dibandingkan pertanggungjawaban secara kolektif. Maka dari itu diperkenankanlah para hakim itu ketika mengambil putusan untuk menjaga
tingkat kemandiriannya independensinya dengan mencantumkan menyatakan dissenting opinion terhadap suatu perkara dan perbedaan
pendapat maupun pandangannya tersebut dicantumkan dalam putusan. alam kasus ini, Hakim Anggota II Ahmad Derajad menyatakan dissenting
opinion dalam hal hukuman terhadap terdakwa. dissenting opinion dalam kasus ini berguna untuk menyuarakan keadilan menurut hakim terkait tentang
hukuman terdakwa. Dimana seharusnya terdakwa dihukum dengan pidana penjara 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,-.Hal
inimemberikan dampak positifyaitu Hakim yangmemeriksa perkara tersebut memiliki kebebasan individual; dissenting opinion akan memperkaya bahan
pengkajian hukum;dissenting opinion semakin meningkatkan tanggung jawab individualhakim, kualitas dan wawasan hakim serta meningkatkan kualitas
putusanpengadilan; dissenting opinion dapat dipakai sebagai acuan memutusperkara serupa yang terjadi dimasa kemudian; dissenting opinion
telahmemberi kesan bahwa peradilan Indonesia menuju transparansi peradilan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis memberikan saran : 1. Perlu dilahirkan suatu landasan yang mengatur tentang mekanisme dissenting
opinion dalam suatu peraturan perundang-undangan yang khusus.
Universitas Sumatera Utara
2. Perlu disosialisasikan kepada Hakim secara intensif agar Hakim di Indonesia lebih memahami kedudukan dan penggunaan dissenting opinion dalam
peradilan demi mencapai suatu keadilan.
Universitas Sumatera Utara
33
BAB II DISSENTING OPINION DALAM MEKANISME PENGAMBILAN
PUTUSAN HAKIM DITINJAU DARI HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
A. Mekanisme Pengambilan Putusan Hakim
Hakim sebagai salah satusubsistem peradilan merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari keadilan untuk mencari keadilan. Sebagai salah satu
elemen kekuasaan kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.
54
Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989,
55
Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
56
yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili Pasal 1 butir 8 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981.
57
54
Mujahid A. Latief, Op.Cit., hlm. 283.
55
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989. Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberi penegasan yang sama: : “Hakim pengadilan
adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman”.
56
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
57
Dalam Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ditegaskan: “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Penggunaan istilah pejabat sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang membawa konsekuensi oleh karena kewenangan
Universitas Sumatera Utara
dan tanggung jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap tertentu, yaitu sebagai penegak hukum dan keadilan.
58
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, hakim dituntut untuk bekerja secara profesional, bersih, arif, dan bijaksana, serta mempunyai rasa
kemanusiaan yang tinggi, dan juga menguasai dengan baik teori-teori ilmu hukum. Oleh karena itu, sangat berlebihan dan tidak bijaksana tanggapan dari
berbagai pihak yang mengecam, merendahkan, bahkan mengejek hakim yang kadang dilakukan dengan bahasa yang kasar dan tidak proporsional, dalam
menyikapi suatu putusan hakim dalam perkara tertentu. Hakim tidak boleh gentar dengan komentar-komentar tersebut, manakala ia sudah bekerja secara
profesional, bersih, arif, dan bijaksana.
59
Dalam diri hakim diemban suatu amanah untuk menerapkan hukum secara adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan
ketidakadilan, hakim wajib berpihak pada keadilan moral justice dan mengesampingkan perundang-undangan legal justice. Ketidakadilan dalam
suatu perundang-undangan adalah hal yang mungkin terjadi. Hal ini disebabkan karena pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan umum tanpa
memahami keseluruhan cakupan kegiatan masyarakat, sedangkan hal-hal yang berupa pertimbangan yang bersifat konkret diserahkan sepenuhnya menjadi
tanggung jawab hakim.
