Kesimpulan Saran Kaolinite KESIMPULAN DAN SARAN

72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh bahan stabilisator semen Portland tipe I dan limbah karbit terhadap tanah lempung dengan kadar campuran yang telah ditetapkan dengan masa peram curing time selama 14 hari, dapat disimpulkan dalam tabel 5.1.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh bahan stabilisator semen dan limbah karbit terhadap tanah lempung, penulis memberikan saran bahwa: 1. Melihat hasil penelitian ini, mungkin perlu dilakukan percobaan lanjutan dengan penambahan variasi dari limbah karbit dan semen. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi lama pemeraman yang berbeda sehingga dapat dilakukan perbandingan nilai antar variasi untuk setiap bahan pencampur. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai nilai ekonomis penggunaan limbah karbit sebagai bahan stabilisator stabilizing agents pada tanah lempung jika dikombinasikan dengan bahan pencampur semen. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap proses stabilisasi ini dengan pengujian berbeda, misalnya Triaxial Test, dll. Universitas Sumatera Utara 73 Tabel 5.1 Kesimpulan Penelitian KESIMPULAN Jenis Tanah USCS CL AASHTO A-7-6 Water Content Tanah Asli 17,89 Limbah Karbit 8,27 Specific Gravity Tanah Asli 2,65 Limbah Karbit 2,391 Atterberg Limits Tanah Asli LL 45,49 PL 15,19 IP 30,30 Limbah Karbit LL NON PLASTIS PL IP 2PC + 11CCR LL 36,47 PL 18,14 IP 18,33 Compaction Test Tanah Asli Wopt 21,24 ɤ dmaks 1,317 grcm 3 2PC + 9CCR max Wopt 19,32 ɤ dmaks 1,497 grcm 3 California Bearing Ratio CBR Test Tanah Asli 5,76 2PC + 9CCR max 9,95 Universitas Sumatera Utara 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM 2.1.1 Tanah Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregrat butiran mineral-mineral padat yang tidak tersementasi terikat secara kimia satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk yang berpartikel padat disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut Braja M. Das, 1998. Dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefinisikan sebagai bahan padat baik berupa mineral maupun organik yang terletak di permukaan bumi, terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor bahan induk, iklim, organisme, topografi, dan waktu. Tanah umumnya dapat disebut sebagai kerikil gravel, pasir sand, lanau silt, atau lempung clay, tergantung pada ukuran partikel yang paling dominan pada tanah tersebut. Tanah terdiri dari 3 komponen, yaitu udara, air, dan bahan padat. Udara dianggap tidak mempunyai pengaruh teknis, sedangkan air sangat mempengaruhi sifat-sifat teknis tanah. Ruang di antara butiran-butiran, sebagian atau seluruhnya dapat terisi oleh air atau udara. Bila rongga tersebut terisi air seluruhnya, tanah dikatakan dalam kondisi jenuh sebagian partially saturated.

2.1.2 Sifat-Sifat Fisik Tanah

Tanah terdiri dari 3 tiga fase elemen yaitu: butiran padat solid, air dan udara. Ketiga fase elemen tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1 Universitas Sumatera Utara 10 Gambar 2.1 Elemen Tanah Dalam Keadaan Asli Dan Tiga Fase Elemen Tanah Gambar 2.1 memperlihatkan ketiga fase elemen tanah yang mempunyai volume V dan berat total W. Dari gambar tersebut diperoleh persamaan hubungan antara volume-berat dari tanah berikut : � = � � + � � 2.1 � = � � + � � + � � 2.2 Dimana : � � : volume butiran padat cm 3 � � : volume pori cm 3 � � : volume air di dalam pori cm 3 � � : volume udara di dalam poricm 3 Universitas Sumatera Utara 11 Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan : � = � � + � � 2.3 Dimana: � � : berat butiran padat gr � � : berat air gr

2.1.2.1 Kadar Air Water Content

Kadar air W merupakan perbandingan antara berat air W w dengan berat butiran padat W s dalam tanah tersebut, dinyatakan dalam persen. � = � � � � � 100 2.4 Dimana: W = Kadar air W w = Berat air gr W s = Berat butiran gr

