sehari-hari akibat penyakit kusta yang dideritanya sedangkan 7 orang subjek (41,2%) tidak mengurangi jumlah akitivitas yang dilakukan sehari-hari.
Kemudian dilakukan juga penilaian mengenai ketergantungan subjek dengan orang lain dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, dan didapati 13 subjek (76,5%) sedikit bergantung dengan orang lain dalam melakukan aktivitas fisik. Dan 4 subjek (23,5%) tidak memiliki ketergantungan dengan orang lain dalam melakukan aktivitas fisiknya sehari-hari.
Tabel 9 Distribusi kualitas aktivitas fisik subjek
(48)
Baik Sedang Buruk 4 7 6 23,5 41,2 35,3
Total 17 100,0
Berdasarkan data atersebut diatas, didapatkan bahwa 4 orang subjek (23,5%) memiliki aktivitas fisik yang tergolong baik, 7 orang subjek (41,2%) memiliki aktivitas fisik yang tergolong sedang, dan 6 orang subjek (35,3%) memiliki aktivitas fisik yang tergolong buruk.
Tabel 10 Distribusi ekonomi subjek
Skala Jumlah (n) Persentase (%)
Penghasilan Dibawah UMR Diatas UMR Pengeluaran Sangat banyak Banyak Sedikit Tidak ada penambahan 6 11 1 4 12 0 41,2 58,8 5,9 23,5 70,6 0,00
Berdasarkan data tersebut diatas, didapati bahwa bahwa penghasilan per bulan dari 11 subjek (58,8%) berada diatas Upah Minimum Regional (UMR) Kota Medan, sedangkan 6 orang subjek (41,2%) memiliki penghasilan per bulan yang berada dibawah UMR Kota Medan. Kemudian dilakukan penilaian apakah terdapat penambahan pengeluaran akibat penyakit kusta yang diderita oleh subjek. Dari data diatas didapatkan 12 orang subjek (70,6%) memiliki sedikit penambahan pengeluaran akibat penyakit yang diderita. Selain itu, 4 orang subjek (23,5%) memiliki banyak penambahan pengeluaran akibat penyakitnya dan 1 orang subjek (5,9%) memiliki penambahan pengeluaran yang sangat banyak.
Tabel 11 Distribusi kualitas tingkat ekonomi subjek
Ekonomi Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Sedang 0 16 00,0 94,1
(49)
Buruk 1 5,9
Total 17 100,0
Berdasarkan data diatas, didapatkan bahwa 16 orang subjek (94,1%) memiliki tingkat ekonomi sedang, sedangkan hanaya 1 orang subjek (5,9%) yang memiliki tingkat ekonomi yang buruk. Dan tidak ditemukan subjek dengan tingkat ekonomi yang baik.
Tabel 12 Gambaran psikologis subjek
Skala Jumlah (n) Persentase (%)
Bersemangat Selalu Sering Jarang Tidak pernah Depresi Sering Jarang Tidak ada Stress Stress berat Stress ringan Tidak ada 0 11 6 0 6 9 2 4 10 3 00,0 64,7 35,3 00,0 35,3 52,9 11,8 23,5 58,8 17,6
Berdasarkan data tersebut diatas, didapat distribusi keadaan psikologis dari subjek. Pada penilaian semangat/senang, didapati 11 subjek (64,7%) merasa sering bersemangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari, sedangkan 6 subjek (35,3%) merasa jarang bersemangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pada penilaian depresi/merasa sedih atau terpuruk, didapati 9 orang subjek (52,9%) jarang merasa depresi, kemudian pada 6 orang subjek (35,3%) didapati sering merasa depresi, dan pada 2 orang subjek (11,8%) didapati tidak pernah merasa depresi akibat penyakit yang dideritanya.
