Fenomena Neet (Not In Education, Employment, Or Training) Pada Masyarakat Jepang

(1)

FENOMENA NEET (Not in Education, Employment, or Training)

PADA MASYARAKAT JEPANG

Judul penelitian ini adalah fenomena NEET (Not in Education,

Employment, or Training) di masyarakat Jepang. Masalah yang dibahas dalam

penelitian ini adalah seperti apa NEET yang terjadi di masyarakat Jepang dan bagaimana upaya dalam mencegah dampak masalah NEET dalam masyarakat Jepang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian NEET dan jenis-jenis NEET tersebut. Adapun tujuan lain dari skripsi ini adalah untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan NEET terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jepang dan upaya penanganan NEET.

NEET adalah singkatan dari Not in Education, Employment, or Training)

yang berarti masyarakat yang tergolong sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak menikah, tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. NEET juga dikenal sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran) yang tentunya parasit bagi oranglain karena ketidakmauannya untuk belajar, bekerja, ataupun berusaha sehingga mereka digolongkan sebagai sampah masyarakat. NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.

Alasan mengapa masyarakat Jepang lebih memilih menjadi seorang NEET karena di Jepang sering di jumpai orangtua yang terlalu memanjakan atau over

protected. Kemudian NEET juga yang tinggal bersama orangtua akan

ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka akan hidup dari pensiunan orangtuanya. Oleh sebab itu, si anak sendiri


(2)

tidak merasa bahwa keadaannya tidak membuat keluarga merasa terbebani akan dirinya. Alasan orangtua rela melakukan itu meskipun tahu bahwa mereka bukan anak-anak lagi adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik anak-anak mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak mereka berbagi cinta pasif atau amae.

Peningkatan NEET menimbulkan keresahan masyarakat. Hal itu disebabkan karena upaya pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar. Pemerintah mengalokasikan dana untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET.

Seorang NEET bisa dari kaum perempuan dan kaum laki-laki, namun sebagian besar adalah laki-laki. Klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET dengan tipe parasit yang selalu mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temannya daripada bekerja dan menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu menggantungkan diri pada orangtuanya disebut Yankee Kata . NEET dengan tipe penyendiri yang lebih senang mengurung diri dikamar, menarik diri dari pergaulan sosial daripada bekerja dan biasanya banyak mengalami kebosanan hidup yang pada akhirnya memilih untuk bunuh diri disebut Hikikomori Kata. NEET dengan tipe ragu-ragu yang kehidupannya tidak mengalami kemajuan karena tidak mengalami kemajuan karena tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur karir yang cocok bagi dirinya disebut Tachisukumu Kata. NEET dengan tipe gagal yang sudah pernah mengalami kegagalan dalam hidupnya hingga trauma sehingga tidak memiliki


(3)

keinginan untuk kembali bekerja dan takut untuk mencoba kembali karena tidak punya rasa kepercayaan diri lagi disebut Tsumazuki Kata.

Dampak yang ditimbulkan oleh NEET adalah dampak diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dampak yang terjadi pada diri sendiri adalah tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan oleh kebiasaan seorang

NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial. Dampak yang terjadi

pada keluarga adalah seorang NEET yang tinggal bersama orangtua akan ketergantungan secara permanen dan hidup dari pensiunan orangtuanya. Dampak yang terjadi pada masyarakat adalah NEET yang dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi. Dampak yang terjadi pada pemerintah adalah pemerintah Jepang mengimpor tenaga kerja asing untuk bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan pemasukan negara dari pajak penghasilan.

Upaya penanganan masalah NEET ini adalah upaya dari masyarakat dan upaya dari pemerintah. Upaya dari masyarakat adalah mendidik seorang NEET dengan pendidikan informal di dalam masyarakat yang mencakup Personal Skills

Education, Social Skills Education, Environmental Skills dan Vocational/Occupational Skills Education. Upaya dari pemerintah adalah

mengadakan program pelatihan khusus dan bekerja sama dengan perusahaan pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan pengarahan, konseling dan pengenalan dunia kerja bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja yang diharapkan dapat mengurangi jumlah


(4)

要旨

日本社会

に ほ ん し ゃ か い

でのNEET (Not in Education, Employment, or Training)

本論文の主題は「日本社会でのNEET (Not in Education, Employment,

or Training)

げんしょう

現 象

現 象

げんしょう

」である。

ほんけんきゅう

本 研 究 で分析

ぶんせき

したことは「

に ほ ん し ゃ か い

日本社会におけ

NEETはどのような問題

もんだい

なのか」と「

に ほ ん し ゃ か い

日本社会におけるNEETはどのよう

に 影 響

えいきょう

を防止するための努力か」のことである。

ほんけんきゅう

本 研 究 の 目 標

もくひょう

はその

NEET

ていぎ

定義 と 種類

しゅるい

知 るためであり、 日本社会

に ほ ん し ゃ か い

たい

対 するNEETの 影 響

えいきょう

そ の

かいけつ

解決 の こ と を知

る た め で あ る 。NEETと い う こ と ば は 「Not in

Education, Employment, or Training」の

しょうりゃく

省 略 で、 無職

むしょく みこん

未婚 、 学 習

がくしゅう

して

い な い こ と

また

又 は 家事

か じ

し て い な い

じょうきょう

状 況 だ と い う 意味

い み

で あ る 。NEET

むぎょうしゃ

無業者 ( 職 業

しょくぎょう

がない

ひとまた

人又 は 失 業

しつぎょう

)として

知 られていて、他人

たにん

みかた

見方 で

は 学 習

がくしゅう

しょくぎょう

職 業 や 努力

どりょく

などをしたがらないので、

じゃま

邪魔 とクラム

く ら む

である。

にほん

日本 ではNEET

N E E T

けいざいてき

経済的 に 裕福

ゆうふく

かぞく

家族 がある 人

ひと

そんざい

存在 している。どうして

ひと

N E E T

NEETに な る か と い う と、 日本

にほん

で は

おお

多 く の 両 親

りょうしん

こども

子供 を 甘

あま

や か し 、

か ほ ご

過保護である。それに、 両 親

りょうしん

とずっと

住んでいるNEET

N E E T

いぞんえいきゅう

依存永久なって

しまい、40

40 さい

歳 になっても 両 親

りょうしん

ねんきん

年金 を 頼

たよ

って


(5)

のため、NEETの人

ひと

そんざい

存在 が 親

おや

たい

対 して、 邪魔

じゃま

にならないと

おも

思 う。「その

ひと

はもう

こども

子供 ではないのに、どうして 両 親

りょうしん

はそれをするか」というと、

りょうしん

両 親 はお金持

かねも

ちで

じぶん

自分の子供

こども

ようせい

養成できる。他

りゆう

理由は 両 親

りょうしん

こども

子供はお

たが

いに

あま

甘 えしている。NEETの増加

ぞうか

のため、

しゃかい

社会 は 落

着 かなくなる。そ

の原因

げんいん

は、

せいふ

政府は社会

しゃかい

から

おお

多くの税金

ぜいきん

取って資金

しきん

ぶんぱい

分配する努力

どりょく

がある

からである。

せいふ

政府はNEETのために訓練

くんれん

ていきょう

提 供する団体

だんたい

きかん

機関を作

つく

るのに

しきん

資金を分配

ぶんぱい

する。NEET

りょうほう

両 方 の女性

じょせい

だんせい

男性があるが、主

おも

だんせい

男性である。

NEETの資格

しかく

むぎょう

無業, 家事

か じ

む せ き に ん

無責任、学校

がっこう

けんしゅう

研 修に登録

とうろく

してない 15~34

さい

歳の人

ひと

である。

しごと

仕事をするより友達

ともだち

あそ

遊んだり、趣味

しゅみ

じかん

時間を過

ごしたり、

いつも

りょうしん

両 親 に頼

たよ

っている

きせい

寄生のNEETはヤンキーカタという。仕事

しごと

をする

より

ひとり

一人で部屋

へ や

に引き

込んだり、社会

しゃかい

む か ん け い

無関係だったりして、普通

ふつう

せいかつ

生活

で 退屈

たいくつ

するので

じさつ

自殺 するNEETの 人

ひと

引 きこもりカタという。 職 業

しょくぎょう

めるのを 迷

まよ

っているので、

せいかつ

生活 を 進

すす

めないNEET

ひと

人 は 立

ちすくむ

か た

カタ と

いう。 失敗

しっぱい

したことがあるので、

じしん

自身 がなくなって 努力

どりょく

しなくなるNEET

ひと

人はつまずきカタ

か た

という。NEET

じぶん

自分、家族

かぞく

しゃかい

社会と政府

せいふ

まで

えいきょう

影 響を

あた

える。

じぶん

自分に対

たい

するNEET

えいきょう

影 響 は社会

しゃかい

出ないので除外

じょがい

される。

かぞく


(6)

