Kedudukan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim

milik masyarakat. Sehingga seperti yang telah diungkapkan di atas, pentingya pertanggungjawaban para hakim sehingga putusan pengadilan itu harus dipertanggungjawabkan secara moral dan yuridis kepada masyarakat. Dengan terbukanya atau publikasi dari dissenting opinion atau menjadi bagian satu kesatuan dari putusan peradilan memberikan peluang bahwa masyarakat dapat berpendapat dan mengkritik secara bebas sebagai bagian masukan yang informatif bagi lembaga peradilan itu sendiri. Serta tentu menunjukkan kemadirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara

B. Kedudukan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim

Sistem hukum Indonesia mengadopsi sistem hukum peninggalan Belanda, yang merupakan warisan Bangsa Romawi. Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad ke-5 527-565 Myang pada masa kini dianut dihampir seluruh benua Eropa, Amerika Selatan, dan berbagai negara Asia. Sistem hukum kontinental biasanya mengandalkan kitab undang-undang atau peraturan tertulis dalam penegakan hukum dan mengedepankan prinsip kepastian hukum.Secara teori, hakim di negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental hanya boleh menerapkan hukum yang termuat dalam undang-undang atau kitab undang-undang dan tidak boleh membuat hukum judge made law. Konsep dissenting opinion yang dianut oleh negara Indonesia juga tidak terlepas dari sistem hukum eropa kontinental, sistem ini berasal dari kodifikasi Universitas Sumatera Utara hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Yustianus yang merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustianus yang disebut dengan Corvus Juris Civiliyang dijadikan sebagai dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum. Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum eropa kontinental ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Dalam sistem hukum ini dikenal sebuah adagium “tiada hukum selain undang-undang”, dengan kata lain bahwa hukum selalu diidentikkan dengan undang-undang. Hakim dalam sistem hukum ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya, putusan hakim tidak mengikat secara umum tapi hanya mengikat para pihak yang bersengketa. Dalam perkembang peradaban manusia terjadi pergeseran dimana sistem hukum yang telah dianut tersebut menjadi tidak bersifat kaku, telah terjadi pembauran antarsistem dengan menyerap kelebihan masing-masing sistem.Sehingga penemuan hukum tidak lagi murni otonom maupun murni heteronom, Di Indonesia misalnya, dalam proses pemeriksaan, HIR menganut asas inquisatoir yang menjadi ciri khas negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental. Kemudian KUHAP mengatur tentang tersangka yang dipandang sebagai subjek pemeriksaan dan berhak memberikan keterangan secara bebas dalam mengajukan pembelaan yang menggeser asas inquisatoir menjadi asas accusatoir yang biasa digunakan dalam sistem Anglo Saxon. Pergeseran ini juga Universitas Sumatera Utara memengaruhi tugas hakim dari “hakim terikat” kearah “hakim bebas” dan pergeseran keadilan menurut undang-undang normgerechtigkeit kearah keadilan menurut hakim seperti yang tertuang dalam putusan einzelfallgerechtigkeit, serta terjadi pergeseran pola berpikir dari yang mengacu kepada sistem systeemdenken kearah berpikir mengacu kepada masalah problem oriented. Hal ini membuka ruang kepada hakim untuk membentuk hukum judge made law. 80 Pada negara yang menganut Sistem Hukum Anglo Saxonseperti Amerika dan Inggris, pendapat atau opini di bidang hukum biasanyamerupakan penjelasan tertulis yang dibuat oleh Hakim. Penjelasan tertulis tersebut menyatakan peranan para Hakim dalam menyelesaikan perkara. Penjelasan tertulis tersebut dibuat berdasarkan pada rasionalitas dan prinsiphukum yang mengarahkan mereka Berbeda dengan Eropa Kontinental, negara dengan sistem hukum Anglo- saxon menganggap selain sebagai pelaksana hukum, hakim juga sebagai pembentuk hukum judge made law. Peranan hakim sangat penting dalam pembentukan hukum, karena sistem common law memiliki prinsip:“the law that develops and derives through judicial decision”. Hakim berhak membuat putusan yang lebih didasarkan pada keadaan dan norma yangberlaku di masyrakat dari pada berpegang pada norma hukum itu sendiri.Namun, perbedaan tersebut semakin lama dirasa semakin tidak penting di negara-negara penganut Eropa Kontinentalyang telah mengadopsi dan menerapkan sebagian dari tradisi hukum Anglo-saxon. 80 Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum¸Cahaya Ilmu: Medan, 2006, hlm.184. Universitas Sumatera Utara kepada peraturan yang dibuat. Pendapattertulis ini biasanya diterbitkan dengan arahan dari pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan tentang apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum tersebut diinterpretasikan. Para hakim pengadilan tersebut biasanyakemudian melakukan penegakkan kembali, perubahan, dan penerbitanterhadap hal-hal yang dapat dijadikan sebagai panutan atau teladan dalamhukum. Mengenai pengertian dissenting opinion, Pontang Moerad mendefinisikannya sebagai pendapat putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak sependapat dan tidak setuju disagree dengan putusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim. 81 Menurut Bagir Manan, Pendapat anggota-anggota majelis dalam suatu perkara dapat berupa: Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2000 Tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Hakim Ad Hoc merumuskan bahwa: “Perbedaan pendapat adalah pendapat yang berbeda dari salah seorang anggota majelis, baik mengenai fakta atau hukumnya dalam musyawarah majelis”. 