Pada penilaian mengenai stress, didapati 10 orang (58,8%) jarang merasa stress dan pada 4 orang subjek (23,5%) didapati sering merasa stress, dan 3 orang subjek (17,6%) tidak pernah merasa stress akibat penyakit yang dideritanya. Tabel 13 Kategori keadaan psikologis subjek
(50)
Baik Sedang Buruk 2 14 1 11,8 82,3 5,9
Total 17 100,0
Data diatas merupakan kategori keadaan psikologis subjek jika dilihat pada skor yang didapat dari pengisian kuesioner. Berdasarkan data diatas didapatkan bahwa pada sebagian besar subjek (82,3%) memiliki keadaan psikologis yang sedang. Pada 2 orang subjek (11,8%) didapati memiliki keadaan psikologis yang baik, dan 1 orang subjek (5,9%) memiliki keadaan psikologis yang buruk.
Tabel 14 Distribusi kehidupan dan dukungan sosial subjek
Skala Jumlah (n) Persentase (%)
Cari kerja Sulit Tidak sulit Asingkan diri Ya Tidak Dikucilkan Ya Tidak Waktu Keluarga Selalu Saat tertentu Dukungan Keluarga Ada Tidak ada Dukungan Teman Ada Tidak ada Kepuasan Puas Tidak 9 8 5 12 0 17 9 8 17 0 15 2 12 5 52,9 47,1 29,4 70,6 00,0 100,0 52,9 47,1 100,0 00,0 88,2 11,8 70,6 29,4
Berdasarkan data tersebut diatas, didapatkan bahwa 9 orang subjek (52,9%) mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, sedangkan 8 orang subjek (47,1%) tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Kemudian dari data diatas juga didapatkan bahwa 5 orang subjek (29,4%) mengasingkan diri dari kehidupan dengan masyarakat sekitar, sedangkan 12 orang subjek (70,6%) tidak mengasingkan diri dan hidup berbaur dengan masyarakat.
(51)
Dari data diatas juga didapat, bahwa 17 orang subjek (100,0%) tidak dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Kemudian dari data diatas didapatkan 9 orang subjek (52,9%) menghabiskan hampir setiap harinya bersama dengan keluarga, sedangkan 8 orang subjek (47,1%) menghabiskan waktu bersama keluarga hanya pada saat-saat tertentu saja.
Dari data diatas juga didapatkan bahwa 17 orang subjek (100%) mendapat dukungan dari keluarga untuk menghadapi penyakit kusta yang dideritanya. Selain itu, didapatkan bahwa 15 orang subjek (88,2%) mendapatkan dukungan yang sama dari teman atau kenalan mereka, sedangkan 2 orang subjek (11,8%) tidak mendapatkan dukungan dari teman atau kenalan mereka. Dan keduanya merupakan subjek yang menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitar.
Berdasarkan tabel diatas juga didapatkan data mengenai kepuasan subjek terhadap dukungan yang diberikan kepada mereka. Dari data tersebut, didapatkan 12 orang subjek (70,6%) merasa puas atas dukungan yang diberikan kepada mereka, sedangkan 5 orang subjek (29,4%) merasa tidak puas atas dukungan yang diberikan kepada mereka.
Tabel 15 Kategori kehidupan dan dukungan sosial subjek
Kehidupan dan dukungan sosial Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Sedang Buruk
2 14 1
11,8 82,3 5,9
Total 17 100,0
Data diatas merupakan kategori kehidupan dan dukungan sosial subjek berdasarkan skor yang didapat dari pengisian kuesioner. Berdasarkan data diatas didapatkan bahwa 14 orang subjek (82,3%) memiliki kehidupan dan dukungan sosial dengan kategori sedang, 2 orang subjek (11,8%) memiliki kehidupan dan dukungan sosial dengan kategori baik, dan hanya terdapat 1 orang subjek (5,9%) yang memiliki kehidupan dan dukungan sosial dengan kategori buruk.