に 対

たい

するNEET

えいきょう

影 響は 依存永久

いぞんえいきゅう

なってしまい、

りょうしん

両 親 の 年金

ねんきん

たよ

頼 って 生

きるようになる。

しゃかい

社会に対

たい

するNEET

えいきょう

影 響は国

くに

あんていせい

安定性だけじゃなく、

現在

げんざい

に ほ ん し ゃ か い

日本社会 の 安定性

あんていせい

は き

破棄 さ せ る こ と が で き る 。 日本政府

に っ ぽ ん せ い ふ

たい

対 す る

NEETの影 響

えいきょう

に っ ぽ ん せ い ふ

日本政府 が 日本

にほん

さんぎょう

産 業 に 外国労働者

がいこくろうどうしゃ

ひつよう

必要 と な り 、

所得税

しょとくぜい

か ら の

ついかしゅうにゅう

追 加 収 入 と な る 。NEETの 問題

もんだい

かいけつ

解決 す る た め に 、 国民

こくみん

せいふ

政府 は 協 力

きょうりょく

し な け れ ば な ら な い 。

こくみん

国民 の 努力

どりょく

こじん

個人 スキル

す き る きょういく

教 育 、

社会的

しゃかいてきす き る

スキル 教 育

きょういく

かんきょう

環 境スキル

す き る

しょくぎょう

職 業 /

/ しょくぎょうぎのうきょういく

職 業 技 能 教 育という 四

よっ

つの

こ と を

ふく

含 む 社会

しゃかい

で の

ひこうしききょういく

非公式教育 を 提 供

ていきょう

す る こ と で あ る 。

せいふ

政府 の 努力

どりょく

とくべつ

特別な 研 修

けんしゅう

ていきょう

提 供 して、国立

こくりつ

し り つ が い し ゃ

私立会社と 協 力

きょうりょく

しなければならないこ

と で あ る 。 そ の

ぷ ろ ぐ ら む

プログラム を 通

つう

じ て 、NEET

ひとびと

人々 に 指導

しどう

か う ん せ り ん ぐ

カウンセリング、仕事

しごと

せかい

世界への 紹 介

しょうかい

、それに

しょくぎょうくんれん

職 業 訓 練も 提 供

ていきょう

される。

それで、NEET

ひとびと

人々の自身

じしん

さか

盛り上

がって

しゅうしょく

就 職 することができ、NEET

の数人

すうにん

げんしょう


(7)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 1996 Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi ( Fenomena pengemis kota Bandung). Bandung: Widya Padjajaran

Mayumi Negishi & Akemi Nakamura.2006. ”NEETs Get Career Help, But at a

Price”,The Japan Times

Nasution, M. Arif. 1996. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Nouki Futagami. 2005.希 望 の 二 - ト ・ 現 場 か ら の メ ッ セ ー ジ, Tokyo: The Japan Times

Reiko Kosugi. 2006. フリータートニート, Tokyo: The Japan Times

Saleha, Amaliatun. 2006. Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer

di Jepang. (Skripsi). Bandung: Universitas Padjajaran

Sayidiman Suryohadiprojo. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam

Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia dan Pustaka

Bradjaguna


(8)

Stephanie, Iswinda. 2010. Analisis Program Bantuan Pemerintah Terhadap

Menurunnya Jumlah Homeless di Jepang Tahun 2007. (Skripsi Sarjana).

Jakarta: Universitas Indonesia

William, Eleroy Curtis. 1896. The Yankees of The East, Sketches of Modern

Japan. New York

Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat, Bandung: PT. Setia Purna Inves

Sumber dari Internet

September 2015

tanggal 12 Desember 2015


(9)

12 Desember 2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi diakses tanggal 29 September 2015

diakses tanggal 9 Desember 2015)

diakses tanggal 21 Desember 2015

http://www.academia.edu/12281332/FENOMENA_PARASITE_SINGLE_DI_JE PANG diakses 29 September 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang diakses tanggal 21 Desember 2015

kebudayaan diakses tanggal 21 Desember 2015


(10)

id.m.wikipedia.org/wiki/Jepang diakses tanggal 18 Desember 2015

id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah diakses tanggal 18 Desember 2015


(11)

BAB III

DAMPAK DAN PENANGANAN NEET DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG

3.1 Dampak NEET

Negara maju seperti Jepang juga tidak luput dari masalah sosial seperti masalah NEET.Hal ini cukup menjadi perhatian bagi masyarakat maupun pemerintah Jepang.Karena masalah NEET memiliki dampak terhadap NEET itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah.Adapun dampak-dampak tersebut adalah:

3.1.1 Diri Sendiri

Dampak yang terjadi pada diri seorang NEET antara lain:

1. Hidup Tersisihkan dari Lingkungan Sosial.

Kehidupan yang dijalankan para penderita NEET ini yang menjadikan seseorang NEET tersebut dapat tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan oleh kebiasaan seorang NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial dan bahkan ada yang sampai tidak peduli apa yang sedang berkembang di lingkungan daerah tempat tinggal mereka sehingga masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya pun tidak merasakan adanya kehadirannya.


(12)

2. Menjadi Tidak Mandiri (Ketergantungan) karena Selama Hidupnya Bergantung Kepada Orangtua.

Keberadaan seorang NEET didalam lingkungan keluarga tidak begitu di permasalahkan hal itu disebabkan karena orangtua keluarga dari seorang NEET dapat menjaminin segala keperluan yang dibutuhkan dari penghasilan yang diperoleh orangtua. Dan orangtua nya pun merasakan mampu mengatasi itu semua sehingga seorang NEET itu akan selalu bergantung hidupnya kepada orangtua mereka.

3. Dapat mengakibatkan gangguan mental.

Seseorang NEET tidak semuanya dapat menikmati kehidupan sehari-harinya yang dimana selalu menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna dan bahkan tidak menemukan orang yang kehidupannya sama dengan dirinya sehingga ada yang merasa bosan bahkan hampir putus asa karena didalam kehidupannya tidak pernah ada kemajuan. Sehingga hal itu menjadi suatu masalah bagi dirinya yang lama-kelamaan menjadi bahan beban pikiran NEET yang dapat mengakibatkan gangguan psikologis bahkan gangguan mental.

Walaupun pada awalnya NEET masih berhubungan dan berinteraksi dengan orang-orang selain keluarganya, tetapi karena teman-teman lainnya bekerja, bersekolah, atau melakukan kegiatan lainnya lambat laun ia kehilangan hubungan teman-teman dan orang-orang diluar lingkungan keluarganya. Pada akhirnya NEET, menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kamar rumahnya, bermain game atau menonton televisi, dan hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang luar selain keluarganya. Kaum muda ini adalah mereka


(13)

yang tidak mau menjalin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan oranglain. Mengapa mereka tidak ingin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan oranglain? Salah satu alasannya adalah karena mereka bisa hidup tanpa menjalin hubungan pribadi dengan orang lain sebab mereka tergantung kepada orangtua mereka, yang rela membantu dan melindungi mereka.

