Curah Hujan Hubungan Iklim (Suhu, Curah Hujan,Kelembaban dan Kecepatan Angin) dengan Kejadian Penyakit ISPA Bukan Pneumonia di Kota Gunung Sitoli Tahun 2012-2015

66 25°C - 41°C dan suhu optimum pertumbuhan 37,5°C. Perubahan suhu udara di Kota Gunung Sitoli selama periode tahun 2012-2015 tidak mempengaruhi secara bermakna tinggi rendahnya kejadian ISPA bukan pneumonia pada usia 1 tahun dan pada usia 1-4 tahun. Asumsi yang dapat diberikan yang berhubungan dengan hal tersebut adalah adanya faktor lain selain faktor iklim yang mempengaruhi kejadian ISPA bukan pneumonia pada usia 1 tahun dan usia 1-4 tahun seperti Asi eksklusif, higiene personal ibu dll. Namun mempengaruhi secara bermakna tinggi rendahnya kejadian ISPA bukan pneumonia pada usia 5 tahun. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Mahmud R 2004 yang menyatakan bahwa suhu udara memiliki hubungan atas peningkatan prevalensi ISPA non pneumonia pada balita di Kota Palembang pada tahun 1999 – 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara peningkatan suhu dengan prevalensi ISPA non pneumonia pada balita sedangkan hasil penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan iklim dengan ISPA bukan pneumonia pada balita usia 1 tahun dan 1-4 tahun.

5.3 Curah Hujan

Kejadian kasus ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli tertinggi terjadi di bulan September dan November, hal ini diikuti dengan intensitas curah hujan yang tertinggi yaitu 407,2 mm, dan curah hujan terendah 144,83 mm dengan rata-rata curah hujan per bulan 241,65 mm. Dari hasil analisis data antara curah hujan dengan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 1 tahun, diperoleh kekuatan hubungan yang lemah, dengan arah hubungan positif, artinya peningkatan curah hujan akan diikuti dengan peningkatan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 1 tahun, Universitas Sumatera Utara 67 demikian juga sebaliknya jika curah hujan menurun, maka angka kasus ISPA bukan pneumonia usia 1 tahun akan menurun. Berdasarkan hasil analisis data nilai p lebih besar dari nilai α = 0.05, oleh karena itu hipotesis nol Ho diterima, dapat disimpulkan secara statistik tidak terdapat hubungan antara curah hujan dengan kejadian ISPA bukan pneumonia usia 1 tahun. Dari hasil analisis data curah hujan udara dengan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 1-4 tahun, diperoleh kekuatan hubungan yang lemah, dengan arah hubungan positif, artinya peningkatan curah hujan akan diikuti dengan peningkatan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 1-4 tahun, demikian juga sebaliknya jika curah hujan menurun, maka angka kasus ISPA bukan pneumonia usia 1-4 tahun akan menurun. Berdasarkan hasil analisis data nilai p lebih besar dari nilai α = 0.05, oleh karena itu hipotesis nol Ho diterima, dapat disimpulkan secara statistik tidak terdapat hubungan antara curah hujan dengan kejadian ISPA bukan pneumonia usia 1-4 tahun. Dari hasil analisis data antara curah hujan dengan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 5 tahun, diperoleh kekuatan hubungan yang kuat, dengan arah hubungan positif, artinya peningkatan curah hujan akan diikuti dengan peningkatan angka kasus penyakit ISPA bukan pneumonia usia 5 tahun, demikian juga sebaliknya jika curah hujan menurun, maka angka kasus ISPA bukan pneumonia usia 5 tahun akan meningkat. Berdasarkan hasil analisis data n ilai p lebih kecil dari nilai α = 0.05, oleh karena itu hipotesis nol Ho ditolak, dapat disimpulkan secara statistik terdapat hubungan signifikan antara curah hujan dengan kejadian ISPA bukan pneumonia usia 5 tahun. Universitas Sumatera Utara 68 Hasil analisis regresi linier sederhana memprediksi bahwa variabel curah hujan berhubungan dengan jumlah kasus ISPA bukan pneumonia usia 5 tahun secara signifikan dengan koefisien sebesar 0,859. Artinya, jumlah kasus ISPA bukan pneumonia diprediksikan akan bertambah sebesar 0,859 jika nilai curah hujan bertambah satu satuan. Dengan kata lain jika nilai curah hujan naik atau turun sebesar satu-satuan, maka mengakibatkan perubahan jumlah kasus ISPA bukan pneumonia naik atau turun sebesar 0,859. Pola curah hujan dapat mempengaruhi penyebaran berbagai organisme yang dapat menyebarkan penyakit . Curah hujan yang tinggi di Kota Gunung Sitoli dikarenakan letak Kota Gunung Sitoli dekat dengan garis khatulistiwa, maka curah hujan setiap tahun cukup tinggi dan menyebabkan wilayahnya menjadi dingin. Curah hujan yang tinggi setiap tahun mengakibatkan kondisi alam Kota Gunung Sitoli sangat lembab dan basah, disamping itu curah hujan yang tinggi mengakibatkan sering terjadinya badai besar yang biasanya terjadi antara bulan September sampai dengan November setiap tahunnya Gunung Sitoli dalam angka, 2013. Menurut JG Ayres, et.al 2009 mengatakan bahwa peningkatan kasus penyakit infeksi pernafasan kemungkinan dipengaruhi oleh curah hujan ekstrim yang menyebabkan suatu wilayah menjadi dingin. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Mahmud R 2004 yang menyatakan bahwa curah hujan memiliki hubungan atas peningkatan prevalensi ISPA non pneumonia pada balita di Kota Palembang pada tahun 1999 – 2003. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara peningkatan curah hujan dengan prevalensi ISPA non pneumonia pada balita sedangkan hasil Universitas Sumatera Utara 69 penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan curah hujan dengan ISPA bukan pneumonia pada balita usia 1 tahun dan 1-4 tahun.

5.4 Kelembaban Udara