82 1. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat dengan pertimbangan dan amar yang diusulkan pembaca terdahulu. 2. Seluruh anggota dan ketua majelis sepakat mengenai amar seluruh atau sebagian tetapi ada yang menambahkan atau mengusulkan dasar pertimbangan yang berbeda, biasa disebut dengan Concurring Opinion. 3. Ada anggota yang berbeda pendapat baik atas pertimbangan maupun amarnya, biasa disebut dengan dissenting opinion 81 Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 111. 82 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004. FH UII Press: Yogyakarta, 2007, hlm. 204. Universitas Sumatera Utara Pandangan mengenai pentingnya dissenting opinion ini erat kaitannya dengan pertanggungjawaban hakim secara individual. Walaupun putusan diambil secara kolektif, pertanggungjawaban hakim secara individual lebih besar dibandingkan pertanggungjawaban secara kolektif. Maka dari itu diperkenankanlah para hakim itu ketika mengambil putusan untuk menjaga tingkat kemandiriannya independensinya dengan mencantumkan perbedaan pandangannya pendapat tersebut dalam putusan. Pelaksanaandissenting opinion sebagai salah satu terobosan hukum yang dulunya tidak memungkinkan untuk dilakukan pada Sistem Hukum Eropa Kontinental seperti Indonesia, karena selain Peraturan Perundang-undangannya tidak ada UU No. 8 tahun 1981 tidak mengatur dissenting opinion, juga ketentuan yang ada dalam Buku II MA melarang dilakukannya dissenting opinion, tetapi ternyata hakim ad hoc yang menangani perkara kepailitan dapat melakukan dissenting opinion dengan dasar penguat PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur dissenting opinion. Perbedaan pendapat dissenting opinion pertama kali terjadi di Indonesia pada perkara Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN melawan PT. Muara Alas Prima dalam perkara nomor 71PAILIT2000PN. Niaga JKT.PST. Hakim Universitas Sumatera Utara Ad Hoc Eliyana merupakan hakim yang pertama kali mengeluarkan perbedaan pendapat dissenting opinion. 83 Akan tetapi, sejak lahirnya Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang telah beberapa kali diatur dan mengalami perubahan, Mahkamah Agung juga tidak keberatan atas pemberlakuan dissenting opinion sepertidalam putusan kasasi Joko S Chandra yang diputus bebas oleh majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi, tetapi selama belum adanya aturan yang jelas maka tidak bisa dipaksakan agar langkah majelis hakim yang dipimpin Sunu Wahadi untuk memberlakukan dissenting opinion tersebut akan diikuti oleh hakim-hakim lainnya. 84 83 Tata Wijayanta dan Hery Firmansyah. Perbedaan Pendapat Dalam Putusan Pengadilan. Pustaka Yustisia: Yogyakarta,2011, hlm. 75. 84 Kekuasaan Kehakiman pertama kali telah dimuat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1964 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman LN RI 1964107 Tln Ri 2699. Selanjutnya Undang-Undang ini dicabut dan diganti dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman LN RI 197074 Tln RI 2951. Pada tahun 1999 Undang-Undang Tersebut Diamandemen Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU RI No. 14 Tahun 1970 RI Tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman LN RI 1999147 Tln RI 3879. Undang-Undang ini kemudian dicabut dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman LN RI 200438 Tln RI 4358. Pada Tahun 2009 Undang-Undang Ini Dicabut Dengan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman LN RI 2009157 Tln RI 5076. dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, memberikan suatu landasan yang kuat bagi penerapan dissenting opinion yang dibuktikan dengan lahirnya beberapa putusan-putusan yang memuat perbedaan pendapat dissenting opinion, seperti dalam perkara kepailitan antara PT Bank Niaga Tbk melawan PT Barito Pacific Timber Tbk, kasus cessie di Bank Bali dengan terdakwa Joko Chandra alias Djoker. Universitas Sumatera Utara Dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai kaidah tertulis telah memuat norma yang mengatur secara tegas terkait kebebasan dalam menyatakan pikiran sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28 E ayat 2 “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam Pasal 28 E ayat 3 diberikan jaminan dalammengeluarkan pendapat, “...berhak atas kebebasan...dan mengeluarkan pendapat’. Meskipun hanya secara implisit, sebenarnya dapat dijadikan sebagai landasan hakim dalam mengadili perkaraserta memuat pertimbangan yang sesuai dengan nilai kebenaran serta mengemukakan dissenting opinion jika tidak tercapai kata sepakat dalam musyawarah majelis hakim. Namun, terjadi perbedaan dalam penerapan dissenting opinion pada Lembaga- Lembaga Yudikatif di negara kita khususnya dalam hal model pencatuman dissenting opinion itu sendiri. Perbedaan tersebut dapat ditemukan pada Pengadilan Niaga dan pada Mahkamah Konstitusi. Pada Pengadilan Niaga, model pencatuman dissenting opinionterpisah dari putusan. Sedangkan pada Mahkamah Konstitusi, dissenting opinionmerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, sehingga diperlukan penyeragaman model pencatuman dissenting opinion dalam suatu peraturan yang khusus mengatur tentang dissenting opiniontersebut. Mekanisme dissenting opinion dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman terdapat dalam Pasal 14,yakni : 1. Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Universitas Sumatera Utara 2. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. 3. Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung. Berdasarkan kaidah hukum yang terkandung dalam undang-undang di atas khususnya pada ayat 2, memperlihatkan bahwa bagi hakim di Indonesia dimungkinkan untuk menyampaikan pendapatnya yang berbeda dan dimuatnya dalam putusan. Perbedaan pendapat ini bercorak concurring opinion untuk adanya perbedaan pendapat diantara majelis hakim, namun hakim yang berbeda pendapat tersebut akhirnya setuju untuk mencapai mufakat dengan hakim lainnya. Sedangkan pendapat yang bercorak dissenting opinion untuk tidak adanya kata mufakat bulat dalam permusyawaratan hakim, dan putusan ditempuh dengan suara terbanyak dari hakim. Walaupun demikian, apabila terjadi kedua corak tersebut, hakim yang berbeda pendapat wajib untuk menandatangani dan mengikat dirinya kepada mufakat bulat atau pun terhadap suara terbanyak dalam permusyawaratan hakim. Kemudian dalam ayat 3 Undang-Undang ini mengatur bahwa pencantuman perbedaan pendapat Dissenting Opinion dalam putusan bersifat imperative atau mandatory, karena dengan tegas dikatakan ‘wajib’ dimuat dalam Universitas Sumatera Utara putusan. 85 Rasio dari pencantuman ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada pihak yang berperkara maupun masyarakat, bahwa putusan yang dijatuhkan benar-benar diambil melalui pengkajian dan analisis yang matang. 86 1. Menunjukkan bahwa hakim memiliki kebebasan individual dalam memutus, termasuk kebebasan terhadap sesama anggota majelis atau sesama hakim. Namun, sebelum memasukkan dissenting opinion ke dalam Peraturan Perundang-Undangan dan memberikan dasar hukum yang kuat bagi pelaksanaan dissenting opiniontersebut, kita terlebih dahulu harus mengetahui adakah nilai- nilai positif atau manfaat yang dapat kita peroleh dari penggunaan dissenting opinionterhadap perkembangan hukum di negara kita. Pada kenyataanya, keinginan memasukan dissenting opinion dalam KUHAP kita dilatarbelakangi oleh karena dissenting opinion dirasakan mempunyai manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol hakim. Ada beberapa nilai-nilai positif yang dapat diambil dari pelaksanaan dissenting opinion, yaitu: 2. Semakin meningkatkan tanggung jawab individual hakim, kualitas dan wawasan hakim serta meningkatkan kualitas putusan pengadilan. 3. Dapat diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding atau kasasi akan menjadi pertimbangan yaitu pendapat hakim mana dalam majelis tingkat pertama yang sejalan dengan putusan banding atau kasasi tersebut. 85 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hlm. 240. 86 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4. Sebagai indikator untuk menetukan jejang karir Hakim, karena dari sinilah dapat dijadikan pijakan bersama dalam standar penentuan pangkat dan jabatan, sehingga untuk mengukur prestasi hakim tidak hanya dilihat dari segi usia dan etos kerja semata. Akan tetapi juga mulai dipikirkan penilaian prestasi hakim berdasarkan kualitas putusan hakim 5. Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme KKN dan Mafia Peradilan 6. Dengan dissenting opinion dapat diketahui apakah putusan Hakim tersebut sesuai dengan aspirasi hukum yang berkembang dalam masyarakat; 7. Dissenting Opinion juga dapat dipakai untuk mengatur apakah suatu Peraturan Perundang-Undangan cukup responsif terhadap perubahan- perubahan dalam masyarakat. 8. Memberikan pandangan bahwa peradilan Indonesia menuju transparansi peradilan. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion selain memiliki kelebihan, juga memiliki kelemahan. Adapun kekurangan perbedaan pendapat Dissenting Opinion, yaitu: 87 a. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion membawa konsekuensi putusan hakim ditentukan oleh suara terbanyak. Dengan demikian putusan yang benar dan adil adalah sesuai dengan kehendak terbanyak mayoritas, sedangkan ada kemungkinan pendapat minoritas itulah yang benar dan adil. Kebenaran dan keadilan itu adalah suatu kualitas, bukankuantitas. b. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion dapat menimbulkan ketidakpastian hukum secara keilmuan maupun praktek. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, maka dapat dipandang sebagai unsur putusan. Segala muatan 87 Bagir Manan, “Dissenting Opinion Dalam Sistem Peradilan Indonesia”. Varia Peradilan Majalah Hukum: Jakarta, 2006, hlm. 17. Universitas Sumatera Utara dari perbedaan pendapat Dissenting Opinion, baik pertimbangan maupun kesimpulan dapat dianggap sebagai hukum juga, walaupun sebagai hukum yang tidak diterapkan dalam kasustersebut. Namun tidak tertutup kemungkinan dalam perkara serupa dimasa yang akan datang perbedaan pendapat Dissenting Opinion yang diikuti, dan pendapat hakim mayoritas Majority Opinion ditinggalkan. c. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan sesama hakim. Seorang Ketua Majelis dapat merasa sebagai ditantang bahkan mungkin direndahkan oleh anggota yang berbeda pendapat, sehingga antara sesama hakim akan terjadi ketidakharmonisan. d. Perbedaan pendapat Dissenting Opinion dapat menimbulkan sikap individualitas yang berlebihan. Anggota majelis yang menyatakan perbedaan pendapat Dissenting Opinion akan merasa memiliki wawasan, pengetahuan dan menguasai persoalan yang lebih dari hakim lainnya. Terkait dengan salah satu tujuan dari diterapkannya pencantuman pendapat berbeda dissentingopinion dalam putusan hakim adalah untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat dan mewujudkan transparansi peradilan, hendaknya didukung dengan adanya kemudahan yang diberikan kepada masyarakat dalam mengakses putusan tersebut, sebagaimana yang ditegaskan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang No. 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan”. Transparansi peradilan ini juga dipertegas dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dalam Pasal 4 ayat 2 mengatur: Setiap Orang berhak: a. Melihat dan mengetahui Informasi Publik; Universitas Sumatera Utara b. Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; c. Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang- Undang ini; danatau d. Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundangundangan. Selain untuk menciptakan suatu transparansi keadilan dan menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan, diperlukan suatu lembaga untuk mengontrol kekuasaan lembaga peradilan. Keterlibatan publik melalui proses penilaian atau pengujian dapat menjadi salah satu langkah penting dan strategis untuk dilakukan. 88 Keterlibatan publik ini disebut juga dengan eksaminasi publik, yang diartikan sebagai pengujian atau pemeriksaan yang dilakukan oleh masyarakat yang dipilih karena keahlian dan integritasnya terhadap suatu produk peradilan. 89 Eksaminasi publik yang dilakukan oleh masyarakat untuk memberikan suatu shock therapy bagi para aparat hukum serta untuk menunjukkan bahwa diluar aparat hukumpun masyarakat mampu memberikan analisa yang berbobot dan patut diperhatikan. 90 Jelaslah kiranya pelaksanaan dissenting opinion memiliki dampak positif yang lebih besar daripada dampak negatif yang ditimbulkannya. Untuk menjadikannya sebagai suatu bagian dalam peradilan umum, perlu diciptakan 88 Wasingatu Zakiyah, dkk, Panduan Eksaminasi Publik, Indonesia Corruption Watch: Jakarta, 2004, hlm. 25. 89 Ibid, hlm. 27 90 Ibid, hlm. 26 Universitas Sumatera Utara suatu peraturan tentang Pelaksanaan dissenting opiniondalam Hukum Acara Pidana dengan cara merevisi KUHAP yang belum mengalami perubahan sekalipun sejak 1981 yang saat ini didalamnya tidak mengatur dissenting opinion. Revisi KUHAP ini juga sebagai bentuk kedinamisan hukum dalam mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan sebagai bentuk menuju sistem peradilan yang semakin baik. Dengan demikian, diharapkan agar dissenting opiniontersebut dapat diterapkan dengan baik oleh para hakim pada lembaga-lembaga Yudikatif, dalam rangka menegakkan supremasi hukum khususnya dalam menciptakan transparansi informasi di dunia peradilan di Indonesia.Kemudian dipertegas lagi pengaturannya dalam sebuah PERMA seperti yang dilakukan MA pada hakim ad hoc Pengadilan Niaga dan atau dengan mencabut Buku II MA yang berisikan Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan. Untuk menghindari adanya perbedaan pendapat DissentingOpinionyang tidak seharusnya terjadi, diperlukan hal-hal sebagaiberikut: 91 91 H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari 1. Lakukan atau berikan kesempatan untuk mempelajari atau mentelaah kembali berkas perkara yang bersangkutan denganmenunda permusyawaratan. 2. Penguasaan atau wawasan pengetahuan hukum formiil danhukum materiil yang seimbang dari Majelis Hakim danpemahaman terhadap materi perkara dengan tetapmemelihara prinsip saling percaya, keterbukaan serta menjaga integritas mentalitas dan integritas intelegensia 3. Jika terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam, dengan tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memutus perkara,ada baiknya meminta masukan dari pimpinan pengadilan,atau didiskusikan dalam forum pleno Hakim atau Pokja, dandisinilah letak perlunya melakukan diskusi secara berkala. http:pa- bengkulukota.go.idfotoIKHTISAR20PERMUSYAWARAH20MAJELIS20HAKIM.pdf , pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB Universitas Sumatera Utara Apabila perbedaan pendapat Dissenting Opinion itu tidak dapat dihindari, maka lakukanlah dengan hati yang menerima. C. Dissenting Opinion dalamMekanisme Pengambilan Putusan Hakim Ditinjau dari Hukum Acara Pidana Indonesia Di dalam dunia peradilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para pencari keadilan justicia balance, yaitu putusan hakim yang diputus oleh hakim yang profesional dan memiliki integritas moral tinggi sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justice dan social justice. 