(52)
Skala Jumlah (n) Persentase (%) Tidur
Terganggu Tidak terganggu
Seksual
Tidak melakukan hubungan seksual Melakukan hubungan seksual
5 12 17 0 29,4 70,6 100,0 00,0
Berdasarkan data diatas, didapatkan 5 orang subjek (29,4%) mengalami gangguan tidur dan kesemua subjek tersebut merupakan pasien yang datang berobat ke unit kusta dengan keluhan reaksi kusta. Sedangkan 12 orang subjek (70,6%) tidak mengalami gangguan tidur. Selain itu, didapatkan data bahwa 17 orang subjek (100%) tidak melakukan hubungan seksual dalam 4 minggu terakhir. Tabel 17 Kategori kepuasan tidur dan fungsi seksual subjek
Kepuasan tidur dan fungsi seksual Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Buruk 12 5 70,6 29,4
Total 17 100,0
Data diatas berdasarkan kategori kepuasan tidur dan fungsi seksual subjek berdasarkan skor pada pengisian kuesioner. Berdasarkan data tersebut diatas didapatkan bahwa 12 orang subjek (70,6%) memiliki kepuasan tidur dan fungsi seksual yang termasuk kategori baik, sedangkan 5 orang subjek (29,4%) memiliki kepuasan tidur dan fungsi seksual yang termasuk kategori buruk.
Tabel 18 Gambaran kehidupan spiritual subjek
Skala Jumlah (n) Persentase (%)
Pertambahan ibadah
Ya Tidak
Tempat beribadah
Tempat ibadah umum Hanya di rumah
15 2 12 5 88,2 11,8 70,6 29,4
(53)
Berdasarkan data tersebut diatas, didapatkan bahwa 15 orang subjek (88,2%) lebih banyak melakukan ibadah pada saat setelah sakit dibandingkan sebelum menderita kusta, sedangkan 2 orang subjek (11,8%) tidak lebih banyak melakukan ibadah saat setelah sakit jika dibandingkan dengan sebelum menderita kusta. Kemudian dari data diatas juga didapat bahwa 12 orang subjek (70,6%) tetap melakukan ibadah di rumah ibadah dengan masyarakat, sedangkan 5 orang subjek (29,4%) lebih memilih hanya melakukan ibadah di rumah setelah menderita kusta.
Tabel 19 Kategori kehidupan spiritual subjek
Kehidupan spiritual Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Buruk
12 5
70,6 29,4
Total 17 100,0
Data diatas merupakan kategori kehidupan spiritual berdasarkan skor yang didapat dari pengisian kuesioner. Berdasarkan data tersebut diatas didapatkan bahwa 12 orang subjek (70,6%) memiliki kehidupan sosial dengan kategori baik, dan 5 orang subjek (29,6%) dengan kategori buruk.
Tabel 20 Distribusi kualitas hidup subjek menurut skala penilaian
Skala Rata-Rata SD
Kesehatan dan Penampilan fisik Aktivitas
Ekonomi Psikologis Kehidupan Sosial
Kualitas Tidur dan Seksual Kehidupan Spiritual
7,17 5,17 5.35 8,52 10,35 3,29 2,29
1,33 1,62 0,99 2,18 1,45 0,46 0,46
(54)
Tingkat Kualitas Hidup Secara Umum 42,11 5,80
Data diatas merupakan gambaran kualitas hidup subjek berdasarkan dari skor rata-rata tiap area yang diukur dari kuesioner untuk menentukan kualitas hidup subjek. Berdasarkan data diatas, maka nilai kualitas hidup secara termasuk dalam kategori “sedang”, yaitu dengan rata-rata skor Tingkat Kesehatan Secara Umum bernilai 42,11 (SD 5,80).
Tabel 21 Distribusi kualitas hidup subjek
Kualitas Hidup Jumlah (n) Persentase (%)
Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
0 10 7 0
00,0 58,8 41,2 00,0 Total 17 100,0
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa kualitas hidup sebagian besar subjek yang mendatangi klinik kusta di RSU Pirngadi Medan pada bulan September-Oktober 2011 masih dalam kategori sedang (58,8%).
