Efektivitas penyerapan logam kromium (cr.VI) kadmium (CD) oleh Scenedesmus Dimorphus

(1)

FAUZIAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

FAUZIAH 107095003016

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

(Cd) oleh Scenedesmus dimorphus” yang ditulis oleh Fauziah, NIM

107095003016 telah diuji dan di nyatakan LULUS dalam sidang Munaqasyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tangga 08 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.

Menyetujui Penguji 1,

Megga Ratnasari Pikkoli, M, Si. NIP. 1972 0322 2002 12 2002

Penguji 2,

Narti Fitriyana, M. Si. NIDN. 0331 10 7403

Pembimbing 1,

DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. NIP. 1969 4042 00501 2005

Pembimbing 2,

Dasumiati, M. Si. NIP. 1973 0923 1999 03 2002 Mengetahui,

Dekan

Fakultas Sains dan Teknologi

Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M. Sis. NIP. 1968 0117 2001 12 1001

Ketua

Program Studi Biologi

DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud. NIP. 1969 4042 00501 2005


(4)

BENARA HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

Jakarta, Desember 2011

Fauziah NIM. 107095003016


(5)

F A U Z I A H. Efektivitas Penyerapan Logam Kromium Cr (VI) dan Kadmium (Cd) oleh Scenedesmus dimorphus. Skripsi. Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Penelitian ini bertujuan 1) Mengetahui kemampuan penyerapan S. dimorphus,

2) Pengaruh konsentrasi logam terhadap kerapatan dan 3) Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) dan Cd oleh S. dimorphus dari berbagai konsentrasi logam. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas empat perlakuan dengan tiga ulangan pada masing-masing logam, yakni konsentrasi logam Cr (VI) 0,1 , 1, 2 dan 0 ppm (kontrol) dan logam Cd 0,1 , 1, 5 dan 0 ppm (kontrol), masing-masing sampel dianalisa dengan Spektofotometer Serapan Atom. Analisis data menggunakan analisis variansi yang dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil penelitian menunjukkan Efektivitas penyerapan tertinggi terjadi di hari ke-5 pada konsentrasi Cr (VI) 0,1 ppm yakni sebesar 94,24% dengan kerapatan 935.833,3 sel/ ml dan pada logam Cd penyerapan sebesar 65,91% dengan kerapatan 363333,3 sel/ml di konsentrasi 5 ppm. Tingkat Efektivitas penyerapan S. dimorphus terhadap logam Cr (VI) lebih tinggi dibandingkan dengan logam Cd.

Kata Kunci: Efektivitas penyerapan, Kadmium (Cd), Kromium Cr (VI),


(6)

F A U Z I A H. Absorption Effectiveness Metals Chromium Cr (VI) and Cadmium (Cd) by Scenedesmus dimorphus. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University of Jakarta. 2011

This reaserch was conducted 1) the absorption ability of S. dimorphus, 2) the effect of metal concentration on the density and 3) the effectiveness of metal uptake of Cr (VI) and Cd by S. dimorphus of various concentrations of metals. The design used in this study was Complete Randomized Design (CRD) consisting of four treatments with three replications at each metal, the metal concentrations of Cr (VI) 0.1, 1, 2 and 0 ppm (control) and the metals Cd 0.1, 1, 5 and 0 ppm (control), each sample was analyzed by Atomic Absorption Spectrophotometer. Data analysis using analysis of variance followed by Duncan test. The results showed the highest absorption effectiveness occured in day-to-5 on the concentration of Cr (VI) 0.1 ppm which was equal to 94.24% with a density of 935,833.3 cells / ml and the metals Cd uptake by 65.91% with a density of 363,333.3 cells / ml at a concentration of 5 ppm. Effectiveness of the absorption rate of S. dimorphus to metal Cr (VI) was higher than Cd.

Keywords : Effectiveness absorption, Cadmium (Cd), Chromium (Cr VI),


(7)

Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian.

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati

untuk kesabaran. {QS. Al-‘Asr: 1-3}

Salah satu kunci bahagia adalah keberanian untuk memilih Melakukan apa yang kita pilih dengan kesungguhan Dan berani menerima konsenkuensi dari pilihan tersebut

Bahagia adalah akhir dari masalah dan kerinduan Kupersembahkan karya ini untuk

Keluarga besar H. Sarjan (Alm) dan H. Nali tercinta Terimakasihku….

Ummi dan aba yang tiada henti memberi doa dan motivasi Doa mu kini terwujud, harapanmu kenyataan

Tanpamu takkan ku capai cita Berkat cintamu, kuraih impian

Kuharap semangat ini akan terus berkobar pada adik-adikku (Isol, Rika, Pipit, Riza & Lana)

Demi mencapai satu tujuan bersama Membahagiakan ummi dan aba

Inilah janjiku

Yang takkan terlupa… Teguh Budiyanto & keluarga…

Dukungan dan pengorbananmu sangat berharga bagiku Terimakasih telah memberi hujan

dalam hatiku {14 November 2009}


(8)

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan kehadiran Allah SWT Yang Maha Pemurah, berkat kemurahan-Nya skripsi dengan judul Efektivitas

Penyerapan Logam Kromium (Cr VI) dan Kadmium (Cd) oleh Scenedesmus dimorphus dapat penulis selesaikan sesuai dengan harapan. Shalawat dan salam selalu tercurahlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para pengikutnya yang senatiasa memberi tauladan kepada umatnya. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi

Scenedesmus dimorphus sebagai biosorben maupun sebagai bioindikator pencemaran lingkungan perairan dan menjadi solusi bagi pengolahan limbah logam berat.

Dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis haturkan terimaksih untuk semua bantuan dan dukungan yang diberikan oleh berbagai pihak dalam pelaksanaan studi sampai penelitian sehingga tersusun skripsi ini, semoga allah SWT memberkan balasan yang lebih baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin tersusun tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, yaitu:

1. DR. Lily Surayya Eka Putri, M. Stud. Env. selaku Ketua Pogram Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi serta pembimbing I yang telah memberi kesempatan penulis melaksanakan penelitian ini, dengan penuh kesabaran dan arahan selalu membimbing penulis.

2. Dasumiati M. Si. selaku pembimbing II. Terimakasih atas transfer ilmu dan nasehat yang diberikan kepada penulis.


(9)

telah banyak memberi masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 5. Etyn Yunita, M. Si. dan Dini Damayanti, S.Si. yang telah banyak memberi

arahan dan saran serta senantiasa meluangkan waktunya membimbing penulis. 6. Segenap Dosen Biologi yang penuh dedikasi membuka wawasan

mahasiswanya, semoga cahaya ilmu selalu menerangi kehidupan kita semua. 7. Kepala Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajaran staff, khususnya Kabag. Laboratorium Biologi dan Kabag. Laboratorium Lingkungan beserta semua laboran yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung.

8. Rahmania A. Darmawan, M. Sc., Arif Dwi Santos, M. Eng., Agung Setiawan, M. Si, jajaran peneliti Pusat Teknologi Lingkungan (PTL) BPPT-Thamrin, Bapak Chandra (LIPI Cibinong) dan Ibu Sherly (LIPI Ancol).

9. Wulan Rahmansari Nurutami teman seperjuangan dalam penelitian ini; Nasti, Amal, Restu, Puput, Yudhi, Seno, Jael, Dwi, Ifah, Ery, Kiki, Ida, Niar, Mbul, Ozan dan Galih (B 1007 UIN), Mardiansyah, S. Si. (Biologi 2003), Taufik Hidayat (Fisika 2007) dan Itoh (Kimia 2007) serta semua teman penulis.

Penulis sadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi ini.

Jakarta, Desember 2011 Fauziah


(10)

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ...

i iii vi viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Rumusan Masalah ... 1.3. Hipotesis ... 1.4. Tujuan Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ...

1 2 3 3 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Scenedesmusdimorphus ... 2.1.1. Klasifikasi dan Struktur Sel S. dimorphus. ... 2.1.2. Reproduksi S. dimorphus. ... 2.1.3. Pertumbuhan Scenedesmus sp. ... 2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kultur Mikroalga ... 2.2.1. Inokulum ... 2.2.2. Cahaya ...

4 4 6 7 9 9 10


(11)

2.2.6. Derajat Keasaman (pH) ... 2.3. Logam Berat Kromium (Cr VI)... 2.4. Logam Berat Kadmium (Cd) ... 2.5. Mekanisme Pengambilan Logam Berat oleh Mikroalga ... 2.6. Detoksifikasi Logam Berat oleh Mikroalga ... 2.7. Spektrofotometer Serapan Atom ... 2.8. Kerangka Berfikir ...

13 13 15 16 18 18 20

BAB III METODOLOGI PEBELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.2. Bahan dan alat ... 3.3. Rancangan Penelitian ... 3.4. Cara Kerja ... 3.4.1. Persiapan ... 3.4.2. Inokulasi ... 3.4.3. Pengukuran kondisi fisik ruang kultur ... 3.4.4. Pengukuran pH media... 3.4.5. Penghitungan kerapatan sel ... 3.4.6. Perhitungan jumlah koloni ... 3.4.7. Pengukuran sel ...

21 21 22 22 23 25 25 25 25 26 27


(12)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Efektivitas Penyerapan Logam Cr (VI) dan Cd oleh S. dimorphus 4.1.1. Efektivitas Penyerapan Logam Cr (VI) ... 4.1.2. Efektivitas Penyerapan Logam Cd ... 4.2. Kerapatan, Koloni dan Ukuran Sel S. dimorphus ... 4.2.1. S. dimorphus pada berbagai konsentrasi logam Cr (VI) ... 4.2.2. S. dimorphus pada berbagai konsentrasi logam Cd ... 4.3. Hubungan Efektivitas Penyerapan dengan Kerapatan S. dimorhus pada Logam Cr (VI) dan Cd ... 4.3.1. Hubungan Efektivitas Penyerapan dengan Kerapatan S. dimorhuspada Logam Cr (VI) ... 4.3.2. Hubungan Efektivitas Penyerapan dengan Kerapatan S.

dimorhuspada Logam Cd ... 4.4. Kondisi Ruang Kultur ...

30 30 33 36 36 39

43

43

44 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ...

