Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan

(1)

HUBUNGAN PENDIDIKAN SEKS DENGAN

AKTIVITAS SEKSUAL PADA REMAJA

DI SMA NEGERI 14 MEDAN

SKRIPSI

Oleh

Lenci Manurung

091121018

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya yang telah menyertai penulis untuk menyelesikan skripsi dengan judul “Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan”

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU Dan ibu Erniyati sebagai pembantu dekan I Fakultas Keperawatan USU. 2. Ibu Farida Linda Sari, S.Kep,Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing I dan

Bapak Mula Tarigan, SKp, M.Kes selaku pembimbing II skripsi penulis yang selaku sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

3. Ibu Rika Endah Nurhidayah, S.Kp, M.Pd selaku dosen penguji dan dosen pembimbing akademik penulis yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan.

4. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp, M.NS yang telah bersedia menguji validitas kuisioner yang disusun penulis.


(4)

5. Drs. Sawaluddin, M.Si selaku kepala sekolah SMA Negeri 14 Medan yang telah memberikan izin untuk pengumpulan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

6. Kepada seluruh siswa siswi SMA Negeri 14 Medan yang telah bersedia meluangkan waktunya menjadi responden dalam penelitian ini.

7. Teristimewa kepada orang tuaku dan seluruh keluarga yang telah memberikan cinta, doa, bimbingan, serta motivasi kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2009 jalur B yang senantiasa memberikan semangat pada penulis.

Semoga Tuhan selalu mencurahkan berkatNya pada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Januari 2011

Penulis Lenci manurung


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan... i

Prakata... ii

Daftar Isi... iv

Daftar Tabel... vi

Abstrak... vii

BAB 1 Pendahuluan 1.1Latar Belakang... 1

1.2Pertanyaan Penelitian... 5

1.3Tujuan Penelitia ... 5

1.4Hipotesa Penelitian... 6

1.5Manfaat Penelitian... 6

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Remaja... 7

2.1.1 Defenisi remaja... 7

2.1.2 Tahap-tahap perkembangan... 8

2.1.3 Tugas perkembangan... 11

2.1.4 Perubahan fisik remaja... 12

2.2 Pendidikan Seks 2.2.1 Pendidikan... 14

2.2.2 Pendidikan seks... 18

2.3 Aktivitas Seksual 2.3.1 Aktivitas... 23

2.3.2 Seksual... 25

2.3.3 Aktivitas seksual... 28

BAB 3 Kerangka Penelitian 3.1 Kerangka Konseptual... 34

3.2 Defenisi Operasional... 36

BAB 4 Metode Penelitian 4.1 Desain Penelitian... 36

4.2 Populasi dan Sampel... 36

4.3 Lokasi dan Waktu penelitian... 37

4.4 Pertimbangan etik... 37

4.5 Instrumen Penelitian... 38

4.6 Uji valiitas dan Uji reliabelitas instrument... 39

4.7 Pengumpulan Data... 40

4.8 Analisa Data... 41

BAB 5 Hasil dan Pembahasan 5.1 Hasil Penelitian... 43


(6)

5.1.1 Data Demografi Responden... 43 5.1.2 Pendidikan Seks... 44 5.1.3 Aktivitas Seksual... 45

5.1.4 Hubungan Pendidikan Seks dengan Aktivitas Seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan... 46 5.2 Pembahasan

5.2.1 Pendidikan Seks... 46 5.2.2 Aktivitas Seksual... 49 5.2.3 Hubungan Pendidikan Seks dengan aktivitas seksual pada remaja

diSMA Negeri 14 Medan... 55 BAB 6 Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan... 58 6.2 Saran... 59 Daftar Pustaka... 61

Lampiran-lampiran

1. Lembar persetujuan menjadi responden 2. Instrumen penelitin

3. Biaya penelitian 4. Daftar riwayat hidup


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 35

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karekteristik responden... 44

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi dan persentase Pendidikan seks... 44

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase Aktivitas seksual... 45

Tabel 5.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual di SMA Negeri14 Medan... 46


(8)

Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan

Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010

Abstrak

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.


(9)

Judul : Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan

Nama mahasiswa : Lenci Manurung NIM : 091121018

Jurusan : Sarjana Keperawatan (SKep) Tahun : 2010

Abstrak

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah perilaku yang menyimpang, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan tekhnik pengambilan sampel yang digunakan adalah systematic sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 144 orang. Pengumpulan data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Hasil penelitian ini dianalis dengan uji Chi square dengan tingkat kemaknaan α= 0,05 (p<0,05), Hasil uji Chi square diperoleh teraf signifikan 0,89 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga melibatkan pendidikan agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.


(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat kematangan seksual yaitu antara usia 11 sampai 13 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda (Soetjiningsih, 2004). Berbagai tulisan, ceramah, maupun seminar yang mengupas berbagai segi kehidupan remaja, termasuk kenakalan remaja, perilaku seksual remaja, dan hubungan remaja dengan orang tuanya, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dirasakan oleh masyarakat. Dengan perkataan lain masalah remaja sudah menjadi kenyataan sosial bagi masyarakat kita. Terlebih lagi kalau dipertimbangkan bahwa remaja sebagai generasi penerus yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat yang akan datang, dan akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara (Sarwono, 2010).

Sarwono (2010) menyatakan bahwa perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada perkembangan jiwa remaja yang terbesar pengaruhnya adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi semakin panjang dan tinggi). Selanjutnya, mulai berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh sehingga menyebabkan mudahnya aktivitas seksual (terutama dikalangan remaja) dilanjutkan dengan hubungan seks.


(11)

Harus diakui bahwa pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih amat kurang sampai saat ini. Sebagian dari masyarakat masih amat mempercayai pada mitos-mitos seksual dan justru mitos-mitos inilah yang merupakan salah satu pemahaman yang salah tentang seksual (Soetjiningsih, 2004). Banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan mengenai seksualitas didepan umum dan juga adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks, sehingga melarang mambicarakan seks secara vulgar. Pada gilirannya akan menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, di mana para remaja hanya mengetahui cara melakukan hubungan seks tanpa mengetahui dampak yang akan muncul akibat aktivitas seksual tersebut.

Hasil penelitian Synoviate Reaserch (2005) melaporkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks mereka dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% remaja yang mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya. Para remaja juga mengaku mengetahui resiko terkena penyakit seksual (27%), tetapi hanya 24% dari remaja yang melakukan preventif untuk mencegah penyakit AIDS. Hasil penelitian Komisi nasional perlindungan anak (2009) melaporkan bahwa 97,3% remaja pernah ciuman, petting dan oral seks 62,7% remaja SMP tidak perawan, 21,2% remaja SMU pernah aborsi, 97% pernah menonton film porno (Kartika, 2009).

Rasa ingin tahu terhadap masalah seksual pada remaja sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Pada masa remaja, informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan


(12)

supaya remaja tidak mendapatkan informasi yang salah dari sumber sumber yang tidak jelas. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila tidak didukung dengan pengetahuan dan informasi yang tepat (Glevinno, 2008).

Sebagian kelompok remaja mengalami kebingungan untuk memahami tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan olehnya antara lain boleh atau tidaknya untuk melakukan pacaran, melakukan onani, nonton bersama atau ciuman. Hal ini disebabkan karena informasi yang keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar seks, Video Compact Disc porno, situs porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi remaja tentang seks menjadi salah yang akan menimbulkan aktivitas seksual yang kurang sehat dikalangan remaja (Soetjiningsih, 2004). Pendidikan seks dalam arti luas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks diantaranya aspek biologis, orientasi, nilai sosial kultural dan moral.

Pendidikan seks sebagaimana pendidikan yang lain pada umumnya (pendidikan agama atau pendidikan moral pancasila) mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek didik. Dimana informasi diberikan secara konstektual yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam


(13)

tanpa melanggar aturan. Pendidikan seks diperlukan untuk menghubungi rasa keingintahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Terlepas dari pro dan kontra pemblokiran situs porno yang sempat marak diberitakan di berbagai media. Diera globalisasi sekarang ini pendidikan seks dirasa cukup penting, mengingat anak-anak dengan mudah mendapat informasi dari berbagai media seperti majalah, buku, Televisi,Video Compact Disc, dan internet. Dengan demikian para remaja akan mengetahui hubungan seksual yang sebenarnya sampai mereka menikah dan memiliki anak (Dianawati, 2003).

Dari hasil wawancara pada tanggal 20 maret 2010 tentang pendidikan seks kepada 10 siswa dan siswi di SMA Negeri 14 Medan didapatkan bahwa 6 orang diantaranya mengatakan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai pendidikan seks dan mereka mengatakan tabu untuk membicarakan hal tersebut dan 4 orang lagi mengatakan hanya mengetahui organ reproduksi wanita dan pria dari pelajaran disekolah.