60
58
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim; dalam bukunya yang berjudul Kode Etik Hakim jilid II, Kencana: Rawamangun, 2013, hlm. 72.
59
Lihat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047KMASKBV2009 – 2SKBP.KYIV2009
60
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty: Yogyakarta, 2007, hlm. 37; yang dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 78.
Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Universitas Sumatera Utara
Pasal 27 ayat 1 mengharuskan Hakim untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
61
Dalam kasus konkret, hakim dapat diibaratkan dengan malaikat peniup sangkakala kehidupan yang menghidupkan hukum tertulis berupa pasal-pasal mati
dan huruf-furuf mati menjadi hidup. Taverne pernah menyatakan: Hal ini yang menjadi penyebab tidak ada
undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya.
62
“Berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang
jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang paling adil”. Senada dengan hal tersebut, Hamilton
juga menyatakan:
63
Pernyataan Taverne di atas mengingatkan pendapat, betapa hakim sebagai personifikasi lembaga peradilan mengemban amanah yang tidak ringan. Hakim
selain dituntut memiliki kemampuan intelektual dalam membuat putusan, juga harus memiliki moral dan integritas tinggi sebagi hakim. Bukan hanya itu, pada
titik tertentu hakim bahkan harus punya kadar iman dan takwa yang tinggi, mampu berkomunikasi dengan baik, di samping sanggup menjaga peran, wibawa,
dan statusnya di hadapan masyarakat. Jika semua persyaratan ini dipenuhi, diharapkan hasil kerja hakim akan merefleksikan rasa keadilan, menjamin
kepastian hukum, dan bermanfaat bagi masyarakat. “Berikan kami orang yang memiliki semangat dalam
pekerjaannya dan kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan”.
61
H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. 12.
62
Kelik Pramudya dan Ananto Widiatmo, Pedoman Etika Profesi Aparat Hukum Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, dan Advokat. PT. Suka Buku: Jakarta, 2004, hlm. 34; yang dikutip dari
Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 71.
63
H. F. Abraham Amos, Op.Cit, hlm. V.
Universitas Sumatera Utara
Didalam mengadili suatu perkara, ada tiga langkah yang harus dilakukan:
64
1. Menemukan hukum, menetapkan manakah yang akan diterapkan diantara
banyak kaidah di dalam sistem hukum, atau jika tidak ada yang tepat diterapkan, setidaknya mencapai suatu kaidah untuk perkara itu yang
mungkin nantinya dipakai sebagai suatu kaidah untuk perkara lain sesudahnya.
2. Menafsirkan kaidah yang dipilih atau diterapkan secara demikian yaitu
menentukan maknanya sebagaimana ketika kaidah itu dibentuk dan berkenaan dengan kekuasaannya yang dimaksud.
3. Menerapkan kepada perkara yang sedang dihadapi kaidah yang ditemukan
dan ditafsirkan sebelumnya. Pengambilan keputusan adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu
permasalahan dengan cara memilih salah satu dari berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yaitu menghasilkan suatu keputusan
yang baik untuk mengatasi suatu masalah. Pengambilan keputusan decision making melibatkan proses kognitif, dimulai dari mengenali
masalah,mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah, menilai, memilih, hingga memutuskan alternatif yang paling adekuat.
Untuk melahirkan sebuah putusan, hakim harus melewati beberapa prosedur tertentu, dan ada berbagai jenis putusan yang akan dilahirkan dari dunia
peradilan.
65
64
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhatara: Jakarta , 1996, hlm. 52.
Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat suatu putusan, karena idealnya suatu putusan harus memuat ide idee des rechtcita-cita hukum
65
Iqbal Albanna, “Putusan Hakim dan Eksekusi”, diakses dari www.pn-
nunukan.go.idindex.phpprofiltupoksi80-sample-dataarticlesjoomla extensions modulesdemo1168-putusan-hakim-dan-eksekusi
, pada tanggal 19 Februari 2016 pukul 20.25 WIB
Universitas Sumatera Utara
yang meliputi tiga unsur, yaitu keadilan Gerechtigheid, kepastian hukum Rechtszekerheid, dan kemanfaatan Zwechtmassigheid.