47 47 DAFTAR PUSTAKA ... 49


(13)

Halaman

Gambar 1. Koloni sel dan struktur scenedesmus sp. ...5

Gambar 2. Struktur kimia selulosa ...5

Gambar 3. Proses pertukaran ion Cr pada permukaan membran sel ...6

Gambar 4. Pembelahan sel secara autokoloni ...7

Gambar 5. Pola pertumbuhan sel ...9

Gambar 6. Kerangka berfikir ...20

Gambar 7. Skema Hemocytometer Improved Neubauer ...27

Gambar 8. Skema penelitian ...29

Gambar 9. Kemampuan penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorpus pada hari ke-5 dan 10...30

Gambar 10. Kemampuan penyerapan logam Cd oleh S. dimorpus pada hari ke-5 dan 10 ...33

Gambar 11. Pertumbuhan S. dimorphus

beberapa konsentrasi

logam Cr (VI)

...36

Gambar 12. Pembentukan koloni S. dimorphus pada beberapa konsentrasi logam Cr (VI) ...38

Gambar 13. Perubahan ukuran panjang dan lebar S. dimorphus pada hari ke-0, 5 dan 10 di beberapa konsentrasi logam Cr (VI) ...39

Gambar 14. Pertumbuhan S. dimorphus pada beberapa konsentrasi Cd ...40 Gambar 15. Pembentukan koloni S. dimorphus pada beberapa

konsentrasi logam Cd ... 42


(14)

Gambar 17. Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) pada hari ke-5

dan 10 ...44 Gambar 18. Efektivitas penyerapan logam Cd pada hari ke-5 dan


(15)

Halaman

Lampiran 1. Rata-rata kerapatan S. dimorphs (Sel/ml) ...55

Lampiran 2. Rata-rata kerapatan sel yang telah ditransformasikan dalam bentuk log (Sel/ml). ...56

Lampiran 3. Data jumlah koloni yang terbentuk selama 11 hari pengamatan ...57

Lampiran 4. Data ukuran sel ... 58

Lampiran 5. Perubahan pH media pada beberapa konsentrasi logam Cr (VI) dan Cd ...59

Lampiran 6. Data faktor fisik ... 61

Lampiran 7. Pengamatan makroskopis. ...62

Lampiran 8. Pengamatan mikroskopis...64

Lampiran 9. Uji Anova terhadap kerapatan sel, jumlah koloni dan pH media selama 11 hari pengamatan pada logam Cr (VI) ... 66 Lampiran 10. Uji lanjutan terhadap keraptan sel , jumlah koloni dan pH media pada logam Cr (VI) antar tiap konsentrasi ...68

Lampiran 11. Uji Anova terhadap kerapatan sel, jumlah koloni dan pH media pada logam Cd ...71

Lampiran 12. Uji lanjutan terhadap keraptan sel , jumlah koloni dan pH media selama 11 hari pengamatan pada logam Cr (VI) ...73

Lampiran 13. Uji Anova terhadap penyerapan logam Cr (VI), ukuran panjang dan lebar sel S. dimorphus Cr (VI) ...75


(16)

(17)

1 1.1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi dan berkembangnya dunia industri, ikut andil dalam menyebabkan pencemaran lingkungan, terutama di sekitar industri. Limbah yang dihasilkan oleh industri dapat berupa bahan organik maupun anorganik. Logam berat dan limbah anorganik lainnya tidak dapat membusuk sehingga sulit didegradasi, apabila limbah ini masuk ke dalam perairan maka akan menyebabkan peningkatan jumlah ion logam dalam air (Giyatmi, dkk., 2008). Menurut Palar (1994), air yang mengandung cuprum (Cu), kromium (Cr), dan argentum (Ag) yang merupakan logam-logam berbahaya bagi tubuh manusia, karena cenderung untuk berakumulasi dalam jaringan tubuh manusia dan menimbulkan keracunan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, ambang batas krom heksavalen (Cr VI) adalah 1 mg/L. Kromium (Cr VI) ini bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia (Slamet, 2005), sedangkan Kadmium (Cd) dapat menimbulkan efek yang negatif terhadap tubuh manusia seperti kerusakan pada ginjal dan jantung, selain itu kadmium juga dapat menimbulkan kanker paru-paru, gangguan sistem reproduksi, dan anemia (Palar, 1994). Limbah industri pelapisan logam, khususnya pelapisan krom, menghasilkan limbah dengan konsentrasi rata-rata sekitar 75.900 mg/L dalam


(18)

bentuk CrO42- (Kundari, 2009). Limbah buangan kadmium (Cd) di kawasan

industri sebesar 0,5 mg/l (Anggraini, 2007), dengan demikian konsentrasi ini telah melampaui baku mutu limbah cair kadmium (Cd) 0,01 mg/l.

Berbagai metode telah banyak dikembangkan untuk mengatasi dan mengurangi pencemaran logam berat, baik secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan limbah secara biologis untuk mengurangi logam berat dari air tercemar menjadi suatu teknologi alternatif yang berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu diantaranya memanfaatkan kemampuan pertukaran ion, pembentukan senyawa kompleks dan kemampuan penyerapan mikroorganisme dalam menyerap logam berat. Keuntungan pemanfaatan mikroorganisme sebagai biosorben adalah biaya yang relatif murah dalam pengkulturannya mengingat hanya memerlukan sinar matahari, karbondioksida (CO2) dan nutrient berupa garam mineral (Afrizi,

2002).

Inthorn, dkk. (2001), menggunakan salah satunya Scenedesmus acutus dalam menyerap logam Hg, Cd, dan Pb dengan efektifivas penyerapan berturut-turut 85%, 88% dan 89% . Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dicari dan diuji efektifitas Scenedesmus dimorphus dalam penyerapan logam berat.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah S.dimorphus mampu menyerap logam Cr (VI) dan Cd?

2. Apakah S.dimorphus lebih efektiv menyerap logam Cr (VI) dari pada Cd? 3. Bagaimana pengaruh berbagai konsentrasi logam Cr (VI) dan Cd terhadap


(19)

1.3. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. S.dimorphus mampu menyerap logam Cr (VI) dan Cd 2. S.dimorphus lebih efektiv menyerap logam Cr (VI) dan Cd

3. Berbagai konsentrasi logam Cr (VI) dan Cd mempengaruhi kerapatan S. dimorphus.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Kemampuan S.dimorphus dalam menyerap logam Cr (VI) dan Cd 2. Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) dan Cd oleh S.dimorphus 3. Pengaruh konsentrasi Cr (VI) dan Cd terhadap kerapatan S.dimorphus

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengolahan limbah logam berat dan memberikan informasi tentang potensi Scenedesmus sp. sebagai biosorben maupun sebagai bioindikator pencemaran lingkungan perairan, sehingga dapat digunakan sebagai masukan bagi industri dalam mengolah limbah logam beratnya.


(20)

4 2.1. Scenedesmus dimorphus

2.1.1. Klasifikasi dan Struktur Sel S. dimorphus

Klasifikasian S. dimorphus menurut Bold dan Wyne (1985) sebagai berikut: Divisi : Chlorophyta

Kelas : Chlorophyceae

Ordo : Chlorophyccales

Famili : Scenedesmaceae

Genus : Scenedesmus

Spesies : S. dimorphus

S. dimorphus merupakan jenis alga hijau berkoloni. Setiap koloni disebut

Coenobium” dengan jumlah sel selalu berkelipatan dua, biasanya 2, 4 atau 8, kadang-kadang 16 atau 32. Sel berbentuk silinder yang meruncing disetiap ujungnya dengan sel terluar berbentuk bulan sabit. Sel mempunyai panjang antara 12 µm sampai 25 µ m dan lebar antara 3 µm sampai 9 µ m. Sel muda Scenedesmus

sp. mempunyai kloroplas yang memanjang dan berisi satu pirenoid. Kloroplas pada sel yang sudah tua biasanya mengisi seluruh rongga sel. Setiap sel dalam

coenobium mempunyai sebuah inti. (Smith, 1955 dan Pentecost, 1984 dalam


(21)

Gambar 1. Koloni sel (A) dan struktur scenedesmus sp. (B) (Cahyaningsih, 2008 dan Anonim, 2011)

Struktur dinding sel Scenedesmus sp. tersusun atas lapisan pektin dan selulosa (Gambar 1). Khotimah, dkk (2010) menyatakan bahwa struktur selulosa pada dinding sel Scenedesmus sp. berpotensi cukup besar untuk dijadikan sebagai penangkap karena gugus OH yang terikat dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat (Gambar 2). Adanya gugus OH pada selulosa menyebabkan terjadinya sifat polar pada adsorben tersebut, dengan demikian selulosa lebih kuat menangkap zat yang bersifat polar.

Gambar 2. Struktur kimia selulosa (Khotimah, dkk, 2010)


(22)

Mekanisme pertukaran ion tergambarkan pada penelitian Cossich, dkk (2002) yang menggunakan Sargassum sp dalam biosopsi logam Cr (III), di mana Cr (VI) mengalami reaksi reduksi pada pH rendah menjadi Cr (III) dan Cr (III) dihilangkan melalui proses pertukaran kation.

Gambar 3. Proses pertukaran ion Cr pada permukaan membran sel (Cossich, dkk, 2002)

2.1.2. ReproduksiScenedesmus sp.

Bold dan Wyne (1985) menyatakan bahwa Scenedesmus sp. berkembang biak secara aseksual dengan autokoloni (membelah diri). Pembelahan sel terjadi dua kali. Pembelahan pertama berlangsung secara melintang sedangkan pembelahan yang kedua terjadi secara membujur (Steenberge, 1975 dalam Afrizi, 2002). Pembelahan akan dilakukan sampai terbentuk empat sel anakan. Pelepasan autokoloni dilakukan dengan cara memecah dinding sel induk, tiap koloni yang dihasilkan mempunyai kemampuan untuk memproduksi autokoloni (Graham dan Wilcox, 2000) (Gambar 4).


(23)

Gambar 4. Pembelahan sel secara autokoloni

Reproduksi seksual Scenedesmus sp. terjadi melalui isogami. Koloni

Scenedesmus sp. akan menghasilkan sel gamet biflagel. Sel gamet tersebut akan melebur dan membentuk zigot, kemudian zigot akan membesar dan membelah menjadi 40 sel atau lebih. Sel gamet yang tidak dapat melebur dengan sel gamet lainnya akan mati dan mengalami lisis (Bold dan Wyne, 1985)

Scenedesnus sp. tersebar luas di perairan tawar dan payau, khususnya pada kondisi yang kaya nutrient. Selain itu menurut Bold dan Wyne (1985),

Secenedesmus sp. tersebar luas di perairan tawar dan tanah.

2.1.3. Pertumbuhan Scenedesmus sp.

Scenedesmus sp. merupakan alga hijau yang memiliki karaktetistik

pertumbuhan secara umum sama dengan alga yang lain. Pertumbuhan

Scenedesmus sp. dalam kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambah banyaknya jumlah sel. Hingga saat ini kepadatan sel digunakan secara luas untuk mengetahui pertumbuhan mikroalga dalam kultur. Ada empat fase pertumbuhan yaitu (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995) :


(24)

1. Fase istirahat

Sesaat setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur, populasi tidak mengalami perubahan. Ukuran sel pada umumnya meningkat. Secara fisiologis mikroalga sangat aktif dan terjadi proses sintesis protein baru. Organisme mengalami metabolisme, tetapi belum terjadi pembelahan sel sehingga kepadatan sel belum meningkat.

2. Fase logaritmik atau eksponensial

Fase ini diawali oleh pembelahan sel dengan laju pertumbuhan tetap. Pada kondisi kultur yang optimum, laju pertumbuhan pada fase ini mencapai maksimal. 3. Fase stasioner

Pada fase ini, pertumbuhan mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan fase logaritmik. Pada fase ini laju reproduksi sama dengan laju kematian, dengan demikian penambahan dan pengurangan jumlah sel relatif sama atau seimbang sehingga kepadatan sel tetap.