3.1.2 Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama kali anak dididik dan ditempah. Cara pendidikan yang diterapkan oleh orang tua akan sangat berpengaruh pada perkembangan anak di masa yang akan datang. Namun cara mendidik disini tidak terlalu otoriter, tegas, permisif, maupun demokratis melainkan cara pendidikan tersebut digunakan secara seimbang dan sesuai kebutuhan. Apabila orang tua terlalu otoriter dan tegas maka anak dan remaja akan berusaha mencari – cari celah utuk melakukan pemberontakan maupun perlawanan-perlawanan dalam bentuk yang lain dari anak sebagai sikap protes atas tindakan orang tuanya. Pekerjaan orang tua akan sangat berpengaruh kepada perkembangan remaja. Orang tua yang sibuk untuk mencari nafkah di luar rumah dan kurang memperhatikan perkembangan anaknya akan menyebabkan kurangnya perhatian yang akan diterima oleh remaja tersebut . Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya lingkungan keluarga dan tempat kerja juga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan sesorang menjadi NEET. NEET yang tinggal bersama orangtua akan ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka akan hidup dari pensiun orangtuanya. Di Jepang sering kali dijumpai orang tua yang terlalu memanjakan atau over protected terhadap


(14)

anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan hidup pada orangtuanya. Sehingga si anak itu tersendiri tidak merasa bahwa keadaannya sekarang tidak membuat keluarga merasa terbebani akan dirinya. Mengapa orangtua rela melakukan itu, meskipun tahu bahwa mereka bukan kanak-kanak lagi ? Alasannya adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik anak-anak mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak-anak-anak mereka berbagi cinta pasif atau amae. Orang tua yang terlalu permisif maka membuat sang anak akan berusaha mencari-cari perhatian dengan segala tingkah lakunya yang sebagaian besar pada akhirnya baik disadari maupun tidak oleh remaja mereka akan menjurus ke dalam penyimpangan sosial maupun ada yang lebih parah ke dalam tindak kriminalitas.

Oleh karena itu , orangtua hendaknya dapat memberikan langkah konkret yang dapat dilakukan oleh orang tua guna mencegah dan menangani masalah

NEET ini yaitu (1) kasih sayang, (2) kebebasan, (3) pergaulan anak, (4)

pengawasan pada media, (5) bimbingan, (6) pembelajaran agama, (7) dukungan pada hobi, dan (8) orang tua sebaga tempat berkeluh kesah. Adapun penjelasan lebih rinci dari peran orang tua tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Pemberian kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.

(2) Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. Contohnya: orang tua boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih sewajarnya, dan apabila menurut pengawasan orang tua dia telah melewati batas yang sewajarnya, orang tua sebagai orangtua perlu memberitahu dia dampak dan akibat


(15)

yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas tersebut.

(3) Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila orang tua membiarkan dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.

(4) Pengawasan yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti tv, internet, radio, handphone, dll agar si anak tidak tergantung terhadap semua hal itu.

(5) Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat anak lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.

(6) Perlunya pembelajaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti beribadah dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.

(7) Orang tua perlu mendukung hobi yang dia inginkan selama itu masih positif untuk dia. Jangan pernah orang tua mencegah hobinya maupun kesempatan dia mengembangkan bakat yang dia sukai selama bersifat positif. Karena dengan melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan dirinya.

(8) Orang tua harus menjadi tempat bertukar pikiran yang nyaman untuk anak anda, sehingga anda dapat membimbing dia ketika ia sedang menghadapi masalah.


(16)

3.1.3 Masyarakat

Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahunnya tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi ditambah upaya pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET.

Kenyataan bahwa NEET terdiri dari orang-orang yang tidak bersekolah, tidak bekerja, tidak pula berusaha mencari kerja, dan bahkan secara tidak langsung menggunakan pajak masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh masyarakat, dan menjadi sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi, karena perilaku dan gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Suatu fakta menunjukkan bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan batasan-batasan masyarakat yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali menyebabkan perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap orang lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat diamati secara nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi urban. Hanya di daerah pedesaan, yang orang mudanya telah pindah ke kota untuk


(17)

mencari pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat.

Grafik Pendapat Masyarakat Jepang Terhadap NEET

Sumber :http://www.socwork.net/sws/view/200/485

3.1.4 Pemerintah

Jepang adalah masyarakat dengan pola sekolah untuk bekerja, berbasiskan riwayat pendidikan. Orang Jepang bersaing ketat di bidang pendidikan karena pendidikan yang bagus akan mengiring mereka ke pekerjaan bagus. Kualitas pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Perubahan tersebut mau tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi pendidik di Jepang. Tingkatan pendidikan di Jepang sama dengan di Indonesia


(18)

yaitu dengan menggunakan sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun SMA) dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas digolongkan sebagai Educational Board.

Sepertinya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang di dalamnya. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang dikatakan sebelumya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata bongkar pasang, tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan pelajar akhirnya dapat menciptakan banyak sumber daya manusia yang berkualitas. Akan tetapi, tidak semua pemuda Jepang sendiri yang sudah menyelesaikan program pendidikan berniat mencari pekerjaan tetap itu dikarenakan tidak adanya tuntutan dari keluarga sehingga populasi NEET itu sendiri semakin bertambah tiap tahunnya. Seperti diketahui secara tidak langsung kehidupan kaum usia lanjut di Jepang disokong oleh orang-orang yang masih produktif yang berusia sekitar 15-65 tahun dalam sistem tenaga kerja dan pensiun. Kalau tahun 1970-an 9,7 orang usia produktif menanggung satu orang manula, di era 1995 sampai tahun 2000, 4,8 orang usia produktif menanggung seorang manula, maka diperkirakan tahun 2015 mendatang satu orang manula akan ditanggung oleh 2,4 orang usia produktif. Dengan data ini bisa diperkirakan bahwa di masa yang akan datang kehidupan kaum muda Jepang yang masih produktif akan semakin berat. Faktor globalisasi ekonomi juga sangatlah erat


(19)

kaitannya dalam hal ini. Seperti yang ditulis Satoshi Kawamoto dalam Beyond

Shoshika : Serious Effects of Low Fertility and Promotion of New Policies, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya

dengan pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga para pekerja kontrak ini tidak memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa menunda kesempatan pernikahan karena alasan finansial.

Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara. Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat berpengaruh pada masa depan Jepang.

Artikel newsvote.bbc.co.uk menyebutkan, pemerintah Jepang mengimpor tenaga kerja asing untuk bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan pemasukan negara dari pajak penghasilan.Pemerintah menghimbau agar lebih banyak wanita dan pensiunan untuk kembali bekerja dalam rangka mengisi kekosongan di perusahaan.Pertumbuhan ekonomi yang lamban mengakibatkan jumlah yang tidak bekerja jadi banyak. Defenisi NEET berubah menjadi ke anak muda yang tidak tahu apa yang mereka inginkan. Tahun 2000, orang-orang yang


(20)

tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah, akhirnya muncullah NEET. Tahun 2003, perekonomian Jepang mulai membaik, perusahaan Jepang sudah sudah mengajak anak muda untuk bekerja lagi tapi masih banyak masalah yang tersisa yaitu: Kesempatan untuk pekerjaan yang stabil akan terus berlanjut bagi yang berpendidikan rendah, dan NEET yang saat ini diusia akhir 20an masuk ke usia 30an membuat masalah baru.

NEET yang berawal dari tahun 1990-an itu kini sudah beranjak tua mereka

tidak bisa bekerja sebagai pegawai reguler. Sehingga jumlah NEET tiap tahunnya semakin akan terus bertambah. Oleh karena itu, NEET di Jepang tahun 1997 berjumlah 80.000 jiwa berlanjut sampai tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan selama tiga tahun naik lima kali lipat. Di kemudian hari Jepang akan mengalami krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi penerus Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan maraknya tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian menimbulkan masalah lain, yaitu kurangditerimanya para pekerja asing itu di tengah masyarakat Jepang. Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat berpengaruh pada masa depan Jepang.

