38
3.1.3 Masyarakat
Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahunnya tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi ditambah upaya
pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-
lembaga pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET. Kenyataan bahwa NEET terdiri dari orang-orang yang tidak bersekolah,
tidak bekerja, tidak pula berusaha mencari kerja, dan bahkan secara tidak langsung menggunakan pajak masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh
masyarakat, dan menjadi sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan
stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi, karena perilaku dan gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Suatu fakta menunjukkan bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan batasan-batasan
masyarakat yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini
telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali menyebabkan perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat
dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap orang lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat
diamati secara nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi urban. Hanya di daerah pedesaan, yang orang mudanya telah pindah ke kota untuk
Universitas Sumatera Utara
39
mencari pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat.
Grafik Pendapat Masyarakat Jepang Terhadap NEET
Sumber :http:www.socwork.netswsview200485
3.1.4 Pemerintah
Jepang adalah masyarakat dengan pola sekolah untuk bekerja, berbasiskan riwayat pendidikan. Orang Jepang bersaing ketat di bidang pendidikan karena
pendidikan yang bagus akan mengiring mereka ke pekerjaan bagus. Kualitas pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat
berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi
pendidik di Jepang. Tingkatan pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
40
yaitu dengan menggunakan sistem 6-3-3 6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun SMA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas digolongkan sebagai Educational Board.
Sepertinya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang
di dalamnya. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang
hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang dikatakan sebelumya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata
bongkar pasang, tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya dapat menciptakan banyak sumber daya manusia yang
berkualitas. Akan tetapi, tidak semua pemuda Jepang sendiri yang sudah menyelesaikan program pendidikan berniat mencari pekerjaan tetap itu
dikarenakan tidak adanya tuntutan dari keluarga sehingga populasi NEET itu sendiri semakin bertambah tiap tahunnya. Seperti diketahui secara tidak langsung
kehidupan kaum usia lanjut di Jepang disokong oleh orang-orang yang masih produktif yang berusia sekitar 15-65 tahun dalam sistem tenaga kerja dan pensiun.
Kalau tahun 1970-an 9,7 orang usia produktif menanggung satu orang manula, di era 1995 sampai tahun 2000, 4,8 orang usia produktif menanggung seorang
manula, maka diperkirakan tahun 2015 mendatang satu orang manula akan ditanggung oleh 2,4 orang usia produktif. Dengan data ini bisa diperkirakan
bahwa di masa yang akan datang kehidupan kaum muda Jepang yang masih produktif akan semakin berat. Faktor globalisasi ekonomi juga sangatlah erat
Universitas Sumatera Utara
41
kaitannya dalam hal ini. Seperti yang ditulis Satoshi Kawamoto dalam Beyond Shoshika : Serious Effects of Low Fertility and Promotion of New
Policies, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya dengan pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga
para pekerja kontrak ini tidak memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa menunda kesempatan pernikahan karena alasan finansial.
Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa
yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan
mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus
menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara. Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban
ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat
berpengaruh pada masa depan Jepang. Artikel newsvote.bbc.co.uk menyebutkan, pemerintah Jepang mengimpor
tenaga kerja asing untuk bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan pemasukan negara dari pajak penghasilan.Pemerintah menghimbau agar lebih
banyak wanita dan pensiunan untuk kembali bekerja dalam rangka mengisi kekosongan di perusahaan.Pertumbuhan ekonomi yang lamban mengakibatkan
jumlah yang tidak bekerja jadi banyak. Defenisi NEET berubah menjadi ke anak muda yang tidak tahu apa yang mereka inginkan. Tahun 2000, orang-orang yang
Universitas Sumatera Utara
42
tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah, akhirnya muncullah NEET. Tahun 2003, perekonomian Jepang mulai membaik,
perusahaan Jepang sudah sudah mengajak anak muda untuk bekerja lagi tapi masih banyak masalah yang tersisa yaitu: Kesempatan untuk pekerjaan yang stabil
akan terus berlanjut bagi yang berpendidikan rendah, dan NEET yang saat ini diusia akhir 20an masuk ke usia 30an membuat masalah baru.
NEET yang berawal dari tahun 1990-an itu kini sudah beranjak tua mereka tidak bisa bekerja sebagai pegawai reguler. Sehingga jumlah NEET tiap tahunnya
semakin akan terus bertambah. Oleh karena itu, NEET di Jepang tahun 1997 berjumlah 80.000 jiwa berlanjut sampai tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan
selama tiga tahun naik lima kali lipat. Di kemudian hari Jepang akan mengalami krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi penerus
Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan maraknya tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian menimbulkan masalah
lain, yaitu kurangditerimanya para pekerja asing itu di tengah masyarakat Jepang. Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban
ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat
berpengaruh pada masa depan Jepang.
3.2 Upaya Penanganan NEET
Masalah ekonomi yang dialami Jepang membuat banyak perusahaan- perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan PHK
kepada karyawan-karyawannya. Hal ini menyebabkan masalah lainnya muncul,
Universitas Sumatera Utara