92 Putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena itu dapat dikonklusikan lebih jauh bahwasanya putusan hakim disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum rech zekerheids tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki, hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. 92 Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 97. Universitas Sumatera Utara Dalam perkara pidana, putusan hakim dapat berupa putusan penjatuhan pidana jika perbuatan pelaku tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, putusan pembebasan dari tindak pidana vrijspraak dalam hal menurut pemeriksaan persidangan perbuatan pelaku tindak pidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atau berupa putusan lepas dari segala tuntutan hukum onslaag van alle rechtsverloging, dalam hal perbuatan terdakwa sebagaimana yang didakwakan terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. 93 Mackenzie mengemukakan pendapatnya bahwa dalam mempertimbangkan pembuatan putusan dalam suatu perkara pidana, ada beberapa teori atau pendekatan yang biasanya dipergunakan oleh hakim, yaitu sebagai berikut: 94 Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan bentuk diskresi hakim dengan menyesuaikan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana baik terdakwa maupun penuntut umum. a. Teori Keseimbangan Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban. Dalam praktik peradilan pidana, keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa dirumuskan dalam pertimbangan mengenai hal-hal memberatkan yang eksistensinya untuk melindungi kepentingan masyrakat dan hal-hal meringankan yang esistensinya untuk melindungi hak-hak dan kepentingan terdakwa sebagai warga negara. Pertimbangan inilah yang nantinya akan menentukan berat tidaknya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. b. Teori Pendekatan Seni Dan Intuisi. 95 93 Pasal 191 ayat 1 KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Pasal 191 ayat 2 KUHAP “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, maka terdakwa diputusan lepas dari segala tuntutan hukum”. Pasal 191 ayat 3 KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana” 94 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika: Jakarta, 2011, hlm. 102-113 Pendekatan seni ini digunakan hakim 95 Diskresi adalah keputusan danatau tindakan yang ditetapkan danatau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan Universitas Sumatera Utara dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh insting atau instuisi dari pada pengetahuan hakim. Dalam praktik peradilan, teori ini digunakan hakim dalam pertimbangan dalam menjatuhkan putusan dengan memperhatikan sistem pembuktian yang dianut, yaitu sekurang-kurangnya ada dua alat bukti dan harus disertai keyakinan hakim. Keyakinan hakim pada dasarnya bersifat subjektif yang hanya didasarkan kepada naluri hakim saja. Hakim juga merupakan manusia biasa yang terkadang melakukan kesalahan dalam menempatkan naluri, sehingga putusan hakim yang keliru dan tidak adil yang menimbulkan polemik dalam masyarakat bisa saja terjadi. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati dalam menggunakan teori ini, yang hanya mengandalkan pada seni dan instuisi semata dari hakim yang bersifat subjektif. c. Teori Pendekatan Keilmuan. Teori ini didasarkan kepada pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitn=annya dengan konsistensi putusan hakim dalam putusan terdahulu terhadap perkara yang mirip. Pendekatan keilmuan ini merupakan sejenis peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar pemikiran intuisinya semata, tetapi harus dilengkapi dnegan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. Oleh karena itu, hakim dituntut untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan hukum maupun ilmu pengetahuan non hukum lainnya, sehingga putusan yang dijatuhkan tersebut dapat memenuhi mencerminkan cita hukum itu sendiri dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi teori-teori yang ada dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa, diadili dan diputuskan oleh hakim. Dalam persidangan, hakim sering meminta keterangan para ahli yang berkompeten dibidangnya untuk menjelaskan esensi dari suatu perkara yang diiajukan kepadanya untuk didengar keterangannya di depan persidangan. Dari keterangan ahli tersebutlah, hakim dapat menambah pemahaman terkait perkara yang sedang diperiksa untuk selanjutnya hakim akan menjatuhkan putusan yang sesuai dengan rasa keadilan. d. Teori Pendekatan Pengalaman. Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang sangat membantu dalam menghadapi perkara yang dihadapi. Melalui pengalaman yang dimilikinya, hakim dapat mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara apakah akan membawa keadilan baik terhadap pelaku, korban, maupun masyarakat secara umum. Pengalaman hakim merupakan bekal yang bagi para hakim dalam bersikap professional, arif, dan bijaksana dalam menjalankan tugasnya yang mendorong hakim untuk lebih berhati-hati dalam menjatuhkan putusan. pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, danatau adanya stagnasi pemerintahan. Lihat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Ayat 9. Universitas Sumatera Utara Dalam teori ini, dalam memutuskan suatu perkara hakim lebih memprioritaskan pengalaman hakim sendiri dalam perkara yang mirip ataupun perkara lain yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani. e. Teori Ratio Decidendi Selain teori yang telah dikemukakan diatas, dikenal juga suatu teori yang disebut sebagai teori ratio decidendi. Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. f. Teori Kebijaksanaan Teori kebijaksanaan diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, dimana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara dipengadilan anak. Teori ini dilandaskan pada rasa cinta terhadap tanah air, nusa dan bangsa Indonesia serta nilai kekeluargaan yang harus ditanam, dipupuk dan dibina. Selanjutnya aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, dan melindungi anakagar kelak dapat menajdi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsanya. Dalam konstitusi Republik Indonesia 96 Dalam KUHAP diatur prinsip-prinsip hukum acara pidana yang menjadi acuan dalam pelaksanaan serta penegakan hukum pidana, salah satunya adalah prinsip larangan campur tangan pihak lain di luar kekuasaan kehakiman terhadap dimuat norma dasar bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis. Hal inilah yang menjadi landasan bagi hakim dalam menerapkan kebebasan personalnya sebagai bentuk kesadaran akan tanggung jawab kepada bangsa dan negara dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa. 96 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28J ayat 2 Universitas Sumatera Utara dan dalam urusan peradilan. 97 Kebebasan hakim dalam menemukan kebenaran materiil dalam peradilan pidana Indonesia tidak terlepas dari konsep sistem hukum eropa continental yang dianut Indonesia. Prinsip utama yang terdapat dalam sistem hukum ini yaitu hukum memperoleh kekuatan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dan terkodifikasi. Dapat disimpulkan bahwa prinsip ini sendiri menggambarkan adanya suatu kedogmatikaan dari sistem hukum itu sendiri yang dapat menghambat hakim dalam menetapkan norma-norma yang dimuat dalam sumber-sumber hukum terhadap perkara yang sedang diperiksa untuk menemukan kebenaran materiil sebagai tujuan dari hukum acara pidana. Prinsip ini secara implisit memberikan kebebasan kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya demi menciptakan suatu keadilan. Dalam hukum acara di Indonesia, susunan persidangan menggunakan sistem majelis. Dimana majelis ini dipimpin oleh seorang hakim ketua yang kemudian membawahi dua orang hakim anggota. Hukum Acara Pidana di Indonesia hanya mengatur proses peradilan secara umum, kemudian secara teknis diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan atau peraturan lain di bawahnya. Misalnya dalam hal mekanisme pengambilan putusan hakim. KUHAP hanya mengatur tentang hal-hal yang sifatnya mendasar. Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilahkan penuntut umum untuk membacakan tuntutannya. Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaannya, yang 97 Ilham Basri, Op.Cit., hlm. 47. Universitas Sumatera Utara dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan terdakw atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir Pasal 182 ayat 1 KUHAP. 98 Jika acara tersebut sudah selesai, Hakim Ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua sidang karena jabatannya maupun atas atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dengan memberikan alasannya. Sesudah itu hakim mengadakan sidang terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, peasihat hukum, penuntut umum dan hadirin menginggalkan ruangan sidang. 99 Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat 4 KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir adalah hakim ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan dan alasannya. 100 Meski begitu, tidak tercapainya mufakat bukan suatu hal yang tidak mungkin terjadi karena sudah menjadi hal yang lumrah apabila dua atau tiga orang sarjana hukum berkumpul akan menghasilkan lebih dari tiga pendapat, Dari KUHAP dapat kita simpulkan apabila ketiga orang anggota majelis hakim dalam bermusyawarah menjelang pengambilan putusan terjadi perbedaan pendapat diantara satu sama lain, maka terlebih dahulu majelis mengupayakan mufakat. Hal ini dilakukan degan mengutarakan masing-masing pertimbangan dan alasan hakim secara mendalam. 98 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Saptha Arta Jaya: Jakarta, 1996, hlm. 291. 99 Ibid. 100 Ibid. Universitas Sumatera Utara berangkat dari hal tersebut, adalah suatu hal yang memungkinkan pendapat hakim satu dengan hakim yang lain saling bertentangan. Apabila terjadi perbedaan pendapat hukum antara majelis yang bermusyawarah, maka perbedaan itu diselesaikan dengan voting, atau hitung suara terbanyak. Cara ini sangat logis, dan oleh karena itu maka jumlah hakim dalam satu majelis harus ganjil agar bisa diselesaikan. 