2.1.2.2 Angka Pori Void Ratio

Angka pori atau void ratio e didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga � � dengan volume butiran � � dalam tanah, atau : Universitas Sumatera Utara 12 � = � � � � 2.5 Dimana: � : angka pori � � : volume ronggacm 3 � � : volume butirancm 3

2.1.2.3 Porositas Porocity

Porositas atau porosity n didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara volume rongga � � dengan volume total � dalam tanah, atau : � = � � � � 100 2.6 Dimana: � : porositas � � : volume ronggacm 3 � : volume total cm 3

2.1.2.4 Berat Volume Basah Unit Weight

Berat volume lembab atau basah � � merupakan perbandingan antara berat butiran tanah termasuk air dan udara W dengan volume tanah V. � � = � � 2.7 Dimana: � � = Berat volume basah grcm 3 Universitas Sumatera Utara 13 W = berat butiran tanah gr V = volume total tanah cm 3

2.1.2.5 Berat Volume Kering Dry Unit Weight

Berat volume kering � � merupakan perbandingan antara berat butiran W s dengan volume total V tanah. � � = � � � 2.8 Dimana: � � = berat volume kering grcm 3 � � = berat butiran tanah gr V = volume total tanah cm 3

2.1.2.6 Berat Volume Butiran Padat Soil Volume Weight

Berat volume butiran padat � � merupakan perbandingan antara berat butiran tanah � � dengan volume butiran tanah padat � � . � � = � � � � 2.9 Dimana: � � = berat volume padat grcm 3 Universitas Sumatera Utara 14 � � = berat butiran tanah gr � � = volume total padat cm 3

2.1.2.7 Berat Jenis Specific Gravity

Berat jenis tanah G s merupakan perbandingan antara berat volume butiran padat � � dengan berat volume air � � pada temperature 4º. Nilai suatu berat jenis tanah tidak bersatuan tidak berdimensi. � � = � � � � 2.10 Dimana: G s = berat jenis � � = berat volume padat grcm 3 � � = berat volume air grcm 3 Nilai-nilai berat jenis dari berbagai jenis tanah dapat dilihat dalam Tabel 2.1 berikut ini. Universitas Sumatera Utara 15 Tabel 2.1 Berat Jenis Tanah Sumber: Mekanika Tanah Jilid I, Hardiyatmo, 2002

2.1.2.8 Derajat Kejenuhan S

Derajat kejenuhan atau degree of saturation S didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air � � dengan volume total rongga pori tanah � � . Bila tanah dalam keadaan jenuh, maka � = 1. Derajat kejenuhan suatu tanah � dapat dinyatakan dalam persamaan: � = � � � � � 100 2.11 Dimana: � : derajat kejenuhan � � : berat volume air cm 3 � � : volume total rongga pori tanahcm 3 Macam Tanah Berat Jenis Kerikil 2,65 – 2,68 Pasir 2,65 – 2,68 Lanau tak organic 2,62 – 2,68 Lempung organic 2, 58 – 2,65 Lempung tak organic 2,68 – 2,75 Humus 1,37 Gambut 1,25 – 1,80 Universitas Sumatera Utara 16 Batas-batas nilai dari derajat kejenuhan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan Tanah kering Tanah agak lembab 0 - 0,25 Tanah lembab 0,26 - 0,50 Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75 Tanah basah 0,76 - 0,99 Tanah jenuh 1 Sumber: Mekanika Tanah Jilid I, Hardiyatmo, 2002