66
Dalam membuat keputusan pengadilan, seorang hakim dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
67
Menurut Sudikno Mertokusumo, hakim dalam memutus perkara harus memiliki kemampuan menyelesaikan perkara yuridis the power of solving legal
problems, yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu merumuskan masalah hukum legal problem identification, memecahkan masalah legal problems solving,
dan mengambil putusan decision making. 1. Faktor hakim itu sendiri, misalnya adalah kepribadiannya, intelegensi,
suasana hati, 2. Faktor opini publik yang tertulis dalam media massa ketika sidang
tengah berlangsung, 3. Faktor pengacara, misalnya performance dan gaya bicara yang
meyakinkan juga memberikan pengaruh terhadap putusan hukuman, 4. Faktor terdakwa, misalnya jenis kelamin terdakwa, ras dan kemampuan
bicara.
68
Dalam implementasinya, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mensinergikan ketiga unsur tersebut, terutama antara unsur keadilan dengan
kepastian hukum yang kadang bisa saling bertentangan. Hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak
mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan. Jika diibaratkan dalam sebuah garis hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu
perkara berada diantara dua titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu berdiri pada
66
Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Bina Cipta: Bandung, 1986, hlm. 319-320.
67
Probowati, Y. dan Sugiyanto,Peranan Etnik dan Daya Tarik Wajah Terdakwa Terhadap Putusan Hakim. Jurnal Anima: Jakarta, 1997, hlm. 215-228
68
M.Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2012, hlm. 86.
Universitas Sumatera Utara
titik keadilan atau titik kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya.
Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah pada asas kepastian hukum, maka otomatis hakim akan menjauh dari titik keadilan.
Sebaliknya jika hakim menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah pada keadilan, maka secara otomatis hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak
batas-batas kebebasan hakim, dimana hakim hanya dapat bergerak diantara dua titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim
akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di titik keadilan. Hal ini membuktikan meskipun undang-undang
mengatur agar hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.Dalam praktek. hal ini tidak sepenuhnya benar dan
tidak mungkin terjadi. Dapat diambil kesimpulan bahwa seorang hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara tidak selamanya terpaku pada suatu asas, asas yang terkandung dalam putusan disesuaikan dengan kasus yang sedang diperiksa. Meski demikian,
ketiga unsur tersebut tetap harus dipertimbangkan oleh hakim dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang
berkualitas dan memenuhi harapan masyarakat. Putusan hakim biasa diartikan sebagai pernyataan hakim yang dituangkan
dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan konsensius. Menurut
Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang
Universitas Sumatera Utara
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Menurut buku “Peristilahan Hukum Dalam Praktek” yang dikeluarkan
oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, putusan diartikan sebagai “Hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-
masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan”.
69
Adapun pendapat beberapa ahli mengenai putusan adalah sebagai berikut:
70
Pembuatan putusan oleh hakim dipengadilan merupakan proses yang kompleks yang memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Sebelum
mengeluarkan suatu putusan, hakim menelaah terlebih dahulu data-data yang diperoleh selama proses persidangan sepertiapakah bukti- bukti yang dihadirkan
sudah cukup meyakinkan dan sah secara hukum, apakah keterangan saksi dapat Rubinidan Chaidir Ali, merumuskan bahwa keputusan hakim itu
merupakan suatu akte penutup dari suatu proses perkara dan putusan hakim itu disebut vonis yang menurut kesimpulan-kesimpulan terakhir mengenai hukum
dari hakim serta memuat akibat-akibatnya.
Pendapat lain, Ridwan Syahrani memberi batasan putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara perdata Sudikno Mertokusumo kemudian juga memberi batasan putusan hakim
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
Readford mengungkapkan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu perumusan berbagai macam alternatif tindakan dalam menghadapi situasi serta
menetapkan pilihan yang tepat dari berbagai alternatif.
