45
ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni sebagai mata pencaharian yaitu menjadi bekal untuk bekerja
mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari.
Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang hanya sekedar sebagai hobi.
Yang penting menurut Prof.Tanakashi adalah masyarakat tidak memandang sebelah mata para NEET ini. “ Tidak ada gunanya menyalahkan
NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat sengan anak-
anak muda ini.”
3.2.2 Pemerintah
Pasar tenaga kerja menjadi sangat kompetitif dan sangat tidak stabil bagi anak muda.Banyak perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan pegawai
paruh waktu agar tidak usah menerikan asuransi dan pesangon. Di lain pihak, bukan hanya resesi yang menyebabkan sulitnya lapangan pekerjaan, tapi ada juga
masalah ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan industri. Ada lulusan-lulusan yang oversupply, misalnya dari jurusan teknik, sains
lingkungan, kajian Asia, ekonomi dan sosiologi. Para lulusan juga tidak terlatih dan tidak dipersiapkan untuk kebutuhan industri. Hal ini menyulitkan Jepang yang
ingin lebih jauh terlibat dalam ekonomi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Universitas Sumatera Utara
46
Olahraga, Sains dan teknologi, Nariaki Nakayama mengatakan bahwa kompetisi pendidikan yang ketat juga berkontribusi dalam menghasilkan NEET ini.
“ Dulu kita mengajarkan di sekolah bahwa kompetisi itu tidak baik. Tapi nyatanya begitu kita bekerja, kita dihadapkan pada kompetisi super ketat, dan
anak-anak juga bingung karenanya. Bukankah pendidikan saat ini menghasilkan gelombang NEET yang besar ?” ujarnya. Apalagi ditambah upaya pemerintah
mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga
pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET. Untuk mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakan
program pelatihan khusus untuk para NEET bekerja sama dengan perusahaan pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan
pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri
mereka untuk terjun ke dunia kerja. Prof. Akira Takanashi dari Shinshu University pernah mengatakan bahwa
fenomena NEET merupakan pemberontakan anak muda terhadap tatanan masyarakat secara diam-diam. Jika dulu pada periode 1960-1970an para
mahasiswa memberontak secara sadar dan melakukan protes, karakteristik dari NEET sekarang ini adalah mereka tidak sadar telah melakukan protes
unconscious quality.
Universitas Sumatera Utara
47
Ia menambahkan bahwa masyarakat, termasuk industri dan pendidikan, bertanggungjawab memecahkan fenomena ini. “Sekolah sangat kurang
memberikan informasi pendidikan kerja.” katanya. Pemerintah Jepang sendiri pada 2005 sudah membentuk satu komite untuk
membangun strategi dalam menolong anak muda menjadi lebih mandiri dan bisa menyelesaikan masalah-masalah mereka. Ada juga usulan untuk membangun
sekolah dimana anak-anak muda bisa mendapatkan keterampilan dasar, dengan format seperti ‘training camp’. Kalangan industri juga sudah memiliki perhatian
terhadap masalah NEET. Kenzaburo Mogi, vice chairman dari Kikkoman Corporation, mangatakan bahwa industri juga turut bertanggungjawab karena
tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup.“ Industri seharusnya melakukan sesuatu bersama dengan pemerintah, miaslnya dengan melakukan
pelatihan,” ujar Mogi, meski ia mengakui perusahaan tempat ia bernaung belum memiliki program untuk NEET.
Sementara itu, Kei Kudo dengan “Master Pupil” www.sodateage.net yang dibentuk 2001 berusaha membantu anak muda mendapatkan pekerjaan lewat
pelatihan kerja serta pelayanan konseling. Namun program di “Master Pupil” ini tidak gratis karena biaya tiap peserta per bulannya sekitar 50.000 yen per bulan
atau sekitar Rp. 10.000.000 meski setengahnya disubsidi oleh pemerintah. Pelatihan yang diberikan di antaranya pelatihan untuk sektor pertanian, informasi
teknologi dan manufaktur.
Universitas Sumatera Utara
48
Sejauh ini menurut Kudo, sudah ada sekitar 10.000-15.000 orang yang sudah mendapatkan pelatihan dan bekerja di kantor pemerintah atau swasta.
“Organisasi kami masih terbatas dalam menjangkau NEET dan menyediakan aktivitas dan kesempatan untuk mereka. Kami percaya dan merekomendasikan
bahwa membangun jaringan dengan komunitas akan membantu para NEET ,”ujar Kudo. Yang penting menurut Prof. Tanakashi adalah masyarakat tidak
memandang sebelah mata para NEET ini. “Tidak ada gunanya menyalahkan NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang
paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan anak- anak muda ini.”
Universitas Sumatera Utara
49
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Istilah NEET ini pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1990-an yang
ditujukan pada para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam negara Jepang. Munculnya NEET di Jepang serta
peningkatannya dari tahun ke tahun menimbulkan keresahan masyarakat. Di Jepang yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada
usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang
lemah di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang. Masalah NEET ini awalnya dianggap sebagai masalah keluarga
dan pribadi masing-masing sehingga semakin banyak jenis-jenis NEET yang berkembang di masyarakat yaitu yankee kata, hikikomori kata,
tachisukumu kata, dan tsumazuki kata. Yang dimana jenis-jenis itu memiliki dampak yang berbeda-beda akibat dari penyebab yang berbeda
pula. 2. Masalah sosial seperti NEET ini menimbulkan beberapa dampak terhadap
NEET itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap diri mereka sendiri yaitu, mereka tersisihkan dari lingkungan sosial,
menjadi tidak mandiri karena selama hidupnya bergantung dengan orangtua dan rentan mengalami gangguan mental. Sedangkan terhadap
Universitas Sumatera Utara