101 Dalam hal hakim saling berbeda pendapat, atau adanya keraguan diantara majelis hakim tentang bersalah atau tidaknya seseorang, hakim harus merujuk kembali kepada KUHAP dimana keyakinan hakim merupakan sebuah keharusan. Selain itu, asas KUHAP juga menandaskan: “lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Asas ini adalah asas In Dubio Proreo yang secara harafiah berarti dalam keraguan, terdakwa harus diuntungkan. Maksudnya adalah jika pengadilan meragukan kesalahan terdakwa, maka demi hukum, terdakwa harus dibebaskan. 102 Putusan yang diambil setiap hakim belum tentu sama. Penelusuran hakim terhadap fakta persidangan, pengetahuan hakim terhadap hukum, dan keyakinan Apabila hal ini terjadi, pendapat yang paling menguntungkan terdakwa yang akan dipakai dalam putusan.Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan dalam buku khusus yang dikelola oleh Ketua Pengadilan Negeri dan bersifat rahasia. 101 H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari http:pa- bengkulukota.go.idfotoIKHTISAR20PERMUSYAWARAH20MAJELIS20HAKIM.pdf , pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB 102 Achmad Ali, Op.Cit, hlm. 201. Universitas Sumatera Utara turut mempengaruhi sikap hakim saat membuat putusan. Putusan majelis hakim diambil pada saat musyawarah digelar. Suasana diskusi dan debat pada saat rapat permusyawaratan hakim itu ikut mempengaruhi. Seorang hakim junior misalnya punya rasa ewuh pakewuh 103 untuk menantang pendapat hakim senior. Hakim masih enggan dan kurang berani untuk berbeda pendapat. Bukan hanya masalah senioritas, tetapi juga kekhawatiran dikucilkan hakim lain. 104 Kebebasan dalam menyampaikan pandangan yang berbeda terhadap suatu perkara merupakan perwujudan dari kebebasan eksistensial hakim. Kebebasan eksistensial ini mendorong hakim untuk mewujudkan eksistensi hakim untuk menemberikan pendapatnya sendiri tanpa adanya intervensi dalam menemukan kebenaran materiil. Kebebasan eksistensial pada dasarnya bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai rasa kesadaran dan tanggung jawab. Oleh karena itu, melalui peraturan perundang-undangan diberikan jaminan kebebasan kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum rechtvinding, dalam hal undang-undang tidak dapat mengakomodir permasalahan yang terjadi di masyarakat, mengingat bahwa hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan belum ada hukum yang mengatur permasalahan tersebut. 105 103 Budaya Ewuh Pakewuh yang berarti sungkan dalam batas-batas normal akan meningkatkan tali silahturami dalam suatu lingkungan, kumpulan atau organisasi. Budaya demikian merupakan cerminan budaya timur yang sangat menghargai orang lain dan tanpa bermaksud menjatuhkan apalagi mempermalukan orang lain. 104 Tata Wijayanta, Buah Reformasi Dunia Peradilan; Perbedaan Pendapat dalam Putusan Pengadilan. Pustaka Yustisia: Yogyakarta, 2011, hlm. 90. 105 Penemuan hukum menurut Paul Scholten adalah suatu keseluruhan aturan-aturan dan kewenangan yang tersusun secara logikal walaupun terus-menerus berubah dan tidak pernah Universitas Sumatera Utara Selain itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman melarang pengadilan menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, sehingga mau tidak mau pengadilan harus menerima perkara yang diajukan kepadanya dengan mengedepankan prinsip keadilan.Hal inilah yang menjadi penyebab lahirnya dissenting opinion. Dissenting opinion sesungguhnya merupakan bentuk akuntabilitas publik atas hakim dalam memutuskan perkara, dimana dalam hal terjadi perbedaan pendapat maka hakim yang berbeda pendapat tersebut menuangkan pendapatnya secara tertulis dan di dalam implementasinya pendapat tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu putusan. 106 Pengertian antara lain sebagaimana disampaikan oleh Julia Laffrangue adalah: “A dissenting opinion is an opinion expressed in a case where a judge who maintains the minority position does not subscribe to the justifications andor conclusion on the judgement of majority”. 107 tertutup pada suatu masyarakat tertentu dalam suatu waktu tertentu. Lihat H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. 24. 106 Yudi Kristiana, Op.Cit, hlm. 305. 107 Julia Laffranque, Justice of the Supreme Court, Dissenting Opinion in the European Court of Justice Estonia’s Possible Contribution to the Democration of the European Union Judical System,Juridica International IX2004 dalam Yudi Kristiana, Op.Cit. Yang kemudian menurut terjemahan bebas diartikan sebagai : Pendapat berbeda adalah pendapat yang dikemukakan dalam kasus di mana seorang hakim yang mempertahankan posisi minoritas tidak dapat memaksakan kesimpulannya pada penilaian hakim mayoritas. Universitas Sumatera Utara Menurut Loebby Luqman, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi putusan hakim yang berpotensi menimbulkan dissenting opinion yakni 108 M. Yahya Harahap memerinci lebih lanjut terkait faktor tersebut menjadi faktor subjektif dan faktor objektif. Faktor subjektif meliputi: : a.Raw in put, yakni faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal, dan