2.1.3 Batas-batas Atterberg Atterberg Limit

Tanah yang berbutir halus biasanya memiliki sifat plastis. Sifat plastis tersebut merupakan kemampuan tanah menyesuaikan perubahan bentuk tanah setelah bercampur dengan air pada volume yang tetap. Tanah tersebut akan berbentuk cair, plastis, semi padat atau padat tergantung jumlah air yang bercampur pada tanah tersebut. Batas-batas Atterberg terbagi dalam tiga batas berdasarkan kadar airnya yaitu batas cair liquid limit, batas plastis plastic limit dan batas susut shrinkage limit. Ada dua parameter utama untuk mengetahui plastisitas tanah lempung, yaitu batas atas dan batas bawah plastisitas. Atterberg memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan Universitas Sumatera Utara 17 mempertimbangkan kandungan kadar airnya Holtz dan Kovacs, 1981.Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai sifat teknik yang buruk yaitu kekuatannya rendah, sedangkan kompresibilitasnya tinggi sehingga sulit dalam hal pemadatannya. Oleh karena itu, atas dasar kandungan kadar air dalam tanah, tanah dapat dipisahkan ke dalam empat keadaan dasar, yaitu : padat, semi padat, plastis dan cair, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2 di bawah ini. PadatSemi Padat Plastis Cair Batas Susut Batas Plastis Batas Cair Shrinkage Limit Plastic Limit Liquid Limit Gambar 2.2 Batas-Batas Atterberg

2.1.3.1 Batas Cair Liquid Limit

Batas Cair LL adalah kadar air tanah yang untuk nilai-nilai diatasnya, tanah akan berprilaku sebagai cairan kental batas antara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu batas atas dari daerah plastis. Batas cair ditentukan dari pengujian Cassagrande 1948, yakni dengan menggunakan cawan yang telah dibentuk sedemikian rupa yang telah berisi sampel tanah yang telah dibelah oleh grooving tool dan dilakukan dengan pemukulan sampel dengan jumlah dua sampel dengan pukulan diatas 25 pukulan dan dua sampel dengan pukulan dibawah 25 pukulan sampai tanah yang telah dibelah tersebut menyatu. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan persamaan Basah Kering Universitas Sumatera Utara 18 sehingga didapatkan nilai kadar air pada 25 kali pukulan. Batas cair memiliki batas nilai antara 0 – 100, akan tetapi kebanyakan tanah memiliki nilai batas cair kurang dari 100 Holtz dan Kovacs, 1981. Pengujian dilaksanakan dengan menempatkan segumpal tanah dalam sebuah mangkok dan membuat alur dengan ukuran standar pada tanah tersebut. Kemudian mangkok dijatuhkan ke atas permukaan yang keras dengan ketinggian 10 mm. Batas cair ditetapkan sebagai kadar air apabila alur bertaut selebar 12,7 mm 1 2 �� pada 25 pukulan. Alat uji batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini. Gambar 2.3 Alat Uji Batas Cair

2.1.3.2 Batas Plastis Plastic Limit

Tanah dianggap dalam keadaan plastis apabila dapat dibentuk atau diolah menjadi bentuk baru tanpa retak-retak. Kadar air terendah dimana tanah dianggap dalam keadaan plastis disebut batas plastis PL dari tanah itu. Batas plastis ditentukan dengan menggulung segumpal tanah menjadi sebuah batangan. Universitas Sumatera Utara 19 Apabila batangan tersebut mulai retak-retak pada diameter 3,18 mm 1 8 ��, kadar airnya adalah batas plastis ASTM D-424. Batas plastis PL adalah kadar air tanah pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat. Batas plastis memiliki batas nilai antara 0 – 100, akan tetapi kebanyakan tanah memiliki nilai batas cair kurang dari 40 Holtz dan Kovacs, 1981.

2.1.3.3 Batas Susut Shrinkage Limit

Batas susut shrinkage limit adalah kadar air tanah pada kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Percobaan batas susut dilaksanakan dalam laboratorium dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas susut dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.12 seperti yang ditunjukkan pada rumusan dibawah ini. �� = � � 1 −� 2 � 2 − � 1 −� 2 � � � 2 � � 100 2.12 Dimana: � 1 : berat tanah basah dalam cawan percobaan gr � 2 : berat tanah kering oven gr � 1 : volume tanah basah dalam cawan cm 3 Universitas Sumatera Utara 20 � 2 : volume tanah kering oven cm 3 � � : berat jenis air grcm 3