Berdasarkan latar belakang dan fenomena di atas, maka selanjutnya penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dengan judul “Hubungan Pendidikan

Seks Dengan aktivitas Seksual Pada Remaja di SMA Negeri 14 Medan Tahun 2010.


(14)

1.2 Pertanyaan penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka pertanyaan penelitian yang timbul adalah bagaimanakah hubungan pendidikan seks dengan aktvitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan tahun 2010 1.3 Tujuan penelitian

1. 3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri Medan Tahun 2010. 1.3.2 Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui pendidikan seks pada remaja di SMA Negeri 14 Medan Tahun 2010

2) Untuk mengetahui aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan Tahun 2010.

3) Untuk mengetahui hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Tahun 2010.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif (Ha) yaitu ada hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Pendidikan keperawatan


(15)

tentang pendidikan seks sehingga dapat dijadikan sebagai masukan pada penelitian selanjutnya

1.5.2 Pelayanan Keperawatan

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi pelayanan keperawatan khususnya perawat komunitas agar dapat meningkatkan pelayanan keperawatan dalam meningkatkan derajat kesehatan yang optimal.

1.5.3 Penelitian Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan data tambahan dalam penelitian keperawatan dan dapat dikembangkan bagi penelitian selanjutnya.


(16)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 REMAJA

2. 1.1 Definisi Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologik, perubahan psikologik, dan perubahan sosial. Di sebagian besar masyarakat dan budaya masa remaja pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007). Menurut Soetjiningsih (2004) Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun, yaitu masa menjelang dewasa muda. Berdasarkan umur kronologis dan berbagai kepentingan, terdapat defenisi tentang remaja yaitu:

1) Pada buku-buku pediatri, pada umumnya mendefenisikan remaja adalah bila seorang anak telah mencapai umur 10-18 tahun dan umur 12-20 tahun anak laki- laki.

2) Menurut undang-undang No. 4 tahun 1979 mengenai kesejahteraan anak, remaja adalah yang belum mencapai 21 tahun dan belum menikah.

3) Menurut undang-undang perburuhan, anak dianggap remaja apabila telah mencapai umur 16-18 tahun atau sudah menikah dan mempunyai tempat


(17)

4) Menurut undang-undang perkawinan No.1 tahun 1979, anak dianggap sudah remaja apabila cukup matang, yaitu umur 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk anak-anak laki-laki.

5) Menurut dinas kesehatan anak dianggap sudah remaja apabila anak sudah berumur 18 tahun, yang sesuai dengan saat lulus sekolah menengah.

6) Menurut WHO, remaja bila anak telah mencapai umur 10-18 tahun. (Soetjiningsih, 2004).

2.1.2 Tahap – tahap Perkembangan Remaja

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada 3 tahap perkembangan remaja:

a. Remaja awal (early adolescent)

Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan- dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Dengan dipegang bahunya saja oleh lawan jenis ia sudah berfantasi erotik. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap ego menyebabkan para remaja awal ini sulit dimengerti dan dimengerti orang dewasa.

b. Remaja madya (middle adolescent)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang mengakuinya. Ada kecenderungan narsistis yaitu


(18)

mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama dengan dirinya, selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu memilih yang mana peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimistis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari oedipus complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa anak-anak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan.

c. Remaja akhir (late adolescent)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal yaitu:

• Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.

• Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman- pengalaman baru.

• Terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

• Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (Sarwono, 2010).

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja kita sangat perlu untuk mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa (rentang waktu) remaja ada tiga tahap yaitu:


(19)

a. Masa remaja awal (10-12 tahun)

• Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.

• Tampak dan merasa ingin bebas.

• Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).

b. Masa remaja tengah (13-15 tahun)

• Tampak dan ingin mencari identitas diri.

• Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.

• Timbul perasaan cinta yang mendalam. c. Masa remaja akhir (16-19 tahun)

• Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.

• Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

• Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

• Dapat mewujudkan perasaan cinta.

• Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak. (Widyastuti dkk, 2009).

2.1.3 Tugas –tugas Perkembangan Remaja

Terdapat perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:


(20)

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional. 5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua. 8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk

memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

10) Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya itu dengan baik. Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan, diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009)


(21)

2.1.4 Perubahan Fisik Pada Remaja a. Tanda seks primer

Tanda seks primer merupakan tanda yang menunjukkan alat kelamin Pada wanita

Alat kelamin wanita bagian luar terdiri dari: a) Bibir luar (labia mayora)

b) Labia minor (labia minora)

c) Klitoris, yaitu bagian penuh dengan ujung-ujung syaraf sehinngga sangat peka terhadap rangsangan/sentuhan. Sentuhan-sentuhan pada klitoris dapat menyebabkan terjadinya orgasme (puncak kenikmatan seksual) pada wanita. d) Uretra (liang saluran seni)

e) Liang senggama (vagina) berfungsi sebagai jalan keluar haid, jalan masuk penis dalam senggama, dan jalan keluar bayi waktu melahirkan.

Alat kelamin wanita bagian dalam terdiri dari:

a) Hymen (selaput dara)

b) Mulut rahim (serviks) yang menghubungkan vagina dengan rahim

c) Rahim (uterus), yaitu jaringan sebesar telur ayam, tetapi punya kemampuan melar yang sangat besar sekali dalam mengandung bayi.

d) Saluran telur (tuba palopii) disebelah kanan dan kiri rahim

e) Indung telur (ovarium) yang menghasilkan hormone-hormon estrogen, progesterone dan sel telur.


(22)

Pada laki-laki

Alat kelamin pria terdiri dari:

a) Testis menghasilkan hormon-hormon testosterone dan androgen dan spermatozoa diproduksi dalam jumlah ratusan juta.

b) Saluran deferens (vas deferens), yaitu yang menghubungkan testis dengan kelenjar prostat.

c) Kelenjar prostat yaitu tempat penyimpanan spermatozoa untuk sementara. d) Saluran kencing (uretra), yaitu tempat keluarnya air mani dalam keadaan

penis berereksi (Sarwono, 2010) b. Tanda seks sekunder

Tanda-tanda seks sekunder merupakan tanda-tanda badaniah yang membedakan pria dan wanita.

Pada wanita bisa ditandai antara lain: pertumbuhan tulang-tulang (badan menjadi tinggi, anggota badan menjadi panjang), pertumbuhan payudara, tumbuh bulu yang halus dan lurus berwarna gelap dikemaluan, mencapai pertumbuhan ketinggian badan setiap tahunnya, bulu kemaluan menjadi keriting, haid, dan tumbuh bulu- bulu ketiak.

Pada laki-laki bisa ditandai dengan pertumbuhan tulang-tulang, tumbuh bulu kemaluan yang halus, lurus, dan berwarna gelap, awal perubahan suara, bulu kemaluan menjadi keriting, tumbuh rambut-rambut halus diwajah (kumis,


(23)

jenggot), tumbuh bulu ketiak, rambut-rambut diwajah bertambah tebal dan gelap, tumbuh bulu didada (Sarwono, 2010)

2.2 PENDIDIKAN SEKS 2.2.1 Pendidikan

a. Konsep pendidikan kesehatan

Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan di dalam bidang kesehatan. Dilihat dari segi pendidikan, pendidikan kesehatan adalah suatu pedagogik praktis atau praktek pendidikan. Oleh sebab itu, konsep pendidikan kesehatan adalah konsep pendidikan yang di aplikasikan pada bidang kesehatan. Konsep dasar pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Konsep ini berangkat dari suatu asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya untuk mencapai nilai-nilai hidup didalam masyarakat selalu memerlukan bantuan orang lain yang mempunyai kelebihan (lebih dewasa, lebih pandai, lebih mampu, lebih tahu dan sebagainya). Dalam mencapai tujuan tersebut, seorang individu, kelompok atau masyarakat tidak terlepas dari kegiatan belajar (Notoatmodjo, 2007).

b. Ruang pendidikan kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, dimensi tempat pelaksanaan atau


(24)

aplikasinya dan dimensi tingkat pelayanan kesehatan. Dari dimensi sasarannya, pendidikan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi 3 diantaranya:

a) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu. b) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.

c) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat luas

Dimensi tempat pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dapat berlangsung di berbagai tempat, dengan sendirinya sasarannya berbeda pula, misalnya:

a) Pendidikan kesehatan disekolah, dilakukan disekolah dengan sasaran murid. b) Pendidikan kesehatan di rumah sakit, dilakukan di rumah sakit-rumah sakit

dengan sasaran pasien atau keluarga pasien, di puskesmas dan sebagainya. c) Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau

karyawan yang bersangkutan

Dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dilakukan berdasarkan lima tingkat pencegahan (five levels of prevention) dari (Leavel dan Clark), sebagai berikut:

a) Promosi Kesehatan (Health Promotion)

Dalam tingkat ini pendidikan kesehatan diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi, kebiasaan hidup, perbaikan sanitasi lingkungan hygiene perorangan dan sebagainya.


(25)

b) Perlindungan Khusus (Specifik Protection)

Dalam program imunisasi sebagai bentuk pelayanan perlindungan khusus ini pendidikan kesehatan sangat diperlukan terutama dinegara-negara berkembang. Hal ini karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya imunisai sebagai perlindungan terhadap penyakit pada dirinya maupun pada anak-anaknya masih rendah.

c) Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt

Treatment)

Dikarenakan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, maka sering sulit mendeteksi penyakit-penyakit yang terjadi didalam masyarakat, bahkan kadang-kadang masyarakat sulit atau tidak mau diperiksa dan diobati penyakitnya. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sangat diperlukan pada tahap ini.

d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation)

Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan penyakit, maka sering masyarakat tidak melanjutkan pengobatannya sampai tuntas. Dengan kata lain mereka tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan yang komplit terhadap penyakitnya. Pengobatan yang tidak layak dan sempurna dapat mengakibatkan orang yang bersangkutan cacat atau ketidakmampuan.


(26)

e) Rehabilitasi (Rehabilitation)

Setelah sembuh dari suatu penyakit tertentu, kadang-kadang orang menjadi cacat. Untuk memulihkan cacatnya tersebut kadang-kadang diperlukan latihan-latihan tertentu. Oleh karena kurangnya pengertian dan kesadaran orang tersebut, ia tidak atau segan melakukan latihan-latihan yang dianjurkan. Disamping itu orang yang cacat setelah sembuh dari penyakit, kadang-kadang malu untuk kembali ke masyarakat (Notoatmodjo, 2007).

c. Peranan pendidikan kesehatan

Semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu pada H. L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap status kesehatan. Kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil nomor dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap status kesehatan (Notoatmodjo, 2007).

2.2.2 Pendidikan Seks a. Defenisi

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular, depresi, dan perasaan berdosa (Sarwono, 2010)


(27)

Beberapa pihak tidak setuju dengan pendidikan seks, karena dikhawatirkan dengan pendidikan seks, anak-anak yang belum saatnya tahu tentang seks jadi mengetahuinya dan karena dorongan keingintahuan yang besar yang ada pada remaja, mereka jadi ingin mencobanya. Namun pandangan pro kontra pendidikan seks tersebut pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita mendefenisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberian informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses faal dari reproduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahannya (alat kontasepsi), maka kecemasan yang disebutkan diatas memang beralasan (Sarwono, 2010).

b. Perlunya pendidikan seks

Sarwono (2010) berpendapat bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada umumnya seperti pendidikan agama, atau pendidikan Moral Pancasila, yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik kesubjek-didik. Dengan demikian, informasi tentang seks diberikan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Pendidikan seks yang konstektual ini jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan, peran ayah ibu dan anak-anak dalam keluarga dan sebagainya.


(28)

Perbedaan pandangan tentang perlunya pendidikan seks bagi remaja nyata dari penelitian WHO (World Health,1979) di 16 negara eropa yang hasilnya adalah sebagai berikut:

a) 5 negara mewajibkannya disetiap sekolah

b) 6 negara menerima dan mensahkannya denganundang-undang tetapi tidak mengharuskannya di sekolah

c) 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak mengukuhkannya dengan undang-undang.

d) 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya (Sarwono, 2010)

Pandangan yang mendukung pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik dan Kim yang menyatakan bahwa remaja yang telah mendapatkan pendidikan seks tidak cenderung jarang melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapatkan pendidikan seks, cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki (Zelnik dan Kim, 1998 dalam Sarwono 2010). Pendidikan seks yang hanya berupa larangan atau berupa kata-kata “tidak boleh” tanpa adanya penjelasan lebih lanjut adalah sangat tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena pendidikan seperti ini tidak cukup untuk mempersiapkan remaja dalam menghadapi kehidupannya yang semakin sulit. Pengaruh minuman keras, obat-obatan terlarang, tekanan dari teman atau patah hati akibat hubungan cintanya, akan semakin menjerumuskan mereka pada


(29)

c. Materi pendidikan seks

Materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain, tetapi sebuah survey oleh Orr (1982) menunjukkan bahwa pada umumnya materi pendidikan seks adalah sebagai berikut:

a) Masalah-masalah yang banyak dibicarakan dikalangan remaja sendiri

• Perkosaan

• Masturbasi

• Homoseksualitas

• Disfungsi seksual

• Eksoploitasi seksual

b) Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan

• Alat KB

• Pengguguran

• Alternatif-alternatif dari pengguguran c) Nilai-nilai seksual

• Seks dan nilai-nilai moral

• Seks dan hukum

• Seks dan media massa

• Seks dan nilai-nilai religi

d) Perkembangan remaja dan reproduksi manusia


(30)

• Kehamilan dan kelahiran

• Perubahan-perubahan pada masa puber

• Anatomi dan fisiologi

• Obat-obatan, alkohol dan seks e) Keterampilan dan perkembangan sosial

• Berkencan

• Cinta dan perkawinan f) Topik-topik lainnya

• Kehamilan pada remaja

• Kepribadian dan seksualitas

• Mitos-mitos yang dikenal oleh umum

• Kesuburan

• Keluarga berencana

• Menghindari hubungan seks

• Teknik-teknik hubungan seks (Margaret, 1980 dalam Sarwono, 2010). Pendidikan seks di Indonesia seyogyanya tetap dimulai dari rumah. Salah

satu alas an utamanya adalah karena masalah seks ini merupakan masalah yang sangat pribadi sifatnya, yang kalau hendak dijadikan materi pendidikan juga perlu penyampaian yang pribadi. Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh Sawono mengungkapkan bahwa dari sudut pandang remaja sendiri, mereka mendambakan untuk memperoleh informasi tentang seks itu dari orang tuanya


(31)

Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Gunarsa (1999) berikut ini, mungkin patut diperhatikan:

a) Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.

b) Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya: proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.

c) Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.

d) Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak

e) Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu


(32)

untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengtahuannya.

2.3 AKTIVITAS SEKSUAL 2. 3.1 Aktivitas

a. Pengertian aktivitas

Dari segi biologis semua makhluk hidup mulai dari binatang sampai dengan manusia, mempunyai aktivitas masing-masing. Manusia sebagai salah satu makhluk hidup mempunyai bentangan kegiatan yang luas, sepanjang kegiatan yang dilakukannya, yaitu antara lain: berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir dan seterusnya. Secara singkat aktivitas manusia tersebut dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

a) Aktivitas-aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain misalnya: berjalan, bernyanyi,tertawa dan sebagainya.

b) Aktivitas yang tidak dapat diamati orang lain (dari luar) misalnya berpikir, berfantasi, bersikap, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2005).

Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang diselaraskan peran manusia sebagai makhluk ndividu, sosial dan berketuhanan (Purwanto, 1999). Aktivitas atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadic (timbul dan hilang pada saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan kontinuitas antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya. Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas


(33)

tertentu. Keunikan perilaku berbeda dari yang lainnya. Jadi tiap-tiap manusia memiliki ciri-ciri, sifat-sifat tersendiri yang membedakan dari manusia lainnya. Pengalaman-pengalaman masa lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang akan datang menentukan perilaku dimasa kini dan arena tiap orang mempunyai pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa kini pun berbeda-beda (Purwanto,1999).

b. Faktor- faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut teori Lawrence Green, mengemukakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non

behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3

faktor, diantaranya:

a) Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan lain-lain.

b) Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan lain-lain

c) Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2003).


(34)

2.3.2 Seksual

a. Pengertian seksual

Seksual adalah rangsangan-rangsangan atau dorongan yang timbul berhubungan dengan seks (Notoatmodjo, 2007). Seksualitas bukan semata-mata bagian intrinsik dari seseorang tetapi juga meluas sampai berhubungan dengan orang lain. Keintiman dan kebersamaan fisik merupakan kebutuhan sosial dan biologis sepanjang kehidupan. Kesehatan seksual telah didefinisikan sebagai pengintegrasian aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dari kehidupan seksual, dengan cara yang positif memperkaya dan meningkatkan kepribadian, komunikasi dan cinta. Seks juga digunakan untuk memberi label jender, baik seseorang itu pria atau wanita.

Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang di lakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, senggama seksual dan melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpelukan dan perbendaraan kata (Zawid, 1994).

b. Tahapan perkembangan seksual

Tahapan psikoseksual yang harus dilalui seorang anak menurut Sigmund Freud terbagi dalam 4 fase yaitu:


(35)

a) Fase oral

Fase oral adalah fase seorang anak mendapatkan perasaan nikmat melalui mulutnya, yaitu ketika sedang menyusu dan mengisap air susu ibu yang dimulai sejak bayi hingga usia 1-2 tahun.

b) Fase anal

Pada fase anal, kenikmatan yang dirasakannya berubah dari mulut ke daerah anus dan sekitarnya (seperti saluran kencing). Rasa nikmat akan dirasakan anak ketika sedang menahan kencing dan buang air besar. Fase ini dimulai pada anak berusia 2-4 tahun.

c) Fase phallus

Selanjutnya perubahan yang dirasakannya turun kebagian alat kelaminnya. Fase ini berlangsung pada saat anak berumur 4-6 tahun.

d) Fase laten

Fase laten berlangsung pada usia sekolah. Fase laten ini terbagi 2 bagian sebagai berikut:

• Bagian awal

Pada bagian ini seorang anak sudah tidak lagi memperhatikan kenikmatan yang pernah dirasakan pada alat kelaminnya, bahkan cenderung seperti melupakan kejadian tersebut.

• Bagian akhir

Begitu memasuki bagian akhir dari masa laten, seorang anak mulai menunjukkan kembali kenikmatan yang dirasakan melalui alat


(36)

kelaminnya. Karena pada saat memasuki fase ini usia anak telah beranjak dewasa, dorongan seksual, perasaan cinta, ketertarikannya kepada lawan jenis mulai tumbuh. Jadi, perhatian anak beralih kepada alat kelaminnya adalah hal wajar.

2. 3.3 Aktivitas Seksual

a. Defenisi aktivitas seksual

Perilaku (aktivitas) seksual adalah segala tingkah laku yang di dorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk aktivitas ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. (Sarwono, 2010).

Dalam hal ini aktivitas (perilaku) seksual diurutkan sebagai berikut:

• Berpacaran/Berkencan

• Berpegangan tangan

• Mencium pipi pacar

• Berpelukan dengan pacar

• Mencium bibir pacar

• Dipegang/Memegang buah dada pacar

• Memegang alat kelamin pacar


(37)

b. Pola aktivitas seksual remaja

Perkembangan aktivitas seksual dipengaruhi berbagai faktor antara lain perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosiokultural. Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai pada remaja yaitu:

a) Masturbasi/onani

Masturbasi ataupun onani merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan oleh remaja. Masturbasi yakni melakukan rangasangan seksual khususnya pada alat kelamin, yang dilakukan sendiri dengan berbagai cara untuk tujuan mencapai orgasme. Kegiatan masturbasi dilakukan hampir semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan sebenarnya masturbasi sudah berlangsung sejak seseorang berusia balita yang dalam perkembangan psikoseksual disebut juga fase phallus. Kegiatan ini sering terjadi pada masa awal pubertas seseorang. Karena dorongan seksual yang mendesak, sedangkan objek-objek seksual tidak ada. Sejauh ini secara medis tidak ditemukan efek samping masturbasi. Apabila seseorang merasa ketagihan dengan bermasturbasi, sebaiknya ia mengubah pandangannya terhadap masturbasi. Setelah itu secepatnya mengalihkan dan menggunakan pikirannya pada kegiatan-kegiatan lainnya seperti berolah raga, menyalurkan hobinya, berkumpul dengan teman-temannya atau membaca bacaan humor.


(38)

b) Petting

Definisi petting adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan cara menyentuh orgab seksual tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan bahwa 39 remaja perempuan melakukan petting, sedangkan 57% remaja laki-laki melakukan petting. c) Oral seks

Oral seks melakukan rangsangan dengan mulut pada organ seks pasangannya. Jika melakukan oral seks itu laki-laki, sebutannya adalah cunnilingus, jika yang melakukan oral seks tersebut perempuan, sebutannya adalah fellatio.

d) Anal seks

Anal seks adalah hubungan seksual yang dilakuakan dengan memasukkan penis kedalam anus atau anal. Aktivitas seksual seperti ini tentu sangat berbahaya karena anus mengandung banyak bakteri biang penyakit.

e) Hubungan seksual

Hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang benar menurut etika, moral dam agama adalah jika dilakukan melalui sebuah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilandasiu oleh rasa cinta. Dengan bersetubuh, dua orang akan menjadi satu secara fisik dan emosional. Inilah yant disebut pemenuhan dorongan seksual dalam arti yang sebenarnya. Aktivitas seksual seperti ini tidak menimbulkan rasa ketakutan terhadap penyakit menular, risiko kehamilan diluar nikah, ataupun berdosa.


(39)

Hubungan seksual yang pertama dialami oeh remaja dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu:

• Waktu/saat mengalami pubertas, saat itu mereka tidak pernah memahami tentang apa yang dialaminya.

• Kontrol sosial kurang tepat yaitu terlalu ketat atau terlalu longgar

• Frekuensi pertemuan dengan pacarnya. Mereka mempunyai kesempatan untuk melakukan pertemuan yang makin sering tanpa kontol yang baik sehingga hubungan akan makin mendalam.

• Hubungan antar mereka makin romantis.

• Status ekonomi, mereka yang berkecukupan akan dengan mudah melakukan pesiar ketempat-tempat rawan yang memungkinkian adanya kesempatan melakukan hubungan seksual, sebaliknya kelompok yang ekonomi lemah tetapi banyak kebutuhan/tuntutan mereka mencari kesempatan untuk memenfaatkan dorongan seksnya demi mendapatkan sesuatu.

• Korban pelecehan seksual yang berhubungan dengan fasilitas antara lain sering sering mempergunakan kesempatan yang rawan misalnya pergi ke tempat sepi.

• Tekanan dari teman sebaya, kelompok sebaya kadang-kadang ingin menunjukkan penampilan diri yang salah untuk menunjukkan kematangannya.


(40)

• Mereka kehilangan kontrol sebab tidak tahu akan batas-batasnya mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

• Mereka merasa sudah saatnya melakukan aktivitas seksual sebab merasa matang secara fisik.

• Adanya keinginan untuk menunjukkan cinta pada pacarnya.

• Aktivitas seksual pacarnya.

• Penerimaan menunjukkan kegagahan dan kemampuan fisiknya.

• Sekedar terjadinya peningkatan rangsangan seksual akibat peningkatan kadar hormon reproduksi/seksual (Soetjiningsih, 2004).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas (perilaku) seksual Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seksual yaitu:

a) Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksualini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual.

b) Penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lainnya).

c) Sementara usia perkawinan ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakuakan hubungan seks sebelum


(41)

menikah. Bahkan larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melangggar larangan-larangan tersebut.

d) Kecenderungan pelanggaran meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dengan adanya teknologi canggih (video, internet, Video Compact Disc, telepon genggam, dan lain-lain).

e) Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak tidak terbuka, malah cenderung membuat jarak dengan masalah seksual.

f) Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria (Sarwono, 2010).

d. Aktivitas seksual menyimpang pada remaja

Beberapa aktivitas seksual yang sering dijumpai sebagai berikut: a) Homoseksual

Faktor penyebab yang paling kuat timbulnya penyimpangan ini adalah faktor keturunan. Homoseksual sebenanya bukan tergolong penyakit pada umumnya, melainkan identitas seseorang.

b) Sodomi


(42)

c) Transeksual

Sebutan ini ditujukan untuk orang laki-laki atau perempuan yang tidak menginginkan jenis kelamin mereka untuk memperoleh kepuasan seksualnya. Kelainan ini sebenarnya sudah dapat dilihat pada usia anak-anak seperti kesukaanya pada boneka dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan perempuan.

d) Transvetite

Transvetite merupakan istilah yang diberikan seorang laki-laki heteroseksual yang menginginkan memakai pakaian perempuan.

e) Exhibitions

Penderita exhibition akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara memperlihatkan penis secara sengaja kepada perempuan atau anak kecil yang menurutnya sesuai dengan keinginanya.

f) Fetihisme

Merupakan pemujaan yang ditujukan pada benda-benda mati atau bagian tubuh idolanya sampai mendapat kepuasan seksual.

g) Phedophilia

Merupakan kelainan seksual yang memperoleh kepuasan jika berhubungan seksual sengan anak kecil atau dibawah umur.


(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1 Kerangka konseptual

Kerangka penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggambarkan hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Pendidikan seks pada penelitian ini menjadi variabel bebas (independen) sedangkan aktivitas seksual menjadi variabel terikat (dependen). Secara skematis kerangka penelitian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Skema 1: kerangka konseptual penelitian

Aktivitas seksual:

• Urutan aktivitas seksual

• Masturbasi/onani

• Petting

• Oral seks

• Anal seks

• Hubungan seksual Pendidikan seks


(44)

3.2 Defenisi operasional variabel penelitian Tabel 3.1 Defenisi operasional

Variabel

Defenisi Operasional

Alat ukur Skala

Hasil Ukur Variabel independen Pendidikan seks Variabel dependen aktivitas seksual

Remaja yang pernah mendapatkan

pendidikan seks baik formal maupun non formal

Salah satu kegiatan seksual baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar Kuisioner 2 pertanyaan dengan dichotomy question Kuisioner sebanyak 12 pertanyaan dengan dichotomy question Nominal Nominal Pernah Tidak pernah Pernah Tidak pernah


(45)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi korelasional yang mengkaji hubungan antara variabel. Peneliti dapat mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan, menguji berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2003). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.

4.2 Populasi dan sampel penelitian 4.2.1 Populasi

Populasi adalah setiap subjek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (Nursalam, 2003). populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja kelas 1, 2 dan 3 di SMA Negeri 14 Medan dengan jumlah 700 orang, namun pada saat melakukan penelitian remaja kelas 3 tidak aktif lagi dalam mengikuti pelajaran karena remaja keas 3 telah selesai mengikuti ujian akhir nasional. Sehingga dalam penelitian ini jumlah populasi sebanyak 480 orang yaitu remaja kelas 1 dan 2.

4. 2.2 Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002).


(46)

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah systematis sampling yaitu pengambilan sampel dengan teknik berurutan atau dengan suatu system tertentu yaitu dari 480 responden sampel yang diambil sebanyak 144 orang maka probabilitas untuk terambil sebagai sampel adalah 480/144 = 3, yang diambil secara acak hanya unsur pertama yaitu dari nomor satu sampai 144, jadi yang tertarik secara acak dalam penelitian ini adalah nomor dua untuk selanjutnya diambil setiap jarak tiga yaitu 2,5,8...dst.

Menurut Nursalam (2003), jika besar populasi <1000, maka besar sampel bisa diambil 20-30% dari jumlah populasi. Jumlah sampel pada penelitian ini

adalah 30% dari 480 populasi yaitu sebanyak 144 orang. 4.3 Lokasi dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 14 Medan dan dilakukan pada juni-juli 2010. Dengan kriteria lokasi penelitian terdapat di lingkungan perumahan. Jauh dari kota, di sekitar lokasi tidak terdapat warung internet, waktu penelitian efisien dan terdapat populasi yang banyak.

4.4 Pertimbangan etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, kemudian mengajukan permohonan penelitian ke SMA Negeri 14 Medan. Setelah mendapatkan izin peneliti akhirnya melakukan penelitian dengan menyerahkan lembar kuisioner kepada responden sesuai dengan kriteria penelitian. Peneliti kemudian menjelaskan kepada


(47)

responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengisian kuisioner, meminta persetujuan responden dengan menandatangani informed consent, menjelaskan kepada responden bahwa responden berhak menolak dan mengundurkan diri pada saat pengisian kuisioner dengan alasan mereka tidak mendapat paksaan dari pihak lain, responden juga diberi penjelasan bahwa penelitin ini tidak menimbulkan resiko fisik maupun psikis, untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data (kuisioner) yang diisi oleh responden dan kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti.

4.5 Instrumen penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuisioner yang disusun sendiri oleh peneliti dengan berpedoman pada kerangka konsep dan tinjauan pustaka. Instrumen penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen pendidikan seks dan variabel dependen aktivitas seksual. Pada variabel independen pendidikan seks berisi 1 (satu) pertanyaan, yang bertujuan untuk mengetahui apakah remaja pernah mendapatkan pendidikan seks. Untuk itu peneliti memberi kuisioner sebanyak 1 (satu) pertanyaan dengan cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif jawaban, setiap jawaban ya diberi nilai satu dan setiap jawaban tidak diberi jawaban nol. Pada variabel dependen aktivitas seksual berisi 12 pertanyaan , yang bertujuan mengetahui sejauh mana aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja. Peneliti memberikan Kuisioner dengan pilihan jawaban yang diberikan dengan


(48)

cara dichotomy question dengan dua pilihan alternatif jawaban, setiap jawaban pernah diberikan nilai satu dan setiap jawaban tidak pernah diberikan nilai nol.

4.6 Uji validitas dan reabilitas 4. 6.1 Uji validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan kemampuan instrumen pengumpulan data untuk mengukur apa yang harus diukur, untuk mendapatkan data yang relevan dengan apa yang sedang diukur (Dempsey, 2002). Untuk menguji validitas isi yaitu validitas berdasarkan tinjauan pustaka. Selanjutnya dikonsultasikan kepada yang berkompeten dibidang tersebut (Setiadi, 2007). Uji validitas dilakukan oleh bagian keperawatan komunitas Fakultas Sumatera utara. Oleh beliau, peneliti diarahkan untuk memperbaiki instrument penelitian sesuai dengan tinjauan pustaka dan kerangka konseptual.

4.6.2 Uji reliabilitas

Uji reabilitas instrumen adalah suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama. Dalam penelitian ini digunakan reliebilitas konsistensi internal karena memiliki beberapa kelebihan diantaranya pemberian instrumen hanya satu kali dengan bentuk instrumen kepada satu subjek studi (Dempsey, 2002). Instrumen pengukuran yang memiliki reliabilitas sempurna koefisiennya 1,00. Akan tetapi jarang sekali instrumen pengukuran yang


(49)

benar-benar reliable. Reabilitas yang sering dilaporkan biasanya kurang dari 1,00 yaitu 0,80; 0,70; atau 0,50 (Dempsey, 2002).

Uji reliabelitas pada instrument hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual dilakukan pengumpulan data terhadap 30 orang responden yaitu siswa dan siswi SMA Negeri 14 Medan pada bulan Juli 2010. Uji reliabelitas ini dilakuka n dengan menggunakan rumus Kr 20, sehingga diperoleh hasil 0.82. Menurut Polit & Hungler (1999) menyatakan bahwa suatu instrument reliabel jika memiliki nilai reliabelitas >0.70. Oleh karena itu, instrument dalam penelitian ini sudah reliabel. 4.7 Teknik pengumpulan data

Peneliti terlebih dahulu mengajukan izin pelaksanaan penelitian melalui bagian pendidikan fakultas keperwatan USU dan SMA Negeri 14 Medan. Setelah mendapatkan calon responden, peneliti menjelaskan tujuan, manfaat penelitian serta cara pengisian kuisioner. Kemudian calon responden yang bersedia berpartisipasi untuk menandatangani informed consent. Responden yang menolak tidak dipaksa untuk mengisi kuisioner dan responden yang bersedia diminta untuk mengisi kuisioner yang diberikan peneliti selama ± 15 menit. Responden diberi kesempatan bertanya selama pengisian kuisioner tentang hal yang tidak dimengerti sehubungan dengan pertanyaan yang ada dalam kuisioner penelitian, peneliti terlebih dahulu memeriksa kelengkapan jawaban responden sesuai dengan pertanyaan kuisioner kemudian seluruh data dikumpulkan untuk dianalisa.


(50)

4.8 Analisa data

Setelah semua data terkumpul, maka peneliti melakukan analisa data melalui beberapa tahap. Pertama, memeriksa kelengkapan data responden dan memastikan semua jawaban terisi. Setelah itu mengklarifikasi data dengan mentabulasikan data yang telah dikumpulkan dan dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik komputerisasi SPSS.

Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Statistik univariat

Statistik univariat adalah prosedur untuk menganalisa data dari satu variabel yang bertujuan untuk mendeskripsikan hasil penelitian (Polit & Hungler, 1999). Pada penelitian ini, analisa data dengan metode statistik univariat digunakan untuk menganalisa variabel independen yaitu pendidikan seks dan variabel dependen yaitu aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Analisa variabel pendidikan seks dan aktivitas seksual dianalisis dengan menggunakan skala nominal dan ditampilkan dalam distibusi frekuensi.

b. Statistik bivariat

Statistik bivariat adalah suatu prosedur untuk menganalisis hubungan antara variabel. Untuk melihat hubungan antar variabel independen pendidikan seks dan variabel dependen aktivitas seksual, digunakan uji Chi Square karena sudah memenuhi syarat dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Hasil analisis data diinterpretasikan dengan membandingkan nilai p


(51)

dengan nilai α. Bila nilai p < α maka keputusannya Ha gagal ditolak. Bila p > α maka keputusannya Ha ditolak.


(52)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan. Penelitian ini dimulai pada tanggal 26-31 Juli 2010 di SMA Negeri 14 Medan dengan jumlah 144 orang.

5.1 Hasil Penelitian

Hasil penelitian dibagi atas empat bagian yaitu data demografi responden, data pendidikan seks serta aktivitas seksual pada remja dan menganalisa ada atau tidaknya hubungan pandidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.

5.1.1 Data demografi responden

Berdasarkan hasil data demografi responden, Usia 15 tahun sebanyak 16 orang (11,11%), usia 16 tahun sebanyak 62 orang (43,06%), usia 17 tahun

sebanyak 54 orang (37,50%), dan usia 18 tahun sebanyak 12 orang (8,33%). Siswa laki-laki sebanyak 70 orang (48.61%) dan perempuan sebanyak 74 orang ( 51.39%).