3.2 Upaya Penanganan NEET

Masalah ekonomi yang dialami Jepang membuat banyak perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan PHK kepada karyawan-karyawannya. Hal ini menyebabkan masalah lainnya muncul,


(21)

salah satunya adalah masalah sosial seperti NEET. Akibat dari resesi ekonomi pertumbuhan NEET semakin meningkat. Pertumbuhan NEET ini menandai kurangnya tingkat kesejahteraan sosial dalam masyarakat Jepang karena seseorang atau kelompok yang menjadi masyarakat negara Jepang tidak berada dalam kondisi sejahtera yang meliputi kesehatan maupun keadaan ekonomi (Stephanie, 2010:28). Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, oleh karena itu para NEET membutuhkan bantuan untuk mendukung dan membantu merka agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa bentuk upaya yang diberikan kepada para NEET.

3.2.1 Masyarakat

Menurut Mariko Fujimoto, direktur riset di Lembaga Penelitian Hakuhodo Inc. Institute of Life and Living, berkata bahwa kemunculan NEET dilatarbelakangi salah satunya oleh masalah ekonomi. Sepuluh sampai 12 tahun terakhir ini, menurut Fujimoto, merupakan periode yang turbulen bagi ekonomi negara matahari terbit itu meski jepang masih termasuk negara terkaya di dunia.

Bagi masyarakat NEET adalah sekumpulan anak-anak manja yang terbiasa hidup enak dan tidak mau susah, karena banyak di antar mereka juga bukan anak-anak orang kaya. Persoalan NEET bukan sekedar anak-anak-anak-anak manja yang tidak mau berjuang, tapi lebih dari itu. Ada persoalan yang membuat mereka menarik diri dari masyarakat dan memilih tinggal di rumah daripada mencari pekerjaan menurut Kei Kudo salah satu pendiri “Master & Pupil” yang mengorganisir NEET.


(22)

Masalah NEET menjadi masalah yang cukup menarik perhatian dan memprihatinkan. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang peduli kepada para

NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan inforrmal baik di dalam

keluarga maupun masyarakat yang mencakup:

1. Personal Skills Education

Yaitu pola pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati dirinya sebagai manusia.

2. Social Skills Education

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk bergaul secara baik dengan sesama manusia.

3. Environmental Skills

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan lingkungan alam sekitarnya, untuk menikmati keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.

4. Vocational atau Occupational Skills Education

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai dan menyenangi jenis pekerjaan tertentu. Jenis pekerjaan tertentu


(23)

ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni sebagai mata pencaharian yaitu menjadi bekal untuk bekerja mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari. Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang hanya sekedar sebagai hobi.

Yang penting menurut Prof.Tanakashi adalah masyarakat tidak memandang sebelah mata para NEET ini. “ Tidak ada gunanya menyalahkan

NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang

paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat sengan anak-anak muda ini.”

3.2.2 Pemerintah

Pasar tenaga kerja menjadi sangat kompetitif dan sangat tidak stabil bagi anak muda.Banyak perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan pegawai paruh waktu agar tidak usah menerikan asuransi dan pesangon. Di lain pihak, bukan hanya resesi yang menyebabkan sulitnya lapangan pekerjaan, tapi ada juga masalah ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan industri.

Ada lulusan-lulusan yang oversupply, misalnya dari jurusan teknik, sains lingkungan, kajian Asia, ekonomi dan sosiologi. Para lulusan juga tidak terlatih dan tidak dipersiapkan untuk kebutuhan industri. Hal ini menyulitkan Jepang yang ingin lebih jauh terlibat dalam ekonomi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan,


(24)

Olahraga, Sains dan teknologi, Nariaki Nakayama mengatakan bahwa kompetisi pendidikan yang ketat juga berkontribusi dalam menghasilkan NEET ini.

“ Dulu kita mengajarkan di sekolah bahwa kompetisi itu tidak baik. Tapi nyatanya begitu kita bekerja, kita dihadapkan pada kompetisi super ketat, dan anak-anak juga bingung karenanya. Bukankah pendidikan saat ini menghasilkan gelombang NEET yang besar ?” ujarnya. Apalagi ditambah upaya pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET. Untuk mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakan program pelatihan khusus untuk para NEET bekerja sama dengan perusahaan pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja.

Prof. Akira Takanashi dari Shinshu University pernah mengatakan bahwa fenomena NEET merupakan pemberontakan anak muda terhadap tatanan masyarakat secara diam-diam. Jika dulu pada periode 1960-1970an para mahasiswa memberontak secara sadar dan melakukan protes, karakteristik dari

NEET sekarang ini adalah mereka tidak sadar telah melakukan protes


(25)

Ia menambahkan bahwa masyarakat, termasuk industri dan pendidikan, bertanggungjawab memecahkan fenomena ini. “Sekolah sangat kurang memberikan informasi pendidikan kerja.” katanya.

Pemerintah Jepang sendiri pada 2005 sudah membentuk satu komite untuk membangun strategi dalam menolong anak muda menjadi lebih mandiri dan bisa menyelesaikan masalah-masalah mereka. Ada juga usulan untuk membangun sekolah dimana anak-anak muda bisa mendapatkan keterampilan dasar, dengan format seperti ‘training camp’. Kalangan industri juga sudah memiliki perhatian terhadap masalah NEET. Kenzaburo Mogi, vice chairman dari Kikkoman Corporation, mangatakan bahwa industri juga turut bertanggungjawab karena tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup.“ Industri seharusnya melakukan sesuatu bersama dengan pemerintah, miaslnya dengan melakukan pelatihan,” ujar Mogi, meski ia mengakui perusahaan tempat ia bernaung belum memiliki program untuk NEET.

Sementara itu, Kei Kudo dengan “Master & Pupil” yang dibentuk 2001 berusaha membantu anak muda mendapatkan pekerjaan lewat pelatihan kerja serta pelayanan konseling. Namun program di “Master & Pupil” ini tidak gratis karena biaya tiap peserta per bulannya sekitar 50.000 yen per bulan atau sekitar Rp. 10.000.000 meski setengahnya disubsidi oleh pemerintah. Pelatihan yang diberikan di antaranya pelatihan untuk sektor pertanian, informasi teknologi dan manufaktur.


(26)

Sejauh ini menurut Kudo, sudah ada sekitar 10.000-15.000 orang yang sudah mendapatkan pelatihan dan bekerja di kantor pemerintah atau swasta. “Organisasi kami masih terbatas dalam menjangkau NEET dan menyediakan aktivitas dan kesempatan untuk mereka. Kami percaya dan merekomendasikan bahwa membangun jaringan dengan komunitas akan membantu para NEET ,”ujar Kudo. Yang penting menurut Prof. Tanakashi adalah masyarakat tidak memandang sebelah mata para NEET ini. “Tidak ada gunanya menyalahkan

NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang

paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan anak-anak muda ini.”


(27)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Istilah

NEET ini pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1990-an yang

ditujukan pada para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam negara Jepang. Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun menimbulkan keresahan masyarakat. Di Jepang yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang lemah di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang. Masalah NEET ini awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing sehingga semakin banyak jenis-jenis NEET yang berkembang di masyarakat yaitu yankee kata, hikikomori kata,

tachisukumu kata, dan tsumazuki kata. Yang dimana jenis-jenis itu

memiliki dampak yang berbeda-beda akibat dari penyebab yang berbeda pula.

2. Masalah sosial seperti NEET ini menimbulkan beberapa dampak terhadap

NEET itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap

diri mereka sendiri yaitu, mereka tersisihkan dari lingkungan sosial, menjadi tidak mandiri karena selama hidupnya bergantung dengan orangtua dan rentan mengalami gangguan mental. Sedangkan terhadap


(28)

keluarga yaitu NEET yang tinggal bersama orangtua akan ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka akan hidup dari pensiun orangtuanya. Bagi masyarakat keberadaan NEET dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi karena perilaku dan gaya hidupnya tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin menambah masalah yang harus segera mereka atasi. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi para NEET ini. Sebagian masayarakat yang peduli terhadap NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan informal baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga yaitu Personal

Skills Education, Social Skills Education, Environmental Skills,dan Vocational/Occupational Skills Education. Pemerintah juga mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET yang diharapkan dapat mengurangi jumlah

NEET. Serta diberikan pengarahan, konseling,dan pengenalan dunia kerja

bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja kembali.


(29)

4.2 Saran

1. Bagi masyarakat Jepang yang merasa kesulitan seperti masalah sosial dan sebagainya, sebaiknya jangan langsung memutuskan untuk menjadi NEET. Berusaha terlebih dahulu untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi seperti mencari teman baru di luar rumah, jangan mudah putus asa terhadap keadaan, jangan terburu-buru untuk memutuskan tidak bergaul dan tidak bersosialisasi seakan asyik dengan dunia sendiri.

2. Untuk orangtua yang membiarkan anaknya tinggal bersama dengan mereka sebaiknya mengajak anak mereka untuk mencari pekerjaan diluar rumah dan lebih bersosialisasi lagi terhadap lingkunngan.

3. Bagi masyarakat lainnya jangan memandang sebelah mata para NEET ini karena tidak ada gunanya menyalahkan NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil, sebaliknya supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan anak-anak muda ini.

4. Pemerintah juga harus sekuat tenaga untuk mengurangi jumlah NEET yang ada di Jepang.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP FENOMENA NEET DI MASYARAKAT JEPANG

2.1. Struktur Penduduk Jepang

Komposisi penduduk adalah dimana suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas dan memiliki banyak penduduk di dalam suatu negara tersebut, dari banyaknya penduduk tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Biasanya dalam pengelompokkan itu kriteria yang di ambil kebanyakan adalah umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan tempat tinggal.Semua itu di kelompokkan agar tidak terjadi masalah-masalah sepele yang timbul.

Struktur penduduk terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1. Piramida Penduduk Muda:Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga daerah ini mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Piramida ini dicirikan sebagian besar penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Contohnya adalah negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India (2013:mynameisridwan.wordpress.com)


(31)

2. Piramida Stationer: Bentuk piramida ini menggambarkan keadaan penduduk yang tetap (statis) sebab tingkat kematian rendah dan tingkat kelahiran tidak begitu tinggi. Piramida penduduk yang berbentuk system ini terdapat pada negara-negara yang maju seperti Swedia, Belanda dan Skandinavia. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)

3. Piramida Penduduk Tua: Suatu wilayah memiliki angka kelahiran yang menurun dengan cepat dan tingkat kematian yang rendah. Piramida ini juga dicirikan dengan jumlah kelompok umur muda lebih sedikit dibanding kelompok umur tua. Apabila angka kelahiran jenis kelamin pria besar, maka suatu Negara bisa kekurangan penduduk Contohnya adalah negara-negara yang sudah maju, misalnya Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)


(32)

Perubahan komposisi penduduk yang terjadi di Jepang seperti lebih disebabkan oleh penurunan angka fertilitas secara drastis bukan pada meningkatnya angka kematian. Di antara negara-negara maju, Jepang merupakan negara yang angka fertilitas totalnya sangat rendah. Rendahnya angka fertilitas Jepang disebabkan karena meningkatnya jumlah orang yang tidak bekerja, belum menikah, dan meningkatnya usia pernikahan pertama serta meningkatnya usia melahirkan. Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.

Selain itu, di Jepang banyak ditemui pemandangan dimana orang tua bekerja di masa pensiunnya. Selain demi menyukseskan program pemerintah, bagi mereka, bekerja supaya tidak menjadi beban bagi orang lain. Menjadi petugas kebersihan; pelayan loket karcis; petugas keamanan; menyeberangkan jalan; sopir taksi.Maka, tidak perlu heran jika pekerjaan pelayanan publik di Jepang rata-rata diisi oleh para lansia.

Rasio Ketergantungan

Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun.


(33)

1. Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk umur 0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur 15 – 64 tahun.

2. Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur 65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia 15-64 tahun.

Grafik 1 Perkiraan Angka Jumlah Penduduk di Jepang Hingga Tahun 2050

Sumber

Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara apakah tergolong negara maju atau negara yang sedang berkembang. Dependency

ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting.Semakin tingginya

persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.Sedangkan persentase dependency


(34)

ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.Tingkat kelahiran dan kematian di Jepang sejak tahun 1950 mulai mengalami perubahan. Tingkat kelahiran turun drastis pada tahun 1966 yang bertepatan pada tahun kuda api pada zodiak cina. Anak perempuan yang lahir pada tahun itu menurut takhayul dipercaya membawa nasib buruk.

Grafik 2 Jumlah Populasi Perempuan dan Laki-Laki di Jepang Tahun 2000- 2012


(35)

Grafik 3 Jumlah Angka Pertumbuhan di Jepang Tahun 1950 – 2008

Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang

1. Birth rates data 1950-2004: and Sex Ratio of Live Birth (1872--2004)

2. Death rates data 1950-2004: Rate by Sex and Sex Ratio of Death (1872--2004)


(36)

Grafik 4 Angka Kelahiran dan Kematian di Jepang

Sumber

Laporan Koresponden Tribunnews.com di TRIBUNNEWS.COM, TOKYO

Jumlah pe tahun lalu, sehingga menjadi hanya 126.434.964 jiwa saja. Penurunan ini terjadi selaman lima tahun berturut-turut dan bahkan sejak 2009 menurun terus hingga kini. Demikian diungkapkan kementerian dalam negeri

Penurunan jumlah penduduk rata-rata 10 persen di berbagai daerah. Namun khusus

(MIAC), Rabu (25/6/2014).

di MIAC.


(37)

Jumlah yang meninggal tahun lalu mencapai 1.267.838 jiwa berdasarkan survei per 1 Januari 2014. Jumlah tersebut meningkat 955 orang dibandingkan tahun 2013. Jumlah yang meninggal bertambah terus, tujuh tahun berturut-turut.

Sementara yang lahir malah semakin berkurang juga. Kini hanya 237.450 bayi lahir per tahun.Jumlah populasi usia 65 tahun tinggi sekali mencapai 24,98 persen dari jumlah populasi. Usia muda dan pekerja antara 15 sampai 64 tahun menunjukkan terus pengurangan selama 14 tahun terakhir ini dan kini hanya mencapai 61,98 persen.

Umumnya penduduk Kansai, jumlahnya 50,93 persen. Khusus yang berdomisilimeningkat 0,24 persen, sedangkan di wilayah lain jumlah penghuninya menurun.Penurunan jumlah penduduk di daerah, masing-masing sebagai berikut: di Aomori dan Akita (berurut, menurun 1,23 persen dan 1,02 persen). Di Yamagata (menurun 0,96 persen). Paling parah (level perkotaan) paling banyak penurunan di Kota Yubari Hokkaido, menurun 4,02 persen. Kota Yubari adalah kota yang memiliki buah melon paling enak dan paling mahal di dunia.Untuk level pedesaan, khususnya Desa Onagawa di perfektur Miyagi, menurun 6,64 persen.Demikian pula untuk perfektur Nara khususnya Desa Nosegawa menurun cukup besar mencapai 6,26 persen.


(38)

Angka kelahiran di Jepang merosot pada 2014, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan dengan hanya 1.001.000 bayi lahir pada 2014 atau lebih rendah 9.000 dibandingkan 2013.

“Penurunan ini adalah yang keempat kalinya dalam empat tahun dan terjadi di tengah meningkatnya angka kematian.

Sejumlah pihak mengatakan bahwa pada 2050 populasi Jepang hanya akan mencapai 97 juta atau 30 juta lebih sedikit dari sekarang.

Para pakar memperingatkan dampak penurunan angka kelahiran ini akan merugikan Jepang dalam banyak aspek.

Menurunnya jumlah populasi berusia 15-65 diprediksi akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita Jepang.

Penurunan jumlah anak-anak ini tidak bisa dihindari karena "jumlah wanita dengan usia reproduksi juga menurun", kata seorang pejabat di Kementerian Kesehatan yang dikutip oleh Kyodo News.