69
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peristilahan Hukum Dalam Praktek, Kejaksaan Agung: Jakarta, 1985, hlm. 221.
70
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dipercaya, saling berkesesuaian dengan keterangan saksi yang lain, meyakinkan dan sah secara hukum, apakah saksi memberikan keterangan yang sebenar-
benarnya atau tidak, bagaimanaisi pembelaan terdakwa, tuntutan jaksa hingga muatan psikologis.
Keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa harus didasari oleh rasa tanggung jawab, keadilan, kebijaksanaan, profesionalisme dan bersifat obyektif.
Selain itu, hakim juga harus bertanya kepada hati nuraninya apakah putusan itu nantinya akan menciptakan rasa keadilan atau malah menjadi suatu bentuk
ketimpangan yang kemudian merobek rasa keadilan di masyarakat. Meskipun sistem hukum di Indonesia terkadang tidak dapat mencapai
keadilan yang sempurna, namun hakim harus dapat menetapkan keputusan yang mendekati keadilan. Di negara demokrasi yang umumnya mengedepankan prinsip
suara terbanyak, perselisihan dapat diatasi dengan cara yang tampak adil dan mendukung stabilitas sosial karena mustahil untuk mencapai suatu keadilan yang
dapat mengakomodir kepentingan semua pihak. Hal ini disebabkan sifat egosentrisme dan paradigma masyarakat yang menanggap suatu keadilan yang
hakiki itu adalah ketika keadilan itu menguntungkan bagi dirinya, meskipun demikian masyarakat harus percaya pada keadilan sistem hukum secara
keseluruhan.
71
71
Wildan Suyuthi Mustofa, Op.Cit, hlm. 75.
Selain itu, sistem peradilan di Indonesia dilandaskan pada Pancasila yang menempatkan harkat dan martabat manusia pada tempatnya dan
melaksanakan perlindungan serta jaminan hak-hak asasi manusia. Hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
tertuang dalam pertimbangan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang memuat Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Mekanisme pengambilan putusan hakim secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, HIR Herzeine Inlandsch Reglement, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan peraturan-peraturan lainnya dibawah undang-undang yang
mengatur secara teknis. Kekuasaan kehakiman mempunyai beberapa asas yang menjadidasar dari
ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum.Asas-asashukum umum kekuasaan kehakiman peradilan yang baikmenurut Bambang Sutiyoso
dan Sri Hastuti Puspitasari diantaranya meliputihal-hal sebagai berikut:
72
Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, pertama-tama harus menggunakan hukum tertulis terlebih
dahulu, yaitu peraturan perundang-undangan, tetapi kalau peraturan perundang- 1. Asas Kebebasan Hakim
2. Pemeriksaan Berlangsung Terbuka 3. Hakim Bersifat Aktif
4. Asas Objektivitas 5. Putusan Disertai Alasan Motiverings Plicht
6. Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan” 7. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan
8. Susunan Persidangan Dalam Bentuk Majelis 9. Pemeriksaan Dalam Dua Tingkat
Berdasarkan uraian diatas, apabila putusan hakim dijatuhkan denganmemenuhi asas – asas tersebut diatas selain menjamin adanya
kepastianhukum, diharapkan juga demi memenuhi rasa keadilan.
72
Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press: Yogyakarta, 2005, hlm.66.
Universitas Sumatera Utara
undangan tersebut ternyata tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan suatu perkara, barulah hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya
dari sumber-sumber hukum lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan, atau hukum tidak tertulis.
Pasal 182 KUHAP ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setelah penuntut umum membacakan tuntutannya dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa selesai
mengajukan pembelaannya, maka majelis hakim menutup persidangan. Meskipun sidang telah ditutup oleh hakim ketua, pemeriksaan dapat dibuka satu kali lagi
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa danatau kuasa hukumnya maupun karena kewenangan dari hakim ketua.
