Tingkat Kualitas Hidup Secara Umum 42,11
5,80
Data diatas merupakan gambaran kualitas hidup subjek berdasarkan dari skor rata-rata tiap area yang diukur dari kuesioner untuk menentukan kualitas
hidup subjek. Berdasarkan data diatas, maka nilai kualitas hidup secara termasuk dalam kategori “sedang”, yaitu dengan rata-rata skor Tingkat Kesehatan Secara
Umum bernilai 42,11 SD 5,80.
Tabel 21 Distribusi kualitas hidup subjek
Kualitas Hidup Jumlah n
Persentase
Baik Sedang
Buruk Sangat Buruk
10 7
00,0 58,8
41,2 00,0
Total 17
100,0
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa kualitas hidup sebagian besar subjek yang mendatangi klinik kusta di RSU Pirngadi Medan pada
bulan September-Oktober 2011 masih dalam kategori sedang 58,8.
5. 2. Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki. Menurut Ress dalam Zulkifli 2002, kusta paling banyak
diderita laki-laki, selain itu menurut Azizah 2007 dalam penelitian yang dilakukannya mengenai masalah interaksi sosial penderita kusta di Kecamatan
Brodong, Lamongan, didapati bahwa kusta juga lebih banyak diderita oleh laki- laki 54, maka jika dilihat dari data diatas, penelitian yang dilakukan oleh Ress
dan Azizah tersebut sesuai dengan hasil pada penelitian ini. Pada penellitian ini didapatkan bahwa tipe kusta yang paling banyak pada
responden adalah tipe MB. Menurut Case Detection Rate CDR WHO pada tahun 2008, didapatkan bahwa penderita kusta tipe MB 82,15 memiliki jumlah
yang lebih banyak dibanding tipe PB 17,85,. Dan pada penelitian ini juga
Universitas Sumatera Utara
dijumpai hal yang sama, dimana subjek yang menderita kusta tipe MB lebih banyak dibanding tipe PB.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa usia subjek yang paling banyak berada di kelompok umur 25-30 tahun 35,4. Menurut Kosasih 2008, kusta
paling banyak ditemukan pada usia 15-35 tahun. Maka jika dilihat dari data diatas, hal tersebut sesuai dengan temuan pada penelitian ini.
Dari hasil penelitian ini, didapatkan masalah kesehatan fisik dan penampilan subjek setelah terkena kusta merasa kondisi kesehatannya sedikit
terganggu 35,3, sedangkan jika kita lihat dari keadaan fisik dari kulit dan ekstremitas subjek, didapati keluhan paling banyak adalah adanya mati rasa
anasteshia pada anggota tubuh 66,7 sedangkan terjadinya kontraktur pada jari 27,8. Selain itu, dari 17 subjek, terdapat 2 subjek yang mengalami
madaraosis atau rontoknya bulu mata 11,8, sedangkan sisa 15 subjek tidak mengeluhkan adanya gangguan di daerah mata 88,2.
Pada masalah aktivitas fisik, didapatkan hasil bahwa 10 subjek mengurangi waktu yang biasa digunakan untuk beraktivitas akibat penyakit yang
dideritanya 55,6 sedangkan 7 subjek tidak terdapat pengurangan waktu untuk beraktivitas 38,9. Untuk jumlah pekerjaan juga terdapat 10 subjek yang
mengurangi jumlah aktivitas yang dia lakukan setiap harinya 55,6. Untuk masalah keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik, terdapat 13 subjek yang
mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehingga meminta bantuan orang lain 72,2 sedangkan 4 orang subjek tidak memiliki keterbatasan dalam
melakukan aktivitas fisik 22,2. Tingkat keterbatasan dalam melakukan aktivitas berhubungan dengan
tingkat kecacatan dari subjek, hal ini pernah diteliti oleh Slim 2010 pada penderita kusta yang memiliki kecacatan ataupun yang tidak memiliki kecacatan
di Belanda, Dalam penelitian ini, keterbatasan subjek dalam melakukan aktivitas tergolong tinggi, dimana 72,2 subjek membutuhkan bantuan orang lain dalam
melakukan aktivitasnya, sedangkan subjek dengan kecacatan tingkat 2 di daerah ekstremitas hanya 29,4 dan subjek dengan kecacatan tingkat 1 di mata hanya
Universitas Sumatera Utara
11,8. Hal ini tentunya bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Slim tersebut.