5. 2. Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki. Menurut Ress dalam Zulkifli (2002), kusta paling banyak diderita laki-laki, selain itu menurut Azizah (2007) dalam penelitian yang dilakukannya mengenai masalah interaksi sosial penderita kusta di Kecamatan Brodong, Lamongan, didapati bahwa kusta juga lebih banyak diderita oleh laki-laki (54%), maka jika dilihat dari data diatas, penelitian yang dilakukan oleh Ress dan Azizah tersebut sesuai dengan hasil pada penelitian ini.
Pada penellitian ini didapatkan bahwa tipe kusta yang paling banyak pada responden adalah tipe MB. Menurut Case Detection Rate (CDR) WHO pada tahun 2008, didapatkan bahwa penderita kusta tipe MB (82,15%) memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding tipe PB (17,85%),. Dan pada penelitian ini juga
(1)
KUESIONER TINGKAT KUALITAS HIDUP
PENDERITA KUSTA
Nama Responden :
Jenis Kelamin :
Umur :
Alamat :
Pekerjaan :
Pendidikan terakhir : Lama Menderita Kusta :
Instruksi: Silahkan membaca masing-masing pertanyaan secara seksama dan pilih jawaban yang menurut anda paling mendekati apa yang terjadi atau yang anda rasakan pada diri anda dengan memberi tanda check list pada kotak yang sudah disediakan.
KESEHATAN DAN PENAMPILAN FISIK
1. Secara umum, bagaimana anda menilai kesehatanfisik anda saat ini?
Sangat baik (Anda merasa sangat sehat, dan yakin tidak ada yang salah dengan tubuh anda )
Baik ( merasa tidak ada yang salah dengan tubuh anda ) Cukup baik
(Saya merasa ada kejanggalan atau ada yang salah dengan tubuh saya atau saya menderita penyakit ringan )
Buruk
(Anda merasa yakin bahwa anda menderita suatu penyakit yang serius )
2. Bagaimana keadaan tangan atau kaki anda? a. Mati rasa
b. Jari-jari kaki/tangan bengkok c. Jari-jari tangan/kaki putus d. Mati rasa disertai jari bengkok atau putus
(2)
a. Normal (tidak ada gangguan sama sekali) b. Tidak mampu menutup mata, bulu mata atau alis rontok c. Penglihatan kabur/berkurang
d. Buta
4. Seberapa jauh anda terganggu dengan penampilan fisik anda? a. Tidak terganggu sama sekali (tidak merasa malu) b. Sedikit terganggu (merasa malu)
c. Terganggu ( merasa sangat malu)
d. Sangat terganggu (merasa sangat malu sehingga tidak berani keluar rumah)
AKTIVITAS
5.Apakah penyakit anda menyebabkan anda mengurangi waktu yang anda gunakan untuk beraktivitas/bekerja?
a. Ya b. Tidak
6. Apakah penyakit anda menyebabkan anda menyebabkan anda menyelesaikan lebih sedikit pekerjaan dari yang seharusnya dapat anda lakukan?
a. Ya b. Tidak
7. Apakah penyakit anda menyebabkan anda mengalami keterbatasan dalam melakukan pekerjaan dibandingkan dengan orang lain yang tidak sakit? ( Jika jawaban anda tidak, maka silahkan lanjut ke pertanyaan no. 9 )
a. Ya b. Tidak
8. Jika ya, seberapa terbatas anda melakukan aktivitas tersebut?
a. Sedikit terbatas, mis : masih bisa melakukan beberapa aktivitas yang ringan maupun berat walaupun dengan sedikit bantuan orang lain atau tanpa dibantu sama sekali
b. Sangat terbatas, mis: tidak bisa melakukan aktivitas sama sekali, sehingga sangat bergantung dengan orang lain
(3)
MASALAH EKONOMI
9. Dalam sebulan berapa pendapatan/penghasilan yang anda peroleh dari pekerjaan anda sehari-hari? .
a. Dibawah Rp 1.200.000
b. Rp. 1.200.000 – Rp 3.000.000 c. Rp. 3.100.000 – Rp 5.000.000 d. Diatas 5 juta rupiah
