30
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit
Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian
Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
23
1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan
akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak. 2.
Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III
KUHPerdata. Pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan Perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Handri Raharjo, S.H., penyempurnaan terhadap definisi perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu hubungan hukum di bidang
harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka para pihaksubjek hukum saling
mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan
23
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal.42.
Universitas Sumatera Utara
31
prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
24
Menurut Apeldoorn perjanjian disebut faktor yang membantu pembentukan hukum, sedangkan menurut Lemaire perjanjian adalah
determinan hukum.
25
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313, disebutkan bahwa suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu
hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnya. Namun ada beberapa kelemahan dalam
ketentuan pasal ini. Kelemahan-kelemahan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
26
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
Dapat diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja
“mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan
diri.” b.
Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa zaakwarneming, tindakan melawan hukum
24
Ibid.
25
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal.117.
26
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.77.
Universitas Sumatera Utara
32
onrechtmatigedaad yang tidak mengandung suatu konsensus, yang seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan
saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh buku ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan
perjanjian yang bersifat personal. d.
Tanpa menyebut tujuan. Rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya tidak jelas untuk apa.
Kelemahan- kelemahan yang dikemukakan di atas mengharuskan untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan
alasan tersebut, maka perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian law of contract.
Sehubungan dengan uraian tersebut, secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
27
27
Rai I.G. Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta, 2007, hal.22.
Universitas Sumatera Utara
33
1. Subjek Perjanjian
a. Natural person orang – natuurlijk personprivate person.
b. Legal entity badan hukum – rechtspersoon artificial person.
c. Terdiri dari kreditur dan debitur sebagai para pihak, dimana
kreditur adalah pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain debitur, sedangkan debitur, berkewajiban memenuhi sesuatu
kepada kreditur. 2.
Objek perjanjian Hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksudkan disebut
prestasi, yang menurut undang-undang bisa berupa : a.
Menyerahkan sesutau, bisa memberikan te geven benda atau memberikan sesuatu untuk dipakai genot gebruik.
b. Melakukan sesuatu te doen.
c. Tidak melakukan sesuatu niet te doen.
Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berarti bahwa yang bersangkutan haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum atau
undang-undang, sehingga apabila haknya tidak dipenuhi secara sukarela, maka yang bersangkutan berhak menuntut melalui
pengadilan supaya orang yang besangkutan dipaksa untuk memenuhi atau menegakkan haknya.
Pengaturan Hukum perjanjian diatur dalam BAB II dan BAB V sampai degan BAB XVIII Buku III KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
34
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang, sehingga diakui oleh hukum. Dalam Pasal 1320
KUH Perdata, disebutkan ketentuan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu sebagai berikut :
28
1. Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian
consensus. 2.
Ada kecakapan pihak-pihak untuk membuat perjanjian capacity. 3.
Ada suatu hal tertentu a certain subject matter. 4.
Ada suatu sebab yang halal. Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subjektif, karena
mengenai orang atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena menegenai
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat subjektif maka perjanjian itu cacat maka dapat
dibatalkan oleh Hakim oleh pihak yang telah memberikan izin tidak secara bebas atau tidak cakap membuat perjanjian itu. Jika syarat objektif yang tidak
terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Sebelum melakukan perjanjian kredit, terlebih dahulu dilakukan perjanjian, karena perjanjian tersebut merupakan persetujuan yang mengikat kedua belah
pihak atau lebih yang diatur menurut undang-undang yang berlaku, sehingga
28
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1979, hal.17.
Universitas Sumatera Utara
35
disebut perikatan, yang di dalamnya harus dijalankan atau dipenuhi prestasi oleh pihak yang berhutang.
29
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1 angka 11 kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Kredit adalah hubungan dimana kreditur yakni yang memberi pinjaman
dalam hubungan perkreditan dengan debitur yaitu nasabah penerima pinjaman mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat
yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan membayar kembali kredit yang bersangkutan.
30
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dengan kreditur yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana debitur
berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepaki oleh para pihak.