4. Fase kematian

Pada fase ini laju kematian lebih cepat daripada laju reproduksi. Jumlah sel menurun secara logaritmik. Penurunan kepadatan sel ditandai dengan perubahan kondisi optimum yang dipengaruhi oleh temperatur, cahaya, pH air, jumlah hara yang ada, dan beberapa kondisi lingkungan yang lain. Secara skematik pola pertumbuhan mikroalga dapat digambarkan seperti gambar 6.


(25)

Gambar 5. Pola pertumbuhan sel (Pumprey,B. 1996)

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kultur Mikroalga

2.2.1. Inokulum

Inokulum merupakan sejumlah sel yang aktif membelah yang dimasukkan ke

dalam media pertumbuhan (Rahmadi, 2009). Jumlah inokulum yang digunakan dalam penelitian mengenai Scenedesmus sp. berbeda-beda tergantung dari tujuannya. Penelitian yang dilakukan Trainor (1993) tentang morfologi

Scenedesmus sebspicatus pada medium Bristol menggunakan inokulum sebanyak 10.000 sel/ml, sedangkan Xiaolei Jin, dkk (1996) mengenai toksisitas nikel (Ni) terhadap Scenedesmus acutus pada medium Chu 10 menggunakan inokulum sebanyak 1.000.000 sel/ml. Hasil penelitian Yoosy (2000) menunjukkan inokulum yang baik untuk Scenedesmus pada medium Beneck adalah 5.000.000 sel/ml (Rahmadi, 2009).


(26)

Cahaya

n CO2 + n H2O n CH2O + n O2

Klorofil 2.2.2. Cahaya

Cahaya mempunyai peranan penting dalam proses fotosintesis. Di alam

sumber cahaya berasal dari matahari yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme autotrof menjadi energi kimia oleh aktifitas klorofil (Afrizi, 2002). Laju fotosintesis dikontrol oleh tiga faktor yang bekerja saling berkaitan. Ketiga faktor tersebut adalah intensitas cahaya, karbondioksida, dan temperatur (Spotte, 1979 dalam Afrizi, 2002). Hal dan Rao (1987) menjelaskan keterkaitan ketiga faktor tersebut yang dapat dilihat melalui reaksi fotosintesis.

Intensitas cahaya mempuyai korelasi yang sangat kuat dengan proses fotosintesis, tetapi tidak selamanya penambahan intensitas cahaya diikuti oleh peningkatan proses fotosintesis (Grahame, 1987). Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinhibisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1.000 lux cocok untuk kultur dalam Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5.000-10.000 lux untuk volume yang lebih besar (Fadilla, 2010). Kisaran intensitas cahaya untuk pertumbuhan Scenedesmus sp. adalah 500-10.000 lux (Chrismadha, dkk, 1999). Selain intensitas cahaya, fotoperiodisasi juga berperan dalam pertumbuhan alga. Hal ini terkait dengan lamanya penyinaran, semakin lama waktu penyinaran maka semakin banyak cahaya yang dapat dimanfaatkan dalam proses fotosintesis. Selain itu, fotoperiodisasi juga berpengaruh terhadap penyerapan nutrien. Penyerapan saat fase terang 10-15 kali lebih besar daripada fase gelap (Darley, 1982).


(27)

Fotoperiodisasi yang digunakan dalam penelitian Scenedesnus sp. bebeda-beda. Trainor (1993) melakukan penelitian mengenai morfologi Scenedesmus subspicatus pada medium Bristol dengan fotoperiodisasi 16 jam terang dan 8 jam gelap, sedangkan Yossy (2000) menggunakan fotoperiodisasi 15 jam terang dan 9 jam gelap untuk penelitian jumlah inokulum Scenedesmus yang ditumbuhkan pada medium Beneck, Afrizi (2002) melalukan penelitian tentang pengaruh warna dan lapisan cahaya merah, biru, hijau dan putih terhadap pertumbuhan

Scenedesmus dengan lama penyinaran 24 jam terang.

Secara tidak langsung cahaya berpengaruh terhadap tingkat toksisitas yang ditimbulkan oleh kromium. Hal tersebut terjadi karena transport ion logam ke dalam sel berlangsung melalui transport aktif (Knauer, dkk, 1997). Proses transport aktif dapat terjadi bila ada energi yang di dapatkan dari proses fotosintesis sel.

Cahaya memiliki panjang gelombang yang berbeda, daya serap oleh pigmen yang berbeda dan kemampuan penetrasi yang berbeda pula (Afrizi, 2002). Grahame (1987) menyatakan untuk cahaya yang memiliki kemampuan penetrasi ke dalam air yang paling baik adalah warna cahaya biru. Menurut Govindjee dan Braun (1974) dalam Afrizi (2002), alga memiliki beberapa pigmen yang mampu menyerap cahaya. Pigmen-pigmen tersebut adalah (1) Klorofil adalah pigmen yang sangat baik dalam menyerap warna merah dan biru. Pigmen ini terdiri dari klorofil a, b, c, dan d. tetapi untuk ordo Chlorococcales hanya memiliki pigmen klorofil a dan b (Afrizi, 2002). (2) Karotenoid adalah pigmen yang mampu


(28)

menyerapa cahaya warna biru dan hijau dengan baik. (3) Phycobilin adalah pigmen yang mampu menyerapa cahaya warna hijau, kuning dan orange.

2.2.3. Karbondioksida (CO2)

Karbondiaoksida (CO2) merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan sel.

Keberadaannya di dalam media kultur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fotosintesis karena sumber karbon (C) dalam proses fotosintesis diperoleh dari karbondioksida (CO2). Penurunan konsentrasi CO2

pada media akan menyebabkan penurunan laju fotosintesis (Reynold, 1984) yang mempengaruhi pertumbuhan sel. Hal ini dapat diatasi dengan mempertahankan konsentrasi CO2 terlarut dengan pengocokan media kultur.

2.2.4. Nutrien

Soeder dan Hegewald (1985) yang dikutip Borowitzka (1988) menyatakan

bahwa Scenedesmus sp. membutuhkan unsur-unsur yang diperlukan dalam jumlah cukup besar (elemen makro) yaitu C, H, O, P, K, N, S, Ca, Fe dan Mg, sedangkan unsur-unsur Mn, Bo, Zn, Cu, dan Co dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit (elemen mikro).

2.2.5. Suhu

Suhu merupakan faktor yang penting untuk pertumbuhan mikroalga. Suhu

mempengaruhi proses-proses biologi, kimia dan fisika. Peningkatan temperatur dapat merangsang aktifitas molekul (Spotte, 1979). Sedangkan penurunan suhu dapat mengakibatkan penurunan laju fotosintesis dan pada suhu ekstrim seperti pada suhu 400C yang melebihi suhu optimum dapat mengakibatkan jumlah sel


(29)

berkurang tajam, sementara peningkatan biomassa dan fotosintesis masih berlanjut selama periode tertentu (Rabinovitch, 1956 dalam Oh-hama dan Miyachi, 1988). Pertumbuhan optimal Scenedesmus sp. dilakukan pada suhu 310C

sampai 320C, dengan suhu maksimum 340C sampai 360C (Afrizi, 2002).

2.2.6. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) perairan sangat dipengaruhi oleh konsentrasi CO2 dan

senyawa yang bersifat asam. Selama fotosintesis pada siang hari, alga hijau menggunakan CO2 dari perairan sehingga hal ini mengakibatkan pH perairan

meningkat sedangkan pada malam hari fotosintesis tidak berlangsung tetapi respirasi tetap berlangsung sehingga menurunkan pH perairan.menyatakan bahwa hasil panen yang baik dari kultur Scenedesmus adalah pada pH sekitar 7 (Afrizi, 2002). Agar mendapatkan hasil yang baik, kultur Scenedesmus sp. dilakukan pada pH antara 7 - 8,5 (Isana, 1993).

2.3. Logam Kromium (Cr VI)

Kromium (Cr) dalam table periodik merupakan unsur dengan nomor atom 24

dan nomor massa 51,996. Atom tersebut terletak pada periode 4, golongan IVB. Logam kromium berwarna putih, kristal keras dan sangat tahan korosi, melebur pada suhu 10930C sehingga sering digunakan sebagai lapisan, pelindung atau logam paduan (Koesnarpadi, 2007). Di alam logam kromium ditemukan dalam bentuk chromite (FeO.Cr2O3). Logam kromium larut dalam asam klorida encer

atau pekat. Jika tidak terkena udara, akan membentuk ion-ion kromium. Cr + 2HCl Cr2+ + 2Cr + H2


(30)

Logam kromium tidak dapat teroksidasi oleh udara yang lembab dan bahkan pada proses pemanasan cairan, logam kromium teroksidasi dalam jumlah yang sangat sedikit. Logam kromium mudah larut dalam HCl, sulfat, dan perklorat. Sesuai dengan tingkat oksidasinya, logam atau ion kromium yang telah membentuk senyawa, mempunyai sifat-sifat yang berbeda sesuai dengan tingkat oksidasinya. Dalam larutan-larutan air, kromium membentuk tiga jenis ion yaitu:

1. Ion Kromium (II) atau kromo (Cr2+)

Ion kromium (II) memiliki bilangan oksidasi +2, bersifat agak tidak stabil karena merupakan zat pereduksi yang kuat, bahkan dapat menguraikan air perlahan-lahan dengan membentuk hidrogen. Oksigen dari atmosfir dengan mudah mengoksidasinya menjadi ion kromium (III). Ion ini membentuk larutan yang berwarna biru. Senyawa yang terbentuk darri ion Cr3+ akan bersifat basa (Yefridaa dan Yuniartis, 2009).

2. Ion Kromium (III) atau kromit (Cr3+)

Ion kromium (III) memiliki bilangan oksidasi +6 dan bersifat stabil. Dalam larutan ion-ion ini berwarna hijau atau lembayung. Senyawa yang terbentuk dari ion logam Cr3+ bersifat amfoter (Yefridaa dan Yuniartis, 2009). Kromium (Cr III) merupakan mikroelemen bagi makhluk hidup, tetapi bersifat toksik dalam dosis tinggi. Kromium (Cr III) dibutuhkan untuk metabolisme hormon insulin dan pengaturan kadar glukosa darah. Defisiensi Cr (III) bisa menyebabkan hiperglisemia, glukosoria, meningkatnya cadangan lemak tubuh, munculnya penyakit kardiovaskuler, menurunnya jumlah sperma dan menebabkan infertilisasi (Yuliani, 2009)


(31)

3. Ion Kromium (VI) atau kromat (Cr6+)

Ion kromium (VI) memiliki bilangan oksidasi +6. Ion-ion kromat berwarna kuning. Sedangkan dikromat berwarna jingga. Senyawa yang terbentuk dari ion kromium (VI) akan bersifat asam. Ion-ion kromat dan dikromat merupakan zat pengoksidasi yang kuat (Yefridaa dan Yuniartis, 2009).