10. Seberapa banyak penyakit anda menyebabkan bertambahnya kebutuhan sehari-hari yang harus anda penuhi?
a. Sangat Banyak (membeli obat, perlengkapan perawatan diri, alat
perlindungan diri)
b. Banyak (membeli obat dan perlengkapan perawatan diri) c. Sedikit ( hanya untuk membeli obat)
d. Tidak ada
PSIKOLOGIS
11. Pada saat anda didiagnosa oleh dokter bahwa anda menderita kusta, apa yang anda rasakan?
a. Sedih b. Rendah diri
c. Mearas tidak percaya d. Berusaha tabah
12. Dalam 2 minggu terakhir, seberapa sering anda merasa senang/bersemangat dalam menjalankan hidup sehari-hari?
a. Tidak pernah
b. Jarang ( 1-5 kali dalam dua minggu
c. Sering ( lebih dari 5 kali dalam dua minggu) d. Selalu / setiap hari
(4)
13. Dalam 2 minggu terakhir, seberapa sering anda merasa sedih ataupun terpuruk dalam menjalankan hidup?
a. Selalu / setiap hari
b. Sering (lebih dari 5 kali dalam dua minggu) c. Jarang (1-5 kali dalam dua minggu)
d. Tidak pernah
14. Dalam 2 minggu terakhir, seberapa sering anda merasa stres atau frustasi atau depresi akibat penyakit yang anda derita?
a. Selalu/setiap hari
b, Sering (lebih dari 5 kali dalam dua mingu) c. Jarang (1-5 kali dalam dua minggu) d. Tidak pernah
KEHIDUPAN DAN DUKUNGAN SOSIAL
15. Apakah penyakit anda mempersulit anda untuk mendapatkan pekerjaan? a. Ya
b. Tidak
16. Apakah anda mengasingkan diri dari orang-orang di sekitar anda akibat penyakit yang anda derita?
a. Ya b. Tidak
17. Apakah anda dikucilkan oleh orang-orang di sekitar anda akibat penyakit yang anda derita?
a. Ya b. tidak
18. Apakah anda merasa anda menjadi beban dalam keluarga akibat penyakit yang anda derita?
a. Ya b. Tidak
(5)
19. Seberapa sering anda menghabiskan waktu bersama keluarga atau kerabat? a. Hampir setiap waktu
b. Hanya pada saat-saat tertentu saja (misalanya hanya pada saat makan atau acara keluarga saja)
20. Apakah anda mendapat dukungan moral untuk menghadapi penyakit anda dari keluarga atau kerabat anda?
a. Ya b. Tidak
21. Apakah anda mendapat dukungan moral untuk menghadapi penyakit anda dari teman atau sahabat anda?
a. Ya b. Tidak
22. Jika Ya, apakah anda puas dengan dukungan moral yang anda terima? a. Puas
b. Kurang/ tidak puas
KEPUASAN TIDUR DAN AKTIVITAS SEKSUAL
23. Apakah penyakit anda menyebabkan terganggunya kualitas tidur anda (misalnya: susah untuk tidur, sering terbangun di malam hari) ?
a. Ya b. Tidak
24. Apakah dalam 4 minggu terakhir, anda ada melakukan hubungan seksual? (Jika tidak, maka silahkan lanjutkan ke pertanyaan no. 26)
a. Ya b. Tidak
25. Apakah penyakit anda menyebabkan anda mengalami gangguan dalam melakukan hubungan seksual?
a. Ya b. Tidak
(6)
26. Apakah pasangan anda menderita kusta sejak pertama kali anda berumah tangga
a. Ya b. Tidak
KEHIDUPAN SPIRITUAL
27. Apakah semenjak anda terkena penyakit, anda lebih sering melakukan ibadah? a. Ya
b. Tidak
28. Apakah sejak anda menderita kusta anda pernah melakukan ibadah secara bersama-sama di tempat ibadah?
a. Ya
b. Tidak (karena malu atau karenatidak diterima masyarakat)
Dengan ini saya menyatakan bahwa jawaban yang saya isikan pada kuesioner ini adalah murni jawaban saya sendiri tanpa paksaan pihak manapun.
Reesponden