Pada penilaian masalah ekonomi, didapatkan bahwa 11 subjek 58,8 memiliki penghasilan diatas UMR Upah Minimum Regional Kota Medan, dan
hanya 6 orang subjek yang memiliki penghasilan dibawah UMR 41,2.. Selain masalah penghasilan juga dilakukan penilaian mengenai apakah ada tidaknya
penambahan kebutuhan yang harus dipenuhi subjek sebagai akibat dari penyakitnya. Dari penelitian didapatkan sebanyak 12 subjek 70,6 memiliki
sedikit kenaikan kebutuhan yaitu harus membeli obat setiap bulannya, sedangkan 4 subjek 23,5 memiliki kenaikan kebutuhan yang banyak dikarenakan harus
membeli alat perlindungan dan perawatan diri yang dikarenakan adanya kecacatan yang dideritanya. Sedangkan 1 orang subjek 5,9 memiliki penambahan
kebutuhan yang sangat banyak akibat penyakit kusta yang dideritanya Menurut Kosasih 2008, dikatakan bahwa mayoritas penderita kusta
adalah orang dengan golongan ekonomi rendah, hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Azizah 2007 pada penderita kusta di Kec. Brondong,
Lamongan. Pada penelitian tersebut, didapati bahwa 58,0 penderita kusta di sana memiliki penghasilan dibawah Rp 500.000 per bulannya. Namun temuan
penelitian tersebut tidak sesuai dengan apa yang ditemukan dalam penelitian ini yang hanya dijumpai 33,3 subjek yang hidup dengan penghasilan dibawah
UMR kota Medan. Menurut Bastaman dalam Firnawati 2010, dalam penelitiannya yang
meneliti mengenai hubungan tingkat penghasilan dengan kecacatan pada kusta, didapatkan hasil bahwa orang dengan tingkat pendapatan rendah memiliki risiko
lebih tinggi untuk terjadinya kecacatan. Dalam penelitian ini, dapat dilihat bahwa jumlah pasien yang mengalami kecacatan tingkat 2 lebih sedikit daripada
penderita kecacatan tingkat 1. Hal ini dapat dikarenakan karena tingkat penghasilan subjek dalam penelitian ini cukup baik, yaitu sebanyak 11 orang
61,1 memiliki penghasilan diatas UMR, walaupun menurut Tauchid 2006 terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi tingkat kecacatan selain tingkat
Universitas Sumatera Utara
penghasilan subjek yaitu tingkat kecacatan, ada tidaknya reaksi kusta dan juga tipe kusta yang diderita subjek.
Pada masalah psikologis, dijumpai bahwa munculnya sebesar 11 orang atau sekitar 52,9 jarang merasa depresi akibat penyakit yang dideritanya,
sedangkan pada 4 orang subjek 35,3 sering merasa depresi, dan 2 orang subjek 11,8 tidak pernah merasa depresi akibat penyakit yang dideritanya. Sedangkan
untuk stress, didapati 4 subjek 22,2 sering mengalami stress akibat penyakit yang dideritanya. Didapati 10 orang subjek 58,8, sedangkan pada 3 orang
subjek tidak pernah mengeluhkan timbul stress akibat penyakit yang dideritanya 17,6.
Dalam penelitian yang dilakukan Siagian 2009 di Yogyakarta yang meneliti tentang hubungan depresi terhadap kualitas hidup pasien kusta,
didapatkan bahwa depresi memiliki pengaruh yang bermakna dalam kualitas hidup pasien kusta. Pada penelitian ini dijumpai sekitar 64,7 subjek yang
mengeluhkan jarang mengalami depresi, mungkin hal ini juga memberi pengaruh pada hasil penelitian yang didapatkan bahwa mayoritas subjek memiliki tingkat
kualitas hidup sedang 58,8, walaupun tentu faktor-faktor lain seperti tingkat penghasilan dan tingkat kecacatan memiliki pengaruh dalam kualitas hidup
subjek. Untuk masalah kehidupan dan dukungan sosial, dimana pada kategori ini
dilihat apakah ada tidaknya dukungan dari masyarakat atau keluarga terhadap subjek dalam menghadapi penyakitnya dan apakah dia merasa puas terhadap
dukungan tersebut atau tidak, apakah adanya pengucilan oleh masyarakat kepada subjek atau malah subjek yang mengucilkan diri dari masyarakat, dan seberapa
sering subjek menghabiskan waktu bersama keluarganya. Dari penelitian, didapatkan 12 subjek merasa puas dengan dukungan yang diterima baik dari
keluarga atau kenalannya 64,6, sedangkan terdapat 5 subjek yang merasa kurang puas dengan dukungan yang diberikan 29,4. Pada kategori ini, terdapat
2 subjek yang mengucilkan diri dari lingkungannya 11,8 dari keseluruhan subjek, dan dari 17 subjek 100,0 tidak ada terjadi pengucilan oleh masyarakat
kepada sampel akibat penyakit yang dideritanya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Karp dan Yoels dalam Azizah 2007, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kehidupan dan interaksi sosial seseorang, yaitu usia, jenis kelamin,
bentuk tubuh, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Pada penelitian ini tidak dilakukan uji analisis mengenai faktor tersebut diatas, namun berdasarkan
penelitian tersebut didapatkan bahwa laki-laki dan subjek dengan penghasilan yang berada di atas Rp 1.000.000 memiliki kehidupan sosial yang lebih baik. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa rat-rata penilaian kualitas kehidupan dan interaksi sosial subjek berada dalam kategori sedang, hal ini dapat dikarenakan karena
sebagian besar subjek penelitian adalah laki-laki dan memiliki penghasilan diatas UMR sehingga sesuai dengan hasil penelitian yang dikemukakan oleh Azizah
tersebut. Pada penilaian masalah tidur dan fungsi seksual, hanya 5 orang subjek
29,4 yang mengeluhkan adanya gangguan tidur. Dan kesemuanya merupakan pasien yang datang ke klinik dengan keluhan reaksi kusta. Untuk fungsi seksual,
tidak bisa dilakukan penilaian karena 17 subjek 100,0 tidak pernah melakukan hubungan seksual dalam 4 minggu terakhir.
Kemudian untuk penilaian kehidupan spiritual, didapati bahwa dari 15 subjek 88,2 mengaku melakukan lebih banyak kegiatan keagamaan setelah terkena
penyakit kusta. Kemudian dilakukan penilaian apakah subjek tetap melakukan ibadah di rumah ibadah umum setelah terkena penyakit atau tidak, dan didapati 12
subjek tetap melakukan ibadah di rumah ibadah 70,6, sedangkan 5 orang subjek memilih untuk melakukan ibadah hanya di rumah 29,4.
BAB 6
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan