BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian, Asal-usul dan Perkembangan Tasawuf 1. Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf menjadi sesuatu yang menarik perhatian bagi sebagian ilmuwan untuk mengkaji fenomena kehidupan religius yang dipandang unik.
Adapun asal kata tasawuf secara etimologis dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Shifa yang artinya suci bersih, ibarat kilat kaca
b. Shuf artinya Bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci kepada pakaian yang indah-indah
c. Shuffah ialah segolongan sahabat-sahabat nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid nabi
d. Sufanah ialah semacam kayu yang tumbuh di padang pasir tanah arab Tetapi setengah dari ahli bahasa dan riwayat terutama di zaman akhir-akhir ini
mengatakan bahwa perkataan “sufi” itu bukanlah dari bahasa Arab tetapi bahasa Yunani lama “theo-sofie” yang artinya ilmu ketuhanan.kemudian di Arab kan
dan di ucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi “tasawuf”
13
Dalam kajian ilmiyah, menurut para ilmuwan dari sekian banyak kesimpulan dan argumentasi tentang asal-usul tasawuf, hanya yang keempat inilah
yang memiliki akurasi dibandingkan dengan yang lainnya.
14
13
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1977, cet ke-XII h. 17 Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1997, cet. Ke-2 h. 21
Walau dari manapun asal pengambilan kata itu, entah dari bahasa Arab ataukah Yunani sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasawuf, atau
kaum sufi itu ialah kaum yang telah menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, seperti kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai baju
yang sederhana, yang tidak menyerupai pakaian orang dunia, biarkan hidup kelihatan kurus kering seperti kayu dipadang pasir, atau memperdalam
penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya.
15
Menurut Drs. H. A Mustofa. Tasawuf adalah: “Suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang
tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah, dengan jalan mensucikan jiwa, berikut dengan melepaskan jiwanya dari belenggu jasadnya, di
samping itu juga mereka melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela.
16
Dalam hal ini tasawuf dapat dipahami sebagai jalan spiritual. Jalan yang memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan
memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan Tuhan, dengan melakukan disiplin-disiplin yang dapat memungkinkan
perjalanannya menuju Tuhan melalui ketersingkapan kasyaf. Di mana dapat terjalin komunikasi langsung pada hirarki tertinggi dari diri manusia yaitu ruh,
Sebuah komunikasi yang dapat dipahami dalam pengalaman bathin. Dimana
15
Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panji mas, 1977 , h. 17
16
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka, 1999, cet. Ke-2, h. 207
ketersingkapan meleburkan pengetahuan yang dapat menyingkapkan hakkikat dari realitas wujud sebagai anugerah dari Yang Maha Pengasih
17
Menurut Dr. Abu Al-wafa Tasawuf adalah moralitas-moralitas berdasarkan Islam. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al-
Salikhin. “Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral.
Al-Kattani berkata: “Tasawuf adalah moral. Barang siapa diantara kalian semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening.” Selanjutnya Dr. Abu Al-wafa
menerangkan: “Dengan pengertian ini jelas bahwa tasawuf berarti semangat Islam, sebab seluruh hukum Islam didadarkan pada landasan moral.”
18
Memang tidak mudah untuk mendapatkan pengertian tasawuf, sebab secara historis tasawuf telah melewati berbagai fase dari setiap pengalaman-
pengalaman batiniah para penempuhnya. Para sufi selalu berusaha untuk mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang
berkembang di tengah masyarakat pada zamannya, terhitung sejak masa awal dan kedua Hijriyyah yang diyakini sebagai cikal bakal tasawuf, sampai pada para sufi
kontemporer. Dari sudut pandang sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultur dan realitas sosial kehidupan umat manusia. Tasawuf telah hadir dan
mengejawantahkan dirinya dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.
19
Kendati demikian, tasawuf pada esensinya adalah kehidupan rohaniyah. Keragaman pemahaman tentang tasawuf tidak lepas dari sisi mana kita melihat.
Hamka, Renungan Tasawuf, Jakarta: Pustaka Panji Mas 1985, h. 2 Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit
Pustaka,1997, cet. Ke-2 h. 10-16
19
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1997, H. i
Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf tidak lepas dari sisi mana kita melihat. Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf
tidak lepas dari latar belakang, berikut tujuan-tujuan dari para penempuhnya. Beberapa sumber Al-Qur’an memang menyatakan tentang hubungan dan
kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Di antaranya: QS.Al-Baqarah. 2: 186
Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah, bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang
yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah- Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka
selalu berada dalam kebenaran. Dr. Harun Nasution mengatakan demikian, bahwa Tuhan mengatakan ia
dekat dengan manusia dan mengabulkan permintaan yang memintanya. Oleh kaum sufi da’a disini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan yang
ingin dekat kepada-Nya.
20
Dalam ayat ini, Dr. Harun Nasution mengatakan bahwa: “Kemana saja manusia berpaling, ia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah dekatnya
manusia dengan Tuhan. Bahkan di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa Tuhan
Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisisme dalam Islam , Jakarta: Penerbit Bulan
BIntang, 1999,cet. Ke-10. h. 57
lebih dekat daripada urat nadi yang ada di lehernya, dan masih ada ayat-ayat lain yang berhubungan dengan hal ini.
21
Seorang sufi dalam rangka pendekatan diri dengan Allah SWT, selain melakukan disiplin spritual penyucian jiwa, ia pun harus menempuh jalan tertentu
yang sangat rumit. Jalan tersebut dinamakan maqam atau stasiun yang harus di laluinya, adapun jumlah maqam yang ditempuh oleh setiap sufi tidak tentu sama.
Abu bakar Muhammad al-Kalabadi mengungkapkan, maqam-maqam yang harus dilalui yaitu: Taubat, zuhud, shabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakal, ridha,
mahabbah, dan ma’rifah. Sedangkan maqam dalam al-Ghazali berawal dari tauhid, wara, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati.
22
Tasawuf merupakan dimensi batin Islam esoterik, Dapat dibedakan dengan masalah keimanan dan syari’ah, karena dua hal tersebut menitik tekankan
pada dimensi eksoterik Tasawuf digambarkan sebagai sebuah aktivitas dalam bentuk pendakian spiritual yang bersifat ruhiyah.
Tentang perbedaan tersebut Ibnu khaldun berpendapat Ilmu agama itu menjadi dua bagian yang satu berkaitan dengan fuqaha dan
para pemberi fatwa, yaitu mengenai hokum-hukum ibadah yang umum, adat- istiadat, maupun niaga. Dan yang satu lagi berkaitan dengan para sufi yang
melakukan latihan rohaniyah, intropeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke
rasa yang lain, ataupun menerapkan terminology-terminologi yang berkaitan dengan hal tersebut.
23
Dalam kitab al-Lu’ma, seperti yang di tulis oleh Abu al-wafa’ Taftazani bahwa al-Thusi menjelaskan tentang posisi ilmmu bathin esoteris dan ilmu lahir
21
Ibid, h. 57
22
Ibid,. h. 60 Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani,. Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1997, cet. Ke-2, h. 92-
95
esoterik. Kedua ilmu tersebut merupakan pengertian yang terkandung di dalam
syari’at. Hal ini pun terlihat di dalam karya al-Qusyairi yaitu, al-Risalah al- Qusyairiyah
. Bahwa: “Syariat ilmu eksoterik berkaitan dengan konsistensi seorang hamba Allah, sedangkan hakikat ilmu esoterik adalah penyaksian.”
24
Yang dimaksud dengan tasawuf di dalam penelitian ini adalah spiritual, yaitu tasawuf sebagai jalan “mendekatkan diri” kepada Allah. Sehingga dengan
kedekatan seorang hamba kepada-Nya, dapat membuka pintu rahmat yang dapat memberikan kejelasan tentang hakikat realitas yang sesungguhnya.
2. Sumber-sumber tasawuf
Sumber-sumber tasawuf dapat ditelusuri dari sumber Islam yaitu Al-Quran dan Sunnah.
25
Adapun teori-teori lain tentang sumber-sumber tasawuf sebagaimana dikemukakan oleh para orientalis, yang menyebutkan bahwa asal-
usul tasawuf bukanlah dari ajaran Islam, melainkan dari luar ajaran Islam. Hal ini sebagaimana di uraikan oleh Dr. Harun Nasution, dengan uraian sebagai berikut:
a. Pengaruh para rahib-rahib Kristen yang hidup sederhana dan mengutamakan kehidupan spiritual.
b. Pengaruh filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal. Meyakini bahwa roh terpenjara di dalam raga. Dengan
demikian manusia harus berusaha melepaskan dan membersihkannya, dengan
24
Ibid Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Penerbit Bulan
BIntang, 1999,cet. Ke-10, h. 57
berusaha meninggalkan kehidupan materil dan berontemplasi untuk mendapat kebahagiaan yang abadi.
c. Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa realitas terpancar dari zat Yang Maha Esa.
d. Ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atma dan Brahman.
e. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Orang yang ingin mencapai nirwana harus masuk kepada kehidupan kontemplatif dan meninggalkan
kehidupan duniawi.
26
Aspek-aspek eksternal tersebut hanyalah sebatas pengaruh yang menambah khazanah tasawuf sebagaimana ia menghasilkan pemahaman-
pemahaman yang sangat beragam. Di dalam penelitian ini aspek-aspek tersebut adalah aspek-aspek yang hanya mempengaruhi interpretasi-interpretasi para sufi
terhadap sumbernya yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
3. Perkembangan Tasawuf
Para ilmuwan yang mengkaji tasawuf mengindikasi asketisme zuhud pada masa abad pertama dan kedua Hijriyyah sebagai cikal bakal dari tasawuf.
Asketisme di sini adalah ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala-pahala akhirat, dan memelihara diri dari adzab-azab akhirat. Hidup dalam ketenangan
dan kesederhanaan penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak
Harun Nasutionh. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Penerbit Bulan BIntang, 1999,cet. Ke-10, h. 55
kepada kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya. Asketisme ini mengarah kepada tujuan moral.
27
Ajaran Islam menjadi faktor utama dalam asketisme. Karena di dalamnya terdapat ajaran tentang zuhud. Ada pula beberapa faktor lain yang menyebabkan
umat Islam pada masa itu memiliki kecenderungan kuat terhadap pola hidup asketis.
28
Abu al-Afifi mengatakan bahwa salah satu faktor perkembangannya adalah “revolusi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial politik yang
berlaku.” Pada waktu itu posisi Islam sebagai kekuatan politik telah menuai hasil dari ekspansinya ke berbagai wilayah, setelah berhasil menaklukkan imperium
Persia, dimana umat Islam berkecukupan dalam hal materil dan berada dalam keadaan ekonomi yang kuat. Keadaan itu ternyata telah membawa perpecahan
akibat perbuatan kekuasaan. Konflik-konflik politik sejak akhir masa khalifah Utsman ibn Affan, mempunyai dampak signifikan terhadap kehidupan religius,
sosial dan politik kaum muslim, kira-kira sampai pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Faktor berikutnya adalah pengaruh dari agama Masehi. Faktor ini
hanya sebatas pengaruh bukan pada tataran sumber. Karena yang dijadikan sumber adalah Al-Qur’an dan sunnah.
29
Pada abad ini para asketis mendasarkan amalnya pada rasa takut pada tokoh-tokoh sebelumnya seperti Hasan al-Basri, lebih mengutamakan hal praktis,
Abu al-wafa’ al Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997, cet. Ke-2, h. 55-90
28
A. Mustofa,. Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka, 1999,cet. Ke-2, h 209-214
29
Abu al-wafa’ al Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997, cet. Ke-2, h. 55-68
berbeda dengan Rabi’ah al-Adawiyyah yang melakukan analisis terhadap ajaran- ajarannya tentang cinta Ilahi. Rabi’ah al-Adawiyyah bukan hanya terkenal karena
kata cinta. Tetapi dia yang pertama-tama menganalisa pengertian cinta dan menguraikannya, antara yang berdasarkan rasa ikhlas dan tulus dengan cinta yang
mengharapkan pamrih.
30
Tasawuf pada periode ini telah mengarah pada suatu sistem yang sempurna. Bahasan ditekankan pada permasalahan moral, tingkah-laku dan
peningkatannya, pengenalan intuitif langsung kepada Allah, kefanaan dalam realitas mutlak, Allah serta pencapaian ketentraman kalbu ataupun kebahagiaan.
Para sufi menggunakan simbol-simbol dalam menggambarkan hakekat realitas- realitas tasawuf. Tasawuf ditandai dengan adanya ciri-ciri psikologis disamping
ciri-ciri moral.
31
Di sini Tasawuf dapat digolongkan menjadi dua aliran. Aliran pertama adalah para sufi yang berpandangan moderat, sedangkan aliran yang kedua
memiliki kecenderungan atau terpesona dengan keadaan fana. Pada aliran kedua menumbuhkan konsep-konsep hubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti
penyatuan hulul dan sedikit banyak aliran mereka berkecenderungan terhadap metafisika. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Abu Yazid al-Bustami dan al-
Hallaj. Ajarannya telah sampai pada pemikiran tentang penyatuan dan mendorong terjadinya penyatuan tersebut.
32
30
Ibid, h. 82-88
31
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka, 1999,cet. Ke-., h. 219
32
Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Penerbit Pustaka, 1997, cet. Ke-2 h. 95
Aliran kedua inilah yang kemudian memberikan corak dan pengaruh terhadap para sufi periode selanjutnya. Perkembangan aliran ini menimbulkan
reaksi-reaksi kuat, bahkan ada usaha memberikan koridor atau batasan-batasan dalam tasawuf yang dianggap telah mengalami banyak penyimpangan dari sumber
al-Qur’an dan sunnah khususnya dalam aqidah Islam. Kemunculan tokoh-tokoh sufi berikutnya lebih memberikan tekanan
terhadap pembaharuan-pembaharuan di bidang tasawuf. Sebuah usaha untuk mengarahkan umat Islam pada pemahaman-pemahaman al-Qur’an dan sunnah
yang lebih otentik, di dalam perspektif sunni. Memang pada abad ke lima Hijriyyah, aliran kalam dari ahlus sunnah wal jama’ah berada pada puncaknya dan
memiliki dominasi kuat. Dengan kritikan-kritikannya yang keras terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj maupun sufi-sufi lain
yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap berbagai bentuk penyimpangan lain yang mulai timbul di dalam tasawuf.
33
Di dalam hal pembaharuan tasawuf, tokoh yang menonjol adalah al- Qusyairi dan al-Hawari. Kemudian pada penggal kedua abad ke lima Hijriyyah
metode keduanya dalam pembaharuan diikuti oleh al-Ghazali. Dari tiga tokoh tersebut, tasawuf sunni memiliki pengaruh kuat yang begitu dalam, terpancang
untuk jangka waktu yang sangat panjang. Salah satu tokoh yang lain adalah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-
Anshari yang lebih dikenal dengan al-Harawi. Dalama karyanya manazil al- Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin,
ia melakukan reinterpretasi terhadap salah satu
33
Ibid, h. 140
doktrin tasawuf yang berhubungan dengan kefanaan yang menjadi pusat perhatian pada saat itu. Dalam bukunya itu, dijelaskan tentang prinsip-prinsip yang menjadi
batasan bagi seseorang yang hendak melakukan perjanjian rohani agar terpelihara dari penyimpangan.
Menurut al-Harawi, ketika seseorang yang berada dalam tingkatan fana berpotensi mengucapkan ucapan ganjil syatani. Karena menurut al-Hawari:
”Hakikat dari kefanaan adalah ketidaksadaran atas segala sesuatu selain Yang Disaksikan, bahkan juga ketidak sadaran terhadap penyaksiannya berikut dirinya
sendiri.” Menurut al-Harawi seseorang yang mengucapkan ucapan ganjil merupakan bagian dari ketidaktentraman di dalam bathin, diakibatkan dari kondisi
tersebut. Dimana kejamakan sirna dalam kesatuan. Selanjutnya menurut al- harawi: ”Ketentraman itu timbul dari perasaab ridha atas bagian yang diterima.
Ketentraman tersebut bisa mencegah ungkapan ganjil buruk, dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batasan tingkatannya.” Jadi seseorang harus
menanamkan di dalam kalbunya yang paling dalam berupa batasan. Bahwa tingkatan kedudukannya tidak lebih dari seorang hamba.
34
Seiring perkembangan tradisi intelektual di dunia Islam yang begitu pesat di penggal kedua abad Hijriyyah. Para sufi-sekaligus pemikir Islam-pada saat itu
bukan hanya disibukkan dengan permasalahn doktrinal di dalam tasawuf, sebagaimana al-Qusyairi dan al-Harawi. Hal ini tidak lepas dari permasalahan
filsafat, teologi, dan pengaruh perkembangan aliran batiniyah Syi’ah. Nama al- Ghazali mulai mencuat pada abad ini. Dengan wawasan dan pengetahuannya yang
34
Ibid, h. 144-147
bercorak ensiklopedis, sekaligus kritis –dengan kritik-kritiknya yang tajam- dan hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kedudukannya sebagai ulama yang
gigih membela tasawuf. Maka tidak heran pada masanya ia digelari Hujjatul Islam di kalangan ummat. Ini menjadi tolak ukur bagi posisinya yang terkemuka.
35
Pada masa al-Ghazali dapat di katakan bahwa tasawuf telah sampai pada metodenya yang lebih praktis dan teliti. Petunjuk bagi para penempuh jalan
tasawuf telah di deskripsikan secara komprehensif oleh al-Ghazali di dalam karya- karyanya seperti di antaranya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Tasawuf sunni telah memiliki
dominasi kuat dibandingkan tasawuf-tasawuf lain yang cenderung tersisihkan di bawah pengaruh kuat al-Ghazali.
36
Pada jangka satu abad kemudian mulai terlihat adanya pengkompromian antara ajaran tasawuf dan filsafat. Yang sekaligus memberikan coraknya pada
aliran tasawuf ini. Aliran ini dikenal dengan tasawuf filosofis, Pada esensi ajaran tersebut berupa pemaduan antara visi dan misi rasional. Dalam ajarannya aliran
tasawuf ini banyak mengadopsi terminologi-terminologi ajaran filsafat yang sudah disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut. Menurut Dr. abu al-wafa’,
yang didasarkan pada para pengkaji tasawuf filosofis. “Perhatian para penganut aliran ini terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud berdasarkan rasa
dzawq yang dijadikan dasar bagi tasawuf mereka. ”Walaupun aliran tasawuf ini
menggunakan termonologi filsafat di dalam doktrinnya. Aliran tasawuf ini dari satu sisi lebih dikenal dengan istilah hikmah
sebagai sintesa dari tasawuf dan filsafat. Tokoh yang pertama kali
35
Ibid, h. 148
36
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Penerbit Pustaka, 1999,cet. Ke-2, h. 228-229
memperkenalkan istilah ini adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul dalam karyanya yang berjudul Hikmah al-Isyraqi. Beliau diyakini sebagai tokoh pertama aliran
tasawuf jenis ini, yang berhasil menggambarkan realitas pengetahuan intuitif dalam kerangka pemahaman yang bersifat rasional.
Walaupun pada abad ini dalam perspektif perkembangan tasawuf lebih difokuskan pada jenis tasawuf falsafi tetapi pada kenyataan sejarahnya tasawuf
sunni dibawah pengaruh al-Ghazali tetap mengalami perkembangan pesat. Tasawuf praktis dan konseptual al-Ghazali tetap memiliki pengaruh.
Dr. Abu al-Wafa’ menyebutkan bahwa: Periode abad keenam dan ketujuh HIjriyyah ini pun tidak kalah pentingnya dengan periode-periode sebelumnya.
Pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat bagi sebagianmasyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip
system
khusus; dimana sebelumnya ia hanya dipraktekkan secara individual, dalam dunia
Islam tampa adanya ikatan satu sama lain.
37
Hamka menanggapi perkembangan tasawuf dengan sangat teliti, Ia mengatakan bahwa perkembangan tasawuf dalam percaturannya dengan
pergerakan waktu dan perubahan-perubahan sosial, hanya dalam bentuk-bentuk aksidentalnya saja, tidak pada tingkatan prinsipil. Ia sendiri pun dalam pemikiran
tasawuf lebih kepada menyesuaikan dengan kondisi-kondisi kemodernan. Mengemas tasawuf agar dapat diterima dikalangan masyarakat modern.
Ia memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat modern, bahwa Islam memiliki tradisi esoterik yang merupakan bagian integral sekaligus jantung dari
ajaran Islam. Ia menawarkannya sebagai metode terapi atas manusia modern yang sedang mengalami krisis.
37
Ibid, h. 87
Sehingga menurut saya tasawuf dalam perspektif Hamka lebih dapat diteima secara luas dalam dunia kontemporer. Menimbang posisi Hamka, dalam
hal ini ia selain seorang ulama, ia adalah seorang penulis dalam berbagai disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, tafsir, dan filsafat. Yang mempunyai cita-cita
terciptanya system pendidikan modern
38
B. Penjelasan tentang Krisis Manusia Modern