sebagainya; b. Instrument input, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; c. Enviromental input, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang berpengaruhi dalam kehidupan seorang hakim, seperti lingkungan organisasi dan seterusnya 109 Penerapan dissenting opinion di Indonesia kemudian mengundang respon negatif dari para sarjana. Salah satunya Susi Dwi Harijanti, yang menganggap praktek tidak tepat bila diadopsi ke peradilan di Indonesia. Sebab, Indonesia a. Sikap perilaku yang apriori, yakni adanya sikap hakim yang sejak semula telah menganggap bahwa terdakwa bahwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana tanpa memerdulikan hak-hak terdakwa sebagai warga negara untuk mendapatkan keadilan. b. Sikap perilaku emosional, yakni bahwa putusan pengadilan akan dipengaruhi oleh perangai hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula putusan hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan hakim yang sabar. c. Sikap arrogance power, yakni sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuaasaan”, disini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain. d. Moral, yakni moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi hakim diliputi tingkah laku yang didasarkan kepada moral pribadi hakim tersebut terlebih dahulu dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara”. 108 Muk Bam, “Mardjono Reksodiputro: Hakim Bukan Terompet UU”,diakses dari http:www.hukumonline.comberitabacahol1090mardjono-reksodiputro-hakim-bukan-terompet- uu pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.59 WIB 109 Pontang Moerad, Op.Cit., hlm. 117-118. Universitas Sumatera Utara menganut sistem Eropa Kontinental atau Civil Law, yang menganggap bahwa hakim dianggap satu kesatuan dengan majelis. 110 Menurutnya dengan adanya dissenting opinion, hakim akan terbiasa membuat pertimbangan hukum dengan baik, karena pertimbangan tersebut akan diuji secara sosial oleh masyarakat yang ingin tahu mutu si hakim. Selain itu, dissenting opinion penting dalam hal perkembangan dunia akademis di bidang hukum. Tidak hanya respon negatif, Mulyadi memberikan pendapat positif tentang penerapan dissenting opinion di Indonesia. 111 Kemudian ayat 7 mengatur bahwa pendapat hakim yang berbeda tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku tersebut sifatnya rahasia”. Kerahasiaan pendapat hakim yang kalah Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengambilan putusan pengadilan didasarkan pada KUHAP, yaitu Pasal 182pada ayat6 yang mengatur pada asasnya putusan dalam musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika ketentuan tersebut huruf c tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. 110 Anonim, “Membandingkan Hukum Itu Harus Hati-Hati”, diakses dari http:www.hukumonline.comberitabacalt552ba2951e93dmembandingkan-hukum-itu-harus- hati-hati . pada tanggal 14 Maret 2016, pukul 21.32 WIB. 111 Muk Bam, “Mardjono Reksodiputro: Hakim Bukan Terompet UU”, diakses dari http:www.hukumonline.comberitabacahol1090mardjono-reksodiputro-hakim-bukan- terompet-uu pada tanggal 17 Maret 2016 pukul 11.59 WIB Universitas Sumatera Utara suara dalam menentukan putusan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP, tertuang juga dalam Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan yang membuat peradilan menjadi tidak terbuka dan masyarakat yang menaruh harapan tinggi terhadap para hakim untuk mencari keadilan semakin tidak percaya lagi pada dunia peradilan, timbul kecurigaan dari masyarakat tentang adanya praktek KKN dan mafia peradilan. 112 Kemudian lahir Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diperbaharuidengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diperkuat dengan PERMA No. 2 tahun 2000 tentang Perubahan dan Penyempurnaan PERMA No. 3 tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc, yang dibuat MA untuk mengisi kekosongan hukum pada UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan yang tidak mengatur tentang dissenting opinion. Hal ini seakan memberi titik cerah terhadap penerapan dissenting opinion di dalam praktek peradilan. Hal ini dikarenakan pada Pasal 19 ayat 3 dan 4 Undang- Undang Kekuasaan Kehakiman ini menyatakan :”Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan; Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. 113 112 Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71. 113 Yudi Kristiana, Op.Cit, hlm. 306. Universitas Sumatera Utara Dari himpunan Peraturan Perundang-Undangan diatas, dapat kita lihat bahwa sebenarnya dissenting opinion sudah selayaknya diterapkan dalam sistem peradilan dan harus dicantumkan dalam putusan agar masyarakat dapat mengetahui dan menilai apa yang menjadi dasar bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara.Suatu perkembangan tentunya, karena jika dahulu perbedaan pendapat yang terjadi dalam musyawarah tidak akan muncul dalam putusan, akan tetapi hanya dicatat dalam buku aduan klachtboekyang bersifat rahasia dan kemudian disimpan oleh Ketua Pengadilansehingga pihak-pihak yang beperkara dan orang-orang diluar pengadilan tidak dapat memperolehnya. Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang