Prosedur Penelitian Jadwal Pelaksaan Penelitian Schedule Proses Terjadinya Korosi

69

3.2.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut yang memiliki temperatur awal 25 o C dan konsentrasi garam 3.5. Gambar 3.19 merupakan sketsa dari sistem yang merupakan gabungan dari alat – alat penelitian yang ditunjukkan sebagai berikut: Gambar 3.20 Sistem Desalinasi Air Laut Sumber: Dokumen Penulis

3.3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pemasangan alat dan isolasi hingga menjadi sistem desalinasi vakum 2. Mengukur berat mula-mula evaporator 3. Pengecekan kevakuman sistem 4. Kalibrasi alat ukur yang digunakan saat pengujian 5. Mengisi air laut pada tangki air laut 6. Membiarkan sistem desalinasi berkerja selama 10 hari 7. Mencatat berat evaporator untuk data perhitungan laju korosi 8. Menghitung laju korosi dalam evaporator dengan bahan stainless – steel berdasarkan data eksperimental 9. Melakukan perhitungan laju korosi dengan simulasi analisa numerik 10. Mendapatkan validasi data berupa ralat dalam kedua metode perhitungan Universitas Sumatera Utara 70 11. Menentukan langkah perawatanpencegahan berdasarkan data yang didapat Untuk lebih ringkasnya prosedur penelitan yang dilakukan dapat dilihat melalui diagram alir pada gambar 3.20. yang dilampirkan pada halaman selanjutnya.

3.3.4 Jadwal Pelaksaan Penelitian Schedule

Berikut akan disertakan estimasi jadwal penelitian mulai dari perancangan desain sistem alat desalinasi sampai selesainya sidang tugas akhir. Jadwal penelitian dilampirkan pada bagian lampiran penulisan.

3.3.5 Estimasi Biaya Penelitian

Estimasi biaya penelitian diperlukan untuk rencana kedepan dari penelitian, apakah sebagai harga dasar produk apabila sistem desalinasi penelitian ingin diproduksi ataupun sebagai catatan biaya dasar apabila ingin dilakukan pengembanganpenelitian sistem lebih lanjut. Biaya pembuatan alat beserta instalasi sistem dan bahan yang diperlukan berkisar 10 juta rupiah. Universitas Sumatera Utara 71 Gambar 3.21. Bagan Alir Penelitian Secara Keseluruhan Mulai Pengukuran berat mula – mula evaporator Pemasangan Alat dan Isolasi Apakah unit desalinasi telah mencapai kondisi vakum? Pengisian Air Laut pada Tangki Air Laut Membiarkan sistem desalinasi berkerja selama 10 hari Mengukur berat evaporator setelah 10 hari Menghitung laju korosi yang terjadi dalam evaporator dengan metode weight loss Selesai Melakukan perhitungan laju korosi dengan simulasi dengan metode polarisasi Melakukan validasi data dengan membandingkan kedua metode perhitungan Menentukan tindakan perawatanpencegahan yang dilakukan Apakah data telah valid dapat diterima? TIDAK TIDAK YA YA Universitas Sumatera Utara 72 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Input dan Output Eksperimntal

Dalam membangun Design Of Experimental DOE, terdapat parameter input dan parameter output. Adapun parameter-parameter yang ditunjukkan oleh tabel 4.1 sebagai berikut : Tabel 4.1 Tabel Input dan Output Secara Eksperimental Dokumen Penulis

4.2 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Eksperimental

Berikut akan dipaparkan hasil perhitungan laju korosi penelitian dengan metode weight-loss. Data – data yang didapat akan dikumpulkan,dianalisa dan dirangkum hasilnya melalui tabel data pengukuran yang terdapat pada tabel 4.2. Setelah perangkuman data selesai maka metode perhitungan akan dijelaskan satu – persatu, dari pembuktian pengambilan data input sampai dengan penjelasan perhitungan hasil parameter desain berupa laju korosi pada evaporator didapat, adapun kondisi batas pada evaporator yaitu: - Tekanan vakum pada kondisi bekerjanya evaporator - Bahan evaporator adalah logam stainless – steel 304 Komponen Parameter Input Output Evaporator  Berat Mula – Mula W = miligram  Luas Daerah Spesimen A = inchicm 2  Waktu Terpaparnya Spesimen terhadap Korosi T = jam  Berat Akhir Evaporator W 1 = miligram  Kehilangan Berat W = miligram Universitas Sumatera Utara 73 - Media elektrolit berupa air laut dengan kadar garam 3.5 per liter - Temperatur kerja dianggap statis pada temperatur 50 o C\ Tabel 4.2 Tabel Hasil Perhitungan Laju Korosi Secara Eksperimental Dokumen Penulis  Data berat mula – mula dan berat akhir evaporator diambil dari hasil penimbangan menggunakan timbangan digital dengan kemampuan menimbang berat sampai dua angka dibelakang koma. Validasi data berat ditunjukkan oleh foto yang terdapat pada gambar 4.1 yang diambil pada waktu penimbangan sebelum dan sesudah penelitian dilakukan. Data kehilangan berat W merupakan hasil pengurangan berat awal evaporator dengan berat akhir evaporator. Parameter Input Parameter Output Parameter Desain Berat mula – mula evaporator W Luas daerah spesimen A Waktu terpaparny a spesimen terhadap korosi T Berat akhir evaporator W 1 Kehilangan Berat W [W 1 – W ] Laju korosi MPY 33.410.000 mg miligram 548,21 inchi 3536,86 cm 2 64 jam 33.200.000 mg miligram 210.000 mg miligram 398,03 milstahun 10,12 milimetertahu n Universitas Sumatera Utara 74 Gambar 4.1 Berat Evaporator Sebelum Kiri dan Sesudah Kanan Dokumen Penulis  Luas daerah spesimen merupakan luas daerah permukaan evaporator yang bersinggunganmelakukan kontak dengan media elektrolit air laut sehingga luas daerah spesimen perhitungan dapat ditulis sebagai rumus berikut : Untuk memudahkan penjelasan dan validasi data maka disertakan gambar evaporator CAD Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 yang dibuat menggunakan software SOLIDWORKS 2011, gambar evaporator akan menjelaskan luas yang diambil pada perhitungan. Universitas Sumatera Utara 75 Gambar 4.2 Evaporator dalam kondisi tertutup Dokumen Penerbit Gambar 4.3 Evaporator dalam kondisi terbuka Dokumen Penerbit Dengan catatan bahwa tinggi air dalam evaporator adalah 9 centimeter yang menjadi tinggi tabung evaporator dalam perhitungan luas permukaan yang mengalami korosi. Penjabaran perhitungan luas dijelaskan sebagai berikut :