2.1.3.4 Indeks Plastisitas Plasticity Index

Indeks Plastisitas merupakan interval kadar air, yaitu tanah masih bersifat plastis. Karena itu, indeks plastis menunjukkan sifat keplastisitasan tanah. Jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis kecil, maka keadaan ini disebut dengan tanah kurus. Kebalikannya, jika tanah mempunyai interval kadar air daerah plastis besar disebut tanah gemuk. Nilai indeks plastisitas dapat dihitung dengan Persamaan 2.13 berikut : IP = LL – PL 2.13 Dimana: PI : indeks plastisitas LL : batas cair PL : batas plastis Klasifikasi jenis tanah berdasarkan indeks plastisitasnya dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Indeks Plastisitas Tanah PI Sifat Macam tanah Kohesi Non – Plastis Pasir Non – Kohesif 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7 - 17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif Sumber: Mekanika Tanah Jilid I, Hardiyatmo, 2002 Universitas Sumatera Utara 21

2.1.4 Sistem Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah digunakan untuk mengelompokkan tanah-tanah sesuai dengan perilaku umum dari tanah pada kondisi fisis tertentu. Tujuan dari pengklasifikasian tanah ini adalah untuk memungkinkan memperkirakan sifat fisis tanah dengan mengelompokkan tanah dengan kelas yang sama yang sifat fisisnya diketahui dan menyediakan sebuah metode yang akurat mengenai deskripsi tanah bagi para ahli. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam urutan berdasar satu kondisi-kondisi fisis tertentu bisa saja mempunyai urutan yang tidak sama jika didasarkan kondisi-kondisi fisis tertentu lainnya. Untuk memperoleh hasil klasifikasi yang lebih objektif, biasanya sampel tanah akan diuji di laboratorium dengan serangkaian uji laboratorium yang dapat menghasilkan klasifikasi tanah. Sejumlah sistem klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut terbagi menjadi tiga sistem klasifikasi yaitu : 1. Klasifikasi tanah berdasar teksturukuran butir 2. Klasifikasi tanah sistem USCS 3. Klasifikasi tanah sistem AASHTO Sistem-sitem ini menggunakan sifat-sifat indeks tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran butiran, batas cair dan indeks plastisitasnya Hardiyatmo, 1992.

2.1.4.1 Klasifikasi Tanah Berdasarkan Ukuran Butir

Ukuran butir dapat dijadikan tolok ukur dalam mengklasifikasikan tanah dan kebanyakan cara-cara dahulu yang lebih mengenal penggunakan ukuran butir dalam mengklasifikasikan jenis tanah. Sistem yang dikembangkan oleh MIT Universitas Sumatera Utara 22 merupakan salah satu sistem klasifikasi tanah yang banyak digunakan berdasarkan ukuran butir tanah. Semakin berkembangnya jaman maka sistem klasifikasi tanah juga berkembang. Kemudian AASHTO dan Unifed juga mengeluarkan sistem klasifikasi tanah berdasarkan ukuran butir yang diperlihatkan oleh Gambar 2.4. Gambar 2.4Klasifikasi berdasar tekstur tanah oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat USDA Meskipun klasifikasi tanah menggunakan ukuran butir memberikan hasil yang sangat baik, tetapi pengklasifikasian dengan sistem ini memiliki kekurangan yaitu hanya sedikit sekali hubungan antara ukuran butir dan sifat-sifat fisis bagi tanah butir halus Dunn et al., 1980. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, maka adanya pengembangan sistem klasifikasi tanah yang mengikut sertakan karakteristik konsistensi dan plastisitas dari fraksi halus. Universitas Sumatera Utara 23