(53)

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden

No Karakteristik Frekuensi Persentase 1 Usia

15-18 Tahun 140 100 2 Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

70 74

48,61 51,39

5.1.2 Pendidikan seks

Dalam penelitian ini pendidikan seks dianalisa apakah remaja pernah atau tidak pernah mendapakan pendidikan seks. Berdasarkan hasil analisa data sebanyak 102 orang (70,8%) mengatakan pernah mendapatkan pendidikan seks sebanyak 42 orang (29,2%) tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Siswa yang mendapakan pendidikan seks di sekolah sebanyak 63 orang (43,75%), dirumah (keluarga) sebanyak 9 orang (6,25%), dari penyuluhan sebanyak 10 orang (6.94%), dari teman/sahabat sebanyak 13 orang (9,03%) dan lain-lain seperti seminar sebanyak 7 orang (3,47%).

Tabel 5.2 distribusi frekue nsi dan persentase pendidikan seks

Pendidikan seks frekuensi Persentase Pernah 102 70,8 Tidak Pernah 42 29.2


(54)

5.1.3 Aktivitas seksual pada remaja

Dari hasil penelitian ini di dapatkan bahwa aktivitas seksual yang paling banyak dilakukan oeh remaja adalah antara lain siswa yang pernah berpacaran sebanyak 106 orang (73,6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%), siswa yang pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 101 orang (70.1%), yang tidak pernah berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 43 orang (29,9%), responden yang pernah mencium pipi pacar sebanyak 84 orang (58.3%) sedangkan yang tidak pernah sebanyak 60 orang (41.7%), pernah mencium bibir pacar sebanyak 72 orang (50.0%) dan yang tidak pernah sebanyak 72 orang (50.0%), pernah berpelukan dengan pacar sebanyak 69 orang (47.9%) dan yang tidak pernah sebanyak 75 orang (52.1%).

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi dan persentase aktivitas seksual remaja

No Aktivitas seksual Pernah Tidak Pernah F % F % 1 Berpacaran/berkencan 106 73.6 38 26.4 2 Berpegangan tangan dengan pacar 101 70.1 43 29.9 3 Mencium pipi pacar 84 58.3 60 41.7 4 Mencium bibir pacar 72 50.0 72 50.0 5 Berpelukan dengan pacar 69 47.9 75 52.1 6 Dipegang/memegang buah dada pacar 31 21.5 113 78.5 7 Memegang alat kelamin pacar 19 13.2 25 86.8 8 Melakukan rangsangan seksual pada 57 39.6 87 60.4

alat kelamin sendiri (masturbasi/onani)

9 Membangkitkan dorongan seksual pasangan 19 13.2 125 86.8 dengan cara menyentuh organ seksual (petting)

10 Melakukan rangsangan seksual dengan mulut 6 4.2 138 95.8 pada organ seks pasangannya (oral seks)

11 Melakukan rangsangan seksual dengan 0 0 144 100 memasukkan penis ke dalam anus (anal seks)


(55)

5.1.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

Analisa hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja diukur dengan menggunakan uji chi square. Dari hasil analisis data didapat p=0.890 (α 0.05) dengan p>0,05 berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan.

Tabel 5.4 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

5.2 Pembahasan 5.2.1 Pendidikan seks

Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 102 responden pernah mendapatkan pendidikan seks (70,8%), dari sekolah sebanyak 63 orang (43.75%), rumah/keluarga sebanyak 9 orang (6.25%), penyuluhan sebanyak 10 orang (6.94%), teman/sahabat sebanyak 13 orang (9.03%), dan lain-lain seperti seminar sebanyak 7 orang (3.47%) dan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks sebanyak 42 orang (29.2%). Dengan kata lain remaja siswa dan siswi SMA

Negeri 14 Medan memiliki pendidikan yang baik mengenai pendidikan seks. Value Df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square .019a 1

.890


(56)

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Sarwono (2010) mengatakan bahwa pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks, khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular seksual, depresi dan perasaan berdosa. Dalam pendidikan seks diberikan pengetahuan yang faktual, menempatkan seks pada perspektif yang tepat, berhubungan dengan self esteem (rasa penghargaan terhadap diri), penamaan rasa percaya diri difokuskan pada peningkatan kemampuan dan mengambil keputusan (Pratiwi, 2004).

Sesuai dengan pendapat Sarwono (2010) bahwa pendidikan seks bukanlah penerapan tentang seks semata-mata, akan tetapi sama seperti pendidikan umum lainnya (Pendidikan Agama atau Pendidikan Moral Pancasila) yang mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidikan ke subyek-didik. Pendidikan seks yang kontekstual mempunyai ruang lingkup yang cukup luas, tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria-wanita dalam pergaulan dan peran ayah–ibu dan anak-anak dalam keluarga. Pemberian informasi mengenai masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja dalam potensial seksual yang aktif karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan tidak cukupnya informasi mengenai seksual mereka.


(57)

Pendidikan seks juga diperlukan untuk menghubungi rasa keingitahuan remaja tentang seksualitas dan berbagai tawaran informasi yang vulgar dengan cara pemberian informasi tentang seksualitas yang benar, jujur, dan disesuaikan dengan kematangan (Sarwono, 2010). Dari penelitian yang dilakukan oleh Synovate (2004) mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks remaja dapatkan dari kawan dan juga 35% sisanya dari film porno. Ironisnya, hanya 5% dari responden remaja ini mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya.

Adanya siswa yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks kemungkinan karena kurangnya informasi mengenai pendidikan seks baik dari keluarga, teman/sahabat maupun dari yang lainnya dan masih adanya faktor budaya yang menganggap tabu sehingga melarang membicarakan mengenai seks secara vulgar. Banyaknya pemikiran orang-orang yang mengatakan bahwa “kelak, remaja akan mengetahuinya sendiri memberikan pernyataan secara tidak langsung bahwa remaja toh akan tahu mengenai seks pada saat yang tepat yaitu dalam sebuah pernikahan. Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Hal ini di dukung berdasarkan hasil penelitian diatas dimana remaja siswa dan siswi yang mendapatkan pendidikan seks dirumah/keluarga sebanyak 9 orang (6.25%) dan


(58)

berdasarkan hasil penelitian Synoviate Research (2005) melaporkan hanya 5% remaja mendapatkan informasi mengenai seks dari orang tuanya.

5.2.2 Aktivitas seksual

Berdasarkan penelitian diatas berbagai aktivitas seksual sudah pernah dilakukan oleh remaja SMA Negeri 14 Medan. Sarwono (2010) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi yaitu apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial, tanggapan dan penghayatan seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek psikologis. Berdasarkan hasil penelitian ini remaja SMA Negeri 14 Medan yang pernah berpacaran sebanyak 106 orang (73.6%) dan yang tidak pernah sebanyak 38 orang (26,4%). Dengan kata lain remaja SMA Negeri 14 Medan hampir seluruhnya pernah berpacaran ataupun berkencan. Hal ini didukung berdasarkan penelitian Rachmat ( 2007) terhadap 10.833 remaja laki-laki didapatkan Sekitar 72 persen sudah berpacaran Sedangkan dari 9.344 remaja putri yang berusia 15-19 tahun didapatkan data Sekitar 77 persen sudah berpacaran.

Menurut adalah kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih, Berpacaran adalah bercintaan atau berkasih-kasihan


(59)

pacar. Zarina (2008) berpendapat bahwa pacaran adalah suatu hubungan yang di dalamnya terdapat sebuah komitmen dan proses saling mengenal. Biasanya, awal masa pacaran terjadi ketika remaja masuk dalam tahap pubertas atau ketika remaja mengalami perkembangan fisik diawali terjadinya menstruasi bagi anak perempuan atau mimpi basah pada anak laki-laki. Namun tak sedikit anak-anak remaja “bau kencur” yang belum puber pun ikut-ikutan tradisi pacaran dan sayangnya saat ini dalam pergaulan masyarakat justru banyak berkembang pacaran yang tanpa tujuan, apalagi pasangan dengan hubungan tanpa status, tidak memiliki komitmen dan tujuan positif untuk melangkah ke jenjang pernikahan yang disyariatkan.

Menurut Zarina (2008) umumnya ada dua faktor yang banyak mendorong mereka berpacaran, yaitu internal dan ekstrenal. Faktor internal berasal dari dorongan diri remaja itu sendiri, dan faktor eksternal dipengaruhi oleh teman-temannya. Menurut Yuni (2008) fenomena yang kini marak ialah proses pacaran tidak lagi menjadi orientasi utama seseorang untuk mencari pendamping hidup yang tepat, untuk kemudian menuju jenjang pernikahan, namun ada tujuan lain remaja berpacaran yaitu having fun agar tidak ketinggalan zaman, bahkan eksploitasi seksual merupakan sebagian tujuan mereka. Bagi sebagian remaja, pacaran bahkan dimaknai sebagai ajang adu gengsi semata demi menjauhkan diri dari status jomblo yang berarti negatif di kalangan remaja (tak laku), hal ini tak ayal lagi mempengaruhi perilaku dalam berpacaran.