31
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan pactum de contrahendo
. Dengan demikian perjanjian ini dapat mendahului perjanjian hutang piutang perjanjian pinjam pengganti. Sedangkan perjanjian hutang
29
Mantay Borbir, Aneka Hukum Perjanjian Sekitar Pengurusan Piutang Negara, Penerbit Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2004, hal.77.
30
Ganda D. Prawira, Perkembangan hukum perkreditan nasional dan internasional, Badan pembinaan hukum nasional, Jakarta, 1992, hal.1.
31
Gazali S Djoni, Hukum Perbankan, Jakarta: Sinar grafika, 2010, hal.1.
Universitas Sumatera Utara
36
piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit.
32
Hakikat dari perjanjian kredit jika dihubungkan dengan Kitab Undang- Undang Perdata, maka secara yuridis, perjanjian kredit dapat dilihat dari dua
sudut pandang sebagai berikut : 1 perjanjian kredit sebagai perjanjian pinjam pakai habis, 2 perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus.
33
Jika perjanjian kredit sebagai perjanjian khusus, maka tidak ada perjanjian bernama dalam KUH Perdata yang disebut dengan perjanjian kredit. Karena itu
yang berlaku adalah ketentuan umum dari hukum perjanjian, tentunya ditambah dengan kebendaan pasal yang telah disepakati bersama dalam
kontrak yang bersangkutan.
34
Selanjutnya, penggolongan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama dalam tampilannya sebagai perjanjian pinjam pakai, maka di samping berlaku
ketentuan umum tentang perjanjian, berlaku juga ketentuan KUH Perdata tentang perjanjian pinjam pakai habis. Hal ini berbeda dengan perjanjian
pinjam pakai biasa, dimana yang harus dikembalikan oleh nasabah debitur adalah fisik dari benda yang dipinjam, sementara dalam perjanjian pinjam
pakai habis, yang dikembalikan adalah nilai dari benda yang dipinjam pakai tersebut.
Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas, yaitu bahwa objeknya adalah benda yang habis pakai. Jika dipakai istilah
verbruiklening maka termasuk di dalamnya adalah uang.
32
Ibid.
33
Ibid.
34
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
37
Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. R . Subekti berpendapat bahwa ; “dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dan semuanya itu
pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Pasal
1754 sampai dengan Pasal 1769.” Marhainis Abdul Hay berpendapat yang sama bahwa “perjanjian kredit
adalah identik dengan perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.” Hal yang
sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman bahwa “ dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai
perjanjian kredit, dapat dimengerti bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam yang diatur didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pada Pasal 1754. Perjanjian pinjam meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu objeknya adalah benda yang dipakai habis
jika verbruiklening termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini, pihak penerima menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian
harus dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan.
35
Karenanya perjanjian kredit ini merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh
“penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah debitur.”
35
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Penerbit Alumni, Bandung, 2005, hal.87.
Universitas Sumatera Utara
38
Dari pengertian kredit di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar hukum perjanjian kredit adalah pinjam meminjam yang didasarkan kepada
kesepakatan antara kreditur dengan debitur. Masalah pinjam meminjam sendiri diatur dalam Buku III Bab ketigabelas KUH Perdata.
Dalam Pasal 1754 KUH Perdata disebutkan, bahwa pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana satu pihak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain suatu jumlah tertentu barang- barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian kredit merupakan perjanjian tidak bernama onvenoemde overeenkomst
karena di dalam perjanjian kredit belum ada ketentuan yang mengatur secara khusus baik di dalam undang-undang yang berlaku di
Indonesia maupun dalam Undang-Undang Perbankan. Ketentuan yang ada hanya tentang pengertian kredit, yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat 11,
Pasal 6 dan Pasal 13 tentang kredit sebagai salah satu jenis usaha bank, Pasal 8 tentang jaminan dalam pemberian kredit, tetapi tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang bagaimana bentuk, isi dan ketentuan pasal yang terdapat dalam perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur. Oleh karena itu
dasar hukum perjanjian kredit mengacu kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang
dikenal sebagai pasal yang mengandung asas kebebasan berkontrak. Karena yang melandasi perjanjian kredit antara kreditur dan debitur lebih ditekankan
kepada kesepakatan antara pihak, yaitu kesepakatan antara pihak yaitu kreditur dan debitur.
Universitas Sumatera Utara
39
Negara Indonesia adalah negara hukum rechtstaat, kalimat inilah yang tercantum dalam penjelasan UUD 1945, yaitu pada sistem pemerintahan
Republik Indonesia. Hal ini berarti bahwa ada hukum yang mengatur segala sesuatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Konsekuensinya adalah dalam
hal pemberian kredit pun ada peraturan khusus yang mengaturnya. Sesuai dengan Sistem Eropa Kontinental, maka di Indonesia peraturan perundang-
undangan menduduki urutan yang sangat penting sebagai sumber hukum suatu hal. Dalam hal kredit dasar hukumnya adalah :
36
1. Perjanjian di antara para pihak
2. Undang- Undang
3. Peraturan pelaksana Undang- Undang
4. Jurisprudensi
5. Kebiasaan dalam pratek perbankan
6. Peraturan perundang- undangan terkait lainnya
1. Perjanjian di antara para pihak Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata alinea pertama
menetapkan : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa suatu
perjanjian yang dibuat secara sah, artinya tidak bertentangan dengan undang- undang mengikat kedua belah pihak.
Berkaitan dengan pemberian kredit, dibuat suatu perjanjian kredit antara pihak yang memberikan pinjaman yang disebut sebagai pihak kreditur
36
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cetakan I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 74.
Universitas Sumatera Utara
40
dan pihak yang diberikan pinjaman disebut sebagai pihak debitur. Sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata perjanjian kredit ini secara hukum berlaku
sah dan mengikat bagi pihak kreditur dan debitur. Kedua belah pihak wajib mentaati segala sesuatu yang diatur dan dimuat dalam perjanjian kredit
tersebut, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum serta peraturan-peraturan lainnya yang
berlaku. 2. Undang- Undang
Undang-Undang merupakan sumber hukum yang sangat penting, dan bersumber pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai
peraturan tertinggi dalam perundang-undangan Indonesia. Kredit merupakan salah satu bidang usaha perbankan, maka tentang
kredit ini tunduk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. 3.
Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Dibawah Undang-Undang terdapat peraturan-peraturan lain yang juga
mengatur tentang perbankan dan berfungsi sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang. Peraturan- peraturan tersebut antara lain adalah :
a. Peraturan Pemerintah PP
Peraturan Pemerintah tentang perbankan yang mengatur tentang perkreditan antara lain adalah :
Universitas Sumatera Utara
41
1. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun Tentang Bank Umum.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 Tentang Bank
Perkreditan Rakyat. 3.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 Tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
b. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan
c. Peraturan perundang-undangan oleh Bank Indonesia
d. Peraturan perundang-undangan lainnya
Selain peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perkreditan juga dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Presiden, Peraturan atau surat keputusan pejabat tertentu, dan lain-lain.
4. Jurisprudensi Jurisprudensi dapat menjadi dasar hukum untuk kegiatan perkreditan,
walaupun di Indonesia jurisprudensi mempunyai banyak kelemahan sehingga sulit untuk dipakai sebagai pegangan, hal ini disebabkan :
a. Banyak jurisprudensi yang tidak disertai pertimbangan hakim yang
memutuskan. b.
Sulitnya akses masyarakat untuk mendapatkan keputusan pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
42
c. Sering terjadi, terhadap yang sama keputusan yang satu bertentangan
dengan yang lain, walaupun keputusan tersebut berasal dari pengadilan yang sama.
5. Kebiasaan dalam praktek perbankan Dalam ilmu hukum kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum,
demikian juga dalam dunia perbankan. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam praktek perbankan boleh diterapkan walaupun tidak ada suatu
peraturan tertulis yang khusus mengaturnya, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
6. Peraturan perundang- undangan terkait lainnya Selain peraturan tentang perbankan, masih ada lagi peraturan lain yang
menyangkut hal-hal seputar pemberian kredit. Misalnya pemberian kredit didasari oleh suatu perjanjian, maka berlakulah Buku III KUH Perdata tentang
perikatan.
B. Fungsi dan Tujuan Kredit