2.1.4.2 Sistem Klasifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi AASHTO American Association Of State Highway and Transportation Official Classification membagi tanah kedalam tujuh kelompok, A-1 sampai A-7. Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya dievaluasi terhadap indeks kelompoknya yang dihitung dengan rumus-rumus empiris. Pengujian yang digunakan hanya analisa saringan dan batas-batas atau atterberg. Indeks kelompok digunakan untuk mengevaluasi lebih lanjut tanah-tanah dalam kelompoknya. Sistem klasifikasi tanah ASSHTO dikembangkan pertama kali pada tahun 1920 oleh U.S. Bureau of Public Roads guna untuk menentukan kualitas tanah dalam perencanaan timbunan jalan, subbase dan subgrade. Gambar 2.5 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO Universitas Sumatera Utara 24

2.1.4.3 Sistem Klasifikasi Unified

Sistem klasifikasi tanah yang sangat terkenal di kalangan ahli tanah dan pondasi adalah sistem klasifikasi tanah menurut unified. Sistem ini dikembangkan oleh Casagrande 1948dan juga dikenal sebagai sistem klasifikasi Airfield. Sistem ini telah dipakai dengan sedikit modifikasi oleh U.S Bureau OfReclamation dan U.S. Corp Of Engineers dalam tahun 1952. Dalam tahun 1969 American Society for Testing and Materials ASTM telah memakai sistem Unified sebagai metode standar guna mengklasifikasikan tanah untuk maksud rekayasa ASTM D-2487. Sistem klasifikasi berdasarkan hasil-hasil percobaan laboratorium yang paling banyak dipakai secara meluas adalah sitem Unified Soil Classification. Ada dua golongan besar, tanah-tanah yang berbutir kasar 50 melalui saringan No. 200 dan tanah-tanah berbutir halus 50 melalui saringan No. 200. Universitas Sumatera Utara 25 Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem Unified Universitas Sumatera Utara 26 2.1.5 Sifat-Sifat Mekanis Tanah 2.1.5.1 Pemadatan Tanah Compaction Pemadatan adalah usaha untuk mempertinggi kerapatan tanah. Pemadatan berfungsi untuk meningkatkan kekuatan tanah dan memperbaiki daya dukungnya, serta mengurangi sifat mudah mampat compressibilitas dan permeabilitas tanah. Derajat kepadatan yang dapat dicapai tergantung tiga faktor yang saling berhubungan, yaitu kadar air selama pemadatan, volume dan jenis tanah dan jenis beban pemadat yang digunakan Krebs dan Walker, dalam Budi Satrio 1998. Beberapa keuntungan yang didapatkan dengan adanya pemadatan adalah berkurangnya penurunan permukaan tanah subsidence, yaitu gerakan vertikal di dalam massa tanah itu sendiri akibat berkurangnya angka pori, bertambahnya kekuatan tanah, dan berkurangnya penyusutan-berkurangnya volume akibat berkurangnya kadar air dari nilai patokan pada saat pengeringan Bowles, 1993. Pada tanah yang mengalami pengujian pemadatan akan terbentuk grafik hubungan berat volume kering dengan kadar air. Kemudian dari grafik hubungan antara kadar air dan berat volume kering ditentukan kepadatan maksimum dan kadar air optimum yang dapat dilihat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Grafik Hubungan Antara Kadar Air Dan Berat Volume Kering Universitas Sumatera Utara 27