Kromium adalah bahan kimia yang persisten, bioakumulatif, dan toksik yang tinggi serta tidak mampu terurai di dalam lingkungan, sulit diuraikan dan akhirnya diakumulasi di dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Kromium heksavalen (Cr VI) lebih toksik dibandingkan Cr (III), baik paparan akut maupun kronis (Yuliani, 2009). Tingkat toksisitas Cr (VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0,05 ppm. Cr (VI) bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan iritasi pada kulit manusia.

2.4. Logam Kadmium (Cd)

Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang sangat

luas di alam, logam ini bernomor atom 48, berat atom 112,40 dengan titik cair 321oC dan titik didih 765oC. Di alam Cd bersenyawa dengan belerang (S) sebagai

greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas amonia (NH3) (Palar, 2004). Kadmium

bervalensi dua (Cd2+) adalah bentuk terlarut stabil dalam lingkungan perairan laut pada pH dibawah 8,0. Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29-0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Di lingkungan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan


(32)

kompleks dengan bahan organik. Di perairan alami, kadmium (Cd) membentuk ikatan kompleks dengan ligan baik organik maupun anorganik, yaitu Cd2+, Cd(OH)+, CdCl+, CdSO4, CdCO3 dan Cd organik (Sanusi, 2006).

Cd bersifat kronis dan pada manusia biasanya terakomulasi dalam ginjal.

Keracunan Cd dalam waktu lama dapat membahayakan kesehatan paru-paru, tulang, hati, kelenjer reproduki dan ginjal. Logam Cd juga bersifat neurotoksin yang menimbulkan dampak rusaknya indera penciuman (Anwar.1996).

2.5. Mekanisme Pengambilan Logam Berat oleh Mikroalga

Mekanisme pengambilan logam berat oleh mikroalga terdiri atas dua proses yakni adsorbi dan absorbsi. Adsorbsi terjadi melalui dua proses, yakni pertukaran ion dan pengikatan ion logam berat oleh gugus fungsi yang terdapat pada permukaan sel. Dinding sel mikroalga umumnya terdiri atas selulosa yang memiliki gugus fungsional seperti hidroksil yang dapat berikatan dengan logam berat (Kauner dkk, 1997 & Gupta dkk, 2000 )

Absorbs berlangsung melalui transport aktif dan prosesnya berlangsung lebih lambat dari pada adsorbsi. Logam berat yang terabsorbsi akan terakumulasi di dalam sel logam berat yang terabsorbsi akan berkaitan dengan protein pengikat logam seperti metalotionein dan fitokelatin, selanjutnya logam berat tersebut akan diakumulasi di vakuola (Niess, 1999).

Pengambilan Cr (VI) dan Cd oleh mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pH, suhu, cahaya, keberadaan ion lain dan agen pengkelat. Derajat keasaman yang tinggi akan menghambat pengambilan Cr (VI) dan Cd oleh mikroalga. Pengambilan Cr (VI) dan Cd terhambat karena kedua logam tersebut


(33)

akan membentuk senyawa komplek yang tidak larut dalam air pada pH tinggi. Kromium (Cr VI) dan Kadmium akan berbentuk ion bebas pada pH rendah sehingga mudah diserap oleh mikroalga.

Peningkatan suhu akan meningkatkan pegambilan Cr (VI) dan Cd oleh mikroalga karena suhu mempengaruhin kecepatan metabolism seperti aktivitas enzimatik dan transport aktif. (Soeder & Stengel, 1974). Cahaya juga mempengaruhi pengambilan Cr (VI) dan Cd karena pengambilan Cd terjadi melalui transport aktif yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh cahaya. Hal tersebut disebabkan transport aktif menggunakan energi yang diperolah dari proses fotosintesis. (Darley, 1982).

Keberadaan ion lain dilingkungan dapat juga mempngaruhi pengambilan logam berat oleh mikroalga. Hasil penelitian Issa dkk (1995) menunjukkan bahwa ion Ca2+ dapat menghambat pengambilan ion Cd2+, Ni2+, Mn2+ dan Co2+ pada mikroalga Kirchneriella linaris. Penghambatan terjadi karena terjadi kompetensi ion Ca2+ dengan ion logam berat untuk berikatan dengan situs pengikatan yang terdapat di permukaan sel.

Agen pengkelat dapat mengurangi pengambilan Cr (VI) dan Cd oleh mikroalga mengurangi pengambilan Cr (VI) dan Cd oleh mikroalga karena agen pengkelat akan berikatan dengan ion Cr (VI) dan Cd sehinga pengambilan kedua ion logam tersebut oleh mikroalga berkurang. Ion Cr (VI) dan Cd yang berikatan dengan pengekelatakan membentuk molekul yang ukurannya terlalu besar untuk diserap oleh mikroalga (Reynold, 1984 & Skowronski, 1986).


(34)

Selain itu mikroalga juga mampu melakukan detoksifikasi logam berat yang merupakan proses pengubahan logam berat menjadi bentuk yang tidak beracun (Rusmin, 2005). Detoksifikasi dapat terjadi secara ekstraseluler dan intraseluler (Twiss & Nalewajko, 1992).

2.6. Detoksifikasi Logam Berat oleh Mikroalga

Detoksifikasi ektraseluler disebut juga mekanisme toleransi. Proses tersebut terjadi melalui adsorbsi logam berat pada dinding sel. Logam berat dapat teradsorpsi pada dinding sel karena dinding sel mikroalga memiliki gugus funsional yang dapat berikatan dengan logam berat (Rusmin, 2005).

Proses detoksifikasi secara intraseluler disebut juga mekanisme resistensi. Proses tersebut berlangsung melalui pembentukan protein pengikat logam yang merupakan salah satu protein pengikat logam merupakan salah satu proses detoksifikasi secara intraselular. Protein pengikat logam yang terdapat pada mikroalga antara lain metalotionin dan fitokelatin yang dapat berikatan dengan logam berat karena memiliki gugus sulfidril (-SH) yang dapat berikatan dengan logam berat (Pinto dkk. 2003).

2.7. Spektrofotometer Serapan Atom

Spektrofotometer serapan atom adalah suatu metode pengukuran kuantitatif

suatu unsur yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penerapan cahaya pada panjang gelombang tertentu oleh atom-atom bentuk gas dalam keadaan dasar (Sony, 2009). Spektrofotometer serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif


(35)

analisis dengan alat ini akan mendapatkan kadar total unsur dalam cuplikan. Untuk analisis suatu logam tertentu dapat dilakukan dengan campuran unsur-unsur lain tanpa dilakukan pemisahan terlebih dahulu (Triani, 2006).

Jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala yang

mengandung atom-ataom bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap. Jauhnya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan SSA (Sony, 2009).


(36)

2.5. Kerangka Berfikir

Dampak Positif

Pencemaran Lingkungan

Air Udara

Logam Berat Cr (VI) & Cd)

Mikroalga Pengolahan Limbah

Industrialisasi

Pengurangan Konsentrasi Logam Pada Limbah Cair

Penyerapan Logam Kesejahteraan

Dampak Negatif

Tanah

Organik Anorganik

Fisika Kimia Biologi

Aman bagi lingkungan


(37)

21 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, analisis

kandungan logam dilakukan di Laboratorium Lingkungan Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan di Laboratorium BTL-Puspitek Serpong. Waktu pelaksanaan bulan Juli-Oktober 2011.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan selama penelitian berupa kultur S. dimorphus, berasal

dari koleksi laboratorium Limnologi-LIPI Cibinong dan pupuk daun komersil (DUTATONIK H-16) yang mengandung unsur hara makro dan mikro lengkap yang dibutuhkan, meliputi N, P, K, Mg, Ca, S, Zn, Cl, Fe, Mn, Cu, B, Mo, Co, Na dan vitamin B Kompleks, akuades, alkohol 70%, dan spiritus.

Alat

Peralatan yang digunakan meliputi alat gelas (labu Erlenmeyer, gelas objek,

gelas penutup, kuvet, gelas ukur, gelas piala, pipet tetes, batang pengaduk), Lampu TL berkekuatan 36 watt, Automatic on/off, timbangan analitik, pH meter,


(38)

cahaya, Hemocytometer Neubauer, hand counter, mikrotube, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) Perkin Elmer A Analyst 700, kamera kodak EasyShare

M340, spatula, mikropipet dan tip, isolasi, aluminium foil, tissue, spiritus, pembakar spiritus.

3.3. Rancangan Penelitian

Metode penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas empat macam perlakuan dan tiga ulangan pada masing-masing logam berat (Tabel 1). Konsentrasi pada masing-masing perlakuan yang diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengolahan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang diperbolehkan bagi kegiatan industri dengan ambang batas 1 mg/l bagi Cr (VI) dan 0,01 mg/l bagi Cd.

Tabel 1. Rancangan penelitian pada masing-masing logam Cr (VI) dan Cd

Perlakuan Konsentrasi (ppm)

Cr (VI) Cd

1 0,1 0,1

2 1 1

3 2 5

4 0 (kontrol)

3.4. Cara Kerja

Pada bulan pertama dilakukan prapenelitian untuk mendapatkan volume kultur yang representatif sampai mendapatkan sejumlah biomassa yang dibutuhkan dalam analisis logam berat.


(39)

3.4.1. Persiapan

1. Alat

Seluruh peralatan yang akan digunakan dalam penelitian dicuci sampai

bersih. Setelah kering alat gelas dibungkus dengan kertas kemudian disterilisasi Basah menggunakan autoklaf dengan suhu 1210C selama 15 menit dengan tekanan 2 atm.

2. Pembuatan larutan stok pupuk daun

Pupuk daun yang digunakan merupakan pupuk komersil (DUTATONIC

H-16). Pupuk daun sebanyak 2,25 g dilarutkan ke dalam 1 L akuades kemudian di aduk sesesampai larut, selanjutnya larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah kemudian ditera dengan akuades ingga volume 3 L dan diaduk sampai homogen.

3. Pembuatan larutan stok Cr (VI) dan Cd 100 ppm

Pembuatan larutan stok diawali dengan pembuatan larutan induk 1000 ppm dengan melarutkan senyawa K2CrO4 sebanyak 3,734 g dan 3,135 g senyawa

CdSO4.8H2O dengan 1 L akuades pada masing-masing labu ukur. Kemudian

dilakukan pengenceran sampai 100 ppm dengan volume 100 ml untuk masing-masing larutas stok Cr (VI) dan Cd.

4. Pembuatan media perlakuan

a. Cr (VI)

Pembuatan media untuk perlakuan 1, 2 dan 3 berturut-turut dengan


(40)

dan ditera dengan larutan pupuk daun hingga volume 100 ml dengan konsentrasi awal 0,1 , 1 dan 2 ppm.

Pembuatan media perlakuan dengan konsentrasi 0 ppm (perlakuan 4) diperoleh dengan mengambil 100 ml larutan pupuk daun, dimasukkan ke dalam erlenmeyer tanpa diberi penambahan larutan stok Cr (VI).

b. Cd

Pembuatan media untuk perlakuan 1, 2 dan 3 berturut-turut dengan

memasukkan 0,1 , 1 dan 5 ml larutan stok Cd ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditera dengan larutan pupuk daun hingga volume 100 ml dengan konsentrasi awal 0,1 , 1 dan 5 ppm.

Pembuatan media perlakuan dengan konsentrasi 0 ppm (perlakuan 4) diperoleh dengan mengambil 100 ml larutan pupuk daun, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml tanpa diberi penambahan larutan stok Cd.

5. Perbanyakan kultur mikroalga

Perbanyakan kultur mikroalga dilakukan tiap satu minggu sekali dengan

perbandingan 1:1. Biakan S. dimorphus sebanyak 50 ml diinokulasikan ke dalam 50 ml larutan pupuk daun. Kemudian biakan diletakkan di ruang kultur dan diinkubasi selama 7 hari dengan fotoperiodisasi 12 jam terang dan 12 jam gelap. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan sel yang seragam dalam tahap pertumbuhan (Rahmadi, 2005). Perbanyakan dilakukan sampai mendapatkan volume dan kerapatan yang dibutuhkan.


(41)

3.4.2. Inokulasi

Sel S. dimorphus dengan kerapatan 500.000 sel/ml diinokulasikan ke dalam masing-masing media perlakuan. Media perlakuan yang telah diinokulasikan kemudian diletakkan di ruang kultur dengan pencahayaan 2 buah lampu TL berkekuatan 36 Watt dengan kisaran intensitas cahaya sebesar 1.007-1.290 lux. Fotoperiodisasi diatur dengan 12 jam terang dan 12 jam gelap.

3.4.3. Pengukuran kondisi fisik ruang kultur

Pengukuran dilakukan setiap 24 jam sekali selama penelitian berlangsung,

meliputi suhu ruang (0C), kelembapan (%) dan intensitas cahaya (lux).

3.4.4. Pengukuran pH media

Pengambilan sampel untuk pengukuran pH media diambil sebanyak 2 ml

dan diukur dengan alat pH meter, sampling dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel untuk perhitungan kerapatan sel.

3.4.5. Penghitungan kerapatan sel

Perhitungan jumlah sel dilakukan setiap 24 jam sekali untuk mengetahui

kerapatan sel selama penelitian berlangsung. Perhitungan dimulai dari t0 (hari

ke-0) sampai t10 (hari ke-10). Berdasarkan penelitian pendahuluan Rahmadi (2005)

menunjukkan bahwa kultur S. dimorphus dan mikroalga secara umum memiliki waktu cukup lama untuk memasuki fase kematian sehingga pengamatan tidak dilakukan sampai tercapai fase kematian. Kultur S. dimorphus diambil sebanyak


(42)

1 ml secara aseptik dari masing-masing perlakuan. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan menggunakan kamar hitung Hemocytometer Improved Neubauer.

Perhitungan kerapatan sel S. dimorphus menggunakan kotak besar yang ada pada Hemocytometer Improved Neubauer. Kerapatan sel dihitung dengan rumus:

k = n x Fp x Lb (2500)

Keterangan:

k = kerapatan sel S. dimorphus (sel/ml)

n = jumlah total sel dalam 4 kotak kamar hitung Fp = faktor pengenceran yang digunakan

Lb = Luas bidang pandang

Gambar 7. Skema Hemocytometer Improved Neubauer (Perez, 2006)

3.4.6. Perhitungan Jumlah koloni

Perhitungan jumlah koloni dilakukan bersamaan dengan perhitungan kerapatan sel. Koloni yang dihitung merupakan kumpulan beberapa sel individu dewasa.


(43)

3.4.7. Pengukuran sel

Pengukuran sel S. dimorphus dilakukan pada saat hari pertama, fase ekseponensial dan stasioner. Sel-sel S. dimorphus yang diukur merupakan sel indi(VI)du yang telah dewasa. Pengukuran sel S. dimorphus dilakukam di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 40. Pengukuran tersebut menggunakan mikrometer okuler. Bagian sel S. dimorphus yang diukur adalah panjang dan lebar dan dilakukan pada 5 sel untuk setiap perlakuan.

3.4.8. Pengujian penyerapan logam Cr (VI) dan Cd

Masing-masing sampel pada hari ke-5 dan ke-10 di ambil sebanyak 25 ml selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit, kemudian supernatan yang terbentuk diambil dan siap untuk di analisis kandungan logamnya dengam spektrofotometer serapan atom (SSA).

Pehitungan konsentrasi logam Cr (VI) dan Cd terserap menggunakan metode Langmuir dengan persamaan sebagai berikut:

Cterserap = Cawal– Cakhir

Persen penurunan logam kromium (Cr (VI)) dan kadmium (Cd) dihitung dengan perumusan:

% penurunan = Cawal– Cakhir x 100%

Cawal

Keterangan:

Cterserap = konentrasi logam terserap (mg/L)

Cawal = konsentrasi logam sebelum pengontakan (mg/L)


(44)

3.5. Analisis Data

Data yang didapat berupa data persen penyerapan logam, kerapatan sel, jumlah koloni, dan ukuran sel berupa pajang dan lebar. Data tersebut dianalisis dengan dengan analisis of varians (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan dibantu program SPSS 16.


(45)

3.6. Skema Penelitian

Persiapan alat

Pembuatan stok media Pembuatan stok Cr (VI) & Cd

Pembuatan media perlakuan

Inokulasi sel

Inkubasi 10 hari

Pengukuran faktor fisik

Perhitungan kerapatan sel &

jumlah koloni (selam 11 hari)

Pengukuran ukuran sel (panjang & lebar) (hari ke-0,

5 & 10)

Pengujian penyerapan logam Cr (VI) &

Cd (hari ke-5 & 10)

Suhu

pH media

Kelembapan

Intensitas cahaya

Analisis data


(46)

30

4.1. Efektivitas Penyerapan Logam Cr (VI) dan Cd oleh S. dimorphus

4.1.1. Efektivitas Penyerapan logam Cr (VI)

Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorphus memiliki perbedaan pada setiap konsentrasi yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penurunan konsentrasi Cr (VI) tertinggi pada hari ke-5 sebesar 94,24% dan 77,36% pada hari ke-10 yaitu terdapat pada konsentrasi 0,1 ppm (Gambar 9). Perbedaan ini terkait dengan kemampuan S. dimorphus dalam menyerap logam Cr (VI).

Gambar 9. Kemampuan penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorpus pada hari ke-5 dan 10

Berdasarkan penelitian Khotimah dkk (2010), proses penyerapan Cr (VI) pada konsentrasi rendah memiliki laju penyerapan yang lebih cepat. Tingginya

0 20 40 60 80 100

0,1 1 2

94,23 31,98 25,72 77,36 29,77 23,94 P en ye ra p an ( % ) Konsentrasi (ppm)


(47)

kemampuan penyerapan S. dimorphus pada konsentrasi 0,1 ppm terkait dengan struktur dinding sel yang salah satu penyusunnya adalah selulosa. Selulosa memiliki gugus hidroksil sehingga dapat berikatan dengan logam berat (Gupta dkk, 2000). Adanya gugus hidroksil tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme pertukaran ion antara selulosa dengan Cr (VI) (Gambar 3). Interaksi yang terjadi antara selulosa deangan ion Cr (VI) tersebut merupakan mekanisme detoksifikasi ekstraluler atau disebut juga mekanisme toleransi. Detoksifikasi adalah proses pengubahan logam berat menjadi bentuk tidak beracun (Rusmin, 2005). Selain itu dapat pula terjadi mekanisme detoksifikasi intraseluler yang disebut juga mekanisme resisten. Proses tersebut berlangsung melalui pembentukan protein pengikat logam dan protein yang terdapat pada mikroalga antara lain metalotionein dan fitokelatin. Kedua potein tersebut dapat berikatan dengan logam berat karena memiliki gugus sulfidril (-SH) (Pinto dkk, 2002). Cobbet (2000) menyatakan bahwa fitokelatin membentuk kompleks dengan logam berat dan berfungsi sebagai detoksifikan.

Tingginya penyerapan Cr (VI) konsentrasi 0,1 ppm pada hari ke-5 dan 10 tidak diikuti dengan konsentrasi 1 ppm yang hanya sebesar 31,98% dan 25,72% begitu pula dengan konsentrasi 2 ppm sebesar 29,77% dan 23,94%. Semakin menurunnya kemampuan penyerapan seiring meningkatnya konsentrasi karena jumlah molekul yang berada pada media semakin banyak dan kemampuan S. dimorphus dalam menyerapa logam Cr (VI) semakin kecil. Lamanya masa inkubasi mengakibatkan berkurangnya nutrisi dan kemampuan penyerapan S.


(48)

dimorphus menurun. Meskipun demikian, konsentrasi 0,1 , 1 dan 2 ppm tidak

mempengaruhi penyerapan logam Cr (↑I) (p ≥ 0,05) (Lampiran 9).

Penyerapan logam Cr (VI) dipengaruhi faktor lingkungan salah satunya adalah pH media. Selama 11 hari pengamatan pH media terus mengalami

perubahan. Nilai pH dipengaruhi oleh konsentrasi (p≤0,05) dan bersadarkan uji

lanjutan, konsentrasi 0,1 ppm dan kontrol berbeda nyata dengan konsentrasi 2 ppm (Lampiran 10). Perbedaan ini menunjukkan respon yang diberikan S. dimorphus terhadap lingkungan yang berbeda di setiap konsentrasi.

Perubahan pH terus mengalami kenaikan pada masing-masing konsentrasi sampai hari ke-5. Pada hari berikutnya nilai pH mengalami penurunan sampai nilai pH ± 5,92 dan ± 5,77 di hari ke-10 untuk konsentrasi 0,1 ppm dan kontrol (Lampiran 5). Menurunnya nilai pH pada konsentrasi 0,1 ppm diduga karena berdasarkan persamaan reaksi penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorphus

menghasilkan ion H+ sehingga dengan semakin banyaknya ion H+ maka kesetimbangan akan bergesar ke kiri dan kecepatan penyerapan semakin menurun (Gambar 3) (Khotimah dkk, 2010).

Nilai pH pada kontrol juga mengalami penurunan, hal ini diduga karena konsentrasi CO2 terlarut tidak dimanfaakan oleh sel sehingga menyebabkan pH

media semakin asam. Hal sebaliknya terjadi pada konsentrasi 1 da 2 ppm, pH media terus meningkat sampai hari ke-10. Semakin tinggi nilai pH media akan mengubah ion dikromat menjadi Cr3+. Ion Cr 3+ merupakan ion yang mudah mengendap. Pada pH yang tinggi, konsentrasi OH- larutan juga tinggi sehingga ion Cr lebih mudah mengikat OH- dari pada dengan adsorben (Khotimah dkk,


(49)

2010). Hal ini yang menyebabkan rendahnya kemampuan penyerapan logam Cr (VI) pada hari ke-5 dan 10. Tingginya nilai pH pada konsentrasi 1 dan 2 ppm juga diduga karena proses fotosintesis yang terjadi. Pada saat fotosintesis, sebagian besar mikroalga menggunakan karbondioksida (CO2) terlarut atau ion bikarbonat

(HCO3) sebagai sumber karbon. Penyerapan CO2 akan mengakibatkan konsentrasi

ion H+ dalam media menurun sehingga nilai pH meningkat (Graham & Wilcox, 2000).

4.1.2. Efektivitas Penyerapan Logam Cd

Hasil penelitian terhadap efektivitas penyerapan logam Cd dihari ke-5 pada masing-masing konsentrasi 0,1 , 1 dan 5 ppm menunjukkan terjadi peningkatan penyerapan seiring dengan semakin besarnya konsentrasi logam Cd (Gambar 10).

Gambar 10. Kemampuan penyerapan logam Cd oleh S. dimorpus pada hari ke-5 dan 10

Hal ini diduga karena S. dimorphus dapat memanfaatkan sebagian Cd untuk menggantikan fungsi Zn pada mikroalga (Hunter & Boyd, 1997) meskipun tidak semaksimal kerja Zn. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Lane dan

0 20 40 60 80 100

0,1 1 5

50.33 55.53

65.91

0

60.73 58,9

p en ye ra p an ( % ) Konsentrasi (ppm)


(50)

Morel (2000) dalam Rusmin (2005) menunjukkan bahwa Cd dapat digunakan oleh Thalassiosira weissflogii untuk mensintesis enzim karbonik anhidrase. Enzim ini dapat meningkatkan jumlah CO2 yang tersedia untuk fotosintesis karena enzim

tersebut merupakan katalis pada reaksi pengubahan ion bikarbonat (HCO3-)

menjadi CO2 (Graham & Wilcox, 2000). Meskipun demikian berdasarkan uji Anova, konsentrasi tersebut tidak mempengaruhi penyerapan logam Cd (p≥0,05),

dengan kata lain S. dimorphus mampu beradaptasi pada perlakuan yang diberikan. Selain kemampuan S. dimorphus dalam memanfaatkan logam Cd, hal ini juga berkaitan dengan kemampuan S. dimorphus melakukan mekanisme detoksifikasi eksteraseluler yang terjadi akibat interaksi Cd dengan gugus hidroksil pada selulosa yang melapisi diding sel S. dimorphus. Penyerapan Cd oleh dinding sel dapat mencegah Cd masuk kedalam sel atau mengurangi jumlah sel yang masuk kedalam sel (Rusmin, 2005) sehingga akan mengurangi tingkat keracunan pada konsentrasi tinggi seperti pada konsentrasi 5 ppm dan S. dimorphus akan terus tumbuh. Mekanisme detoksifikasi intraseluler diduga juga terjadi pada penyerapan Cd melalui pembentukan fitokelatin. Niess (1999) menyatakan bahwa Cd yang berikatan dengan fitokelatin akan membentuk senyawa komplek yang tidak beracun. Senyawa komplek tersebut selanjutnya diakumulasi di vakuola (organel sel).

Pada hari ke-10 penyerapan tertinggi terdapat pada konsentrasi 1 ppm yakni sebesar 60,73%. Hal ini diduga karena pada konsentrasi tersebut masih bisa ditoleransi oleh S. dimorphus sehingga penyerapan masih bisa terjadi meskipun sebagian Cd mengalami pengendapan, selain itu jumlah sel juga mempengaruhi


(51)

kemampuan penyerapan karena setiap sel memiliki fase-fase tertentu dimana jumlahnya mencapai maksimal seperti pada fase eksponensial. Hal ini terkait dengan ukuran sel yang berukuran kecil, dimana rasio antar luas permukaan dan volume menjadi sangat besar bila jumlahnya juga maksimal dan akan sangat menguntungkan dalam penyerapan (Nontji, 2006) dengan demikian semakin banyak jumlah sel maka kemampuan penyerapan Cd semakin tinggi. Berbeda halnya dengan konsentrasi 0,1 ppm penyerapan tidak terjadi karena diduga pada hari ke-10 nutrisi pada media semakin berkurang sehingga S. dimorphus

memanfaatkan logam Cd terlarut untuk metabolismenya dan diduga juga sebagian Cd telah mengalami pengendapan sehingga tidak dapat diserap lagi oleh

S. dimorphus. Konsentrasi 5 ppm pada hari ke-10 mengalami penurunan penyerapan karena selain sebagian Cd mengalami pengendapan sehingga tidak dapat diserap, konsentrasi tersebut mulai meracuni sel sehingga menurunkan kemampuan penyerapan S. dimorphus.

Faktor lain yang turut berpengaruh dalam penyerapan Cd adalah perubahan pH media (Lampiran 5). Perubahan pH media yang terjadi relatif sama antar setiap konsentrasi sampai hari terakhir, perubahan yang terjadi tidak dipengaruhi

konsentrasi (p≥0,05) (Lampiran 11). Pada hari ke-5 pH media di masing-masing konsentrasi mengalami peningkatan menjadi ± 7,90-7,93 dan ± 8,12-8,18 pada hari ke-10.

Skowronski (1986) menyatakan Cd akan mengalami pengendapan pada pH basa dan membentuk senyawa kompleks yang tidak larut dalam air sehingga tidak dapat diserap oleh S. dimorphus. Meningkatnya pH media menunjukkan adanya


(52)

pertumbuhan pada masing-masing konsentrasi. Pertumbuhan S. dimorphus dapat menyebabkan kenaikan pH akibat perubahan reaksi kesetimbangan antara konsentrasi CO2, ion karbonat (CO32-) dan ion bikarbonat (HCO3) dalam media

(Reynolds, 1984 dalam Rahmadi, 2005). Hal ini memberikan dampak yang kurang baik bagi penyerapan Cd karena pada pH basa Cd akan mengendap, tetapi berdampak baik bagi pertumbuhan sel karena sel tidak mengalami keracunan.

4.2. Kerapatan, Koloni dan Ukuran Sel S. dimorphus

4.2.1. S. dimorphus pada berbagai konsentrasi logam Cr (VI)

Kemampuan penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorphus terkait dengan kerapatan sel. Rata-rata kerapatan sel pada setiap konsentrasi mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan dan cenderung fluktuatif (Gambar 11).

Gambar 11. Pertumbuhan S. dimorphus beberapa konsentrasi logam Cr (VI)

Adanya mekanisme detoksifikasi pada S. dimorphus mempermudah sel melakukan adaptasi. Berdasarkan grafik pertumbuhan S. dimorphus, fase adaptasi tidak terlihat pada tiap konsentrasi tetapi langsung memasuki fase eksponensial.

5,5 5,7 5,9 6,1 6,3 6,5

0 5 10

L

og

ju

m

lah

(

se

l/

m

l)

Hari ke-


(53)

Fase adaptasi diduga terjadi kurang dari 24 jam sehingga tidak teramati saat pengamatan dihari pertama. Hal ini terjadi karena media yang digunakan sama dengan media perbanyakan (peremajaan) sehingga sel S. dimorphus tidak membutuhkan waktu yang lama dalam beradaptasi.

Pola pertumbuhan yang tidak terlihat jelas pada masing-masing konsentrasi (0,1 , 1, 2 dan kontrol) dan cenderung terus naik meskipun tidak signifikan dan befluktuatif menunjukkan terjadi suatu fase eksponensial. Hal ini terus terjadi sampai hari ke-9 dan hari ke-10 sebagian besar masing-masing konsentrasi mengalami penurunan kerapatan sel. Peningkatan rata-rata kerapatan S. dimorphus pada setiap konsentrasi dapat diamati secara visual yakni dengan melihat perubahan warna kultur (Lampiran 7). Perubahan warna kultur pada masing-masing konsentrasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada hari ke-0, 5 dan 10. Hal ini sejalan dengan perhitungan jumlah sel yang cenderung fluktuatif dan tidak signifikan.

Hasil uji Anova terhadap pengaruh konsentrasi pada kerapatan sel

menunjukkan konsentrasi mempengaruhi kerapatan sel (p≤0,05) (Lampiran 9).

Berdasarkan uji lanjutan, konsentrasi 0,1 dan kontrol berbeda nyata dengan konsentrasi 2 ppm. Perbedaan ini terkait dengan kemampuan S. dimorphus dalam penyerapan logam Cr (VI) dan beradaptasi.


(54)

Gambar 12. Pembentukan koloni S. dimorphus pada beberapa konsentrasi logam Cr (VI)

Peningkatan rata-rata kerapatan sel diikuti dengan pembentukan koloni (Gambar 12). Secara statistik, pembentukan koloni dipengaruhi oleh konsentrasi

yang diberikan (p≤0,05). Menurut Siver & Trainor (1981 dalam Rusmin, 2005) pembentukan koloni dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suhu, cahaya dan nutrien. Pembentukan koloni pada penelitian ini dipengaruhi kadar nutrien karena faktor suhu dan cahaya pada penelitian relatif konstan (Lampiran 6). Peningkatan jumlah koloni diduga akibat petumbuhan yang terjadi sehingga konsentrasi nutrien pada media berkurang. Berdasarkan uji lanjutan, jumlah koloni konsentrasi 2 ppm berbeda nyata dengan konsentrasi 0,1 , 1 dan kontrol (Lampiran 9). Jumlah koloni terendah ada pada konsentrasi 2 ppm, rendahnya jumlah koloni pada konsntrasi tersebut diduga akibat sel-sel mengalami kematian akibat keracunan logam Cr (VI) sehingga hanya sel-sel yang masih mampu bertahan hiduplah yang membentuk koloni. Pada ketiga konsentrasi lainnya yakni 0,1; 1 ppm dan kontrol, jumlah koloni yang terbentuk tidak berbeda nyata. Jumlah

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10

Ju m lah k o lo n i p e r m l Hari ke-


(55)

koloni terus mengalami peningkatan dan jumlah koloni tertinggi terjadi pada hari

ke-3 dan 4, sedangkan pada hari ke-5 jumlah koloni menurun sampai hari ke-10.

Gambar 13. Perubahan ukuran panjang dan lebar S. dimorphus pada hari ke-0, 5 dan 10 di beberapa konsentrasi logam Cr (VI)

Selain pembentukan koloni, juga dilakukan pengukuran panjang dan lebar sel. Rata-rata ukuran panjang dan lebar sel pada masing-masing konsentrasi relatif sama (Gambar 13). Hasil uji Anova terhadap pengaruh konsentrasi pada ukuran panjang dan lebar sel S. dimorphus pada hari ke-0, 5 dan 10 menyatakan bahwa tidak ada pengaruh konsentrasi terhadap ukuran panjang dan lebar sel S. dimorphus (p≥0,05) (Lampiran 13). Rata-rata ukuran panjang dan lebar sel S. dimorphus dari hari ke-0, 5 dan 10 terus mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan.

4.2.2. S. dimorphus pada berbagai konsentrasi logam Cd

Pertumbuhan sel berkaitan dengan rata-rata kerapatan sel. Secara statistik

konsentrasi mempengaruhi kerapatan sel (p≤0,05) dan sesuai dengan uji lanjutan 0

2 4 6 8 10

0 5 10 0 5 10

Panjang (µm) Lebar (µm)

U

k

u

r

an

se

l


(56)

kontrol dan 0,1 ppm berbeda nyata dengan konsentrasi 1 dan 5 ppm (Lampiran 12). Rata-rata kerapatan sel tidak langsung mengalami peningkatan, tetapi membutuhkan proses adaptasi yang cukup lama sampai hari kedua untuk kontrol dan konsentrasi 0,1 ppm (Gambar 14).

Gambar 14. Pertumbuhan S. dimorphus pada beberapa konsentrasi Cd

Tingginya rata-rata kerapatan sel pada konsentrasi 0,1 ppm diduga karena rendahnya konsentrasi 0,1 ppm yang masih mampu ditoleran oleh S. dimorphus. selain itu dengan kemampuan logam Cd yang dapat menggantikan fungsi Zn dalam mensintesis enzim karbonik anhidrase yang menyebabkan pertumbuhan semakin maksimal. Fase eksponensial pada konsentrasi 0,1 ppm terjadi pada hari ketiga sampai hari ke-10. Hal sebaliknya terjadi pada konsentrasi 1 ppm, rata-rata kerapatan sel terus menurun dan mengalami peningaktan rata-rata kerapatan sel pada hari ke-9 dengan kata lain, proses adaptasi yang terjadi pada konsentrasi 1 ppm lebih lama dari konsentrasi 0,1 ppm dan kontrol. Rata-rata kerapatan pada konsentrasi 5 ppm terus mengalami penurunan sampai hari ke-5 dan 10 setelah tidak mampu melakukan adaptasi, hal ini karena logam Cd pada konsentrasi

5,5 5,7 5,9 6,1 6,3 6,5

0 5 10

L

og

ju

m

lah

(

se

l/

m

l)

Hari ke-


(57)

tersebut mulai meracuni S. dimorphus dengan kemampuan beradaptasi yang kurang baik mengakibatkan kematian sel.

Kematian sel akibat karacunan diawali proses rusaknya kloroplas, seperti pada pengamatan mikroskopis yang menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil kloroplas yang masih tersisa (Lampiran 8). Kerusakan kloroplas menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang terhambat menyebabkan kebutuhan karbon organik esensial yang dibutuhkan berkurang. Selain menyebabkan kerusakan kloroplas, logam Cd diduga dapat menyebabkan kerusakan mitokondria. Cd dapat merangsang terbentuknya Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang dapat merusak mitokondria. Reactive Oxygen Spesies dapat menyebabkan peroksidasi lemak pada membran mitokondria sehingga mitokondria mengalami kerusakan (Pinto dkk, 2003). Kerusakan tersebut mengakibatkan proses respirasi terhambat. Hal ini menyebabkan energi yang dihasilkan dari proses respirasi tidak mencukupi untuk melakukan metabolisme dan pada akhirnya sel mengalami kematian. Pada penelitian ini fase stasioner tidak terlihat karena terjadi setelah hari ke-10.

Secara fisik penurunan kerapatan S. dimorphus pada kedua konsentrasi tersebut sudah terlihat secara visual, dimana terjadi perubahan warna kultur pada semua media. Konsentrasi 0,1 ppm dan kontrol terus mengalami perubahana warna media menjadi lebih pekat dan pada konsentrasi 1 dan 5 ppm warna media semakin pucat pada hari ke-5 dan memudar pada hari ke-10 pada konsetrasi 5 ppm menjadi bening. (Lampiran 7).


(58)

Selain kerapatan sel yang dipengaruhi konsentrasi, pembentukan koloni juga

dipengarui oleh konsentrasi (p≤0,05) (Lampiran 11). Jika kerapatan sel tertinggi ada pada perlakuan dengan konsentrasi 0,1 ppm dan terendah pada konsentrasi 5 ppm, hal ini diikuti dengan pembentukan koloni pada konsentrasi 0,1 ppm yang relatif tinggi dan fluktuatif dibandingkan dengan tiga konsentrasi lainnya (Gambar 15).

Gambar 15. Pembentukan koloni S. dimorphus pada beberapa konsentrasi logam Cd

Jumlah koloni yang terbentuk pada kontrol berbanding terbalik dengan kerapatan sel yang semakin tinggi sampai hari ke-10. Dua konsentrasi lainnya 1 dan 5 ppm terus mengalami penurunan jumlah koloni seiring menurunnya jumlah kerapatan S. dimorphus. Menurunnya jumlah koloni kemungkinan akibat sel yang mengalami kematian akibat keracunan. Koloni yang ada pada keempat perlakuan merupakan sel S. dimorphus yang masih mampu bertahan hidup. Sedangkan

berdasarkan uji lanjutan, konsentrasi 0,1 , 5 ppm dan kontrol berbeda nyata dengan konsentrasi 1 ppm (Lampiran 12).

0 10 20 30 40 50 60 70

0 5 10

Ju m lah k o lo n i p e r m l Hari ke-


(59)

Gambar 16. Perubahan ukuran panjang dan lebar S. dimorphus pada hari ke-0, 5dan 10 pada beberapa konsentrasi logam Cd

Salah satu parameter yang diuji adalah ukuran sel S. dimorphus meliputi panjang dan lebar. Tidak terlihat perubahan panjang dan lebar yang signifikan dari gambar 16. Ukuran panjang dan lebar sel tidak dipengaruhi oleh konsentrasi

logam Cd pada berbagai konsentrasi (p≥0,05) (Lampiran 11) dan perubahan yang

tidak signifikan tersebut dapat dilihat pula secara mikroskopis (Lampiran 8).

4.3. Hubungan Efektivitas Penyerapan dengan Kerapatan S. dimorhus pada Logam Cr (VI) dan Cd

4.3.1. Hubungan Efektivitas Penyerapan dengan Kerapatan S. dimorhus pada Logam Cr (VI)

Penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorphus pada hari ke-5 terus mengalami

penurunan dengan bertambahnya konsentrasi, dengan demikian ion logam Cr (VI) semakin sedikit pula yang terserap. Akan tetapi kerapatan sel mengalami peningkatan meski tidak signifikan (Gambar 17). Penyerapan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ppm sebesar 94, 24% dengan kerapatan ± 935.833.3 sel/ml. Tingginya penyerapan tidak diikuti dengan tingginya kerapatan sel kerapatan

0 2 4 6 8 10

0 5 10 0 5 10

Panjang (µm) Lebar (µm)

U k u ran se l m )


(60)

tertinggi ada pada konsentrasi 1 ppm yakni ± 1.142.500 sel/ml tetapi penyerapannya hanya sebesar 31,98%.

Gambar 17.Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) pada hari ke-5 dan 10 Keterangan:

Penyerapan pada hari ke-10 tidak jauh berbeda dengan hari ke-5 yang mengalami penurunan penyerapan sering dengan tingginya konsentrasi. Penyerapa tertinggi pada konsentrasi 0,1 ppm sebesar 77, 36% diikuti dengan kerapatan tertinggi ± 1.038.333 sel/ml.

4.3.2. Hubungan Efektivitas penyerapan dengan kerapatan S. dimorhus pada logam Cd

Pada gambar 18 terlihat bahwa penyerapan pada hari ke-5 terjadi dengan semakin tingginya konsentrasi logam Cd, maka jumlah ion logam Cd yang terserap semakin bertambah. Sebaliknya penurunan terjadi pada kerapatan sel. Hal ini diduga karena keterbatasan sel dalam beradaptasi pada kondisi lingkungan yang kurang baik dengan semakin tingginya konsentrasi Cd yang diberikan pada

3 6 9 0 20 40 60 80 100

1 2 3

K e r ap at an ( se l/ m l) P e n y e r ap an ( % ) Konsentrasi (ppm) Hari ke-5 3 6 9 0 20 40 60 80 100

1 2 3

K e r ap at an ( se l/ m l) P e n y e r ap an ( % ) Konsentrasi (ppm) Hari ke-10


(61)

media sehingga menyebabkan penurunan kerapatan sel seiring tingginya konsentrasi. Penyerapan tertinggi pada konserasi 5 ppm sebesar 65,91% dan kerapatan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ppm yakni 1.564.167 sel/ml.

Gambar 18. Efektivitas penyerapan logam Cd pada hari ke-5 dan 10 Keterangan:

Penyerapan pada hari ke-10 tidak stabil seiring dengan peningkatan konsentrasi yang diberikan. Pada 0,1 ppm penyerapan tidak terjadi karena terkait dengan reaksi yang terjadi di dalam media, penyerapan pada konsentrasi 1 ppm lebih tinggi dari 5 ppm yakni sebesar 60,73%. Berbeda halnya dengan kerapatan yang terus mengalami penurunan dengan semakin tingginya konsentrasi yang menunjukkan batas toleransi pertumbuhan S. dimorphus, kerapatan tertinggi pada konsentrasi 0,1 ppm yakni 1.948.333 sel/ml.

Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa penyerapan tertinggi tidak selalu diikuti dengan kerapatan tinggi pula. Hal sebaliknya juga dapat terjadi tergantung dari kemamuan S. dimorpus sendiri dalam melalukan adaptasi dengan berbagai

3 6 9 0 20 40 60 80 100

1 2 3

K e r ap at an ( se l/ m l) P e n y e r ap an ( % ) Konsentrasi (ppm) Hari ke-5 3 6 9 0 20 40 60 80 100

1 2 3

K e r ap at an ( se l/ m l) P e n y e r ap an ( % ) Konsentrasi (ppm) Hari ke-10


(62)

mekanisme yang ada padanya. Hal tersebut juga tidak lepas dari sifat-sifat logam berat yang digunakan karena S. dimorphus memiliki mekaniseme adaptasi yang berbeda pada setiap logam berat yang berinteraksi dengannya.

Analisa perbandingan dilakukan dengan cara membandingkan persen penyerapan pada hari ke-5 dan 10. Semakin banyak konsentrasi yang terserap oleh

S. dimorphus pada kerapatan tertentu akan diketahui logam mana yang lebih efektiv diserap.

Berdasarkan Gambar 18 dan 19, kemampuan S. dimorphus dalam menyerap logam Cr (VI) pada hari 5 lebih tinggi dibandingkan dengan Cd pada hari ke-10. Efektivitas penyerapan Cr (VI) tertinggi pada konsentrasi 0,1 ppm sebesar 94,24%, sedangkan pada logam Cd sebesar 65,91% pada konsentrasi 5 ppm.

4.4. Kondisi Fisik Ruang Kultur

Kondisi ruang kultur S. dimorphus selama pengamatan 11 hari terhadap konsentrasi logam Cr VI dan Cd tersaji pada lampiran 6. Suhu ruang kultur berkisar antara 26,9-27,8 oC dengan kelembaban antara 20-25 % dan intensitas cahaya berkisar 1007-1290 lux. Kondisi ini merupakan kondisi yang sesuai dengan batas toleransi semua faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan S. diorphus.(Rusmin, 2005).


(63)

47 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. S. dimorphus mampu menyerap logam Cr (VI) pada konsentrasi 0,1 , 1 dan 2 ppm mencapai 25%94,24% pada hari ke5 dan hari ke10 sebesar -23,94%-77,36%, sedangkan pada logam Cd sebesar 50,33%-65,91% pada hari ke-5 dan di hari ke-10 sebesar58,9%-60,73% pada konsentrasi 0,1 , 1 dan 5 ppm.