1. Luas Alas dan Dinding Evaporator

Diketahui diameter eveporator adalah 48 centimeter dengan tinggi evaporator yang terpapar dalam media elektrolit adalah 9 centimeter. Dikarenakan evaporator berbentuk silinder tabung tanpa tutup maka digunakan rumus luas selimut tabung + rumus luas lingkaran alas pada tabung. Luas Evaporator = π r 2 + 2 π r t Sehingga : L = 3.14 x 24 2 + 2 x 3.14 x 24 x 9 = 1808.64 + 1356.48 = 3156.12 cm 2 Universitas Sumatera Utara 76

2. Luas Heater

Diketahui diameter heater adalah 0.5 centimeter dengan panjang heater 240 centimeter. Sama seperti evaporator, heater juga berupa silindertabung tetapi tanpa tutup dan alas sehingga rumus yang dipakai hanya rumus selimut tabung. Luas Heater = 2 π r t Sehingga : L = 2 x 3.14 x 0.25 x 240 = 376,80 cm 2 3. Luas Lubang Pipa Inlet Lubang pipa inlet setengah inci berbentuk lingkaran dan terdapat pada alas evaporator, perhitungan luas lubang ini menggunakan rumus lingkaran. Luas lubang pipa = π r 2 Sehingga : L = 3.14 x 1.27 2 = 5.06 cm 2

4. Luas Permukaan Spesimen

Maka luas permukaandaerah spesimen yang terpapar dalam media elektrolit adalah sebagai berikut: Luas keseluruhan = 3156.12 + 376,80 – 5.06 cm 2 = 3536.86 cm 2 548.21 inchi  Waktu terpaparnya spesimen adalah 64 jam dimana pengujian dilakukan 8 jam selama 8 hari mulai dari tanggal 091115 sampai dengan tanggal 171115. Universitas Sumatera Utara 77  Kehilangan berat evaporator didapat dari perbedaan hasil mula – mula evaporator dan hasil akhir evaporator setelah terpapar media elektrolit dan mengalami korosi, kehilangan berat weight loss dihitung dalam miligram dan dirumuskan sebagai berikut: W = W 1 – W Sehingga : W = 33.410.000 - 33.200.000 miligram = 210.000 miligram  Setelah mendapatkan hasil diatas maka kita dapat mencari laju korosi yang dialami oleh evaporator dalam lingkungan kerja yang telah ditetapkan dengan metode weight-loss. Metode ini akan menghasilkan laju korosi dalam satuan milstahun atau mmtahun sehingga kita dapat mengetahui apakah bahan yang digunakan dalam katergori baik atau buruk apabila dipaparkan dalam lingkungan kerja tertentu. Perhitungan laju korosi dengan metode weight-loss ditunjukkan sebagai berikut: atau Dimana : W adalah Weight Losskehilangan berat miligram D adalah Densitymassa jenis gramcm 3 A adalah Luas daerah yang terpapar korosi inch atau cm 2 pada rumus ke 2 T adalah Timewaktu terpaparnya evaporator terhadap korosi jam MPY adalah laju korosi per tahun milstahun atau mmtahun Sehingga : Universitas Sumatera Utara 78 Dalam mmtahun : Sehingga hasil laju korosi eksperimental yang didapatkan dengan metode perhitungan weight-loss adalah 10.12 mmtahun 398.03 milstahun, apabila merujuk kepada tabel nilai resistensi korosi tabel 2.2, bab 2 maka dapat dilihat bahwa penggunaan material stainless steel dalam kondisi kerja yang telah ditentukan berada pada batas unacceptable tidak dapat diterima sehingga material stainless steel-304 tidak cocok dipakai dalam evaporator sistem desalinasi air laut. Laju korosi yang terlampau tinggi akan menyebabkan failure dalam waktu yang dekat, dikarenakan deformasi permukaan alas maupun dinding evaporator yang terbentuk mengarah pada terbentuknya crack akibat korosi.

4.3 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Simulasi

Pada tahap ini terlihat hasil yang ingin didapatkan dari proses simulasi. Untuk penelitian ini hasil yang ingin didapat dari simulasi adalah deformasi dan nilai laju korosi. Dapat dilihat pada gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 bahwa deformasi yang dialami oleh anoda besi dibandingkan dengan katoda stainless steel. Terlihat pada hasil simulasi bahwa laju korosi yang timbul per jam adalah 0.0011 mmjam ditunjukkan oleh gambar 4.5 sehingga deformasi akibat korosi yang timbul pada 8 jam pengujian 1 hari pengujian adalah 0,0088 mm yang ditunjukkan oleh gambar 4.6. Penunjukkan arah potensial dan distribusinya dari anoda ke katoda sebagai hasil dari korosi galvanis serta dari anoda ke media elektrolit juga dapat terlihat pada hasil simulasi. Gambar 4.4 meunjukkan keseluruhan hasil simulasi selama 1 jam penelitian dengan gambar Universitas Sumatera Utara 79 4.5 merupakan pembesaran dari gambar 4.4 agar pembaca dapat melihat hasil korosi yang terjadi dengan lebih jelas. Perlu diingat karena pemodelan awal pada permukaan anoda yang berkorosi telah didesain dengan permukaan yang memiliki kedalaman 1x10 -4 lebih dalam daripada permukaan anoda maka hasil laju korosi yang didapat akan dikurangi kedalaman awalnya. Kontur warna merah menunjukkan batas daerah anoda daerah yang berkorosi dengan nilai batas elektrolit potensial yang lebih tinggi sedangkan daerah dengan warna biru menunjukkan daerah katoda daerah yang tidak berkorosi dengan nilai batas elektrolit potensial yang lebih rendah, semakin “biru” warna daerah pada hasil simulasi maka daerah tersebut tidak mengalami korosi dan menerima elektron dari hasil perbedaan potensial elektrolit, demikian sebaliknya semakin “merah” suatu daerah semakin daerah itu mengalami korosi dan cenderung melepaskan elektron. Panah hitam yang tampak pada gambar menunjukkan arah perpindahan elektron dari bagian anoda ke bagian katoda. Perpindahan elektron dari permukaan anoda ke katoda diakibatkan adanya reaksi korosi galvanisasi, dimana material – material berdekatan cenderung akan melakukan pertukaran elektron akibat reaksi galvanis natural kedua material, dimana material yang memiliki seri galvanis lebih rendah dalam hal ini permukaan besi akan melakukan pelepasan elektron lebih lanjut menuju material dengan seri galvanis yang lebih tinggi permukaan stainless steel. Gambar 4.4 Simulasi Deformasi Permukaan Selama 1 Jam Dokumen Penulis Universitas Sumatera Utara 80 Gambar 4.5 Laju Korosi Selama 1 Jam Dokumen Penulis Gambar 4.6 Deformasi dan Laju Korosi Selama 1 Hari Pengujian 8 Jam Dokumen Penulis Gambar 4.7 merupakan pengaruh lingkungan dikarenakan dalam lingkungan kerja tertutup, closed system, maka lingkungan yang dimaksud hanya terbatas pada pengaruh media elektrolit yang berupa air laut dimana kedua faktor utama selain kadar oksigen adalah kehadiran anion elektrolit yaitu senyawa klorida dan sulfat dalam media korosi. Kandungan klorida Cl - menunjukkan beberapa efek signifikan dalam terjadinya korosi dikarenakan anion yang paling berpengaruh adalah kehadiran ion klorida Cl - yang biasanya hadir dari sumber Universitas Sumatera Utara 81 lingkungan luar. Tidak hanya mereka ikut menyumbangkan terjadinya korosi karena bersifat konduktif secara alamiah namun mereka juga memiliki sifat menghancurkan sifat pasifitas dari logam dengan cara berikatan dengan lapisan oksida pada permukaan logam. Serangan yang ditimbulkan oleh anion ini bersifat lokalisasi sehingga lebih berbahaya dari deformasi yang disebabkan uniform corrosion karena lubang yang terbentuk mampu melubangi permukaan logam secara terpusat Apabila dibandingkan dengan agresifitas ion klorida, maka ion sulfat SO 4 2- pada umumnya lebih tidak agresif dalam menyebabkan gejala korosi. Akan tetapi, mereka dapat dikonversikan menjadi ion sulfida yang sangat korosif oleh Sulphate Reducing Bacteria SRB. Jumlah kandungan klorida dan sulfat untuk menyebabkan korosi pada suatu sistem berbeda-beda tergantung dengan keadaan lingkungan, material yang berkorosi, temperatur dan faktor lainnya. . Adler Flitton, M. K. and E. Escalante. 2003. “Simulated Service Testing in Soil,” American Society of Metals Handbook, Volume 13A: Corrosion: Fundamentals, Testing and Protection, sub-section S-3c, American Society for Metals International, Metals Park, Ohio Gambar 4.7 Pengaruh Chlorida dan Sulfat dalam Air Laut Dokumen Penulis Pada gambar 4.7 ditunjukkan jumlah dalam ppm atau mgLiter klorida dan sulfat yang dibutuhkan agar kedua anion tersebut ikut berperan dalam menyebabkan deformasi akibat korosi dari material, hasil yang ditunjukkan Universitas Sumatera Utara 82 menunjukkan semua kemungkinan dimana jumlah klorida , sulfat atau keduanya ikut mempengaruhi hasil simulasi diatas yang dipengaruhi oleh parameter – parameter input sebelumnya namun faktor ini tidak ikut disimulasikan dan lebih hanya berperan sebagai sara atas penggunaan media elektrolit yang sebaiknya memiliki nilai klorida dan sulfat dibawah gambar 4.7. Perhitungan simulasi tidak menggunakan pengaruh ion elektrolit dikarenakan nilai anion elektrolit harus ditentukan dalam uji lab dengan metode gravimetri – dimana uji lab di laboratorium terdekat tidak menunjukkan nilai pasti dari nilai klorida dan sulfat dalam media air laut yang diggunakan sebagai media elektrolit dalam pengujian. Pada gambar 4.8 ditunjukkan hasil performasi korosi laju korosi yang dibandingkan dengan tingkat kerusakan permukaan evaporator, dengan sumbu x dari grafik menunjukkan performansi korosinya dan sumbu y menunjukkan tingkat kerusakan permukaan evaporator. Grafik ini akan menunjukkan keseluruhan kemungkinan deformasi permukaan akibat korosi yang mungkin terjadi pada evaporator sistem desalinasi air laut. Hasil dari grafik menunjukkan apabila lubangretakan crevice yang dijumpai pada permukaan evaporator dalam keadaan parah severe dan termasuk dalam kondisi berbahaya critical terhadap desain evaporator maka retakan yang dimaksud merupakan hasil deformasi permukaan yang memiliki laju korosi maksimum 0,0011 mmjam hasil simulasi. Apabila retakan akibat deformasi pada permukaan ditemukan dalam keadaan parah namun tidak berbahaya terhadap desain evaporator maka retakan demikian merupakan hasil deformasi permukaan yang memiliki laju korosi maksimum 0,0007 mmjam, begitu pula dengan pembacaan keadaan retakan yang tidak parah namun berbahaya bagi desain dan keadaan retakan yang tidak parah dan tidak berbahaya bagi desain evaporator dengan nilai laju korosi berkisar antara 0,0007 mmjam sampai 0,011 mmjam. Grafik ini akan membantu banyak saat perancangan evaporator dilakukan sehingga desain dan pembuatan evaporator dapat diprediksi kegagalannya walaupun hanya terbatas pada faktor korosi. Universitas Sumatera Utara 83 Gambar 4.8 Grafik Pengaruh Laju Korosi Terhadap Tingkat Kerusakan Retakan Dokumen Penulis

4.4 Validasi Data

Sebagai validasi data, peneliti membandingkan hasil perhitungan laju korosi secara eksperimental dengan metode weight-loss kehilangan berat dengan hasil perhitungan secara simulasi yang menggunakan metode polarisasi, dimana untuk kemudiannya pembuktian validasi dihitung dalam perbedaan hasil yang ditunjukkan dalam bentuk persen ralat. Sebelum menghitung ralat antara kedua metode yang digunakan hasil yang didapat harus disamakan dalam satu haisl yang sama satuan yang sama sebelum dicari persen ralatperbedaan hasil perhitungan. Hasil ini akan dirangkum pada tabel 4.3 sebagai berikut untuk mempermudah penunjukkan perbedaan antara perhitungan simulasi dengan eksperimental. Tabel 4.3 Tabel Hasil Laju Korosi dari Eksperiment dan Simulasi Dokumen Penulis Satuan hasil perhitungan Hasil Laju Korosi Dari Penelitian Eksperimental Dari Simulasi Numerikal mmjam 0.001155 0.0011 mmtahun 10.12 9.636 milstahun 398.03 379.37 Universitas Sumatera Utara 84  Perhitungan Pengubahan Satuan Eksperimental:  Perhitungan Pengubahan Satuan Numerikal: Selain itu penulis juga membuat statistik perbandingan perubahan laju korosi dari awal terbentuknya korosi sampai akhir penelitian selesai dilakukan yang didapatkan dari simulasi dan eksperimental , penunjukkan data akan digambarkan dalam bentuk diagram garis scatter untuk memperjelas nilai ralat yang terjadi pada setiap jam pertumbuhan laju korosi yang ditunjukkan oleh tabel 4.4 seperti berikut: Tabel 4.4 Perbandingan Kenaikan Laju Korosi Per-Jam Secara Eksperimental dan Simulasi Dokumen Penulis Jam ke - Laju Korosi Eksperimental Laju Korosi Simulasi 1 0,001155 0,0011 2 0,00231 0,0022 Universitas Sumatera Utara 85 3 0,003465 0,0033 4 0,00462 0,0044 5 0,005775 0,0055 6 0,00693 0,0066 7 0,008085 0,0077 8 0,00924 0,0088 9 0,010395 0,0099 10 0,01155 0,011 11 0,012705 0,0121 12 0,01386 0,0132 13 0,015015 0,0143 14 0,01617 0,0154 15 0,017325 0,0165 16 0,01848 0,0176 17 0,019635 0,0187 18 0,02079 0,0198 19 0,021945 0,0209 20 0,0231 0,022 21 0,024255 0,0231 22 0,02541 0,0242 23 0,026565 0,0253 24 0,02772 0,0264 25 0,028875 0,0275 26 0,03003 0,0286 27 0,031185 0,0297 28 0,03234 0,0308 29 0,033495 0,0319 30 0,03465 0,033 31 0,035805 0,0341 32 0,03696 0,0352 33 0,038115 0,0363 34 0,03927 0,0374 35 0,040425 0,0385 36 0,04158 0,0396 Universitas Sumatera Utara 86 37 0,042735 0,0407 38 0,04389 0,0418 39 0,045045 0,0429 40 0,0462 0,044 41 0,047355 0,0451 42 0,04851 0,0462 43 0,049665 0,0473 44 0,05082 0,0484 45 0,051975 0,0495 46 0,05313 0,0506 47 0,054285 0,0517 48 0,05544 0,0528 49 0,056595 0,0539 50 0,05775 0,055 51 0,058905 0,0561 52 0,06006 0,0572 53 0,061215 0,0583 54 0,06237 0,0594 55 0,063525 0,0605 56 0,06468 0,0616 57 0,065835 0,0627 58 0,06699 0,0638 59 0,068145 0,0649 60 0,0693 0,066 61 0,070455 0,0671 62 0,07161 0,0682 63 0,072765 0,0693 64 0,07392 0,0704 Apabila data diatas di plot digambar menjadi sebuah grafik statistik dengan perbandingan sumbu x sebagai laju korosi dan sumbu y sebagai waktu terjadinya korosi maka akan didapatkan grafik seperti gambar 4.9 dimana dapat dilihat perbedaan nilai laju korosi antara kedua metode perhitungan. Universitas Sumatera Utara 87 Gambar 4.9 Grafik Statistik Perbandingan Laju Korosi Eksperimental dan Simulasi Dokumen Penulis Maka nilai persen ralat yang didapatkan adalah sebagai berikut:  Persen Ralat Satuan mmjam  Persen Ralat Satuan mmtahun  Persen Ralat Satuan milstahun Universitas Sumatera Utara 88 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi dan pengujian eksperimen yang telah dilakukan dan ditunjukkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu: 1. Dari hasil identifikasi ditemukan bahwa fenomena laju korosi dapat diukur pada sistem evaporator dengan kondisi kerja yang telah ditentukan. Metode perhitungan weight-loss dan metode polarisasi dapat digunakan untuk mencari nilai laju korosi yang terjadi dalam evaporator. 2. Penggunaan bahan stainless-steel jenis 304 SAE 304 tidak dapat digunakan sebagai bahan pembuatan evaporator akibat tingginya nilai laju korosi yang akan menyebabkan evaporator mengalami failure dalam waktu yang singkat. 3. Pola pemeliharaan yang paling efektif pada evaporator sebagai APK pada sistem desalinasi air laut adalah dengan pemilihan bahan pembuatan evaporator yang tepat dan pencegahan korosi dilakukan dengan metode pengorbanan anoda proteksi katoda secara berkala. 4. Berdasarkan hasil eksperimental dan perhitungan dengan menggunakan metode weight-loss didapatkan bahwa laju korosi yang terjadi pada evaporator adalah 10.12 milimetertahun. 5. Dari hasil simulasi diperoleh nilai laju korosi yang terjadi pada evaporator adalah 9.636 milimetertahun dan deformasi yang terjadi berbentuk Universitas Sumatera Utara 89 pitting lubang yang akan kemudian akan mengakibatkan stress- corrosion cracking dan kedepannya akan mengakibatkan failure pada evaporator akibat cracking retak. 6. Dari hasil uji laju korosi secara komputasional dan eksperimental, didapatkan nilai laju korosi evaporator yang mendekati namun masih terjadinya perbedaan nilai laju korosi dalam deviasi yang dapat ditoleransi.

5.2 Saran

1. Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama untuk mengetahui awal mula titik crack retak yang terjadi akibat terjadinya korosi. 2. Melakukan simulasi dengan menghitung faktor – faktor yang mendekati keadaan sebenarnya eksperimental. 3. Melakukan penelitian dengan materialbahan evaporator yang lain untuk mendapatkan bahan yang cocok dalam pembuatan evaporator sistem desalinasi air laut. Universitas Sumatera Utara 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar Desalinasi

Air asin merupakan larutan yang mengandung beberapa jenis zat terlarut seperti garam-garam, yang jumlahnya rata-rata 3 sampai 4,5 sedang air payau dibawah 3 diatas 0,05. Dengan desalinasi maka air tawar dipisahkan dari air asin. Karena desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air asin dan juga air payau hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan sebagai air bersih. Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air asin misalnya air laut ataupun air payau, produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mgl, yang dapat digunakan untuk keperluan industri, pertanian, dan domestik kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Hasil sampingan dari proses desalinasi adalah brine. Brine adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi lebih dari 35000 mgl garam terlarut. Metoda yang digunakan pada proses pengolahan air ini disebut desalinasi air asin. Terdapat beberapa cara dan metode desalinasi diantaranya yang tradisonal adalah dengan menggunakan metode vacuum distillation. Prinsipnya yaitu dengan memanaskan air laut untuk menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air bersih. Cara yang paling umum adalah menggunakan metode osmosis terbalik reverse osmosis atau RO. Osmosis terbalik dianggap yang paling efektif dalam melakukan desalinasi dalam skala besar. Prinsip kerja metode ini adalah dengan mendesak air laut melewati membran-membran semi- permeabel untuk menyaring kandungan garamnya. Proses desalinasi yang akan penulis bahas pada penelitian ini adalah solar desalinasi sistem vakum. Sistem vakum yang dimaksud adalah sistem pembuatan kondisi vakum pada peralatan yang digunakan untuk keperluan efisiensi seperti penurunan titik didih, titik uap, pengembunan, pemisahan fase dan penurunan tekanan dimaksudkan agar aliran mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah Universitas Sumatera Utara 8 Sistem vakum disini dimaksudkan untuk menurunkan titik penguapan sehingga air laut menguap pada temperatur yang lebih rendah dan hasil distilasi yang didapat lebih banyak dengan energi panas yang lebih sedikit lebih efisien serta untuk menarik lebih cepat flowrate meningkat dari wadah air laut ke dalam sisi ruang pemanas atau ruang evaporator sistem desalinasi. Konsep dari sistem ini adalah memanfaatkan ruang vakum yang dibentuk secara alami untuk dapat mengevaporasikan sejumlah air laut pada tekanan yang lebih rendah dengan suplai energi panas yang lebih sedikit dibanding dengan teknik konvensional. Tekanan atmosfer akan sama dengan tekanan hidrostatis yang dibentuk dengan pipa air setinggi 10 meter. Jadi, jika ketinggian pipa lebih dari 10 meter dan ditutup dari bagian atas dengan air, dan air dibiarkan jatuh kebawah akibat gravitasi, air akan jatuh pada ketinggian sekitar 10 meter, dan membentuk ruang vakum diatasnya. Gambar 2.1 menunjukkan desalinasi sistem vakum. Selain desalinasi sistem vakum, masih banyak jenis lain sistem desalinasi bertenaga surya. Ketut,dkk.2011 Condensate Brine Saline Water Saline Water Tank Solar Heating System Evaporator C o n d e n s e r 10 m Gambar 2.1. Desalinasi Sistem Vakum Natural

2.2 Korosi

Korosi adalah proses natural yang terjadi pada setiap logam yang dimana logam tersebut akan cenderung kembali ke keadaan oksida-nya yang lebih stabil, dengan kata lain korosi merupakan hasil destruktif dari reaksi kimia yang terjadi Universitas Sumatera Utara 9 antara logam dengan lingkungannya. Atom logam yang berada di alam ditemukan dalam bentuk mineral yang merupakan gabungan dari beberapa zat – zat kimia. Jumlah energi yang sama untuk mendapatkan logam dari mineral dikeluarkan kembali dalam reaksi kimiawi dalam pembentukan korosi. Korosi akan mengembalikan logam ke keadaan mineral yang mirip atau bahkan sama dengan keadaan ketika mineral logam ditambang, sehingga korosi sendiri juga dapat diartikan sebagai proses kebalikan dari extractive metallurgy J.H.Payer, W.K Boyd, D.B. Dippold, dan W.H Fisher. Mater, Perform Banyak material non-logam, seperti keramik, terdiri atas logam yang reakrivitas kimia-nya telah terpenuhi dari formasi ikatan – ikatan atom dengan ion lain contohnya seperti ion oksida dengan silika. Oleh karena itu, material tersebut tidak akan bereaksi dan lebih cenderung mengalami degradasi dengan faktor kekuatan mekanikal maupun temperatur daripada korosi. Material lain seperti polimer dan gelas, cenderung tidak mengalami reaksi kimia dengan lingkungannya, dan istilah korosi lebih mengarah ke degradasi, namun penggunaan polymer sebagai pelapis material logam yang kemudian mengalami kegagalan melalui degradasi digolongkan sebagai pengaruh korosi. Korosi dapat menyebabkan adanya retakan maupun lubang dalam suatu permukaan logam, oleh karena korosi merupakan proses difusi yang mempengaruhi permukaan, metode pencegahan adalah dengan menggunakan pasivitas ataupun pelapisan yang tergantung pada kondisi lingkungan pengoperasian sebuah sistem.

2.2.1 Proses Terjadinya Korosi

Hampir semua proses korosi logam meliputi perpindahan muatan elektron dalam fasa aqueous. Sehingga, perlunya pembahasan tentang sifat electrochemical untuk memahami proses terjadinya korosi.

2.2.1.1 Reaksi Elektrochemical

Berikut akan diberikan contoh korosi antara logam zinc dengan asam klorida yang dituliskan reaksinya sebagai berikut: Zn + 2HCl ===== ZnCl 2 + H 2 1 Universitas Sumatera Utara 10 Zinc akan bereaksi dengan asam klorida dan membentuk larutan zinc klorida dan mengeluarkan hidrogen pada permukaannya, bentuk ion dari persamaan diatas adalah sebagai berikut: Zn + 2H + + 2Cl - ====== Zn 2+ + 2Cl - +H 2 2 Dengan mengeliminasi Cl dari kedua sisi akan didapatkan: Zn + 2H + ======== Zn 2+ + H 2 3 Sehingga, reaksi korosi yang sama akan muncul pada asam klorida dan reaksi 2 dapat dipisahkan sebagai berikut: Zn ===== Zn 2+ + 2e - reaksi anoda 3 2H + ====== 2e - + H 2 reaksi katoda 4 Reaksi 3 didefinisikan sebagai reaksi anoda, merupakan reaksi oksidasi dimana elektron valensi zinc bertambah dari 0 menjadi +2. Melepaskan elektron, e, sedangkan reaksi 4, didefinisikan sebagai reaksi katoda, adalah reaksi reduksi dimana kondisi oksidasi hidrogen berkurang dari +1 menjadi 0, mengabsorbsi sebuah elektron. Reaksi komposit yang melibatkan pertukaran muatan atau pertukarn elektron akan ditunjukkan pada gambar 2.2. Logam yang larut dalam reaksi 3 akan melepaskan elektron kedalam kumpulan logam yang akan bermigrasi ke permukaan yang kemudian bereaksi dengan H + dalam larutan untuk membentuk H 2 dalam reaksi 4. Air diperlukan sebagai pengangkut ion seperti Zn 2+ dan H + yang dinamakan elektrolit. Ketika kelebihan elektron dipasok kedalam logam di gambar 2.2, selalu menunjukkan bahwa laju korosi yang dialami oleh reaksi anoda 3 berjalan lebih lambat daripada reaksi katoda 4. Semua reaksi korosi dalam air selalu melibatkan reaksi anoda seperti reaksi 3 sehingga aplikasi dari potensial negatif dari kehadiran kelebihan elektron akan selalu memperlambat laju korosi. Pembahasan mengenai laju korosi yang merupakan pemusatan penelitian akan dibahas lebih lanjut pada bagian 2.3. Universitas Sumatera Utara 11 Gambar 2.2 Diagram skematis dari kelarutan logam Mg Principles and Prevention of Corrotion, 2 nd ed., halaman 6 Inilah yang menjadi basis untuk menggunakan proteksi katoda sebagai perlindungan pada korosi jalur pipa, pengeboran minyak laut lepas, sampai pada logam yang digunakan pada evaporator.

2.2.1.2 Polarisasi

Reaksi electrochemical seperti yang terjadi pada 3 dan 4 hanya terjadi pada tingkatan tetap taraf reaksi tetap. Jika elektron pada reaksi 4 diberlakukan, maka potensial pada permukaan akan menjadi lebih negatif, menunjukkan bahwa kelebihan elektron dengan muatan negatif berakumulasi pada permukaan logamlarutan menunggu untuk terjadinya reaksi sebagai hasil dari reaksi yang tidak mampu mengakomodasikan seluruh elektron. Perubahan potensial negatif ini dinamakan sebagai polarisasi katoda, begitu pula yang terjadi pada reaksi 3 ketika kehilangan efisiensi elektron pada logam dilepaskan pada permukaan yang akan menghasilkan perubahan potensial positif yang dinamakan polarisasi anoda. Ketika defisiensi menjadi lebih besar, polarisasi anoda akan berperan sebagai gaya penggerak terjadinya korosi oleh reaksi anoda 3. Dalam kondisi larutan elektrolit aqueous, permukaan logam akan mencapai kondisi potensial tetap, E corr, yang berhubungan dengan kemampuan dan Universitas Sumatera Utara 12 kecepatan dimana elektron dapat bertukar dari reaksi katoda dan anoda yang ada. Ketika potensial permukaan meningkat dari E corr menuju E, maka laju reaksi anoda atau laju korosi akan meningkat, seperti yang ditunjukkan gambar 2.3. Polarisasi anoda didefinisikan sebagai ε a = E – E corr . Tanpa adanya polarisasi, reaksi akan menimbulkan laju korosi yang sangat tinggi. Gambar 2.3 Skema Pertambahan Laju Korosi pada Polarisasi Principles and Prevention of Corrotion, 2 nd ed., halaman 8