2.1.5.2 Pengujian California Bearing Ratio CBR

Daya dukung tanah dasar subgrade pada perencanaan perkerasan lentur dinyatakan dengan nilai CBR California Bearing Ratio. CBR untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh California Division of Highways pada tahun 1928. Sedangkan metode CBR ini dipopulerkan oleh O. J. Porter. CBR adalah perbandingan antara beban yang dibutuhkan untuk penetrasi contoh tanah sebesar 0,1”0,2” denganbeban yang ditahan batu pecah standar padapenetrasi0,1”0,2”Sukirman,1995 Jadi nilai CBR didefinisikan sebagai suatu perbandingan antara beban percobaan test load dengan beban standar standard load dan dinyatakan dalam prosentase. Tujuan dari percobaan CBR adalah untuk dukung tanah dalam kepadatan maksimum. Harga CBR adalah nilai yang menyatakan kualitas tanah dasar dibandingkan dengan bahan standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai CBR sebesar 100 dalam memikul beban lalu lintas. CBR lapangan CBR inplace digunakan untuk mendapatkan nilai CBR asli di lapangan, sesuai dengan tanah dasar saat itu. Umumnya digunakan untuk perencanaan tebal lapisan perkerasan yang lapisan tanah dasarnya tidak akan dipadatkan lagi, selain itu jenis CBR ini digunakan untuk mengontrol kepadatan yang diperoleh apakah sudah sesuai dengan yang diinginkan. CBR lapangan direndam undisturbed soaked CBR.digunakan untuk mendapatkan besarnya nilai CBR asli di lapangan pada keadaan jenuh air dan tanah mengalami pengembangan swelling yang maksimum. Universitas Sumatera Utara 28 Ada dua macam pengukuran CBR yaitu : 1. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada 0.254 cm 0,1” terhadap penetrasistandard besarnya 70,37 kgcm2 1000 psi. Harga CBR = Beban 0.1” 3 x 1000 x 100 2. Nilai CBR untuk tekanan penetrasi pada penetrasi 0,508 cm 0,2”terhadap penetrasi standard yang besarnya 105,56 kgcm 2 1500 psi Harga CBR = Beban 0.2” 3 x 1500 x 100 CBR laboratorium dapat dibedakan atas 2 macam yaitu : a. CBR laboratorium rendaman soaked design CBR Pada pengujian CBR laboratorium rendaman pelaksanaannya lebih sulit karena membutuhkan waktu dan biaya relatif lebih besar dibandingkan CBR laboratorium tanpa rendaman. b. CBR laboratorium tanpa rendaman Unsoaked Design CBR Sedang dari hasil pengujian CBR laboratorium tanpa rendaman sejauh ini selalu menghasilkan daya dukung tanah lebih besar dibandingkan dengan CBR laboratorium rendaman.Disini penulis akan menggunakan pengujian CBR tanpa rendaman. Universitas Sumatera Utara 29 Gambar 2.8 Alat Pemeriksa Nilai CBR di Laboratorium Sumber : Soedarmo, Edy Purnomo, Mekanika Tanah I, 1997

2.2 BAHAN-BAHAN PENELITIAN

2.2.1 Tanah Lempung

Tanah lempung merupakan partikel mineral berkerangka dasar silikat yang berdiameter kurang dari 4 mikrometer. Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi di dalam tanah yang cohesive Bowles, 1991. Lempung clay sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan submikroskopis yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung clay minerals, dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Lempung didefenisikan sebagai golongan partikel yang mempunyai ukuran dari 0,002 mm = 2 mikron Das, 1998 dan sangat tergantung pada komposisi mineral dan unsur-unsur kimianya. Tanah lempung menghasilkan partikel-partikel tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air Grim, 1953 dalam Das, 1998. Universitas Sumatera Utara 30 Umumnya, terdapat kira-kira 15 macam mineral yang diklasifikasikan sebagai mineral lempung Kerr, 1959 dalam Hardiyatmo, 2002. Di antaranya terdiri darikelompok-kelompok:kaolinite, illite,montmorillonitedan polygorskite.

a. Kaolinite

Istilah “kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu Bowles, 1984. Kaolinitemerupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang mengandung karbonat pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning- kuningan atau kecoklat-coklatan. Struktur unit kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran silika tetrahedral yang digabung dengan lembaran alumina oktahedran gibbsite. Lembaran silika dan gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1 : 1 dengan tebal kira- kira 7,2 Å 1 Å=10 -10 m. Mineral kaolinite berwujud seperti lempengan- lempengan tipisdengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m 2 gr yang memiliki rumus kimia: OH 8 Al 4 Si 4 O 10 Keluarga mineral kaolinite 1 : 1 yang lainnya adalah halloysite. Halloysite memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan kaolinite sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk. Halloysite memiliki rumus kimia sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 31 OH 8 Al 4 Si 4 O 10 . 4H 2 O Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat dalam Gambar 2.9. Gambar 2.9 Struktur Kaolinite Das, 2008

b. Illite