Kemudian majelis hakim mengadakan musyawarah yang bersifat tertutup dimana hanya hakim ketua dan hakim anggota yang ikut dalam musyawarah
untuk mengambil suatu kesimpulan dan memberikan suatu putusan terhadap perkara yang ditangani, yang didasari pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang
terbukti dalam persidangan.
73
Menurut Abdul Manan, Musyawarah Majelis hakim merupakan perundingan yang dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu
perkara yang diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan”.
74
Selanjutnya Abdul Manan mengungkapkan bahwa tujuan diadakannya musyawarah majelis ini adalah untuk menyamakan persepsi, agar terhadap
73
Lihat KUHAP Pasal 182 ayat 4 Jo. Pasal 182 ayat 3
74
H.Insyafli, “Ikhtisar Permusyawarah Majelis Hakim”,diakses dari http:pa-
bengkulukota.go.idfotoIKHTISAR20PERMUSYAWARAH20MAJELIS20HAKIM.pdf ,
pada tanggal 15 Maret 2016 pukul 11.25 WIB
Universitas Sumatera Utara
perkara yang sedang diadili itu dapat dijatuhkan putusan yang seadil-adilnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
75
Menurut M. Natsir Asnawi, majelis hakim setidak-tidaknya akanmelakukan dua hal dalam musyawarah majelis, yaitu:
76
a. Menetapkan pihak mana yang berhasil membuktikan dan pihak mana yang
tidak berhasil membuktikan.Tiap hakim anggota akan mengemukakan pendapatnyamengenai keseluruhan fakta yang terungkap di persidangan.
Masing-masing hakim akan mengkonstantir fakta-fakta sebagaijalan untuk menetapkan hukumnya.
b. Menetapkan hak-hak dan hubungan hukum di antara para pihak. Setelah
hakim menetapkan fakta-fakta yang terjadi, laluhakim mengajukan konklusi yang dapat berupa menetapkansiapa berhak atas apa juga
menetapkan hubungan hukum di antara para pihak. Menurut Shidarta, terdapat enam langkah utama dalam proses penalaran
hukum dalam proses pembuatan putusan hakim, yaitu:
77
“Pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil
terjadi; Kedua, menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber hukum yang relevan sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum
dalam peristilahan yuridis; Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang
terkandung didalam aturan hukum itu the policies underlying those rule, sehingga dihasilkan struktur aturan yang koheren. Keempat,
menghubungan struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, mencari alternatif penyelesaian yang mungkin. Keenam, menetapkan pilihan atas
75
Ibid.
76
M. Natsir Asnawi. Hermeneutika Putusan Hakim. UII Press: Yogyakarta, 2014, hlm. 15.
77
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam konteks KeIndonesiaan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta, 2012, hlm. 87.
Universitas Sumatera Utara
salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir”.
Dalam musyawarah, majelis hakim mengupayakan adanya suatu
kemufakatan dalam pendapat hakim teradap suatu perkara yang akan diputus. Dalam hal tidak mungkin mencapai suatu kemufakatan, keputusan diambil
berdasarkan voting atau suara hakim terbanyak. Kemudian dalam hal pemungutan suara tidak dimungkinkan, yang diambil adalah pendapat hakim yang paling
meguntungkan untuk terdakwa. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, isi keputusan
pengadilan selain harus memuat alasan-asalan dan dasar-dasar putusan, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini diatur
dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.Selain itu, hal-hal yang harus diperhatikan dan dimuat dalam putusan
hakim secara umum diatur dalam Pasal 184 HIR, yaitu: a. Suatu keterangan singkat tetapi jelas dari isi gugatan,
b. Jawaban tergugat atas gugatan itu, c. Alasan-alasan keputusan,
d. Keputusan hakim tentang pokok perkara dan tentang ongkos perkara, e. Keterangan apakah pihak-pihak yang berperkara hadir pada waktu
keputusan itu dijatuhkan,
Universitas Sumatera Utara
f. Kalau keputusan itu didasarkan atas suatu undang-undang ini harus disebutkan,
g. Tanda-tangan hakim dan panitera Putusan hakim yang baik harus dapat memenuhi dua persyaratan, yakni
memenuhi kebutuhan teoritis maupun praktis. Yang dimaksudkan kebutuhan teoritis disini ialah bahwa menitikberatkan kepada fakta hukum beserta
pertimbangannya maka putusan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmu hukum bahkan tidak jarang dengan putusannya yang membentuk
yurispundensiyang dapat menentukan hukum baru merupakan sumber hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan kebutuhan praktis ialah bahwa dengan
putusannya diharapkan hakim dapat menyelesaikan persoalansengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,
maupun masyarakat pada umumnya karena dirasakan adil, benar dan berdasarkan hukum.