2.2.1.3 Pasivitas

Untuk kebanyakan logam , termasuk kobalt, besi, nikel, krom,stainless steel dan titanium, laju korosi akan menurun setelah melewati potensial batas, ε p , seperti ditunjukkan pada gambar 2.4. Ketahanan korosi diatas batas ini, meskipun adanya gaya korosi yang tinggi polarisasi anoda yang tinggi disebut dengan pasivitas. Dibawah ε p laju korosi logam kembali meningkat dengan perbedaan laju korosi antara batas dapat mencapai 10 3 sampai 10 6 kali. Pasivitas terjadi karena adanya pembentukan lapisan tipis oksida hidrasi, yang bertindak sebagai pelindung untuk reaksi pelarutan anoda. Kebanyakan logam memiliki range pasivitas tersendiri, sebagai contohnya stainless-steel type 304 akan memiliki pasivitas pada air laut aerasi namun tidak di air laut yang tidak ber-aerasi. Mayoritas penggunaan logam untuk konstruksi maupun mesin mengandalkan pasivitas sebagai tindakan pencegahan korosi, contohnya seperti penambahan kromium dalam besi maupun nikel yang akan menghasilkan Universitas Sumatera Utara 13 stainless-steel. Akan tetapi, pasivitas bukanlah tanpa masalah, lapisan yang diciptakan oleh pasivitas cenderung tipis berkisar 10 μm sehingga apabila lapisan tersebut mengalami breakdown maka pembentukan korosi berupa pitting, crevice sampai cracking dapat terjadi tanpa dapat terdeteksi. Jones, Denny A. Principles and Prevention of Corrotion. 2 nd Ed. 1992 Gambar 2.4 Pasivitas pada Potensial Oxidasi Diatas ε p Principles and Prevention of Corrotion, 2 nd ed., halaman 10 2.2.1.4 Korosi Dalam Kajian Mekanikal Dari segi perubahan fisik yang dialami material ketika mengalami korosi, kebanyakan mekanisme korosi telah memiliki kaidahkarakteristik masing – masing yang telah ditetapkan, contohnya reaksi batangan besi Fe dengan gas oksigen O 2 serta air H 2 O yang paling umum dijumpai dalam kehidupan sehari – hari akan menghasilkan karat besi Fe 2 O 3 , hal ini telah ditetapkan bentuk – bentuk fasa korosi melalui kecendrungan ikatan – ikatan atom yang merupakan sifat kimiawi suatu bahan, bukanlah dari sifat mekanis suatu bahan. Universitas Sumatera Utara 14 Namun kajian mekanikal dapat terlihat dan dihubungkan dalam segi perubahan energi dalam proses terbentuknya korosi, Gejala korosi timbul secara alami, dimana pengaruhnya dialami oleh hampir semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi. Sesuai dengan hukum thermodinamika yaitu: - Keseimbangan Termodinamika Pertama: Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan. - Keseimbangan Ternodinamika Kedua: Semua perubahan spontan terjadi disertai pelepasan energi bebas dari sistem ke lingkungan sekitar pada temperatur dan tekanan konstan. Hukum thermodinamika ke – 0 merupakan prinsip dasar untuk pengukuran temperatur. Hukum thermodinamika ke – 0 dapat terpenuhi apabila terjadi tiga keseimbangan sekaligus yaitu : - Keseimbangan Termal : setelah semua suhu sama pada setiap titik. - Keseimbangan Mekanik : setelah tidak ada lagi gerakan, ekspansi atau kontraksi. - Keseimbangan Kimia : setelah semua reaksi kimia berlangsung. Pernyataan pertama atau hukum pertama thermodinamika sangat penting dalam pengkajian perubahan-perubahan yang terjadi ketika logam mengalami korosi. Pernyataan kedua atau hukum kedua thermodinamika menyatakan ketika korosi berlangsung secara alami, proses yang terjadi bersifat spontan dan disertai pelepasan energi bebas. Dalam keadaan yang sebebas-bebasnya, alam akan meminimumkan energi, dan dengan korosilah alam meminimumkan energi logam-logam. Bentuk energi sangat banyak tetapi gaya penggerak yang menimbulkan korosi berasal dari energi kimia. Energi ini antara lain diturunkan dari energi yang tersimpan dalam ikatan-ikatan kimia zat yang disebut energi dalam internal energi sistem. Universitas Sumatera Utara 15 Sebuah konsep yang menjelaskan laju reaksi-reaksi korosi adalah teori keadaan peralihan Transition State Theory, yang persamaannya : A + B = C + D Persamaan diatas merupakan bentuk ringkasan pernyataan, ‘Dua zat A dan B, yang dikenal sebagai reaktan, saling berinteraksi sedemikian rupa untuk membentuk dua zat baru yaitu C dan D yang merupakan hasil reaksi’. Agar dapat menghasilkan zat-zat baru A dan B bukan hanya harus saling sentuh melainkan juga harus terpadu secara fisik, untuk membentuk suatu zat antara AB. Hal ini terjadi dalam waktu yang singkat dan jika reaktan-reaktan memiliki energi cukup dan orientasi keduanya untuk berpadu tepat. AB merupakan keadaan peralihan, dimana reorganisasi keadaan peralihan ini yang kemudian secara langsung menghasilkan C dan D. Profil energi merupakan sebuah diagram yang berguna untuk menggambarkan perubahan-perubahan energi bebas yang berlangsung selama reaksi gambar 2.5. Sumbu Y dalam diagram merupakan energi bebas, perubahan energi ditulis dengan ∆G, dengan kesepakatan bahwa huruf delta capital ∆ menyatakan ‘perubahan’. Sumbu X digunakan untuk koordinat reaksi dan dapat dianggap menyatakan kearah mana proses bergerak maju. Gambar 2.5. Diagram Profil Perubahan Energi Reaksi Korosi http:ismantoalpha.blogspot.co.id200912macam-macam-korosi.html Universitas Sumatera Utara 16 Dari gambar di atas menyatakan bahwa keadaan peralihan harus mempunyai energi bebas lebih tinggi dibanding jumlah energi-energi bebas pada masing-masing zat asal, yaitu A dan B. Pada umumnya, jumlah ini dinyatakan dengan simbol ∆G+. Karena gambar diatas merupakan reaksi spontan maka energi-energi hasil reaksi, C dan D harus lebih rendah dari energi-energi reaktan, A dan B, dengan selisih sebesar ∆G. Begitu terbentuk, keadaan peralihan dapat berubah kembali menjadi reaktan atau terus berubah menjadi hasil reaksi. Logam-logam dalam keadaan tidak bergabung dengan bahan lainnya, biasanya memiliki tingkat energi tinggi. Hal ini dijelaskan pada gambar 2.6 menggunakan profil energi untuk menggambarkan perubahan-perubahan thermodinamika yang dialami suatu atom logam, logam bila berdiri sendiri disebut atom logam, dan sesudah bergabung lagi disebut hasil korosi. Gambar 2.6. Profil Energi Termodinamika untuk Logam dan Senyawanya http:ismantoalpha.blogspot.co.id200912macam-macam-korosi.html Hukum thermodinamika mengungkapkan kecenderungan keadaan energi tinggi untuk merubah keadaan energi rendah. Kecenderungan inilah yang membuat logam-logam bergabung kembali yang akhirnya membentuk gejala yang disebut korosi. Universitas Sumatera Utara 17 Terakhir, pembahasan terbentuknya melalui gaya – gaya mekanis seperti gaya tensile maupun gaya kompresi tidak memiliki pengaruh yang signifikan atau bahkan tidak berpengaruh pada korosi dari material. Gaya kompresi tidak menyebabkan keretakan, dan pada kenyataannya gaya kompresi melalui teknik shot-peening digunakan untuk menurunkan kemungkinan material logam mengalami fatik, keretakan dari pengaruh Stress-Corrosion-Cracking SCC. Akan tetapi gabungan dari gaya tensile dan pengaruh lingkungan korosi yang spesifik dapat menyebabkan kegagalan tiba-tiba melalui cracking pada struktur logam.

2.2.2 Jenis – Jenis Korosi pada Material Logam