2. Efektivitas penyerapan logam Cr (VI) oleh S. dimorphus sebesar 94,24% pada konsentrasi 0,1 ppm, sedangkan pada Cd sebesar 65,91% pada konsentrasi 5 ppm, penyerapan ini terjadi pada hari ke-5. Efektivitas penyerapanlogam Cr (VI) lebih tinggi dibandingkan dengan Cd.

3. Konsentrasi logam Cr (VI) dan Cd mempengaruhi peningkatan kerapatan

S.dimorphus.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan konsentrasi Cr (VI) dan Cd yang lebih tinggi agar dapat mengetahui kemampuan penyerapan logam tersebut


(64)

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjutan dengan menggunakan logam berat lain yang sangat berbahaya bagi lingkungan dengan memanfaatkan kemampuan penyerapan S. dimorphus serta jenis mikroalga lain atau makroalga.


(65)

49 Afkar, E., H. Ababna and A. A. Fathi. 2010. Toxicological respons of the green alga Chlorella vulgaris to some heavy metal. American Journal Enviromental Science 6 (3): 230-237

Afizi, I. 2002. Pengaruh Warna dan Lapis Cahaya Merah, Biru, Hijau dan Putih Terhadap Pertuumbuhan Scenedesmus. Skripsi.Progran Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan ILmu kelautan Institut Pertanian Bogor. Afriansyah, A. 2009. Konsentrasi kadmium (Cd) dan tembaga (Cu) dalam air,

seston, kerang dan fraksinasinya dalam sedimen di perairan Delta Berau, Kalimantan Timur. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Al-Homaidan, A. A. 2006. Heavy metal level in Saudi Arabian Spirulina.

Pakistan Journal of biological Science 9 (14): 2693-2695, ISSN 1028-8880

Anonim. 2006. Desorpsi Ion Logam Tembaga (II) dari Biomassa Chlorella sp

yang Terimobilisasi dalam Silika Gel. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Anwar, D., 1996, Kandungan logam berat Cu dan Hg dalam aritrosit Warga

Genjeran, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Airlangga.

Anonim. http://cronodon.com/BioTech/Algal_Bodies.html. akses 4 April 2011 Brady, D., B Letebele, JR Duncan and PD Rose. 1994. Bioaccumulation of metals

by Scenedesmus, Selenastrum and Chlorella algae. ISSN 0378-4738=Water SA Vol. 20 No. 3

Bold, H. C dan M. J. Wyne. 1985. Introduction to The Algae Structure and Reproduction. Prentice-Hall Inc, New Jersey.

Bramandita, A. 2009. Pengendapan kromium heksavelen dengan serbuk besi. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

Cahyaningsih, S. dan S. Subyakto. 2008. Kultur massal scenedesmus sp. sebagai upaya penyedia pakan rotifer dalam bentuk alami maupun konsentrat.


(66)

Cobbet, C. S. 2000. Phytocelatin biosynthesis and function in heavy metal detoxification. Curr. Opin. Plant. Biol. 3

Cossich, E.S., C.R.G Tavares., T.M.K.Ravagnani., Biosorption of chromium(III) by Sargassum sp. Biomass. Universidad Catolica de Valparaiso. Chile, Vol. 5 No. 2, Issue of August 15, 2002.

Damayanti, D. 2006. Pengaruh Beberapa Konsentrasi Medium Ekstrak Tauge Terhadap Kerapatan Sel Mikroalga Marga Scenedesmus Meyen Selama 10 hari Pengamatan. Skripsi.Universitas Indonesia Depok.

Darley, W. M. 1982. Algal Biology: a physiological approach. Dalam Wikinson, J. F. 1982. Basic microbiology. Vol 9. Blackwel Scientific Puplication, London.

Diantriani, N. P. dkk. 2008. Proses biosorpsi dan desorpsi ion Ct (VI) pada biosorbent rumput laut Eucheuma spinosum. Jurnal Kimia

Disyawongs, G. 2002. Accumulation of copper, mercury and lead in Spirulina platensistudied in Zarrouk’s medium. The Journal of KMITNB, Vol. 12, No. 4

Fadilla, Z. 2010. Pengaruh konsentrasi limbah cair tahu terhadap pertumbuhan mikroalga Scenedesmus sp. Skripsi. Program Stusi Biologi Fakultas sains dan Teknologi Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Graham, L. E. & L. W. Wilcox. 2000. Algae. Prentice Hall, Inc., New Jersey Gupta, R., P. Ahuya, S. Khan, R. K. sakena & H. Mohapatara. 2000. Microbial

biosorbent: meeting challenges of heavy metal pollution in aqueous solution. Current science 78 (8)

Isnansetyo, A. dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Cetakan Pertama. Kanisius. Yogyakarta.

Issa, A. A., R. Abdel-Basset & M. S. Adam. 1995. Aboition of heavy metal toxicity ob Kirchneriella lunaris (Chlorophyta) by calcium. Annalysisi of Botany 75.

Keputusan Menteri negara lingkungan hidup Nomor : kep-51/menlh/10/1995 tentang Baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri

Khotimah, N. dkk. 2010. Adsorbsi logam kromium (IV) oleh biomassa Chara fragilis menggunakan spektroskopi serapan atom. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Program Kreativitas Mahasiswa


(1)

 Hipotesis:

H0: Tidak ada perbedaan Jumlah koloni sel Scenedesmus dimorphus (sel/ml) antar perlakuan

H1:Ada perbedaan jumlah koloni sel Scenedesmus dimorphus (sel/ml) antar perlakuan

 Taraf nyata

Untuk α = 0,05, maka q tabel adalah q’ (0,05≠p)

 Kriteria pengujian

Jika q hitung < q tabel, H0 diterima Jika q hitung > q tabel, H0 ditolak  Hasil perhitungan

1 2

3 ** **

4 **

1 2 3 4

KOLONI

Perlakuan N

alpha = 0.05

1 2

Cd 1 ppm 11 2.793939E1

Cd 5 ppm 11 4.018182E1

Kontrol 11 4.190909E1

Cd 0,1 ppm 11 4.521212E1

Sig. 1,000 0,213

Keterangan:

1= 0 ppm 3 = 1 ppm

2 = 0,1 ppm 4 = 5 ppm


(2)

PENYERAPAN

Jumlah kuadrat df Kuadat tengah F Sig. Penyerapan Antar kelompok 5207,651 3 1735,884 2,320 0,152

Dalam

kelompok 5985,779 8 748,222

Total 11193,430 11

 Hipotesis:

H0 : Konsentrasi mempengaruhi penyerapan logam Cr (VI) H1 : Konsentrasi tidak mempengaruhi penyerapan logam Cr (VI)  Kriteria pengujian:

Jika q hitung < q tebel (0,05), H0 diterima Jika q hitung > q tabel (0,05), H0 ditolak  Kesimpulan:

Penyerapan logam Cr (VI) Scenedesmus dimorphus tidak dipengaruhi konsentrasi

UKURAN PANJANG DAN LEBAR

Jumlah kuadrat df Kuadat tengah F Sig.

Panjang Antar kelompok 0,347 3 0,116 0,510 0,686

Dalam

kelompok 1,813 8 0,227

Total 2,160 11

Lebar Antar kelompok 0,285 3 0,095 0,485 0,702

Dalam

kelompok 1,566 8 0,196


(3)

 Hipotesis:

H0 : Konsentrasi mempengaruhi ukuran panjang dan lebar pada Scenedesmus dimorphus

H1 : Konsentrasi tidak mempengaruhi ukuran panjang dan lebar pada Scenedesmus dimorphus

 Kriteria pengujian:

Jika Sig. hitung < Sig. tebel (0,05), H0 diterima Jika Sig. hitung > Sig tabel (0,05), H0 ditolak  Kesimpulan:

Ukuran panjang dan lebar Scenedesmus dimorphustidak dipengaruhi konsentrasi logam Cr (VI)


(4)

PENYERAPAN

Jumalah kuadrat df Kuadrat tengah F Sig. Penyerapan Antar kelompok 3672,773 3 1224,258 1,606 0,263

Dalam

kelompok 6097,038 8 762,130

Total 9769,811 11

 Hipotesis:

H0 : Konsentrasi mempengaruhi penyerapan logam Cd H1 : Konsentrasi tidak mempengaruhi penyerapan logam Cd  Kriteria pengujian:

Jika q hitung < q tebel (0,05), H0 diterima Jika q hitung > q tabel (0,05), H0 ditolak  Kesimpulan:

Penyerapan logam Cr (VI) Scenedesmus dimorphus tidak dipengaruhi konsentrasi

UKURAN PANJANG DAN LEBAR

Jumalah kuadrat df Kuadrat tengah F Sig.

Panjang Antar kelompok 5,045 3 1,682 3,478 0,070

Dalam

kelompok 3,867 8 0,483

Total 8,912 11

Lebar Antar kelompok 0,459 3 0,153 1,194 0,372

Dalam

kelompok 1,024 8 0,128


(5)

 Hipotesis:

H0 : Konsentrasi logam Cd mempengaruhi ukuran panjang dan lebar pada Scenedesmus dimorphus

H1 : Konsentrasi logam Cd tidak mempengaruhi ukuran panjang dan lebar pada Scenedesmus dimorphus

 Kriteria pengujian:

Jika q hitung < q tebel (0,05), H0 diterima Jika q hitung > q tabel (0,05), H0 ditolak  Kesimpulan:

Ukuran panjang dan lebar Scenedesmus dimorphustidak dipengaruhi konsentrasi logam Cr (VI)


(6)

Penentuan jumlah logam yang dibutuhkan dalam pembuatan larutan logam Cr VI dan Cd berdasarkan rumus Berat Molekul (BM) unsur yang digunakan, karena logam yang digunakan dalam bentuk senyawa kimia atau bukan logam murni.  Logam Cr VI

K2CrO4 Cr  Ar

K = 39,1 x 2 = 78,2 Cr = 52 x 1 = 52 O = 16 x 4 = 64 +

194,2

Pembuatan larutan Cr VI konsentrasi 1000 ppm

1000 ppm = gr x Ar Cr x larutan (ml) Mr K2CrO4

1000 ppm = gr x 52 x 1000 ml 194,2

194200 = gr x 52000 gr = 194200 52000 = 3,734 gr

 Jadi untuk membuat larutan logam Cr VI dengan konsentrasi 1000 ppm dengan melarutkan 3,734 g K2CrO4 dalam 1000ml akuades.

Logam Cd

CdSO4 . 8H2O Cd  Ar

Cd = 112,4 x 1 = 112,4 S = 32,07x 1 = 32,07 O = 16 x 12 = 192 H = 1 x 16 = 16 +

352,47

Pembuatan larutan Cd konsentrasi 1000 ppm

1000 ppm = g x Ar Cd x larutan (ml) Mr CdSO4 . 8H2O

1000 ppm = g x 112,4 x 1000 ml 352,47

352470 = g x 112400 g = 352470 112400 = 3,135 g

 Jadi untuk membuat larutan logam Cr dengan konsentrasi 1000 ppm dengan memasukkan 3,135 g CdSO4 . 8H2O dalam 1000ml akuades