27
BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA
A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual
Buya Hamka adalah salah satu seorang tokoh besar islam Indonesia yang sangat populer setelah zaman kemerdekaan. Hamka tidak hanya dikenal sebagai
ulama dan pemuka Islam, Disisi lain beliau pun seorang budayawan, sejarawan, dan juga seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat besar peranannya dalam
mengembangkan faham dan cita-cita Muhammadiyah. Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah sirah,
termasuk daerah negeri sungai batang. Pada hari ahad petang malam senin tanggal 13 Muharram 1326 H atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang Bayi laki-
laki dalam keluarga ulama Dr. H. Abdul Karim Amrullah
47
. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah merasa sangat bahagia lantaran yang lahir dari rahim
istrinya Siti Syafiyah adalah seorang bayi laki-laki yang selalu di dambakannya. Menurut nenek Hamka, ayahnya sangat ingin mempunyai anak lakilaki yang jika
nanti sudah dewasa akan di kirim ke Mekkah untuk belajar agama agar nantinya menjadi ulama seperti dirinya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh Hamka dalam
bukunya Kenang-Kenangan Hidup. Waktu kelahiran Hamka, Ayahnya bergumam tentang makna sepuluh
tahun, ketika beliau ditanya apa makna sepuluh tahun itu, beliau menjawab; sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Mekkah, supaya kelak ia akan menjadi
47
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta, Bulan Bintang 1974, Jilid I, cet Ke-3, h 7- 9
orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti neneknya yang terdahulu.
48
Predikat keulamaan Hamka yang melekat pada dirinya adalah faktor keturuan, terutama dari ayah dan kakeknya. Ayahnya adalah seorang ulama
terkenal di Sumatera Barat, sewaktu muda Hamka dikenal dengan nama Haji Rasul yang dikenal sebagai tokoh ulama ”kaum muda” gerakan pembaharuan
Islam di Minangkabau.
49
Kakek Hamka adalah seorang ulama penganut tarekat Naqsyabandiyah,
50
keturunan salah satu pahlawan Paderi Abdul Arif, yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo yang menyiarkan Islam ke
Padang Barat sampai Maninjau.
51
Hamka kecil diberi nama Abdul Malik, nama itu di ambil dari Dr. Haji Abdul Karim Amrullah syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul
malik pula.
52
Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca Al-qur’an pada ayahnya. Setahun kemudian Abdul Malik telah berusia tujuh tahun, barulah
ayahnya mendaftarkannya sekolah desa sekolah dasar pada pagi hari, kemudian di masukkan lagi sekolah diniyah sekolah agama yang belajar sore harinya.
Pada waktu malam hari Hamka kecil mengaji pada kakak perempuannya seperti yang di utarakannya “…bila anak telah khatam mengaji Al-Quran juz
48
Ibid ., h. 9 Rusydi Hamka, Pribadi dan martabat Buya Hamka, Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1993, cet. Ke-2, h. 1
50
Suatu ajaran tarekat dengan menghadirkan guru dalam ingatan. Cara ini harus ditempuh oleh penganutnya bila mereka sedang mengerjakan Shuluk
51
Hamka, Ayahku , Jakarta: Uminda,1992, cet. Ke-4, h. 46
52
Ibid, h. 64
‘amma, diadakan upacara khataman “.
53
Namun di sekolah dasar Hamka kecil hanya sampai kelas 2 SD.
Rutinitas kegiatan belajar yang begitu padat, membuat Hamka kecil merasa tertekan, ditambah lagi dengan sikap ayahnya yang otoriter sehingga
menimbulkan perilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka. Hampir setiap hari Hamka bergaul dengan para “Parewa” ,
54
sehingga Hamka terpengaruh dengan tingkah laku kelompok itu seperti berkelahi, menyabung ayam, memanjat
pohon jambu, dan mengambil ikan di tebat milik orang lain.
55
Pada tahun 1918, ayah Hamka Haji Rasul mendirikan madrasah yang bernama “Thawalib School” kemudian ayahnya memasukkan Hamka kecil ke
sekolah tersebut, dengan harapan jika dewasa Hamka juga menjadi ulama seperti dirinya.
56
Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk menyesuaikan hidupnya dengan prinsip sang Ayah, Sejak kecil Hamka hidup terlantar dalam kekecewaan,
Ia lebih banyak bermain dari pada belajar serius, sehingga pada akhirnya“ kenakalannya” berubah menjadi semacam “pemberontakan”.
57
Berbagai rintangan yang dilalui Hamka, tidak melemahkan semangatnya untuk ke tanah Jawa. Setahun kemudian ketika Hamka berusia 16 tahun, tanpa
53
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta, Bulan Bintang 1974, Jilid I, cet Ke-3, h.11
54
Parewa adalah segolongan orang muda yang berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan keluarga hidup mereka berjudi, menyabung ayam, berkelahi, dan lain-lain.
55
Hamka, Kenang-kenangn Hidup, Jakarta, Bulan Bintang 1974, Jilid I, cet Ke-3, h. 43- 44 58
56
M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, Jakarta :Pustaka Panji Mas, 1990, cet. Ke-1, h. 36
57
Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983, cet.
Ke-3, h. 468
bisa dihalangi oleh ayahnya, berangkatlaah Hamka untuk yang kedua kalinya ke tanah Jawa pada tahun 1942. Dalam pencarian ilmu di tanah Jawa Hamka
memulainya dari kota Jogjakarta, kota kelahiran organisasi Muhammadiyah.
B. Pendidikan dan Pengalaman Hamka