78
Biasanya antara pelaksanaan musyawarah dan pembacaan putusan diberi tenggang waktu. Pemberian waktu ini berbeda dengan tenggang waktu dengan
perkara-perkara tertentu yang bersifat khusus seperti praperadilan yang diatur batas waktu pembacaan putusannya. Tidak ada aturan umum yang menentukan
bahwa selain perkara-perkara yang khusus disebutkan secara eksplisit batasan waktu penyelesaiannya. Dalam peradilan pidana, apabila suatu keputusan akan
dijatuhkan, harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada penuntut umum,
78
Iqbal Albanna, “Penemuan Hukum oleh Hakim”, diakses dari http:www.pn-
nunukan.go.idindex.phpprofilpejabat-negarahakim-pengadilan-nunukan80-sample-data- articlesjoomlaextensionsmodulesdemo1167-peran-hakim-dalam-penemuan-hukum-dan-
penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan pada tanggal 15 Maret 2016 pukul
10.59 WIB.
Universitas Sumatera Utara
terdakwa, dan penasehat hukum terdakwa mengenai tanggal pembacaan putusan.
79
Setelah putusan dijatuhkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, maka putusan tersebut bukan lagi menjadi milik pengadilan hakim, akan tetapi
Selain dengan adanya tenggang waktu ketentuan perundang-undangan ternyata juga membenarkan putusan pengadilan negeridijatuhkan dan diumumkan
pada hari itu juga setelah musyawarah dilaksanakan. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 5 Tahun 1959
tanggal 20 April 1959 dan No. 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan
tersebut diucapkan, konsep putusan harus telah dipersiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan hakim di
depan persidangan yang terbuka untuk umum dengan yang tertulis. Putusan hakim harus dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk
umum. Bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka putusan tersebut terancam batal. Akan tetapi, dalam hal penetapan pembacaan di persidangan terbuka untuk umum
tidak diperlukan. Setiap putusan hakim harus dituangkan secara tertulis dan ditandatangani
oleh ketua sidang dan panitera yang memeriksa perkara tersbut. Berdasarkan Pasal 187 HIR apabila ketua sidang berhalangan menandatangi maka putusan itu harus
ditandatangani oleh hakim anggota tertua yang telah ikut memeriksa dan memutus perkaranya, sedangkan apabila panitera yang berhalangan menandatangani, maka
untuk hal tersebut cukup dicatat dalam berita acara.
79
Lihat KUHAP Pasal 182 ayat 8
Universitas Sumatera Utara
milik masyarakat. Sehingga seperti yang telah diungkapkan di atas, pentingya pertanggungjawaban para hakim sehingga putusan pengadilan itu harus
dipertanggungjawabkan secara moral dan yuridis kepada masyarakat. Dengan terbukanya atau publikasi dari dissenting opinion atau menjadi bagian satu
kesatuan dari putusan peradilan memberikan peluang bahwa masyarakat dapat berpendapat dan mengkritik secara bebas sebagai bagian masukan yang informatif
bagi lembaga peradilan itu sendiri. Serta tentu menunjukkan kemadirian dan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara
B. Kedudukan Dissenting Opinion dalam Putusan Hakim