(60)

Remaja yang berpacaran mengharapkan bisa selalu bersama daam segala aktivitas. Kecenderungan selalu dekat dengan pasangannya pada akhrnya membuat mereka makin dekat. Kedekatan itu pun disikapi remaja dengan hal-hal yang seharusnya belum mereka lakukan. Yuni (2008) berpendapat bahwa sebagian besar proses pacaran pada remaja mengarah pada aktivitas seksual. Mulai dari sekedar berpegangan tangan di awal proses pacaran, dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 70,1% remaja SMA Negeri 14 Medan pernah berpegangan tangan dengan pacar, hal ini didukung oeh penelitian Rita (2007) sebanyak 67% remaja SLTA di Jakarta pernah berpegangan tangan selama berpacaran.

Dan selanjutnya ciuman menjadi hal biasa bagi remaja untuk menunjukkan rasa sayang kepada pasangannya. Berdasarkan penelitian kualitatif yang dilakukan oeh Yuni (2008) remaja (responden) mengungkapkan bahwa ciuman adalah hal lumrah untuk menyatakan rasa cinta kepada pasangannya. Mereka mengatakan bahwa ciuman dalam masa pacaran sah-sah saja dilakukan sebagai tanda sayang. Semua responden (remaja) ini mengaku pernah merasakannya. Hal itu dianggap wajar dan harus ada dalam hubungan pacaran. Dan itu memang hal yang sudah seharusnya dilakukan, tak ada yang spesial, Malah mereka (remaja) melanjutkan, hal itu hanya hal biasa yang tak bisa dibanggakan. Berdasarkan penelitian Rita (2007) bahwa remaja SLTA dijakarta sebanyak 40,4% pernah mencium pipi pacar dan sebanyak 20,5 remaja pernah mencium bibir pacarnya.


(61)

Komisi Nasional (komNas) perlindungan anak (2008) mencatat 93.7% siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman. Aktivitas seksual remaja lainnya yang dilakukan remaja selain berciuman yakni berpelukan dengan pacar sebanyak 47,9%, dipegang/memegang buah dada pacar sebanyak 21,5%, memegang alat kelamin pacar sebanyak 13,2%. Hasil penelitian ini sejalan dengan peneitian Rita (2007) bahwa remaja SLTA sebanyak 38.0% pernah berpelukan dengan pacar, meraba dada sebanyak 13.5% dan meraba alat kelamin pacar sebanyak 7.2%.

Aktivitas seksual remaja SMA Negeri 14 Medan sebanyak 39,6% pernah melakukan masturbasi dimana menurut Teddy (2008) Masturbasi adalah rangsangan disengaja yang dilakukan pada organ genital untuk memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual. Hal ini sekali-sekali dilakukan oleh sebagian besar pria maupun wanita. Ratuprimadona (2009) mengatakan bahwa Masturbasi sudah dianggap sebagai satu hal yang wajar dan normal dilakukan walaupun orang suka masturbasi masih sembunyi-sembunyi melakukannya dan selain itu merupakan kejadian yang umum ditengah perkembangan seksual seseorang. Hal ini didukung berdasarkan penelitian Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa tengah (2005) bahwa remaja yang pernah melakukan masturbasi sebanyak 46,66%. Keinginan untuk melakukan masturbasi timbul karena rangsangan-rangsangan seksual yang mengerakkan libido untuk memenuhi kebutuhan seks guna mencari kepuasan.

Menurut Jupiter (2007) Hampir 82% dari laki-laki usia 15 tahun melakukan masturbasi, sedangkan hanya 20% dari perempuan usia 15 tahun yang melakukan


(62)

masturbasi. Perilaku masturbasi ini sendiri secara psikologis menimbulkan kontroversi perasaan antara perasaan "bersalah" dan perasaan "puas". Masturbasi itu sendiri bila dilakukan secara proporsional sebenarnya memiliki beberapa nilai positif yaitu melepaskan tekanan seksual yang menghimpit, (merupakan eksperimen seksual yang sifatnya aman) untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam membuktikan kemampuan seksualnya, mengendalikan dorongan seksual yang tidak terkontrol, mengatasi rasa kesepian, dan memulihkan stress dan tekanan hidup.

Aktivitas seksual lainnya yang dilakukan remaja saat berpacaran yakni melakukan oral seks dimana oral seks menurut Dianawati (2003) merupakan melakukan rangsangan dengan mulut pada organ seks pasangannya. Berdasarkan hasil penelitian ini remaja SMA 14 Negeri Medan sebanyak 4,2% remaja pernah melakukan oral seks selama berpacaran, hal ini sejalan dengan hasil survei Boy dkk (2007) remaja yang melakukan oral seks sebanyak 1%. Jupiter (2007) mengatakan bahwa tipe ini sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model oral ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap aman oleh remaja masa kini.

Selanjutnya aktivitas seksual berupa petting sebanyak 13,2% remaja SMA Negeri 14 Medan pernah melakukan aktivitas tersebut, dimana petting menurut Jupiter (2007) adalah upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan atau tanpa melakukan tindakan intercourse. Usia 15 tahun ditemukan


(63)

melakukan petting. Hal ini sejalan dengan hasil survey PKBI Yokjakarta (2002) bahwa remaja pernah melakukan petting sebanyak 21,2%. Aktivitas seksual yakni hubungan seksual, berdasarkan hasil penelitian ini remaja SMA Negeri 14 Medan pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 0,7%. Aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja SMA Negari 14 Medan masih tergolong rendah bila dibandingkan dengan hasil survey PKBI Yokjakarta (2002) sebanyak 12,1% remaja pernah melakukan hubungan seksual.

Berdasarkan hasil penelitian PKBI Rakyat Merdeka & Komnas PA (2002) sebanyak 52% remaja di Kota Medan mengaku pernah berhubungan seks

pra nikah, sebanyak 51% terdapat di Jabotabek, 54% di Surabaya dan juga 47% terdapat di Bandung yang remajanya pernah melakukan hubungan seks pra nikah. Hasil penelitian Amelia (2007) menyatakan alasan remaja yang telah melakukan seks pranikah dengan pacarnya adalah karena adanya tekanan dari teman pergaulan, tekanan dari pacar, kebutuhan badaniah, rasa penasaran dan kecenderungan pelanggaran makin meningkat dari media massa elektronik. Menurut Dianawati (2003) hubungan seksual atau yang disebut bersetubuh yang benar menurut etika,moral, dan agama adalah jika dilakukan melalui sebuah ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilandasi rasa cinta. Aktivitas seksual seperti ini tidak akan menimbulkan rasa ketakutan terhadap penyakit menular seksual, resiko kehamilan diluar nikah ataupun berdosa.


(64)

5.2.3 Hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja di SMA Negeri 14 Medan

Analisa hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja diukur dengan menggunakan uji chi square. Hasil penelitian di dapat p=0.890 (α 0.05) yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja. Dengan kata lain bahwa sebagian besar remaja SMA Negeri 14 Medan yang pernah mendapatkan pendidikan seks, berbagai kegiatan aktivitas seksual yang dilakukan hampir sama dengan remaja yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Sarwono (2010) yang mengatakan pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks. Begitu juga dengan pendapat Asrofudin (2010) bahwa pendidikan seks bertujuan melindungi remaja dari berbagai akibat buruk karena persepsi dan aktivitas seksual yang keliru.

Berbagai aktivitas seksual yang dilakukan oleh remaja kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya tingginya dorongan berbagai media yang menyebabkan munculnya rasa ingin tahu remaja dimana dengan semakin mudahnya akses informasi, khususnya internet yang dapat menyediakan stimulus atau rangsangan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hasrat seksual yang telah ada semakin ‘diasah’ oleh pornografi yang dapat dengan mudah ditemukan di internet (Sarwono, 2006 dalam Ucoup 2010).


(65)

Handayani (2008 dalam Ucoup 2010) mengatakan bahwa Indonesia menempati posisi ketujuh untuk negara dengan pencarian kata ‘sex’ terbanyak di dunia. Setiap detiknya 28.258 pengguna internet didunia mengakses konten pornografi, dengan 80% usernya berasal dari Indonesia. Tidak hanya internet, hal-hal yang dapat memicu libido atau hasrat seksual juga dapat dengan mudah ditemui VCD, TV, dan tabloid porno. Seperti yang telah dijelaskan diatas faktor lain yang dapat memicu remaja melakukan aktivitas seksual yakni teman sebaya memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja, tidak terkecuali dalam seksualitas, Menurut Newcomb, Huba, and hubler (1986 dalam Ucoup, 2010) mengatakan bahwa perilaku (aktivitas) seksual juga di pengaruhi secara positif oleh teman sebaya yang juga aktif secara seksual, jika seorang remaja yang mempunyai teman yang aktif secara seksual maka akan semakin besar pula kemungkinan remaja tersebut untuk juga aktif secara seksual mengingat bahwa pada usia tersebut remaja ingin diterima oleh lingkungannya.

Penelitian terbaru di University of Pennsylvania School of Medicine, Amerika Serikat (2004) menyatakan bahwa program pantang melakukan seks (abstinence) lebih efektif mencegah seks bebas di kalangan remaja dibanding pendidikan seks di sekolah (sex education). Penelitian yang dimuat untuk isu utama Februari dalam Jurnal Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine menunjukkan bahwa program-program edukasi yang mendorong siswa untuk tidak melakukan hubungan seks, lebih berhasil daripada pendidikan seks itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jemmott (2004)


(66)

mengatakan bahwa program larangan berhubungan seks yang hanya sehari menunjukkan efektivitas yang lebih tinggi dibanding pendidikan seks yang berlangsung lama.


(67)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 KESIMPULAN

Berdasarkan usia responden yang berda dalam usia 16 tahun sebanyak 16 orang (11,11%), usia 17 tahun sebanyak 62 orang (43,6%), usia 17 tahun sebanyak 54 tshun (37,50%), usia 18 tahun sebanyak 12 orang ((8,33%) dan reponden jenis kelamin laki-laki sebanyak 70 orang (48.61%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 74 orang (51,39%). Dalam penelitian ini remaja yang pernah mendapatkan pendidikan seks sebanyak 102 orang (70,8%) dan yang tidak pernah mendapatkan pendidikan seks sebanyak 42 orang (29,2%).

Berdasarkan hasil analisa data aktivitas seksual remaja, remaja yang pernah berpacaran sebanyak 106 orang (73,6%), berpegangan tangan dengan pacar sebanyak 101 orang (70,1%), mencium pipi pacar sebanyak 84 orang (58,3%), mencium bibir pacar sebanyak 72 orang (50%), berpelukan dengan pacar sebanyak 69 orang (47,9%), dipegang/memegang buah dada pacar sebanyak 31 orang (21,5%), memegang alat kelamin pacar sebanyak 19 orang (13,2%), masturbasi sebanyak 57 orang (39,6%), petting sebanyak 19 orang (13,2%), oral

seks sebanyak 6 orang (4,2%), anal seks 0%, dan yang melakukan hubungan

seksual sebanyak 1 orang (0,7%). Hasil analisa data hubungan pendidikan seks dengan aktivitas seksual pada remaja SMA Negeri 14 Medan tidak memiliki hubungan yang bermakna dimana p=0,890 (α=0.05)


(68)

6.2 Saran

6.2.1 Praktek Keperawatan

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, diharapkan perawat komunitas lebih memperhatikan pelayanan kesehatan dalam mencegah penyimpangan seksual yang tidak diinginkan seperti penyuluhan aktivitas seksual apa yang sepantasnya dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan oleh remaja.

6.2.2 Pendidikan Keperawatan

Dari hasil penelitian ini bahwa banyak remaja telah melakukan berbagai aktivitas seksual, apabila tidak dilakukan pencegahan maka nantinya akan mengarah pada seks bebas untuk itu diharapkan mahasiswa keperawatan melalui pendidikan keperawatan terdorong untuk melakukan kegiatan pencegahan penyimpangan aktivitas seksual remaja dalam kegiatan praktek keperawatan.

6.2.3 Riset Keperawatan

Berdasarkan hasil penelitian ini remaja yang mendapatkan pendidikan seks telah melakukan berbagai aktivitas seksual termasuk melakukan hubungan seksual pra nikah. Dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya aktivitas seksual remaja yang menyimpang sehingga apabila tidak dilakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangannya pada suatu saat akan terjadi penurunan kualitas kesehatan seksual remaja yang berarti pua akan mempengaruhi kualitas bangsa. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar memberikan


(69)

pendidikan seksualitas yang didalamnya terdapat program-program edukasi yang melarang remaja untuk tidak melakukan hubungan seksual pra nikah dan juga memberikan pendidikan mengenai ajaran agama agar remaja dapat mengetahui aktivitas seksual mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh remaja.


(70)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Dkk. 2009. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Anonymous (2010) Peranan orang tua sangat diperlukan untuk mencegah para

remaja melakukan hubungan seks pra nikah (di luar nikah. Diambil

pada tanggal 20 Oktober 2010 dari Kapan lagi. Com.

Anonymous (2010) Pendidikan Seks Efektifkah. Diambil pada tanggal 15 Oktober 2010. http://lifestyle.okezone.com/read/2010/02/24/196/3066 20/search.htmla.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi 6., Jakarta: EGC.

Bararah V.F (2010) Perilaku Seksual Remaja Indonesia. Diambil pada tanggal 15 Oktober 2010 dari

Dempsey, P. A. (2002). Riset Keperawatan Buku Ajar dan Latihan, Edisi 4., Jakarta: EGC.

Dianawati, A. (2003). Pendidikan Seks Untuk Remaja, Jakarta: Kawan Pustaka. Dhimas (2008) Perubahan Orientasi Pacaran Para Remaja. Diambil pada

tanggal 12 Oktober

Glevinno, A. (2008). Remaja dan Seks. Diambil tanggal 10 Maret 2010 dari http:/publickompasiana.com/.

Jupiter (2007) Seksualitas Remaja. Diambil pada tanggal 30 Okober 2010 dari Kartika, L.B. (2009). Remaja Indonesia Berhubungan Seks Di Usia Relatif Muda.

Diambil tanggal 10 Maret 2010 dari

Mitra Citra Remaja (2010) Pendidikan seks remaja. Diambil tanggal 12 oktober

Notoatmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Edisi Revisi., Jakarta: PT Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya, Jakarta: PT Rineka Cipta.


(71)

Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi penelitian Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta

Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan: Pedoman Skripsi, Teses dan Instumen Penelitian,

Edisi 1., Jakarta: Salemba Medika.

Polit, D.F & Hungler, B.P. (1999). Nursing Research:Prnciples and Methods Fifth Editin. Philadelphia: J.B. Lipincot Company

Sarwono, S. W. (2010). Psikologi Remaja, Edisi Revisi., Jakarta: PT Raja Grafindo.

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Jakarta: Graha Ilmu. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya. Jakarta:

Sagung Seto.

Trunodipo T.W (2008) pada tanggal 16 Oktober 2010

Uc0epz (2010) Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Seksual. Diambil pada tanggal 01 November 2010 dari http://masyuz.blogspot.com/20 10/06/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html


(1)

(2)

(3)

(4)

CROSSTABS /TABLES=pendidikan_seks BY aktivitas_seks /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ /CELLS=COUNT COLUMN /COUNT ROUND CELL.

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pendidikan_seks * aktivitas_seks

144 100.0% 0 .0% 144 100.0%

pendidikan_seks * aktivitas_seks Crosstabulation aktivitas_seks

Total tidak pernah pernah

pendidikan_seks tidak pernah Count 37 5 42

% within aktivitas_seks 29.4% 27.8% 29.2%

pernah Count 89 13 102

% within aktivitas_seks 70.6% 72.2% 70.8%

Total Count 126 18 144

% within aktivitas_seks 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .019a 1 .890

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .019 1 .889

Fisher's Exact Test 1.000 .566

Linear-by-Linear Association

.019 1 .890

N of Valid Cases 144

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.25. b. Computed only for a 2x2 table


(5)

ANGGARAN BIAYA PENELITIAN

PROPOSAL

Biaya sumber tinjauan pustaka Rp 250.000 Biaya menyelesaikan proposal Rp 250.000 Biaya perbanyak proposal Rp 50.000 PENGUMPULAN DATA

Izin penelitian Rp 50.000 Transportasi Rp 10.000

Penggandaan kuisioner Rp 50.000 ANALISA DATA DAN PENYUSUNAN SKRIPSI

Biaya print Rp 50.000 Penjilidan Rp 15.000 Penggandaan skripsi Rp 50.000 Jumlah Rp 775.000


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Lenci Manurung

Tempat Tanggal Lahir : Siraituruk, 30 Oktober 1986 Agama : Perempuan

Alamat : Kristen Protestan

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 1993-1999 : SD Siraituruk

2. Tahun 1999-2002 : SMP Negeri 2 Siraituruk 3. Tahun 2002-2005 : SPK YTP Arjuna Laguboti

4. Tahun 2005-2008 : DIII Keperawatan Stikes Bali, Denpasar 5. Tahun 2010 : Fakultas Keperawatan USU Medan