Analisa Proses Laju Korosi dan Dampak Yang Dihasilkan Pada Evaporator Sistem Desalinasi Air Laut Keadaan Vakum

(1)

W0 = Berat mula – mula evaporator (miligram) D = Density/massa jenis (gram/cm3)

A = Area/luas daerah yang terpapar korosi (inch atau cm2 pada rumus ke 2)

T = Time/waktu terpaparnya evaporator terhadap korosi (jam)

W1 = Berat setelah 8 hari kerja evaporator (milligram)

W = Weight Loss/kehilangan berat = W0 – W1 (milligram)

Karat akibat korosi yang tampak pada permukaan dalam evaporator.

Diagram Desain Penelitian / Design of Experiment (DoE)

Faktor yang dapat dikendalikan : - Tekanan pada evaporator (vakum) - Bahan dan desain pada evaporator - Suhu pada evaporator

- Kosentrasi garam pada air laut

- Banyaknya/jumlah air laut dalam lingkungan kerja - Aerasi (dalam lingkungan tertutup)

Faktor yang tidak dapat dikendalikan : - Suhu lingkungan (suhu luar evaporator) - Aliran air laut dari tangki menuju evaporator

- Sisa brine (endapan garam) yang tertinggal dalam evaporator

INPUT OUTPUT


(2)

Eeq_cat (Potensial kesetimbangan katoda) = Volt i0_cat (Pertukaran massa jenis arus pada katoda) = A/m2 A_cat (Slope Tafel pada katoda) = Volt

Eeq_an (Potensial kesetimbangan anoda) = Volt i0_an(Pertukaran massa jenis arus pada anoda) = A/m2 A_an(Slope Tafel pada anoda) = Volt

ilim_an(Nilai batas arus) = A/m2 M(Massa molar rata-rata) = g/mol

r(Massa jenis) = kg/m3

- Laju korosi yang terjadi pada permukaan material

- Bentuk deformasi pada permukaan material melalui penggambaran (plot) Tafel

- Arah distribusi arus potensial dari proses korosi

Diagram Desain Penelitian / Design of Experiment (DoE)

Faktor yang dapat dikendalikan: - Suhu pada evaporator (statis) - Konduktivitas elektrolit (air laut) - Logam anoda dan katoda yang bereaksi - Potensial kesetimbangan reaksi

- Waktu pemaparan logam dalam elektrolit - Salinitas elektrolit (air laut)

Faktor yang tidak dapat dikendalikan / diabaikan: - Pengaruh sisa garam yang tertinggal pada permukaan - Pengaruh permukaan pengelasan

INPUT OUTPUT

1

2 3 4


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali MT, Fath HES, Armstrong PR. A comprehensive techno-economical review of indirect solar desalination. Renew Sustain Energy Rev 2011;15:4187-99.

Chattoraj, Indranil. Journal of Fundamentals of Corrosion & Its Prevention. National Metallurgical Laboratory, Jamshedpur 831007.2005.

Higgins, Lindley A. dan Mobley, R. Keith. Maintenance Engineering Handbook. Sixth Edition. Mc Graw-Hill. USA. 2002.

Jones, Denny A. Principles and Prevention of Corrosion. Second Edition. Macmiliian Publishing Company. New York. 1992.

Ketut Astawa, Made Sucipta, dan I Putri Gede Artha Negara..Analisa Performansi Destilasi Air Laut Tenaga Surya Menggunakan Penyerap Radiasi Surya Tipe Bergelombang Bebahan Dasar Beton. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Universitas Udayana. April 2011.

Kalogirou S. Seawater desalination using renewable energy sources. Prog Energy Combust Sci 2005;31:242-81.

M.K., Satria Nova dan Nisbah, Nurul M.Analisis Pengaruh Salinitas dan Suhu Air Laut Terhadap Laju Korosi Baja A36 pada Pengelasan SMAW. Jurnal Teknik ITS.September 2012.

Roberts DA, Johnston EL, Knott NA. Jounal of Impacts of desalination plant discharges on the marine environment:a critical review of published studies. Water Res 2010;44:5117-28.


(4)

Sharon, H. dan Reddy, K.S. Journal of Renewable and Sustainable Energy Reviews.Heat Transfer and Thermal Power Laboratory, Department Mechnical Engineering, Indian Institute of Technology, Madras, Chemnal, 600036, India. 2013

(http://en.wikipedia.org/wiki/Corrosion)

(http://en.wikipedia.org/wiki/Water_distribution_on_Earth) (http://www.unwater.org/statistics_use.html)


(5)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Untuk mengamati dan memprediksi fenomena terbentuknya korosi dapat dilakukan dengan membangun kaidah numerik yang akan mensimulasikan laju korosi evaporator dalam sistem desalinasi air laut dari hasil pengujian secara eksperimental yang telah dilakukan. Dalam penelitian ini kedua kaidah tersebut akan ditinjau sehingga validasi pertumbuhan dan laju korosi dapat dilakukan dengan mengolah hasil dari kedua kaidah. Untuk itu langkah awal yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi desain parameter dari objek korosi yang akan diteliti.

3.1 Desain Parameter Penelitian (Design Of Experiment)

Dalam mendesain parameter, hal utama yang dilakukan adalah mengidentifikasi parameter input (masukan) dan output (hasil) serta parameter desain yang mengendalikan korelasi antara parameter input maupun output.

Proses fenomena pertumbuhan korosi yang terjadi pada evaporator sistem desalinasi ditandai dengan berkurangnya berat akhir dibandingkan dengan berat awal / mula – mula evaporator, perubahan berat ini diakibatkan utamanya oleh air laut yang memiliki kandungan garam sehingga terjadilah reaksi kimia antara logam evaporator (logam yang dipakai pada percobaan adalah logam paduan stainless steel) dengan garam yang akan menghasilkan korosi dalam bentuk karat.

Oleh karena itu, maka berat awal dari sistem, air laut dan kadar garam (pH) yang terkandung didalamnya menjadi parameter input dalam penelitian ini. Proses pertumbuhan korosi yang terjadi akibat reaksi stainless steel dengan kandungan garam dalam air laut termasuk faktor tekanan, temperatur serta volume air laut dalam sistem kerja evaporator menjadi parameter desain (kendali) sedangkan temperatur luar (lingkungan), aliran air laut menuju sistem evaporator dan sisa endapan brine dalam yang tertinggal dalam evaporator menjadi parameter yang tidak dapat dikendalikan.


(6)

Akhirnya, hasil dari korosi berupa berkurangnya berat evaporator dan terbentuknya karat pada permukaan evaporator akibat korosi menjadi parameter

output. Untuk ringkasnya, desain parameter dirangkum dalam Diagram Desain

Penelitian yang telah dilampirkan pada halaman selanjutnya.

Reaksi kimia serta perubahan fisik (mekanik) yang terjadi pada evaporator dapat dilihat pada tabel 3.1, gambar 3.1 dan 3.2 dibawah ini:

Tabel 3.1 Tabel Desain Parameter Penelitian (Dokumen Penulis) Reaksi

Kimiawi Fe3++ 3 H2O  Fe(OH)3+ 3 H+

Reaksi Fisik

Keadaan fisik sebelum penelitan

Keadaan fisik setelah penelitian

Berat awal evaporator adalah

Berat akhir evaporator menjadi yang diakibatkan oleh

korosi

Permukaan logam evaporator yang masih mengkilap (gambar

3.1)

Permukaan logam evaporator telah terbentuk karat dan tertinggal brine/endapan

garam (gambar 3.2)

Gambar 3.1 Permukaan Evaporator Sebelum Penelitian Dilakukan (Dokumen Penulis)


(7)

Gambar 3.2 Permukaan Evaporator Setelah 8 Hari Penelitian (Dokumen Penulis)

3.1.1 Komponen dan Fungsi

Tabel komponen dan fungsi memaparkan detail bagian penelitian mana yang difokuskan untuk dilakukan peninjauan, hal ini mencakup komponen apa sajakah yang diteliti, fungsi dari komponen dalam sistem, perubahan fenomena fisik yang dialami komponen, parameter yang ditinjau dalam komponen serta menetapkan rumus empirik yang digunakan dalam membahas perubahan parameter yang dialami komponen.

Komponen yang akan dibahas hanya mencakup bagian evaporator dikarenakan penelitian laju korosi dalam sistem desalinasi hanya meneliti komponen evaporator sebagai ruang pemanas air laut. Komponen evaporator dipilih menjadi acuan penelitan laju korosi karena merupakan komponen yang menunjukkan hasil laju korosi yang paling besar, hal ini dikarenakan faktor-faktor dalam evaporator seperti kenaikan temperatur yang signifikan, kondisi vakum tempat bekerjanya spesimen (air laut), dan sisa endapan garam (brine) yang tertinggal. Komponen dan fungsi dari sistem yang diteliti dirangkum pada tabel 3.2 dihalaman berikutnya.


(8)

Tabel 3.2 Tabel Komponen dan Fungsi (Dokumen Penulis)

3.1.2 Data Pengukuran Eksperimental

Tabel ini berisi hal/parameter yang akan diteliti dalam penelitian dan hasil yang akan didapat dalam eksperimen. Tabel 3.3 merupakan rangkuman mengenai parameter apa sajakah yang digunakan atau diteliti dari eksperimen.

Tabel 3.3 Tabel Data Pengukuran Eksperimental (Dokumen Penulis) Komponen yang diteliti Fungsi komponen Fenomena perubahan fisik Rumus empirik yang digunakan Parameter yang diukur Evaporator Sebagai tempat perubahaan fasa

air laut menjadi uap Perubahan berat akibat terjadinya korosi Atau Berat awal dan akhir evaporator

Parameter Input Parameter Output

Parameter Desain

Berat mula – mula evaporator

(W0)

Luas daerah spesimen (A) Waktu terpaparnya spesimen terhadap korosi (T) Berat akhir evaporator

(W1)

Kehilangan Berat (W) [W1– W0]

Laju korosi (MPY)

... mg (miligram)

... inchi ... cm2

... jam ... mg (miligram) ... mg (miligram) ... mils/tahun ... milimeter/tahun


(9)

3.2 Perhitungan Laju Korosi dengan Simulasi

Perhitungan laju korosi dengan simulasi aplikasi dilakukan dengan tujuan membandingkan data perhitungan hasil secara teoritis dengan hasil komputasi sehingga didapatkan ralat (beda) perhitungan penelitian dengan hasil simulasi. Perhitungan simulasi menggunakan aplikasi COMSOL MULTIPHYSICS 5.0 untuk menunjukkan deformasi pada permukaan evaporator akibat terjadinya korosi galvanis yang membentuk pit (lubang) dengan berbasis metode polarisai. Deformasi timbul akibat adanya reaksi kimia besi dengan stainless steel dengan media elektrolit berupa air laut dengan waktu pemaparan selama 64 jam.

3.2.1 Identifikasi Parameter

Secara komputasi pembangunan model dan pengujian dilakukan untuk identifikasi deformasi yang terjadi pada evaporator. Pada saat evaporator terpapar dengan media elektrolit berupa air laut hal maka simulasi akan menghasilakan deformasi yang disebabkan oleh korosi dengan menggunakan software COMSOL 5.0.

Data – data yang diperlukan untuk komputasional didapat dari hasil penelitian dan standar parameter yang dikeluarkan oleh NACE dan aplikasi COMSOL dalam bentuk jurnal ilmiah, data – data yang diambil untuk komputasi yaitu sebagai berikut :

1. Data potensial korosi besi

2. Data konduktivitas elektrolit (air laut)

3. Data massa jenis arus reaksi elektroda pada anoda dan katoda

4. Data kesetimbangan potensial katoda dan kesetimbangan potensial reaksi 5. Data massa molar dan massa jenis besi


(10)

3.2.2 Variabel Yang Diamati

Sesuai dengan performansi evaporator secara eksperimen, variabel tertentu menjadi fokus perhatian yang perlu dikondisikan untuk pengolahan data guna mendapatkan hasil yang mendekati sempurna. Adapun variabel yang diamati dalam studi eksperimental maupun simulasi numerik ini adalah sebagai berikut :

 Secara eksperimental :

Laju korosi yang terbentuk pada permukaan evaporator yang terpapar dengan media elektrolit berupa air laut selama 80 jam

 Secara simulasi numerik :

1. Deformasi permukaan evaporator yang diakibatkan oleh korosi galvanis disebabkan adanya reaksi kimia antara

2. Laju korosi permukaan evaporator berupa deformasi akibat korosi galvanis

3. Massa jenis arus reaksi dan distribusi potensial pada elektrolit 3.2.3 Parameter Fluida

Parameter fluida yang digunakan pada saat melakukan komputasi adalah air laut dengan sifat – sifat fisik seperti tabel 3.4 di bawah

Tabel 3.4 Tabel Data Sifat Fisik Air Laut (Dokumen Penulis)

Nomor Parameter Keterangan

1 Jenis Fluida Air Laut

2 Tekanan Fluida 6 cmHg


(11)

3.2.4 Design of Eksperiment Simulasi (DoE Simulasi)

Untuk mengidentifikasi gejala korosi pada evaporator perlu dibangun model eksperimental dari permukaan evaporator itu sendiri, Komponen yang disimulasi adalah permukaan evaporator dalam keadaan terpapar media elektrolit (air laut). Gambar 3.3 merupakan gambar yang digunakan untuk mensimulasi pengaruh dan laju deformasi dan DoE simulasi akan disertakan pada halaman berikutnya.

Gambar 3.3 Penjelasan Daerah – Daerah Simulasi (Dokumen Penulis) Berdasarkan DoE simulasi diatas maka dapat dijelaskan bahwa pada saat sistem desalinasi bekerja maka terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi laju korosi pada evaporator seperti: laju potensial anoda dan katoda, salinitas dan konduktivitas media elektrolit serta temperatur dan tekanan dalam evaporator sendiri.

Pada saat evaporator bekerja permukaan stainless steel evaporator yang kehilangan lapisan pelindung (pasivitas) akan terjadi reaksi antara unsur besi(Fe) dengan elektron dan air yang terkandung dalam media elektrolit sehingga menyebabkan korosi, hal ini diperparah dengan adanya korosi galvanis antara permukaan evaporator yang belum berkorosi dengan yang telah berkorosi ditambah dengan kondisi lingkungan sistem yang memiliki temperatur dan tekanan cukup tinggi sehingga mempercepat timbulnya korosi dan laju korosi.

Permukaan Stainless Steel Permukaan Besi Elektrolit (Air Laut)


(12)

Parameter kondisi akan menentukan laju korosi yang timbul dan deformasi yang tejadi pada permukaan yang mengalami korosi dan membandingkan dengan permukaan yang tidak terkena korosi.

3.2.5 Kerangka Konsep Pemodelan Numerik

Adapun kerangka konsep pemodelan numerik ini yang dapat dilihat pada bagian berikut :

\

3.2.6 Setup Komputasi

Proses pre-processing merupakan proses yang dilakukan sebelum pengujian (simulasi). Proses ini mencakup pembuatan model, penentuan parameter, penentuan anoda katoda sampai dengan pembuatan mesh (meshing). 1. Pembuatan Model

Pembuatan model permukaan evaporator dalam simulasi ini dilakukan dalam 2 dimensi. Komponen evaporator tidak perlu dibangun dalam bentuk 3 dimensi dikarenakan simulasi dilakukan dalam hitungan per jam sehingga hasil korosi yang terbentuk sangatlah kecil, oleh karena itu simulasi dengan model 2

Permasalahan

1. Fenomena korosi pada evaporator sistem desalinasi air laut

Pengamatan

1. Membangun simulasi korosi pada evaporator

2. Membangun simulasi deformasi permukaan evaporator

Parameter Kontrol 1. Bahan evaporator 2. Media elektrolit 3. Keadaan lingkungan kerja sistem

Alat simulasi 1. Personal computer 2. Aplikasi COMSOL

Hasil

1. Simulasi laju korosi pada evaporator 2. Simulasi bentuk deformasi yang terjadi


(13)

dimensi akan memberikan hasil yang lebih baik dan jelas daripada hasil 3 dimensi. Model dibuat dengan aplikasi COMSOL dan disertakan sebagi berikut. (ukuran dalam bentuk milimeter untuk memperjelas hasil simulasi). Model gambar 2 dimensi disertakan dalam gambar 3.4 berikut.

Gambar 3.4 Model Simulasi 2 Dimensi (Dokumen Penulis) 2. Menentukan anoda,katoda dan media elektrolit (domain)

Computational domain merupakan bidang batas simulasi.Domain

komputasi terbagi atas 3 elemen, yaitu anoda yang merupakan bagian terkorosi (besi), katoda yang merupakan bagian yang tidak mengalami korosi (stainless steel) dan media elektrolit. Gambar domain dijelaskan pada gambar 3.5, 3.6 dan 3.7 sebagai berikut:


(14)

Gambar 3.6 Domain Katoda (Stainless Steel) (Dokumen Penulis)

Gambar 3.7 Domain Anoda (Besi) (Dokumen Penulis) 3. Pembuatan Mesh

Unit-unit yang dianalisis pada simulasi COMSOL diinterpretasikan dengan pembentukan mesh atau grid. Dalam simulasi ini element size pada mesh


(15)

diatur secara otomatis dengan element size normal (0.001 mm). Bentuk mesh dapat dilihat pada gambar 3.8 berikut:

Gambar 3.8 Meshing Model Simulasi (Dokumen Penulis) 4. Menginput Parameter Simulasi

Pada bagian ini diinput data parameter dari reaksi kimia (korosi) yang terjadi Parameter yang udara yang diinput adalah Potensial kesetimbangan katoda, pertukaran massa jenis arus pada katoda, slope Tafel pada katoda, potensial kesetimbangan anoda, pertukaran massa jenis arus pada anoda, slope Tafel pada anoda, nilai batas arus, massa molar rata-rata dan massa jenis. Data parameter diperoleh dari jurnal NACE, COMSOL, eksperiment terdahulu dan perhitungan manual. Gambar 3.9 adalah input parameter yang dirunjukkan sebagai berikut:


(16)

5. Menginput Konduktivitas Elektrolit dalam Media Elektrolit

Pada bagian ini diinput nilai konduktivitas elektrolit pada media elektrolit untuk menentukan seberapa baiknya media elektrolit mampu menghantarkan arus listrik/elektrolit, pengaturan lainnya digunakan pengaturan default.Gambar 3.10 menunjukkan input nilai konduktivitas elektrolit air laut.

Gambar 3.10 Input Nilai Konduktivitas Elektrolit dalam Media Elektrolit (Dokumen Penulis)

6. Menginput Temperatur Kerja Sistem

Pada bagian ini diinput nilai temperatur pada permukaan anoda dan katoda ketika terjadi korosi.Temperatur mempengaruhi laju korosi, semakin tinggi korosi maka umumnya laju korosi semakin besar, terutama pada stainless steel (304) yang akan kehilangan lapisan pasivitas diatas temperatur kerja 50oC (343 Kelvin). Gambar input temperatur ditunjukkan oleh gambar 3.11 sebagai berikut:

Gambar 3.11 Input Nilai Temperatur Kerja Sistem (Dokumen Penulis) 7. Mendefinisikan Parameter Waktu Kerja Sistem

Pada bagian ini diinput nilai waktu sebagai acuan penelitan simulasi deformasi dan laju korosi yang bergantung terhadap waktu, waktu yang dipakai adalah deformasi dan laju per jam selama 8 jam (waktu pengujian per hari). Gambar input waktu kerja sistem ditunjukkan oleh gambar 3.12 sebagai berikut:


(17)

Gambar 3.12 Paraneter Waktu Simulasi (Dokumen Penulis) 3.2.7 Diagram Alir Simulasi

Secara garis besar, proses simulasi akan dilaksanakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.13 sebagai berikut:

Gambar 3.13 Diagram Alir Simulasi Ya

Tidak

Pembuatan geometri di COMSOL

Proses meshing

Pendefinisian Parameter

Pendefinisian Kondisi Kerja dan Media Elektrolit Menginput waktu simulasi sebagai definisi studi deformasi

dan laju korosi yang berhubungan dengan waktu

MULAI

Mendapatkan hasil Simulasi


(18)

3.3 Kelengkapan Penelitian 3.3.1 Waktu dan Tempat

Pengujian dilakukan di Medan, Sumatera Utara pada Jalan Tridharma, Universitas Sumatera Utara, Gedung J20 (Gedung Magister Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara) selama lebih kurang 6 bulan.

3.3.2 Alat dan Bahan 3.3.2.1 Alat

Alat yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Tangki Air Laut, Konsentrat Garam, dan Air Bersih

Tangki yang berfungsi sebagai penampung air laut, konsentrat garam dan air bersih yang dipasang di bawah 10 meter dari evaporator dan kondensor agar pengvakuman dapat berlangsung. Tangki yang akan digunakan mempunyai volume masing-masing 20 liter. Gambar 3.14 menunjukkan tangki air laut yang dipakai pada penelitian ini.

Gambar 3.14 Tangki Air Laut (Sumber: Dokumen Penulis) 2. Evaporator

Dalam penelitian ini, akan digunakan evaporator sebagai ruang pemanasan air laut. Alat ini merupakan alat yang sangat penting dalam penentuan laju produksi air bersih. Material evaporator, volume air laut di evaporator, dan isolasi panas evaporator sangat mempengaruhi laju penguapan air laut. Mekanisme kerja evaporator sederhana pada sistem desalinasi air laut menggunakan sistem


(19)

pemanasan dengan bantuan pemanas elektrik (heater) dan termokopel sebagai pengatur temperatur, hal mendasar yang membedakan evaporator yang digunakan pada sistem ini adalah aplikasi keadaan/kondisi vakum dan keseimbangan tekanan volume dalam sistem desalinasi. Evaporator terletak pada ketinggian 10,34 meter diatas permukaan tanah. Posisi evaporator diletakkan demikian agar kondisi vakum natural dapat terbentuk sehingga air laut dapat naik sendiri tanpa bantuan pompa ke evaporator melalui aplikasi keseimbangan volume dalam sistem, dimana tinggi 10,34 meter merupakan tinggi minimum (untuk media air PAM) agar kesetimbangan terjadi untuk media air laut ketinggian kesetimbangan evaporator yang diperlukan agak rendah yaitu 10,06 meter sehingga air laut tetap dapat terhisap naik dengan posisi evaporator yang demikian, evaporator mampu menghisap dan menghasilkan air bersih sebesar 1,2 liter dalam 1 hari kerja (8 jam) menggunakan mekanisme kerja diatas. Gambar 3.15 menunjukkan gambar evaporator yag digunakan dalam penelitian. Spesifikasi evaporator yang akan digunakan adalah sebagai berikut :

Material : Paduan stainless-steel Tipe ANSI-304; dengan mur dan skrup pengunci tutup evaporator terbuat dari Stainless-Steel Tipe ANSI-304. Agar tidak adanya udara yang keluar antara celah tutup evaporator dengan dengan badan eveporator maka dibuat sebuah lapisan kedap udara dengan material karet

packing.

Ketebalan bahan : 5,8 mm Diameter evaporator : 50 cm Tinggi tangki evaporator : 15 cm Tinggi kerucut penutup : 12 cm


(20)

3. Kondensor

Kondensor pada sistem ini berbentuk tabung yang dimiringkan dan di sepanjang tabung terdapat sirip (fin) yang berfungsi mempercepat proses kondensasi di kondensor. Semakin cepat proses kondensasi, semakin cepat pula air bersih yang dihasilkan. Gambar 3.16 merupakan gambar kondensor secara keseluruhan yang dipakai dalam penelitian. Spesifikasi kondensor yang digunakan adalah sebagai berikut :

Material : Tembaga

Panjang Tabung : 0.5 m Ketebalan Tabung : : 0.25 cm Diameter Tabung : 4 inci

Untuk sirip (fin) yang dipasang di permukaan luar tabung memilki spesifikasi sebagai berikut:

Jumlah fin : 10 buah Diameter fin : 25.4 cm Ketebalan fin : 0.0635 cm Jarak antar fin : 4 cm

Gambar 3.16 Kondensor (Sumber: Dokumen Penulis) 4. Tube in Tube Heat Exchanger

Konsentrat garam yang berada pada evaporator tidak dapat berevaporasi karena titik didih konsentrat garam lebih tinggi daripada titik didih air bersih,


(21)

sehingga konsentrat garam yang tidak mendidih akan dialirkan ke tangki konsentrat garam. Oleh karena temperatur konsentrat garam masih relatif tinggi saat dipanaskan di evaporator, maka sebelum dialirkan ke tangki konsentrat garam, terlebih dahulu konsentrat garam akan dialirkan ke tube in tube heat exchanger untuk mengalirkan sebagian kalor terhadap air laut yang mengalir di pipa dalam.Sehingga pemanasan di evaporator dapat berlangsung dengan cepat. Gambar 3.17 menunjukkan bangun dari tube heat exchanger yang dipakai pada penelitian.Spesifikasi tube in tube heat exchanger adalah sebagai berikut :

Material pipa luar : PVC Material pipa dalam : Tembaga Diameter pipa luar : 2.54 cm Diameter pipa dalam : 1.27 cm

Gambar 3.17 Tube in Tube Heat Exchanger (Sumber: Dokumen Penulis) 5. Manometer

Manometer digunakan untuk mengukur tekanan vakum dalam sistem. Gambar 3.18 menunjukkan manometer yang digunakan dalam penelitian.


(22)

Gambar 3.18 Manometer (Sumber: Dokumen Penulis) 6 Timbangan digital

Timbangan digital digunakan untuk mengukur berat evaporator sebelum maupun setelah pemaparan terhadap air laut. Timbangan digital dengan kemampuan menimbang berat sampai dua angka dibelakang koma ditunjukkan oleh gambar 3.19.


(23)

3.2.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air laut yang memiliki temperatur awal 25oC dan konsentrasi garam 3.5%.

Gambar 3.19 merupakan sketsa dari sistem yang merupakan gabungan dari alat – alat penelitian yang ditunjukkan sebagai berikut:

Gambar 3.20 Sistem Desalinasi Air Laut (Sumber: Dokumen Penulis) 3.3.3 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pemasangan alat dan isolasi hingga menjadi sistem desalinasi vakum 2. Mengukur berat mula-mula evaporator

3. Pengecekan kevakuman sistem

4. Kalibrasi alat ukur yang digunakan saat pengujian 5. Mengisi air laut pada tangki air laut

6. Membiarkan sistem desalinasi berkerja selama 10 hari 7. Mencatat berat evaporator untuk data perhitungan laju korosi

8. Menghitung laju korosi dalam evaporator dengan bahan stainless – steel berdasarkan data eksperimental

9. Melakukan perhitungan laju korosi dengan simulasi (analisa numerik) 10.Mendapatkan validasi data berupa ralat dalam kedua metode perhitungan


(24)

11.Menentukan langkah perawatan/pencegahan berdasarkan data yang didapat

Untuk lebih ringkasnya prosedur penelitan yang dilakukan dapat dilihat melalui diagram alir pada gambar 3.20. yang dilampirkan pada halaman selanjutnya.

3.3.4 Jadwal Pelaksaan Penelitian / Schedule

Berikut akan disertakan estimasi jadwal penelitian mulai dari perancangan desain sistem alat desalinasi sampai selesainya sidang tugas akhir. Jadwal penelitian dilampirkan pada bagian lampiran penulisan.

3.3.5 Estimasi Biaya Penelitian

Estimasi biaya penelitian diperlukan untuk rencana kedepan dari penelitian, apakah sebagai harga dasar produk apabila sistem desalinasi penelitian ingin diproduksi ataupun sebagai catatan biaya dasar apabila ingin dilakukan pengembangan/penelitian sistem lebih lanjut.

Biaya pembuatan alat beserta instalasi sistem dan bahan yang diperlukan berkisar 10 juta rupiah.


(25)

Gambar 3.21. Bagan Alir Penelitian Secara Keseluruhan Mulai

Pengukuran berat mula – mula evaporator Pemasangan Alat dan Isolasi

Apakah unit desalinasi telah mencapai kondisi vakum?

Pengisian Air Laut pada Tangki Air Laut

Membiarkan sistem desalinasi berkerja selama 10 hari Mengukur berat evaporator setelah 10 hari

Menghitung laju korosi yang terjadi dalam evaporator dengan metode weight loss

Selesai

Melakukan perhitungan laju korosi dengan simulasi dengan metode polarisasi Melakukan validasi data dengan membandingkan kedua metode perhitungan

Menentukan tindakan perawatan/pencegahan yang dilakukan Apakah data telah valid

(dapat diterima)? TIDAK

TIDAK

YA


(26)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Input dan Output Eksperimntal

Dalam membangun Design Of Experimental (DOE), terdapat parameter input dan parameter output. Adapun parameter-parameter yang ditunjukkan oleh tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1 Tabel Input dan Output Secara Eksperimental (Dokumen Penulis)

4.2 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Eksperimental

Berikut akan dipaparkan hasil perhitungan laju korosi penelitian dengan metode weight-loss. Data – data yang didapat akan dikumpulkan,dianalisa dan dirangkum hasilnya melalui tabel data pengukuran yang terdapat pada tabel 4.2. Setelah perangkuman data selesai maka metode perhitungan akan dijelaskan satu – persatu, dari pembuktian pengambilan data input sampai dengan penjelasan perhitungan hasil parameter desain berupa laju korosi pada evaporator didapat, adapun kondisi batas pada evaporator yaitu:

- Tekanan vakum pada kondisi bekerjanya evaporator - Bahan evaporator adalah logam stainless – steel 304 Komponen

Parameter

Input Output

Evaporator

 Berat Mula – Mula (W0) = miligram

 Luas Daerah Spesimen (A) = inchi/cm2

 Waktu Terpaparnya Spesimen terhadap Korosi (T) = jam

 Berat Akhir Evaporator (W1

)

= miligram

 Kehilangan Berat (W) = miligram


(27)

- Media elektrolit berupa air laut dengan kadar garam 3.5% per liter - Temperatur kerja dianggap statis pada temperatur 50oC\

Tabel 4.2 Tabel Hasil Perhitungan Laju Korosi Secara Eksperimental (Dokumen Penulis)

 Data berat mula – mula dan berat akhir evaporator diambil dari hasil penimbangan menggunakan timbangan digital dengan kemampuan menimbang berat sampai dua angka dibelakang koma. Validasi data berat ditunjukkan oleh foto yang terdapat pada gambar 4.1 yang diambil pada waktu penimbangan sebelum dan sesudah penelitian dilakukan. Data kehilangan berat (W) merupakan hasil pengurangan berat awal evaporator dengan berat akhir evaporator.

Parameter Input Parameter Output Parameter

Desain

Berat mula – mula evaporator

(W0)

Luas daerah spesimen (A) Waktu terpaparny a spesimen terhadap korosi (T) Berat akhir evaporator

(W1)

Kehilangan Berat (W) [W1– W0]

Laju korosi (MPY) 33.410.000 mg (miligram) 548,21 inchi 3536,86 cm2 64 jam 33.200.000 mg (miligram) 210.000 mg (miligram) 398,03 mils/tahun 10,12 milimeter/tahu n


(28)

Gambar 4.1 Berat Evaporator Sebelum (Kiri) dan Sesudah (Kanan) (Dokumen Penulis)

 Luas daerah spesimen merupakan luas daerah (permukaan) evaporator yang bersinggungan/melakukan kontak dengan media elektrolit (air laut) sehingga luas daerah spesimen perhitungan dapat ditulis sebagai rumus berikut :

Untuk memudahkan penjelasan dan validasi data maka disertakan gambar evaporator CAD ( Gambar 4.2 dan Gambar 4.3) yang dibuat menggunakan software SOLIDWORKS 2011, gambar evaporator akan menjelaskan luas yang diambil pada perhitungan.


(29)

Gambar 4.2 Evaporator dalam kondisi tertutup (Dokumen Penerbit)

Gambar 4.3 Evaporator dalam kondisi terbuka (Dokumen Penerbit)

Dengan catatan bahwa tinggi air dalam evaporator adalah 9 centimeter yang menjadi tinggi tabung evaporator dalam perhitungan luas permukaan yang mengalami korosi. Penjabaran perhitungan luas dijelaskan sebagai berikut :

1. Luas Alas dan Dinding Evaporator

Diketahui diameter eveporator adalah 48 centimeter dengan tinggi evaporator yang terpapar dalam media elektrolit adalah 9 centimeter. Dikarenakan evaporator berbentuk silinder /tabung tanpa tutup maka digunakan rumus luas selimut tabung + rumus luas lingkaran alas pada tabung.

Luas Evaporator = π r2+ 2 π r t Sehingga : L = 3.14 x (24)2 + 2 x 3.14 x 24 x 9

= 1808.64 + 1356.48 = 3156.12 cm2


(30)

2. Luas Heater

Diketahui diameter heater adalah 0.5 centimeter dengan panjang heater 240 centimeter. Sama seperti evaporator, heater juga berupa

silinder/tabung tetapi tanpa tutup dan alas sehingga rumus yang dipakai hanya rumus selimut tabung.

Luas Heater = 2 π r t Sehingga : L = 2 x 3.14 x 0.25 x 240

= 376,80 cm2

3. Luas Lubang Pipa Inlet

Lubang pipa inlet setengah inci berbentuk lingkaran dan terdapat pada alas evaporator, perhitungan luas lubang ini menggunakan rumus lingkaran.

Luas lubang pipa = π r2 Sehingga : L = 3.14 x (1.27)2

= 5.06 cm2

4. Luas Permukaan Spesimen

Maka luas permukaan/daerah spesimen yang terpapar dalam media elektrolit adalah sebagai berikut:

Luas keseluruhan = 3156.12 + 376,80 – 5.06 cm2 = 3536.86 cm2 (548.21 inchi)

Waktu terpaparnya spesimen adalah 64 jam dimana pengujian dilakukan 8 jam selama 8 hari mulai dari tanggal 09/11/15 sampai dengan tanggal 17/11/15.


(31)

 Kehilangan berat evaporator didapat dari perbedaan hasil mula – mula evaporator dan hasil akhir evaporator setelah terpapar media elektrolit dan mengalami korosi, kehilangan berat (weight loss) dihitung dalam miligram dan dirumuskan sebagai berikut:

W = W1 – W0

Sehingga : W = 33.410.000 - 33.200.000 miligram = 210.000 miligram

 Setelah mendapatkan hasil diatas maka kita dapat mencari laju korosi yang dialami oleh evaporator dalam lingkungan kerja yang telah ditetapkan dengan metode weight-loss. Metode ini akan menghasilkan laju korosi dalam satuan mils/tahun atau mm/tahun sehingga kita dapat mengetahui apakah bahan yang digunakan dalam katergori baik atau buruk apabila dipaparkan dalam lingkungan kerja tertentu. Perhitungan laju korosi dengan metode weight-loss ditunjukkan sebagai berikut:

atau

Dimana :

W adalah Weight Loss/kehilangan berat (miligram) D adalah Density/massa jenis (gram/cm3)

A adalah Luas daerah yang terpapar korosi (inch atau cm2 pada rumus ke 2)

T adalah Time/waktu terpaparnya evaporator terhadap korosi (jam) MPY adalah laju korosi per tahun (mils/tahun atau mm/tahun)


(32)

Dalam mm/tahun :

Sehingga hasil laju korosi eksperimental yang didapatkan dengan metode perhitungan weight-loss adalah 10.12 mm/tahun (398.03 mils/tahun), apabila merujuk kepada tabel nilai resistensi korosi (tabel 2.2, bab 2) maka dapat dilihat bahwa penggunaan material stainless steel dalam kondisi kerja yang telah ditentukan berada pada batas unacceptable (tidak dapat diterima ) sehingga material stainless steel-304 tidak cocok dipakai dalam evaporator sistem desalinasi air laut. Laju korosi yang terlampau tinggi akan menyebabkan failure dalam waktu yang dekat, dikarenakan deformasi permukaan alas maupun dinding evaporator yang terbentuk mengarah pada terbentuknya crack akibat korosi. 4.3 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Simulasi

Pada tahap ini terlihat hasil yang ingin didapatkan dari proses simulasi. Untuk penelitian ini hasil yang ingin didapat dari simulasi adalah deformasi dan nilai laju korosi. Dapat dilihat pada gambar 4.4, 4.5 dan 4.6 bahwa deformasi yang dialami oleh anoda (besi) dibandingkan dengan katoda (stainless steel). Terlihat pada hasil simulasi bahwa laju korosi yang timbul per jam adalah 0.0011 mm/jam (ditunjukkan oleh gambar 4.5) sehingga deformasi akibat korosi yang timbul pada 8 jam pengujian (1 hari pengujian) adalah 0,0088 mm yang ditunjukkan oleh gambar 4.6. Penunjukkan arah potensial dan distribusinya dari anoda ke katoda sebagai hasil dari korosi galvanis serta dari anoda ke media elektrolit juga dapat terlihat pada hasil simulasi. Gambar 4.4 meunjukkan keseluruhan hasil simulasi selama 1 jam penelitian dengan gambar


(33)

4.5 merupakan pembesaran dari gambar 4.4 agar pembaca dapat melihat hasil korosi yang terjadi dengan lebih jelas. Perlu diingat karena pemodelan awal pada permukaan anoda (yang berkorosi) telah didesain dengan permukaan yang memiliki kedalaman 1x10^-4 lebih dalam daripada permukaan anoda maka hasil laju korosi yang didapat akan dikurangi kedalaman awalnya.

Kontur/ warna merah menunjukkan batas daerah anoda (daerah yang berkorosi) dengan nilai batas elektrolit potensial yang lebih tinggi sedangkan daerah dengan warna biru menunjukkan daerah katoda (daerah yang tidak berkorosi) dengan nilai batas elektrolit potensial yang lebih rendah, semakin “biru” warna daerah pada hasil simulasi maka daerah tersebut tidak mengalami korosi dan menerima elektron dari hasil perbedaan potensial elektrolit, demikian sebaliknya semakin “merah” suatu daerah semakin daerah itu mengalami korosi dan cenderung melepaskan elektron. Panah hitam yang tampak pada gambar menunjukkan arah perpindahan elektron dari bagian anoda ke bagian katoda. Perpindahan elektron dari permukaan anoda ke katoda diakibatkan adanya reaksi korosi galvanisasi, dimana material – material berdekatan cenderung akan melakukan pertukaran elektron akibat reaksi galvanis natural kedua material, dimana material yang memiliki seri galvanis lebih rendah (dalam hal ini permukaan besi) akan melakukan pelepasan elektron lebih lanjut menuju material dengan seri galvanis yang lebih tinggi (permukaan stainless steel).


(34)

Gambar 4.5 Laju Korosi Selama 1 Jam (Dokumen Penulis)

Gambar 4.6 Deformasi dan Laju Korosi Selama 1 Hari Pengujian (8 Jam) (Dokumen Penulis)

Gambar 4.7 merupakan pengaruh lingkungan (dikarenakan dalam lingkungan kerja tertutup, closed system, maka lingkungan yang dimaksud hanya terbatas pada pengaruh media elektrolit yang berupa air laut) dimana kedua faktor utama selain kadar oksigen adalah kehadiran anion elektrolit yaitu senyawa klorida dan sulfat dalam media korosi. Kandungan klorida (Cl-) menunjukkan beberapa efek signifikan dalam terjadinya korosi dikarenakan anion yang paling berpengaruh adalah kehadiran ion klorida (Cl-) yang biasanya hadir dari sumber


(35)

lingkungan luar. Tidak hanya mereka ikut menyumbangkan terjadinya korosi karena bersifat konduktif secara alamiah namun mereka juga memiliki sifat menghancurkan sifat pasifitas dari logam dengan cara berikatan dengan lapisan oksida pada permukaan logam. Serangan yang ditimbulkan oleh anion ini bersifat lokalisasi sehingga lebih berbahaya dari deformasi yang disebabkan uniform

corrosion karena lubang yang terbentuk mampu melubangi permukaan logam

secara terpusat

Apabila dibandingkan dengan agresifitas ion klorida, maka ion sulfat (SO42-) pada umumnya lebih tidak agresif dalam menyebabkan gejala korosi. Akan tetapi, mereka dapat dikonversikan menjadi ion sulfida yang sangat korosif oleh Sulphate Reducing Bacteria (SRB). Jumlah kandungan klorida dan sulfat untuk menyebabkan korosi pada suatu sistem berbeda-beda tergantung dengan keadaan lingkungan, material yang berkorosi, temperatur dan faktor lainnya. . (Adler Flitton, M. K. and E. Escalante. 2003. “Simulated Service Testing in Soil,”

American Society of Metals Handbook, Volume 13A: Corrosion: Fundamentals, Testing and Protection, sub-section S-3c, American Society for Metals International, Metals Park, Ohio)

Gambar 4.7 Pengaruh Chlorida dan Sulfat dalam Air Laut (Dokumen Penulis) Pada gambar 4.7 ditunjukkan jumlah (dalam ppm atau mg/Liter) klorida dan sulfat yang dibutuhkan agar kedua anion tersebut ikut berperan dalam menyebabkan deformasi akibat korosi dari material, hasil yang ditunjukkan


(36)

menunjukkan semua kemungkinan dimana jumlah klorida , sulfat atau keduanya ikut mempengaruhi hasil simulasi diatas yang dipengaruhi oleh parameter – parameter input sebelumnya namun faktor ini tidak ikut disimulasikan dan lebih hanya berperan sebagai sara atas penggunaan media elektrolit yang sebaiknya memiliki nilai klorida dan sulfat dibawah gambar 4.7. (Perhitungan simulasi tidak menggunakan pengaruh ion elektrolit dikarenakan nilai anion elektrolit harus ditentukan dalam uji lab dengan metode gravimetri – dimana uji lab di laboratorium terdekat tidak menunjukkan nilai pasti dari nilai klorida dan sulfat dalam media air laut yang diggunakan sebagai media elektrolit dalam pengujian). Pada gambar 4.8 ditunjukkan hasil performasi korosi (laju korosi) yang dibandingkan dengan tingkat kerusakan permukaan evaporator, dengan sumbu x dari grafik menunjukkan performansi korosinya dan sumbu y menunjukkan tingkat kerusakan permukaan evaporator. Grafik ini akan menunjukkan keseluruhan kemungkinan deformasi permukaan akibat korosi yang mungkin terjadi pada evaporator sistem desalinasi air laut. Hasil dari grafik menunjukkan apabila lubang/retakan (crevice) yang dijumpai pada permukaan evaporator dalam keadaan parah (severe) dan termasuk dalam kondisi berbahaya (critical) terhadap desain evaporator maka retakan yang dimaksud merupakan hasil deformasi permukaan yang memiliki laju korosi maksimum 0,0011 mm/jam (hasil simulasi). Apabila retakan akibat deformasi pada permukaan ditemukan dalam keadaan parah namun tidak berbahaya terhadap desain evaporator maka retakan demikian merupakan hasil deformasi permukaan yang memiliki laju korosi maksimum 0,0007 mm/jam, begitu pula dengan pembacaan keadaan retakan yang tidak parah namun berbahaya bagi desain dan keadaan retakan yang tidak parah dan tidak berbahaya bagi desain evaporator dengan nilai laju korosi berkisar antara 0,0007 mm/jam sampai 0,011 mm/jam. Grafik ini akan membantu banyak saat perancangan evaporator dilakukan sehingga desain dan pembuatan evaporator dapat diprediksi kegagalannya walaupun hanya terbatas pada faktor korosi.


(37)

Gambar 4.8 Grafik Pengaruh Laju Korosi Terhadap Tingkat Kerusakan Retakan (Dokumen Penulis)

4.4 Validasi Data

Sebagai validasi data, peneliti membandingkan hasil perhitungan laju korosi secara eksperimental dengan metode weight-loss (kehilangan berat) dengan hasil perhitungan secara simulasi yang menggunakan metode polarisasi, dimana untuk kemudiannya pembuktian validasi dihitung dalam perbedaan hasil yang ditunjukkan dalam bentuk persen ralat.

Sebelum menghitung ralat antara kedua metode yang digunakan hasil yang didapat harus disamakan dalam satu haisl yang sama satuan yang sama) sebelum dicari persen ralat/perbedaan hasil perhitungan. Hasil ini akan dirangkum pada tabel 4.3 sebagai berikut untuk mempermudah penunjukkan perbedaan antara perhitungan simulasi dengan eksperimental.

Tabel 4.3 Tabel Hasil Laju Korosi dari Eksperiment dan Simulasi (Dokumen Penulis)

Satuan hasil perhitungan

Hasil Laju Korosi Dari Penelitian

(Eksperimental) Dari Simulasi (Numerikal)

mm/jam 0.001155 0.0011

mm/tahun 10.12 9.636


(38)

 Perhitungan Pengubahan Satuan Eksperimental:

 Perhitungan Pengubahan Satuan Numerikal:

Selain itu penulis juga membuat statistik perbandingan perubahan laju korosi dari awal terbentuknya korosi sampai akhir penelitian selesai dilakukan yang didapatkan dari simulasi dan eksperimental , penunjukkan data akan digambarkan dalam bentuk diagram garis scatter untuk memperjelas nilai ralat yang terjadi pada setiap jam pertumbuhan laju korosi yang ditunjukkan oleh tabel 4.4 seperti berikut:

Tabel 4.4 Perbandingan Kenaikan Laju Korosi Per-Jam Secara Eksperimental dan Simulasi (Dokumen Penulis)

Jam ke - Laju Korosi

Eksperimental

Laju Korosi Simulasi

1 0,001155 0,0011


(39)

3 0,003465 0,0033

4 0,00462 0,0044

5 0,005775 0,0055

6 0,00693 0,0066

7 0,008085 0,0077

8 0,00924 0,0088

9 0,010395 0,0099

10 0,01155 0,011

11 0,012705 0,0121

12 0,01386 0,0132

13 0,015015 0,0143

14 0,01617 0,0154

15 0,017325 0,0165

16 0,01848 0,0176

17 0,019635 0,0187

18 0,02079 0,0198

19 0,021945 0,0209

20 0,0231 0,022

21 0,024255 0,0231

22 0,02541 0,0242

23 0,026565 0,0253

24 0,02772 0,0264

25 0,028875 0,0275

26 0,03003 0,0286

27 0,031185 0,0297

28 0,03234 0,0308

29 0,033495 0,0319

30 0,03465 0,033

31 0,035805 0,0341

32 0,03696 0,0352

33 0,038115 0,0363

34 0,03927 0,0374

35 0,040425 0,0385


(40)

37 0,042735 0,0407

38 0,04389 0,0418

39 0,045045 0,0429

40 0,0462 0,044

41 0,047355 0,0451

42 0,04851 0,0462

43 0,049665 0,0473

44 0,05082 0,0484

45 0,051975 0,0495

46 0,05313 0,0506

47 0,054285 0,0517

48 0,05544 0,0528

49 0,056595 0,0539

50 0,05775 0,055

51 0,058905 0,0561

52 0,06006 0,0572

53 0,061215 0,0583

54 0,06237 0,0594

55 0,063525 0,0605

56 0,06468 0,0616

57 0,065835 0,0627

58 0,06699 0,0638

59 0,068145 0,0649

60 0,0693 0,066

61 0,070455 0,0671

62 0,07161 0,0682

63 0,072765 0,0693

64 0,07392 0,0704

Apabila data diatas di plot (digambar) menjadi sebuah grafik statistik dengan perbandingan sumbu x sebagai laju korosi dan sumbu y sebagai waktu terjadinya korosi maka akan didapatkan grafik seperti gambar 4.9 dimana dapat dilihat perbedaan nilai laju korosi antara kedua metode perhitungan.


(41)

Gambar 4.9 Grafik Statistik Perbandingan Laju Korosi Eksperimental dan Simulasi (Dokumen Penulis)

Maka nilai persen ralat yang didapatkan adalah sebagai berikut:

 Persen Ralat Satuan mm/jam

 Persen Ralat Satuan mm/tahun

 Persen Ralat Satuan mils/tahun


(42)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil simulasi dan pengujian eksperimen yang telah dilakukan dan ditunjukkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu:

1. Dari hasil identifikasi ditemukan bahwa fenomena laju korosi dapat diukur pada sistem evaporator dengan kondisi kerja yang telah ditentukan. Metode perhitungan weight-loss dan metode polarisasi dapat digunakan untuk mencari nilai laju korosi yang terjadi dalam evaporator.

2. Penggunaan bahan stainless-steel jenis 304 (SAE 304) tidak dapat digunakan sebagai bahan pembuatan evaporator akibat tingginya nilai laju korosi yang akan menyebabkan evaporator mengalami failure dalam waktu yang singkat.

3. Pola pemeliharaan yang paling efektif pada evaporator (sebagai APK) pada sistem desalinasi air laut adalah dengan pemilihan bahan pembuatan evaporator yang tepat dan pencegahan korosi dilakukan dengan metode pengorbanan anoda (proteksi katoda) secara berkala.

4. Berdasarkan hasil eksperimental dan perhitungan dengan menggunakan metode weight-loss didapatkan bahwa laju korosi yang terjadi pada evaporator adalah 10.12 milimeter/tahun.

5. Dari hasil simulasi diperoleh nilai laju korosi yang terjadi pada evaporator adalah 9.636 milimeter/tahun dan deformasi yang terjadi berbentuk


(43)

pitting (lubang) yang akan kemudian akan mengakibatkan

stress-corrosion cracking dan kedepannya akan mengakibatkan failure pada

evaporator akibat cracking (retak).

6. Dari hasil uji laju korosi secara komputasional dan eksperimental, didapatkan nilai laju korosi evaporator yang mendekati namun masih terjadinya perbedaan nilai laju korosi dalam deviasi yang dapat ditoleransi.

5.2 Saran

1. Untuk peneliti selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian dalam waktu yang lebih lama untuk mengetahui awal mula titik crack (retak) yang terjadi akibat terjadinya korosi.

2. Melakukan simulasi dengan menghitung faktor – faktor yang mendekati keadaan sebenarnya (eksperimental).

3. Melakukan penelitian dengan material/bahan evaporator yang lain untuk mendapatkan bahan yang cocok dalam pembuatan evaporator sistem desalinasi air laut.


(44)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Dasar Desalinasi

Air asin merupakan larutan yang mengandung beberapa jenis zat terlarut seperti garam-garam, yang jumlahnya rata-rata 3 sampai 4,5 % (sedang air payau dibawah 3% diatas 0,05%). Dengan desalinasi maka air tawar dipisahkan dari air asin. Karena "desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi kandungan garam terlarut dari air asin dan juga air payau hingga level tertentu sehingga air dapat digunakan sebagai air bersih". Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu umpan berupa air asin (misalnya air laut) ataupun air payau, produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas tinggi. Produk proses desalinasi umumnya merupakan air dengan kandungan garam terlarut kurang dari 500 mg/l, yang dapat digunakan untuk keperluan industri, pertanian, dan domestik (kebutuhan air yang digunakan pada tempat-tempat hunian pribadi untuk memenuhi keperluan sehari-hari). Hasil sampingan dari proses desalinasi adalah brine. Brine adalah larutan garam berkonsentrasi tinggi (lebih dari 35000 mg/l garam terlarut). Metoda yang digunakan pada proses pengolahan air ini disebut desalinasi air asin.

Terdapat beberapa cara dan metode desalinasi diantaranya yang tradisonal adalah dengan menggunakan metode vacuum distillation. Prinsipnya yaitu dengan memanaskan air laut untuk menghasilkan uap air, yang selanjutnya dikondensasi untuk menghasilkan air bersih. Cara yang paling umum adalah menggunakan metode osmosis terbalik (reverse osmosis atau RO). Osmosis terbalik dianggap yang paling efektif dalam melakukan desalinasi dalam skala besar. Prinsip kerja metode ini adalah dengan mendesak air laut melewati membran-membran semi-permeabel untuk menyaring kandungan garamnya.

Proses desalinasi yang akan penulis bahas pada penelitian ini adalah solar desalinasi sistem vakum. Sistem vakum yang dimaksud adalah sistem pembuatan kondisi vakum pada peralatan yang digunakan untuk keperluan efisiensi seperti penurunan titik didih, titik uap, pengembunan, pemisahan fase dan penurunan tekanan (dimaksudkan agar aliran mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah)


(45)

Sistem vakum disini dimaksudkan untuk menurunkan titik penguapan sehingga air laut menguap pada temperatur yang lebih rendah dan hasil distilasi yang didapat lebih banyak dengan energi panas yang lebih sedikit (lebih efisien) serta untuk menarik lebih cepat (flowrate meningkat) dari wadah air laut ke dalam sisi ruang pemanas atau ruang evaporator sistem desalinasi.

Konsep dari sistem ini adalah memanfaatkan ruang vakum yang dibentuk secara alami untuk dapat mengevaporasikan sejumlah air laut pada tekanan yang lebih rendah dengan suplai energi panas yang lebih sedikit dibanding dengan teknik konvensional. Tekanan atmosfer akan sama dengan tekanan hidrostatis yang dibentuk dengan pipa air setinggi 10 meter. Jadi, jika ketinggian pipa lebih dari 10 meter dan ditutup dari bagian atas dengan air, dan air dibiarkan jatuh kebawah akibat gravitasi, air akan jatuh pada ketinggian sekitar 10 meter, dan membentuk ruang vakum diatasnya. Gambar 2.1 menunjukkan desalinasi sistem vakum. Selain desalinasi sistem vakum, masih banyak jenis lain sistem desalinasi bertenaga surya. (Ketut,dkk.2011)

Condensate Brine

Saline Water

Saline Water Tank Solar Heating System

Evaporator

C o n d e n s e r

10 m

Gambar 2.1. Desalinasi Sistem Vakum Natural 2.2 Korosi

Korosi adalah proses natural yang terjadi pada setiap logam yang dimana logam tersebut akan cenderung kembali ke keadaan oksida-nya yang lebih stabil, dengan kata lain korosi merupakan hasil destruktif dari reaksi kimia yang terjadi


(46)

antara logam dengan lingkungannya. Atom logam yang berada di alam ditemukan dalam bentuk mineral yang merupakan gabungan dari beberapa zat – zat kimia. Jumlah energi yang sama untuk mendapatkan logam dari mineral dikeluarkan kembali dalam reaksi kimiawi dalam pembentukan korosi. Korosi akan mengembalikan logam ke keadaan mineral yang mirip atau bahkan sama dengan keadaan ketika mineral logam ditambang, sehingga korosi sendiri juga dapat diartikan sebagai proses kebalikan dari extractive metallurgy (J.H.Payer, W.K

Boyd, D.B. Dippold, dan W.H Fisher. Mater, Perform)

Banyak material non-logam, seperti keramik, terdiri atas logam yang reakrivitas kimia-nya telah terpenuhi dari formasi ikatan – ikatan atom dengan ion lain contohnya seperti ion oksida dengan silika. Oleh karena itu, material tersebut tidak akan bereaksi dan lebih cenderung mengalami degradasi dengan faktor kekuatan mekanikal maupun temperatur daripada korosi. Material lain seperti polimer dan gelas, cenderung tidak mengalami reaksi kimia dengan lingkungannya, dan istilah korosi lebih mengarah ke degradasi, namun penggunaan polymer sebagai pelapis material logam yang kemudian mengalami kegagalan melalui degradasi digolongkan sebagai pengaruh korosi.

Korosi dapat menyebabkan adanya retakan maupun lubang dalam suatu permukaan logam, oleh karena korosi merupakan proses difusi yang mempengaruhi permukaan, metode pencegahan adalah dengan menggunakan pasivitas ataupun pelapisan yang tergantung pada kondisi lingkungan pengoperasian sebuah sistem.

2.2.1 Proses Terjadinya Korosi

Hampir semua proses korosi logam meliputi perpindahan muatan elektron dalam fasa aqueous. Sehingga, perlunya pembahasan tentang sifat

electrochemical untuk memahami proses terjadinya korosi.

2.2.1.1 Reaksi Elektrochemical

Berikut akan diberikan contoh korosi antara logam zinc dengan asam klorida yang dituliskan reaksinya sebagai berikut:


(47)

Zinc akan bereaksi dengan asam klorida dan membentuk larutan zinc klorida dan mengeluarkan hidrogen pada permukaannya, bentuk ion dari persamaan diatas adalah sebagai berikut:

Zn + 2H+ + 2Cl- ======> Zn2+ + 2Cl- +H2 (2) Dengan mengeliminasi Cl dari kedua sisi akan didapatkan:

Zn + 2H+ ========> Zn2+ + H2 (3)

Sehingga, reaksi korosi yang sama akan muncul pada asam klorida dan reaksi (2) dapat dipisahkan sebagai berikut:

Zn =====> Zn2+ + 2e- reaksi anoda (3) 2H+ ======> 2e- + H2 reaksi katoda (4)

Reaksi (3) didefinisikan sebagai reaksi anoda, merupakan reaksi oksidasi dimana elektron valensi zinc bertambah dari 0 menjadi +2. Melepaskan elektron, e, sedangkan reaksi (4), didefinisikan sebagai reaksi katoda, adalah reaksi reduksi dimana kondisi oksidasi hidrogen berkurang dari +1 menjadi 0, mengabsorbsi sebuah elektron.

Reaksi komposit yang melibatkan pertukaran muatan atau pertukarn elektron akan ditunjukkan pada gambar 2.2. Logam yang larut dalam reaksi (3) akan melepaskan elektron kedalam kumpulan logam yang akan bermigrasi ke permukaan yang kemudian bereaksi dengan H+ dalam larutan untuk membentuk H2 dalam reaksi (4). Air diperlukan sebagai pengangkut ion seperti Zn2+ dan H+ yang dinamakan elektrolit.

Ketika kelebihan elektron dipasok kedalam logam di gambar 2.2, selalu menunjukkan bahwa laju korosi yang dialami oleh reaksi anoda (3) berjalan lebih lambat daripada reaksi katoda (4). Semua reaksi korosi dalam air selalu melibatkan reaksi anoda seperti reaksi (3) sehingga aplikasi dari potensial negatif dari kehadiran kelebihan elektron akan selalu memperlambat laju korosi. Pembahasan mengenai laju korosi yang merupakan pemusatan penelitian akan dibahas lebih lanjut pada bagian 2.3.


(48)

Gambar 2.2 Diagram skematis dari kelarutan logam Mg (Principles and

Prevention of Corrotion, 2nd ed., halaman 6)

Inilah yang menjadi basis untuk menggunakan proteksi katoda sebagai perlindungan pada korosi jalur pipa, pengeboran minyak laut lepas, sampai pada logam yang digunakan pada evaporator.

2.2.1.2 Polarisasi

Reaksi electrochemical seperti yang terjadi pada (3) dan (4) hanya terjadi pada tingkatan tetap (taraf reaksi tetap). Jika elektron pada reaksi (4) diberlakukan, maka potensial pada permukaan akan menjadi lebih negatif, menunjukkan bahwa kelebihan elektron dengan muatan negatif berakumulasi pada permukaan logam/larutan menunggu untuk terjadinya reaksi sebagai hasil dari reaksi yang tidak mampu mengakomodasikan seluruh elektron. Perubahan potensial negatif ini dinamakan sebagai polarisasi katoda, begitu pula yang terjadi pada reaksi (3) ketika kehilangan efisiensi elektron pada logam dilepaskan pada permukaan yang akan menghasilkan perubahan potensial positif yang dinamakan polarisasi anoda. Ketika defisiensi menjadi lebih besar, polarisasi anoda akan berperan sebagai gaya penggerak terjadinya korosi oleh reaksi anoda (3).

Dalam kondisi larutan elektrolit aqueous, permukaan logam akan mencapai kondisi potensial tetap, Ecorr, yang berhubungan dengan kemampuan dan


(49)

kecepatan dimana elektron dapat bertukar dari reaksi katoda dan anoda yang ada. Ketika potensial permukaan meningkat dari Ecorr menuju E, maka laju reaksi

anoda atau laju korosi akan meningkat, seperti yang ditunjukkan gambar 2.3. Polarisasi anoda didefinisikan sebagai εa = E – Ecorr. Tanpa adanya polarisasi,

reaksi akan menimbulkan laju korosi yang sangat tinggi.

Gambar 2.3 Skema Pertambahan Laju Korosi pada Polarisasi (Principles and

Prevention of Corrotion, 2nd ed., halaman 8)

2.2.1.3 Pasivitas

Untuk kebanyakan logam , termasuk kobalt, besi, nikel, krom,stainless steel dan titanium, laju korosi akan menurun setelah melewati potensial batas, εp, seperti ditunjukkan pada gambar 2.4. Ketahanan korosi diatas batas ini, meskipun adanya gaya korosi yang tinggi (polarisasi anoda yang tinggi) disebut dengan pasivitas. Dibawah εp laju korosi logam kembali meningkat dengan perbedaan laju korosi antara batas dapat mencapai 103 sampai 106 kali. Pasivitas terjadi karena adanya pembentukan lapisan tipis oksida hidrasi, yang bertindak sebagai pelindung untuk reaksi pelarutan anoda. Kebanyakan logam memiliki range pasivitas tersendiri, sebagai contohnya stainless-steel type 304 akan memiliki pasivitas pada air laut aerasi namun tidak di air laut yang tidak ber-aerasi.

Mayoritas penggunaan logam untuk konstruksi maupun mesin mengandalkan pasivitas sebagai tindakan pencegahan korosi, contohnya seperti penambahan kromium dalam besi maupun nikel yang akan menghasilkan


(50)

stainless-steel. Akan tetapi, pasivitas bukanlah tanpa masalah, lapisan yang diciptakan oleh pasivitas cenderung tipis (berkisar 10μm) sehingga apabila lapisan tersebut mengalami breakdown maka pembentukan korosi berupa pitting, crevice sampai cracking dapat terjadi tanpa dapat terdeteksi. (Jones, Denny A. Principles

and Prevention of Corrotion. 2nd Ed. 1992)

Gambar 2.4 Pasivitas pada Potensial Oxidasi Diatas εp (Principles and Prevention

of Corrotion, 2nd ed., halaman 10)

2.2.1.4 Korosi Dalam Kajian Mekanikal

Dari segi perubahan fisik yang dialami material ketika mengalami korosi, kebanyakan mekanisme korosi telah memiliki kaidah/karakteristik masing

– masing yang telah ditetapkan, contohnya reaksi batangan besi (Fe) dengan gas oksigen (O2) serta air (H2O) yang paling umum dijumpai dalam kehidupan sehari

– hari akan menghasilkan karat besi (Fe2O3), hal ini telah ditetapkan bentuk – bentuk fasa korosi melalui kecendrungan ikatan – ikatan atom yang merupakan sifat kimiawi suatu bahan, bukanlah dari sifat mekanis suatu bahan.


(51)

Namun kajian mekanikal dapat terlihat dan dihubungkan dalam segi perubahan energi dalam proses terbentuknya korosi, Gejala korosi timbul secara alami, dimana pengaruhnya dialami oleh hampir semua zat dan diatur oleh perubahan-perubahan energi. Sesuai dengan hukum thermodinamika yaitu: - Keseimbangan Termodinamika Pertama: Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan.

- Keseimbangan Ternodinamika Kedua: Semua perubahan spontan terjadi disertai pelepasan energi bebas dari sistem ke lingkungan sekitar pada temperatur dan tekanan konstan.

Hukum thermodinamika ke – 0 merupakan prinsip dasar untuk pengukuran temperatur. Hukum thermodinamika ke – 0 dapat terpenuhi apabila terjadi tiga keseimbangan sekaligus yaitu :

- Keseimbangan Termal : setelah semua suhu sama pada setiap titik.

- Keseimbangan Mekanik : setelah tidak ada lagi gerakan, ekspansi atau kontraksi.

- Keseimbangan Kimia : setelah semua reaksi kimia berlangsung.

Pernyataan pertama atau hukum pertama thermodinamika sangat penting dalam pengkajian perubahan-perubahan yang terjadi ketika logam mengalami korosi. Pernyataan kedua atau hukum kedua thermodinamika menyatakan ketika korosi berlangsung secara alami, proses yang terjadi bersifat spontan dan disertai pelepasan energi bebas. Dalam keadaan yang sebebas-bebasnya, alam akan meminimumkan energi, dan dengan korosilah alam meminimumkan energi logam-logam.

Bentuk energi sangat banyak tetapi gaya penggerak yang menimbulkan korosi berasal dari energi kimia. Energi ini antara lain diturunkan dari energi yang tersimpan dalam ikatan-ikatan kimia zat yang disebut energi dalam (internal energi) sistem.


(52)

Sebuah konsep yang menjelaskan laju reaksi-reaksi korosi adalah teori keadaan peralihan (Transition State Theory), yang persamaannya :

A + B = C + D

Persamaan diatas merupakan bentuk ringkasan pernyataan, ‘Dua zat A dan B, yang dikenal sebagai reaktan, saling berinteraksi sedemikian rupa untuk

membentuk dua zat baru yaitu C dan D yang merupakan hasil reaksi’. Agar dapat menghasilkan zat-zat baru A dan B bukan hanya harus saling sentuh melainkan juga harus terpadu secara fisik, untuk membentuk suatu zat antara AB. Hal ini terjadi dalam waktu yang singkat dan jika reaktan-reaktan memiliki energi cukup dan orientasi keduanya untuk berpadu tepat. AB merupakan keadaan peralihan, dimana reorganisasi keadaan peralihan ini yang kemudian secara langsung menghasilkan C dan D.

Profil energi merupakan sebuah diagram yang berguna untuk menggambarkan perubahan-perubahan energi bebas yang berlangsung selama reaksi (gambar 2.5). Sumbu Y dalam diagram merupakan energi bebas, perubahan

energi ditulis dengan ∆G, dengan kesepakatan bahwa huruf delta capital (∆)

menyatakan ‘perubahan’. Sumbu X digunakan untuk koordinat reaksi dan dapat

dianggap menyatakan kearah mana proses bergerak maju.

Gambar 2.5. Diagram Profil Perubahan Energi Reaksi Korosi (http://ismantoalpha.blogspot.co.id/2009/12/macam-macam-korosi.html)


(53)

Dari gambar di atas menyatakan bahwa keadaan peralihan harus mempunyai energi bebas lebih tinggi dibanding jumlah energi-energi bebas pada masing-masing zat asal, yaitu A dan B. Pada umumnya, jumlah ini dinyatakan

dengan simbol ∆G+. Karena gambar diatas merupakan reaksi spontan maka energi-energi hasil reaksi, C dan D harus lebih rendah dari energi-energi reaktan,

A dan B, dengan selisih sebesar ∆G. Begitu terbentuk, keadaan peralihan dapat

berubah kembali menjadi reaktan atau terus berubah menjadi hasil reaksi.

Logam-logam dalam keadaan tidak bergabung dengan bahan lainnya, biasanya memiliki tingkat energi tinggi. Hal ini dijelaskan pada gambar 2.6 menggunakan profil energi untuk menggambarkan perubahan-perubahan thermodinamika yang dialami suatu atom logam, logam bila berdiri sendiri disebut atom logam, dan sesudah bergabung lagi disebut hasil korosi.

Gambar 2.6. Profil Energi Termodinamika untuk Logam dan Senyawanya (http://ismantoalpha.blogspot.co.id/2009/12/macam-macam-korosi.html)

Hukum thermodinamika mengungkapkan kecenderungan keadaan energi tinggi untuk merubah keadaan energi rendah. Kecenderungan inilah yang membuat logam-logam bergabung kembali yang akhirnya membentuk gejala yang disebut korosi.


(54)

Terakhir, pembahasan terbentuknya melalui gaya – gaya mekanis (seperti gaya tensile maupun gaya kompresi) tidak memiliki pengaruh yang signifikan atau bahkan tidak berpengaruh pada korosi dari material. Gaya kompresi tidak menyebabkan keretakan, dan pada kenyataannya gaya kompresi melalui teknik

shot-peening digunakan untuk menurunkan kemungkinan material logam

mengalami fatik, keretakan dari pengaruh Stress-Corrosion-Cracking (SCC). Akan tetapi gabungan dari gaya tensile dan pengaruh lingkungan korosi yang spesifik dapat menyebabkan kegagalan tiba-tiba melalui cracking pada struktur logam.

2.2.2 Jenis – Jenis Korosi pada Material Logam

Terdapat beberapa bentuk korosi yang ditunjukkan secara skematis di gambar 2.7 dan diurutkan sebagai berikut, yang selanjutnya akan dibahas satu persatu secara singkat:

A. Korosi yang dapat terlihat dan diidentifikasi secara langsung, meliputi 1. Uniform Corrosion

2. Galvanic Corrosion 3. Crevice Corrosion 4. Pitting Corrosion 5. Hydrogen Damage

B. Korosi yang memerlukan identifikasi tambahan atau alat Bantu, meliputi 6. Erosion Corrosion

7. Cavitation

8. Fretting Corrosion 9. Intergranullar Corrosion

C. Korosi yang memerlukan mikroskopi untuk identifikasinya, meliputi 10. Exfolation

11. Dealloying

12. Corrosion Fatigue


(55)

Uniform Corrosion merupakan korosi umum yang dialami sebagian besar

logam. Namun dampaknya bentuk korosi lainnya bersifat lebih berpusat, lebih susah dideteksi dan lebih merusak meskipun tidak menkomsumsi/mengenai seluruh material. Hydrogen damage lebih mengacu pada hasil metalurgi, tetapi tetap dibahas akibat frekuensi kejadiannya (Chattoraj, Indrianil.Jurnal

Fundamentals of Corrosion & Its Prevention.)

Gambar 2.7 Rangkuman Skema Jenis – Jenis Bentuk Korosi (Principles and


(56)

2.2.2.1 Uniform Corrosion

Apabila kerusakan permukaan logam bersifat merata/sejajar maka kerusakan dapat digolongkan kedalam uniform corrosion. Untuk dapat terjadinya

uniform corrosion, lingkungan korosif / reaksi harus dapat terjadi / bereaksi

dengan keseluruhan bagian dalam permukaan logam, ditambah logam itu sendiri harus merata baik secara metalurginya maupun komposisinya. Contoh yang paling mendasar dari korosi jenis ini adalah korosi yang disebabkan oleh atmosfer, contoh lainnya seperti korosi yang terjadi pada baja yang dicelupkan dalam larutan asam. Korosi jenis ini lebih dipilih dalam pandangan teknis apabila dibandingkan dengan korosi lokal/pemusatan lainnya karena dapat diprediksi sehingga dapat dijadikan sebuah faktor dalam perencanaan. Gambar 2.8 menunjukkan permukaan struktur baja bangunan yang telah mengalami uniform

corrosion.

Gambar 2.8 Uniform Corrosion pada Struktur Baja (corrosion.ksc.nasa.gov) 2.2.2.2 Galvanic Corrosion

Ketika dua logam didekatkan/dipasang dengan kehadiran elektrolit korosif, salah satu diantara logam tersebut akan mengalami korosi dan yang lain akan terlindung dari korosi itu sendiri. Ketika dua logam yang memiliki potensial korosi, Ecorr, berbeda maka salah satu logam dengan muatan positif atau muatan

yang lebih mulia akan terlindung sedangkan logam yang lainnya akan mengalami korosi, yang dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah. Dengan catatan material


(57)

campuran seperti stainless steel maupun nikel berada dalam kondisi pasivitas aktif (diatas εp).

Gambar 2.9 akan menunjukkan contoh galvanic corrosion diantara logam baja karbon yang dilas dengan sebuah stainless steel. Flens dari pipa baja tersebut akan mengalami korosi di sekitar sambungan las. Semakin menjauh dari las, maka korosi semakin susah terjadi akibat adanya resistensi pada jalur elektrolit, sehingga konduktivitas elektrolit hanya terjadi pada daerah keci di sambungan.

Tabel 2.1 Tabel Seri Galvanic Dalam Air Laut (Principles and Prevention of


(58)

Gambar 2.9 Proses Galvanisasi Stainless Steel dan Baja Karbon

(engineering.stackexchange.com)

2.2.2.3 Crevice Corrosion

Crevice corrosion adalah korosi berpusat yang terjadi dalam tempat

tertutup (crevice, lubang), yang dimana akses dari fluida yang bekerja dari lingkungan sangatlah terbatas. Formasi dari sel aerasi yang berbeda akan menimbulkan korosi didalam lubang tersebut. Contoh dari crevice sendiri adalah jarak antara bagian, bagian bawah dari gasket atau seal, didalam retakan, atau ruang yang dipenuhi dengan kotoran maupun sludge.

Korosi ini dipengaruhi oleh jenis crevice (metal atau metal-nonmetal), geometri crevice (bentuk, ukuran permukaan) dan faktor metalurgi serta lingkungan. Pemaparan suatu logam terhadap korosi ini telah ditentukan melalui prosedur standard ASTM dengan acuan temperatur batas crevice

corrosion sebagai indikator pengurutan ketahanan material. Korosi stainless-steel

dalam larutan aerasi garam telah menjadi fenomena umum crevice corrosion, campuran Fe,Cr dan Ni sebagai penyusun utama stainless steel akan berakumulais di crevicedan membentuk larutan asam yang sangat tinggi sehingga laju korosi di daerah tersebut juga mengalami peningkatan signifikan. Gambar 2.10 menunjukkan crevice corrosion yang terjadi pada sisi pipa APK dengan material stainless steel-316 di sistem desalinasi air laut


(59)

Gambar 2.10 Crevice Corrosion pada Stainless Steel 316 di APK Sistem Desalinasi Air Laut (Crevice Corrosion .Corrosionclinic.com. 2012)

2.2.2.4. Pitting Corrosion

Kondisi tertentu, seperti konsentrasi oksigen yang rendah atau konsentrasi kloridayang akan membentuk anion, dapat mempengaruhi kemampuan sebuah logam untuk membentuk kembali lapisan pasivitasnya. Pada kasus terparah, keseluruhan permukaan akan tetap terlindungi namun fluktuasi terpusat pada sebuah titik akan mengalami degradasi lapisan oksida hingga mencapai titk batas, korosi pada kondisi berikut dapat menyebabkan munculnya lubang korosi

(corrosion pits), Meskipun lubang korosi hanya terbentuk pada keadaan yang

ekstrim, mereka dapat terus menerus berlanjut bahkan ketika kondisi konsentrasi telah kembali normal, hal ini dikarenakan interior dari lubang korosi memiliki pH yang terus menurun (semakin asam) dan kadar oksigen yang semakin menipis sehingga proses autokatalis terjadi dan mempercepat laju korosi. Dalam kasus – kasus ekstrim lubang yang terlihat kecil dapat menjalar kedalam material sehingga menghasilkan konsentrasi tekanan yang cukup untuk merusak logam yang tangguh, kondisi ini sangatlah berbahaya dikarenakan deteksi serta identifikasi baru dapat dilakukan setelah terjadi kegagalan, dimana terlihat bahwa lubang yang berukuran kecil dapat menyembunyikan jalur/aliran retakan dan lubang yang


(60)

berukuran jauh lebih besar. Korosi jenis ini umum dijumpai pada logam passivasi, dan dapat dicegah dengan pengendalian lingkungan disekitar logam. Gambar 2.11 menunjukkan lubang (pit) yang dihasilkan akibat pitting corrosion dan Gambar 2.12 menunjukkan bentuk lubang (pit) yang mungkin terbentuk dalam pitting

corrosion.

Gambar 2.11 Pitting dan Crevice Corrosion dalam Material Stainless Steel yang Terpapar Larutan Besi Klorida (www.nap.edu)

Gambar 2.12 Skema Penjalaran Lubang (Pit) pada Pitting Corrosion

(Wikipedia.org)

2.2.2.5 Environmental Induced Corrosion

Korosi yang disebabkan oleh faktor lingkungan ini meliputi tiga jenis korosi, yaitu Stress Corrosion Cracking (SCC), Corrosion Fatigue Cracking (CFC), dan Hidrogen-Induced Cracking (HIC).

SCC terjadi pada logam dengan tegangan tensil dalam kondisi lingkungan tertentu. Logam murni cenderung memiliki ketahanan terhadap SCC ini. Sebuah lapisan permukaan pasif dibawah kondisi oksidasi harus hadir dan laju korosi SCC cenderung lambat, sebagai contohnya stainless steel tidak tahan terhadap


(61)

klorida panas. kuningan terhadap larutan ammonia, dan baja karbon terhadap nitrat dimana hal tersebut ditunjukkan oleh gambar 2.13.

CFC terjadi dalam siklus tekanan dalam lingkungan korosif. Kerentanan terhadap dan laju korosi dari keretakan fatik tanpa korosi biasanya bertambah karena adanya kehadiran lingkungan korosif. Baik logam maupun paduan dapat terpapar oleh korosi jenis ini, tanpa adanya lingkungan spesifik. Beach marks secara makroskopis biasanya dapat disaksikan ketika produk korosi diakumulasikan pada jalur keretakan. Akan tetapi, beach marks juga dapat terjadi apabila terdapat perbedaan pada deformasi mikroplastik ketika penjalaran keretakan terganggu, dan beach marks (yang ditunjukkan gambar 2.14) yang muncul dengan indikasi korosi yang sedikit atau tidak ada sama sekali.

HIC yang menyebabkan keretakan terjadi ketika difusi hidrogen dalam lattice logam mengalami evolusi hidrogen yang memproduksi atom hidrogen pada permukaan selama korosi electroplating, pembersihan atau proteksi katoda. Keretakan HIC diakselarasi oleh polarisasi katoda.HIC cenderung bersifat lebih dominan dibandingkan SCC pada karbon, logam baja paduan rendah, stainless steels, paduan aluminium, dan paduan titanium. HIC juga berkontribusi terhadap hilangnya umur fatik pada paduan logam kekuatan tinggi, dimana biasanya dipakai dalam pesawat terbang.

Gambar 2.13 Stress Corrosion Cracking pada Stainless Steel (www.twi-global.com)


(62)

Gambar 2.14 Beach Marks dalam Corrosion Fatigue Cracking (Principles and

Prevention of Corrotion, 2nd ed., halaman 18)

2.2.2.6 Hydrogen Damage

Serangan hidrogen adalah reaksi dari hidrogen dengan karbida dalam baja yang membentuk metana, sehingga menyebabkan dekarburisasi, kehampaan, dan tonjolan permukaan. Tonjolan hidrogen yang ditunjukkan oleh gambar 2.15 atau keretakan hidrogen yang lebih kecil dapat terlihat ketika kekosongan yang berisi hidrogen meledakpada permukaan material. Kekosongan terjadi ketika atom hidrogen berpindah dari permukaan material menuju ke bagian dalam material dimana kemudian hidrogen berkumpuldan membentuk tekanan internal untuk merobek dan mendeformasi logam secara lokal.

Formasi hidrat merapuhkan logam reaktif seperti titanium, zink, magnesium, tantalum, niobium, vanadium, uranium dan thorium.

Gambar 2.15 Tonjolan Hidrogen dalam Baja Karbon AISI 1020 (Principles and


(63)

2.2.2.7 Intergranullar Corrosion

Ketidak murnian reaktif dapat memisahkan atom logam atau elemen yang mengalami pasivitas seperti kromium dapat habis ketika berada dalam batas grain (grain boundaries). Sebagai hasilnya, batas grain atau tempat yang bersangkutan biasanya memiliki tingkat ketahanan korosi yang lebih rendah, korosi yang terjadi pada batas grain dapat menjadi lebih parah sehingga dapat mengakibatkan grain terjatuh dari permukaan, hal inilah yang disebut dengan intergranullar corrosion (IGC) yang biasanya juga banyak dijumpai pada sistem logam paduan.

Contoh bentuk IGC yang terjadi pada stainless steel jenis austenitik (ditunjukkan oleh gambar 2.16) dimana perlakuan panas akan menghabiskan batas grain kromium oleh reaksi metalurgi dengan karbon. Dimana struktru akan rentan terhadap korosi IGC, pada range temperatur 425 sampai 815oC (800 sampai 1500oF), kromium karbida (Cr23C6) akan menguap pada batas grain dan menghabiskan jumlah kromium pada daerah disekitar struktur.

Gambar 2.16 Intergranullar Corrosion pada Permukaan Stainless Steel Austentik yang Dilihat Menggunakan Mikroskopi (Principles and Prevention of Corrotion,

2nd ed., halaman 21)

2.2.2.8 Dealloying dan Dezincification

Sebuah elemen logam paduan yang aktif (bernilai negatif secara

electrochemical) yang mengalami pemecahan element secara luas cenderung


(64)

dengan dezincification, adalah contoh yang umum dijumpai. Zinc lebih aktif daripada tembaga dalam tabel galvanisasi dan siap meluluhkan kuningan, meninggalkan hasil korosi tembaga yang memiliki sifat mekanikal yang lemah.

Dezincification dapat secara mudah dikenali dengan warna merah dan cenderung

muncul dan terjadi dibawah lapisan dan kerusakan yang terjadi cenderung tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi seperti yang ditunjukkan oleh gambar 2.17. Masalah umum lainnya yang dijumpai adalah penggunaan tembaga sebagai komponen umum dalam suatu bangunan/struktru yang memiliki sifat lebih mulia apabila dibandingkan dengan material lain seperti nikel, silicon, dan aluminium yang kemudian luluh akibat korosi dezincification.

Gambar 2.17 Proses Dezincification dalam Kuningan (met-tech.com) 2.2.2.9 Erosion-Corrosion dan Fretting

Kombinasi dari fluida korosif dan kecepatan aliran yang tinggi akan menghasilkan korosi erosion-corrosion. Fluida yang stagnant atau berjalan-lambat akan menyebabkan laju korosi yang rendah sampai menengah, akan tetapi gerakan fluida yang cepat akan secara fisik mengkorosi dan menghilangkan lapisan protektif korosi, sehingga akan menunjukkan logam reaktif dibagian bawah lapisan. Pasir dan kotoran tambahan akan mempercepat korosi dan mempercepat serangan erosion-corrosion. Logam paduan yang memiliki kekuatan rendah dan bergantung pada lapsisan pelindung biasanya mengalami korosi jenis ini. Serangan korosi biasanya mengikuti arah dari aliran dan turbulensi disekitar permukaan logam. Erosion – corrosion merupakan jenis korosi yang umum


(1)

iii DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR GAMBAR ...v

DAFTAR TABEL ...vii

DAFTAR NOTASI ...viii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Tujuan Penelitian ...4

1.3 Manfaat Penelitian ...5

1.3 Batasan Masalah Penelitian ...6

1.6 Metodologi Penulisan ...6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Dasar Desalinasi ...7

2.2 Korosi ...8

2.2.1 Proses Terjadinya Korosi ...9

2.2.1.1 Reaksi Electrochemical ...9

2.2.1.2 Polarisasi ...11

2.2.1.3 Pasivitas ...12

2.2.1.4 Korosi Dalam Kajian Mekanikal ...13

2.2.2 Jenis – Jenis Korosi pada Material Logam ...17

2.2.2.1 Uniform Corrosion ...19

2.2.2.2 Galvanic Corrosion ...19

2.2.2.3 Crevice Corrosion ...21

2.2.2.4. Pitting Corrosion ...22

2.2.2.5 Environmental Induced Corrosion ...23

2.2.2.6 Hydrogen Damage ...25

2.2.2.7 Intergranullar Corrosion ...26

2.2.2.8 Dealloying dan Dezincification ...26

2.2.2.9 Erosion-Corrosion dan Fretting ...27

2.2.3 Jenis – Jenis Korosi pada Material Non – Logam...29

2.2.3.1 Korosi pada Polimer ...29

2.2.3.2 Korosi pada Gelas ...31

2.3 Perhitungan Laju Korosi ...32

2.3.1 Metode Weight Loss ...32

2.3.2 Metode Polarisasi ...35

2.4 Pengendalian Korosi dan Tindakan Pencegahan ...35

2.4.1 Pemilihan Material ...36

2.4.2 Perencanaan (Design) ...40

2.4.3 Pembersihan ...40

2.4.4 Metode Khusus ...41

2.5 Contoh Penelitian Mengenai Laju Korosi ...43

2.5.1 Penelitian dengan Metode Weight Loss ...43

2.5.2 Penelitian dengan Metode Polarisasi ...46


(2)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Parameter Penelitian (Design of Experiment) ...51

3.1.1 Komponen dan Fungsi ...53

3.1.2 Data Pengukuran Eksperimental ...54

3.2 Perhitungan Laju Korosi dengan Simulasi ...55

3.2.1 Identifikasi Parameter ...55

3.2.2 Variabel Yang Diamati ...56

3.2.3 Parameter Fluida ...56

3.2.4 Design of Eksperiment Simulasi (DoE Simulasi) ...57

3.2.5 Kerangka Konsep Pemodelan Numerik ...58

3.2.6 Setup Komputasi ...58

3.2.7 Diagram Alir Simulasi ...63

3.3 Kelengkapan Penelitian ...64

3.3.1 Waktu dan Tempat ...64

3.3.2 Alat dan Bahan ...64

3.3.2.1 Alat ...64

3.2.2.2 Bahan ...69

3.3.3 Prosedur Penelitian ...69

3.3.4 Jadwal Pelaksaan Penelitian / Schedule ...70

3.3.5 Estimasi Biaya Penelitian ...70

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Input dan Output Eksperimental ...72

4.2 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Eksperimental ...72

4.3 Hasil Laju Korosi Evaporator Dalam Simulasi ...78

4.4 Validasi Data ...83

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...88

5.2 Saran ...89

DAFTAR PUSTAKA ...ix


(3)

v DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Klasifikasi Sistem Desalinasi ...2

Gambar 1.2 Diagram Pourbaix (pH diagram) untuk Aluminium dan Logam ...3

Gambar 2.1 Desalinasi Sistem Vakum Natural ...8

Gambar 2.2 Diagram Skematis dari Kelarutan Logam Magnesium ...11

Gambar 2.3 Skema Pertambahan Laju Korosi pada Polarisasi ...12

Gambar 2.4 Pasivitas pada Potensial Oxidasi Diatas εp ...13

Gambar 2.5. Diagram Profil Perubahan Energi Reaksi Korosi ...15

Gambar 2.6. Profil Energi Termodinamika untuk Logam dan Senyawanya ...16

Gambar 2.7 Rangkuman Skema Jenis – Jenis Bentuk Korosi ...18

Gambar 2.8 Uniform Corrosion pada Struktur Baja ...19

Gambar 2.9 Proses Galvanisasi Stainless Steel dan Baja Karbon ...21

Gambar 2.10 Crevice Corrosion pada Stainless Steel 316 di APK ...22

Gambar 2.11 Pitting dan Crevice Corrosion dalam Material Stainless Steel yang Terpapar Larutan Besi Klorida ...23

Gambar 2.12 Skema Penjalaran Lubang (Pit) pada Pitting Corrosion ...23

Gambar 2.13 Stress Corrosion Cracking pada Stainless Steel ...24

Gambar 2.14 Beach Marks dalam Corrosion Fatigue Cracking ...25

Gambar 2.15 Tonjolan Hidrogen dalam Baja Karbon AISI 1020 ...25

Gambar 2.16 Intergranullar Corrosion pada Permukaan Stainless Steel Austentik yang Dilihat Menggunakan Mikroskopi ...26

Gambar 2.17 Proses Dezincification dalam Kuningan ...27

Gambar 2.18 Erosion-Corrosion dan Kavitasi yang Terjadi pada Elbow Joint Pipa Tembaga ...28

Gambar 2.19 Fretting Corrosion pada Baja ...29

Gambar 2.20 Ozone Cracking pada Polimer ...30

Gambar 2.21 Glass Disease pada Permukaan Gelas ...31

Gambar 2.22 Contoh dari Design untuk Mencegah Kejadian Crevice Corrosion ...40

Gambar 2.23 Proteksi Katoda ...42

Gambar 3.1 Permukaan Evaporator Sebelum Penelitian Dilakukan ...52

Gambar 3.2 Permukaan Evaporator Setelah 8 Hari Penelitian ...53

Gambar 3.3 Penjelasan Daerah – Daerah Simulasi ...57

Gambar 3.4 Model Simulasi 2 Dimensi ...59

Gambar 3.5 Domain Media Elektrolit (Air Laut) ...59

Gambar 3.6 Domain Katoda (Stainless Steel) ...60

Gambar 3.7 Domain Anoda (Besi) ...60

Gambar 3.8 Meshing Model Simulasi ...61

Gambar 3.9 Parameter Input Simulasi ...61

Gambar 3.10 Input Nilai Konduktivitas Elektrolit dalam Media Elektrolit ...62

Gambar 3.11 Input Nilai Temperatur Kerja Sistem ...62

Gambar 3.12 Paraneter Waktu Simulasi ...63

Gambar 3.13 Diagram Alir Simulasi ...63

Gambar 3.14 Tangki Air Laut ...64


(4)

Gambar 3.15 Evaporator ...65

Gambar 3.16 Kondensor...66

Gambar 3.17 Tube in Tube Heat Exchanger ...67

Gambar 3.18 Manometer ...68

Gambar 3.19 Timbangan Digital ...68

Gambar 3.20 Sistem Desalinasi Air Laut ...70

Gambar 3.21. Bagan Alir Penelitian Secara Keseluruhan ...71

Gambar 4.1 Berat Evaporator Sebelum dan Sesudah...74

Gambar 4.2 Evaporator dalam kondisi tertutup ...75

Gambar 4.3 Evaporator dalam kondisi terbuka ...75

Gambar 4.4 Simulasi Deformasi Permukaan Selama 1 Jam ...79

Gambar 4.5 Laju Korosi Selama 1 Jam ...80

Gambar 4.6 Deformasi dan Laju Korosi Selama 1 Hari Pengujian ...80

Gambar 4.7 Pengaruh Chlorida dan Sulfat dalam Air Laut ...81

Gambar 4.8 Grafik Pengaruh Laju Korosi Terhadap Tingkat Kerusakan Retakan ...83

Gambar 4.9 Grafik Statistik Perbandingan Laju Korosi Eksperimental dan Simulasi ...87


(5)

vii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Tabel Seri Galvanic Dalam Air Laut ... 20

Tabel 2.2 Perbandingan Satuan Laju Korosi dengan Nilai Resistensi Korosi ... 34

Tabel 2.3. Tabel Stabilitas dan Kecocokan Material Terhadap Faktor Lingkungan ... 39

Tabel 3.1 Tabel Desain Parameter Penelitian ... 52

Tabel 3.2 Tabel Komponen dan Fungsi ... 54

Tabel 3.3 Tabel Data Pengukuran Eksperimental ... 54

Tabel 3.4 Tabel Data Sifat Fisik Air Laut ... 56

Tabel 4.1 Tabel Input dan Output Secara Eksperimental ... 72

Tabel 4.2 Tabel Hasil Perhitungan Laju Korosi Secara Eksperimental ... 73

Tabel 4.3 Tabel Hasil Laju Korosi dari Eksperiment dan Simulasi ... 83

Tabel 4.4 Perbandingan Kenaikan Laju Korosi Per-Jam Secara Eksperimental dan Simulasi ... 84


(6)

DAFTAR NOTASI

Simbol Definisi Satuan

MPY1 Laju korosi per tahun mils/tahun

MPY2 Laju korosi per tahun mm/tahun

W0 Berat mula – mula evaporator mg

W1 Berat setelah 8 hari kerja evaporator mg

W Weight Loss/kehilangan berat mg

D Density/massa jenis gram/cm3

A Area/luas daerah yang terpapar korosi inch atau cm2

T Time/waktu terpaparnya evaporator