Pada bulan April data pemerintah menunjukkan populasi Jepang menyusut selama tiga tahun, dengan jumlah orang tua yang terdiri dari 25%.

Pemerintah memperingatkan bahwa proporsi orang berusia 65 atau lebih diperkirakan mencapai hampir 40% dari populasi pada tahun 2060 nanti.”


(39)

Penurunan populasi disebabkan oleh berbagai alasan, diantaranya:

1. Meningkatnya biaya melahirkan dan membesarkan anak. 2. Meningkatnya jumlah wanita karir.

3. Menunda untuk menikah.

4. Meningkatnya jumlah orang yang belum menikah. 5. Perubahan lingkungan masyarakat dan sosial.

2.2 Latar Belakang dan Perkembangan NEET

Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. NEET merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Dimana istilah muncul pertama kali di Inggris pada tahun 90-an yang ditujukan untuk para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam negara Jepang. NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran yang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan tetap). Istilah ini belakangan menyebar ke berbagai negar maju lainnya termasuk untuk mencari pekerjaan tetap) atau ronin (bekas pegawai pemerintahan yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong NEET sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk bekerja.


(40)

Tabel 1 Jumlah NEET Menurut Beberapa Lembaga Survey di Jepang

Sumber

2.2.1 Sejarah NEET di Jepang

Istilah NEETini pada awalnya dipakai di Inggris pada tahun 1997.NEET mulai

muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.Pada tahun mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai

mugyousha(orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET

dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.


(41)

2.2.2 Perkembangan NEET di Jepang

Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing.NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter. Di Jepang, yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET di Jepang tahun 1997 sebanyak 80.000 jiwa sehinnga tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan selama 3 tahun naik lima kali lipat. Tahun 2000, orang-orang yang tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah, akhirnya muncullah NEET.

Kemudian pada Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin meningkat, masyarakat Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah masalah yang dapat mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET tercatat berjumlah 640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan Ekonomi (Roudou Keizai Hakusho).


(42)

(43)

Sumber:http://www.news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3701748.stm

Pertumbuhan ekonomi yang lemah (Low Growth) di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang sehingga terjadi kebuntuan pasar tenaga kerja (Clogged Labor Markets) yang terjadi di Jepang. Kebutuhan tenaga kerja yang berkualitas sangat diutamakan dalam prosedur penerimaan tenaga kerja di Jepang oleh karena itu pendidikan sangat dipertimbangkan.Tetapi disini berbanding terbalik dikarenakan ketidak sesuaian lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang dibutuhkan (Education Mismatch).Sehingga persaingan semakin ketat yang berkualitas akan lebih unggul seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akan muncul inovasi-inovasi yang membuat proses produksi akan mengurangi jumlah tenaga kerja karena seluruh dunia akan mengalami proses globalisasi.


(44)

2.3 Jenis-Jenis NEET

2.3.1 Yankee Kata ( Tipe Parasit )

Yankee memiliki beberapa arti yang saling berkaitan, terutama digunakan

untuk orang dari umum dipakai untuk menyebut orang dari Amerika Serikat. Di dalam negeri Amerika Serikat, istilah Yankee dipakai untuk penduduk dari bagian timur laut Amerika Serikat, atau secara spesifik dipakai untuk orang dari menunjuk kepada keturunan-keturuna sudah ketahuan bagaimana model NEET ini, NEET tipe yang selalu mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temanya daripada bekerja, menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu mengantungkan diri pada orangtuanya (parasit freeter). Dan NEET jenis ini lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan tidak melanjutkan pendidikan setelah ia keluar dari sekolah di tengah jalan.

Ciri-ciri Yankee:

1. Memiliki sifat berfoya-foya dan terkesan sok idealis.

2. Menolak nilai-nilai tradisional Jepang (seperti kesenioritasan, sistem kerja keras seumur hidup dan tuntutan loyalitas terhadap perusahaan.

3. Menginginkan pekerjaan yang fleksibel, memberikan banyak waktu luang dan memungkinkan mereka untuk memakai pakaian dan gaya rambut sesuka mereka.


(45)

Faktor penyebab Yankee :

1. Gaya hidup, yaitu gaya hidup pemalas, suka berfoya-foya dan hanya fokus terhadap kesenangan.

2. Kurangnya kebebasan atau sistem kerja yang terlalu mengikat dalam perusahaan. Dan beberapa kaum muda lebih memilih keluar dari pekerjaan tetap untuk lebih memilih menjadi freeter agar bisa menikmati kebebasan dalam hidup.

2.3.2 Hikikomori Kata ( Tipe Penyendiri dan Anti Sosial )

NEET dengan tipikal hikikimori lebih senang mengurung diri dikamar

sambil bermain game, nonton, menghabiskan waktunya dengan bermain internet dan menarik diri dari pergaulan sosial lainnya daripada bekerja.NEET tipe ini biasanya banyak mengalami kebosanan hidup.Banyak kasus yang mengatakan tipeNEETseperti ini pada akhirnya memilih untuk bunuh diri.Menurut psikiate

usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber utama. Kemudian The Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare mendefenisikan hikikomori sebagai seorang individu yang menolak meninggalkan rumah orangtuanya dan mengasingkan diri dari anggota keluarga selama lebih dari enam bulan Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak untuk keluar dari rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan


(46)

terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam bulan.

Pada tahun 1990-an, ketika fenomena ini belum dikenal luas, Tamaki Saito dibanjiri permintaan tolong para orangtua yang ingin membantu anak-anak mereka yang mengasingkan diri. Saat itu, kebanyakan pelakunya adalah anak lelaki, berusia rata-rata 15 tahun, dari keluarga kelas menengah, menarik diri dalam jangka waktu bulanan sampai tahunan. Pemicunya ada beragam.Bisa karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat.

1.

Ciri-ciri Hikikomori:

2.

Menghabiskan waktu sehari atau setiap hari hanya berada di dalam rumah.

3. Kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (ada pula kasus dari orang berusia 40 tahunan).

Jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan.

4. Kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.

5.

6.

Secara jelas menghindari situasi sosial.

7.

Terganggu kegiatannya misal pekerjaan/sekolah,hubungan sosial, hubungan sesama manusia.


(47)

8.

9.

Lamanya mengurung diri sedikitnya 6 bulan.

Alasan penyebab terjadinya hikikomori:

Tidak ada gangguan mental yang menyebabkannya anti sosial.

1. Banyak masalah yang ada di sekolah, tempat kerja dan sebagainya. Biasanya berkaitan dengan ijime (bully) baik itu penganiayaan secara tindakan maupun melalui ucapan. Hal ini yang paling banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari.

2. Tidak selarasnya hubungan antara orangtua yang terkadang menyebabkan tindak kekerasan pada anak. Banyak nya permasalahan seperti ini korban menjadi depresi dan berbagai macam perasaan negatif yang melanda dirinya yang terkadang menyebabkan trauma sehingga korban mengambil tindakan mengambil keputusan untuk menjadi hikikomori.

3. Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, merupakan penyebab juga semakin maraknya hikikomori terutama kemudahan dalam mengakses internet, telah menyebabkan banyak remaja mengalami ketergantungan teknologi yang sangat meluas. Semua aktivitas pertemanan dilakukan di dunia maya. Bahkan untuk berbelanja pun dilakukan secara online. Memang dengan kecanggihan teknologi sekarang semua menjadi serba instan, tanpa bepergian pun sekarang kita dapat melakukan aktivitas tertentu.


(48)

Menurut penelitian yang dilakukan penduduk hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Bila penduduk semi-hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung, maka semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang. Total perhitungan NHK hampir sama dengan perkiraan Zenkoku Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak 1.636.000 orang.

Menurut survei 1,2% penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori: 2,4% di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalamihikikomori (1 di antara 40). Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori jumlahnya empat kali lipat.Satu di antara 20 anggota keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi pernah mengalami hikikomori. Tidak ada hubungannya antara keluarga berkecukupan atau tidak berkecukupan secara ekonomi.

2.3.3 Tachisukumu Kata ( Tipe Ragu-ragu)

Jenis ini merupakan orang-orang yang disebut NEET yang kehidupannya tidak mengalami kemajuan karena ia tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur karir yang cocok bagi dirinya. Pada awalnya mereka berusaha mengejar cita-cita mereka, namun akhirnya terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. NEET dengan tipikal Tachisukumu merupakan tipe anak muda yang sudah lulus perguruan tinggi, tapi masih bingung memutuskan masa depannya. Mereka ragu-ragu memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi. NEET dengan personaliti yang sering ragu-ragu akan keputusannya dan tidak


(49)

tahu memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan masa depannya serta termasuk bagi seseorang yang pernah gagal dalam hidup seperti bisnis bangkrut atau membuat usaha tapi gagal,sehingga mereka takut mencoba lagi.

2.3.4 Tsumazuki Kata ( Tipe Gagal )

Jenis ini ditujukan kepada NEET yang sudah pernah mengalami kegagalan dalam hidup (yang sudah pernah bekerja sebelumya), dalam hal ini seperti bisnis yang bangkrut atau usaha-usaha lainnya yang pada akhirnya gagal dan sejak saat itu trauma sehingga tidak memiliki keinginan untuk bekerja kembali dan takut untuk mencoba bangkit kembali dari keterpurukan (mendapat pekerjaan) karena tidak punya rasa kepercayaan diri lagi. Tipe yang setiap mencari pekerjaan mendapat kegagalan dan tidak bisa bersaing. Kegagalan yang pernah dialami orang tersebut mulai dari diberhentikan dari pekerjaan, ditolak orang yang dicintai, tidak naik kelas, dan hal-hal lain yang menyangkut sebuah kegagalan.


(50)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak biasadipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun.Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009 : 2-3 )kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata).Kebudayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya.Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau bersifat semiotik.

Dari kebudayaan yang mamadukan ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni lahirlah kejadian-kejadian baru di kalangan masyarakat yang disebut dengan fenomena.

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan


(51)

oleh Little John bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.

Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubjektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk memahami tindakan sosial

Sejak dahulu Jepang dikenal oleh seluruh negara sebagai negara yang memiliki reputasi yang baik dalam mendorong anak-anak mudanya agar dengan lancar dapat berpindah dari dunia sekolah ke dunia kerja.

Sekolah di Jepang menerapkan program Shuusoku Assen (就 職)yaitu


(52)

berikutnya untuk menjalani aktivitas pencarian kerja, sehingga pada saat mereka lulus mereka telah mendapatkan pekerjaan tetap. Jepang juga menggunakan sistem Shinki Gakusotsu Shuusoku – Saiyou, dimana setiap tahun perusahaan- perusahaan membuka lowongan pekerjaan untuk mereka yang baru saja lulus.

Dalam masyarakat Jepang, ada suatu perasaan terkungkung dan rasa cemas yang samar-samar, atau rasa tidak percaya terhadap masa depan sebagai akibat kehancuran apa yang disebut bubble economy atau ekonomi gelembung. Akan tetapi terjadinya bubble economy (ekonomi gelembung) serta munculnya deflasi di Jepang pada awal tahun 1990 mengakibatkan jumlah perusahaan yang bersedia mempekerjakan anak muda yang baru saja lulus menurun secara drastis. Khususnya persentase jumlah tawaran kerja yang diberikan kepada anak muda yang dalam waktu dekat akan lulus, turun hingga seperdelapan dari sebelumnya. Tingkat pengangguran pun meningkat, terutama pada anak muda laki-laki berusia 15-34 tahun.Pengangguran di Jepang pada waktu itu terbagi menjadi dua, yaitu orang yang tidak bekerja tetapi sedang mencari kerja atau Shitsugyousha (失業者

Sebutan NEET pertama kali muncul di Inggris pada Tahun 1997. Pada tahun mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung ) dan orang yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja atau Hiroudouryoku (非労

動力).Sebagian besar merupakan pelajar atau mahasiswa, dan ibu rumah tangga.Namun akhir-akhir ini Hiroudouryoku yang tidak termasuk dalam keduanya meningkat pesat. Orang-orang yang termasuk dalam kategori terakhir tersebut pada akhirnya disebut NEET ( Not in Education, Employment or


(53)

menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Kemudian pada Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin meningkat, masyarakat Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah masalah yang dapat mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET tercatat berjumlah 640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan Ekonomi (Roudou Keizai

Hakusho).

Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Kenyataan bahwa NEET terdiri dari orang-orang yang tidak bersekolah, tidak bekerja, tidak pula berusaha mencari pekerjaan, dan bahkan secara tidak langsung menggunakan pajak masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh masyarakat, dan menjadi sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi, karena perilaku dan gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. (Nouki Futagami, 2005:12). Suatu fakta menunjukkan bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan batasan-batasan masyarakat, yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya pertumbuhan ekonomi yang cepat. Moralitas masyarakat saat ini merupakan hasil perubahan rasa penilaian yang selalu menekankan pada keuntungan ekonomi daripada kelayakan sosial. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali meyebabkan


(54)

perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap orang lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat diamati secara nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi urban. Hanya di daerah pedesaan, yang orang mudanya telah pindah ke kota untuk mencari pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat. Janti dalam Manabu (2006:181), mengatakan ”Orang-orang tua di daerah menderita akibat fenomena yang disebutkasoka (kekurangan penduduk), yang dimulai sejak dimulainya pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat”.

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis tentang Fenomena NEET dewasa ini yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang. Penulis mencoba menuangkannya dalam skripsi yang diberi judul “ Fenomena NEET ( Not in Education, Employment or Training) Pada Masyarakat Jepang”

1.2 Perumusan Masalah

Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.


(55)

NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran yang

sedangberusaha untuk mencari pekerjaan tetap) atau ronin (bekas pegawai pemerintah yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong sebagai NEETsama sekali tidak punya hasrat untuk bekerja. NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.

Saat itu ada sekitar 80 ribu anak muda yang sudah lulus sekolah namun memilih untuk menganggur tanpa melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan, padahal saat itu lapangan pekerjaan masih terbuka luas dan persaingan belum seketat sekarang ini.

Pada tahun 2000 angka itu mengalami peningkatan lima kali lipat menjadi 400 ribu orang. Tahun 2003, jumlah populasi NEET di Jepang sudah mencapai 520 ribu orang danjumlah itu mengalami kelipatan pada tahun 2010. Meningkatnya jumlah NEET ini menjadi masalah serius

Berdasarkan keterangan di atas maka timbul beberapa pertanyaan antar lain :

yang dibahas di pemerintahan Jepang, mengingat hal ini berdampak besar bagi perkembangan ekonomi dan sosial negara itu di masa mendatang.

1. Bagaimana proses terjadinya NEET di Jepang ?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh NEET terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jepang dan upaya penanganan NEET ?


(56)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas. Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahannya hanya menjelaskan fenomena NEET pada masyarakat Jepang khususnya bagaimana latar belakang, perkembangan, dampak serta upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah sosial ini.

Agar supaya pembahasan memiliki akurasi data yang jelas, maka penulis pada bab II akan menjelaskan mengenai pengertian dan perkembangan, latar belakang munculnya NEET di Jepang, serta jenis-jenis NEET .

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sosiologi pada umumnya dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan beersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di control secara kritis oleh orang lain atau umum melahirkan budaya baru dan menghasilkan fenomena. Dewasa ini dimana aktivitas, teknologi dan kebudayaan yang masuk menimbulkan berbagai macam fenomena di kalangan masyarakat yang dihasilkan melalui dampak


(57)

berkembangnya kehidupan masyarakat. Fenomena adalah rangkaian peristiwa serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau lewat disiplin ilmu tertentu. Fenomena terjadi di semua tempat yang bisa diamati oleh manusia .

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah ( Kamus Besar Bahasa Indonesia : 1997 )

1.4.2. Kerangka Teori

Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian fenomenologi. Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana manusia menkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka intersubjektivitas ( pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain) ( Kuswarno, 2009 : 2 )

Penulis berpendapat menurut teori Fenomenologi ialah setiap manusia membutuhkan saling berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.

Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya lingkungan keluarga dan tempat kerja juga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan sesorang menjadi NEET. Di Jepang sering kali dijumpai orang tua yang terlalu memanjakan atau over protected terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan hidup pada orangtuanya.

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena dalam pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial, konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan, dan status sosial dan


(58)

sebagainya ( Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian adalah memahami arti subjektif dan perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Penulis menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui latar belakang, kehidupan serta dampak NEET terhadap masyarakat Jepang.

Didalam kehidupan masyarakat dimanapun juga, keluarga merupakan unit yang mempunyai peranan yang sangat besar, itu disebabkan karena keluarga (yakni keluarga batih), mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai peranan-peranan tertentu, antaralain:

1. Keluarga berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.

2. Keluarga merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggotanya.

3. Keluarga menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup. 4. Keluarga merupakan wadah dimana manusia mengalami proses

sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Gambaran situasi kehidupan keluarga pada umumnya mencakup berbagai macam aspekyang menjadi hal-hal pokok dalam kehidupan keluarga adalah pola hubungan dalam keluarga, dan faktor-faktor eksternal (faktor-faktor yang berasal dari lingkungan keluarga).


(59)

Penulis juga berpendapat NEET ialah untuk sebutan untuk masyarakat yang tergolong sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak menikah, tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. Para NEET dikenal juga sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila

NEET dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di

Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.

1.5 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Tentunya

NEET menjadi parasit bagi orang lain karena ketidakmauannya untuk belajar,

bekerja, ataupun berusaha. Mereka malas dan merasa nyaman dengan kemalasan mereka sehingga dapat digolongkan sebagai sampah masyarakat yang akan membahayakan generasi mendatang.

1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penyebab terjadinya NEET di Jepang

2. Untuk mengetahui peran pemerintah, masyarakat dan keluarga terhadapNEET di kehidupan masyarakat Jepang

1.5.2 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, hasilnya diharapkan memberi manfaat bagi pihak-pihak tertentu, antara lain :


(60)

2. Bagi para pembaca, khususnya para pembelajar Bahasa Jepang diharapkan dapat menambah informasi mengenai berbagai macam fenomena di Jepang dewasa ini termasuk dalam dunia pekerjaan serta para NEET di Jepang

3. Bagi para pembaca, penelitian ini juga dapat dijadikan sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti NEET lebih dalam.

1.6 Metode Penelitian

Di dalam melakukan sebuah penelitian dibutuhkan metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode adalah acara melaksanakan penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976:30), penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Deskriptif bertujuan manggambarkan secara tepat dan secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Menurut Saifuddin Azwar (1998:7) tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu.Penelitian ini berusaha menggambarkan situasi dan kejadian. Data yang dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan, menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi. Penulis menggunakan metode ini oleh


(61)

karena penelitian ini membuat gambaran secara sistematik dan akurat tentang fenomena NEET di masyarakat Jepang. Mengenai fungsi dan kehidupan NEET yang sebenarnya, bagaimana ciri seorang NEET, bagaimana mencari informasi tentang NEET dan hingga meluasnya fenomena NEET di beberapa Negara.

Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Menurut Nasution (1996:14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis.

Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicaridan di teliti meliputi: masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran.

Data dihimpun dari berbagai literature buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan di berbagai perpustakaan. Data juga didapat melalui internet yang berhubungan mengenai fenomena NEET di masyarakat Jepang.


(62)

FENOMENA NEET (Not in Education, Employment, or Training)

PADA MASYARAKAT JEPANG

Judul penelitian ini adalah fenomena NEET (Not in Education,

Employment, or Training) di masyarakat Jepang. Masalah yang dibahas dalam

penelitian ini adalah seperti apa NEET yang terjadi di masyarakat Jepang dan bagaimana upaya dalam mencegah dampak masalah NEET dalam masyarakat Jepang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian NEET dan jenis-jenis NEET tersebut. Adapun tujuan lain dari skripsi ini adalah untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan NEET terhadap kehidupan sosial masyarakat di Jepang dan upaya penanganan NEET.

NEET adalah singkatan dari Not in Education, Employment, or Training)

yang berarti masyarakat yang tergolong sebagai orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak menikah, tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. NEET juga dikenal sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran) yang tentunya parasit bagi oranglain karena ketidakmauannya untuk belajar, bekerja, ataupun berusaha sehingga mereka digolongkan sebagai sampah masyarakat. NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.

Alasan mengapa masyarakat Jepang lebih memilih menjadi seorang NEET karena di Jepang sering di jumpai orangtua yang terlalu memanjakan atau over

protected. Kemudian NEET juga yang tinggal bersama orangtua akan

ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka akan hidup dari pensiunan orangtuanya. Oleh sebab itu, si anak sendiri


(1)

FENOMENA NEET (NOT IN EDUCATION, EMPLOYMENT, OR TRAINING) DALAM MASYARAKAT JEPANG

NIHON SHAKAI DE NO NEET (NOT IN EDUCATION, EMPLOYMENT, OR TRAINING) NO GENSHOU

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Hamzon Sitmorang, MS,.Ph.d

NIP. 19580704 1984 12 1 001 NIP. 19600822 1988 03 1 002

Drs. Nandi S

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2016


(2)

Disetujui oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Januari 2016 Departemen Sastra Jepang Ketua

NIP. 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum


(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat serta kasih dan anugerah-Nya senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul : Fenomena NEET (Not in Education, Employment, or Training). Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Budaya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Budaya

2. Bapak Drs. Eman Kusdiayana, M.Hum, selaku Ketua Departemen

Sastra Jepang.

3. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D, selaku dosen

pembimbing I yang telah meluangkan waktu dalam membimbing penulis.

4. Bapak Drs. Nandi S, selaku dosen pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dalam membimbing penulis.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, khususnya kepada staf

pengajar Sastra Jepang yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis.


(4)

6. Orangtua dan keluarga yaitu Bapak Johny Rumahorbo, Mamak Rosida Situmorang, Kedua adik Joshua Rumahorbo dan Petra Rumahorbo, Lidya, Levika, May, Thania, Febry yang telah memberikan bantuan dukungan material maupun moril serta menjadi penyemangat bagi penulis.

7. Teman-teman tersayang yang bersama-sama berjuang Juliana, Dea,

Novita, Yenni, Yuki, Sarah, Sion yang selalu ada untuk penulis dan dengan senang hati membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.

8. Teman-teman penulis kelas A dan B Rasyid, Agnes, Lora, Jenny,

Andri, Ardi, Rio, Dody, Rissa, Hafsah, Esterika, Stevie, Kevin, yang telah membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.

9. Teman-teman Sastra Jepang S’11 yang telah memberi banyak bantuan

dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Februari 2016

Penulis


(5)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Perumusan Masalah ... 5

1.3Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.6Metode Penelitian ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NEET 2.1 Struktur Penduduk Jepang ... 13

2.2 Latar Belakang dan Perkembangan NEET ... 22

2.2.1 Sejarah NEET ... 23

2.2.2 Perkembangan NEET di Jepang ... 24

2.3 Jenis-Jenis NEET ... 27

2.3.1 Yankee Kata ... 27

2.3.2 Hikikomori Kata ... 28

2.3.3 Tachisukuma Kata ... 31

2.3.4 Tsumazuki Kata ... 32


(6)

BAB III DAMPAK DAN PENANGANAN NEET DALAM KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG

3.1 Dampak NEET ... 33

3.1.1 Diri Sendiri ... 33

3.1.2 Keluarga ... 35

3.1.3 Masyarakat ... 38

3.1.4 Pemerintah ... 39

3.2 Upaya Penanganan NEET ... 42

3.2.1 Masyarakat ... 43

3.2.2 Pemerintah ... 45

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 49

4.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA