Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B Kompleks Yang Diproduksi Oleh Pt. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

(1)

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI

OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

TUGAS AKHIR

OLEH:

YULITA ARMIYA

NIM 122410079

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

ANALIS FARMASI DAN MAKANAN

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

(3)

ii

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan Tugas Akhir berjudul ”UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN”. Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan pendidikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., Ketua Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan.

3. Bapak Drs. Agusmal Dalimunthe M.S., Apt., selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh perhatian hingga Tugas Akhir ini selesai.

4. Bapak Yogi Sugianto S.Farm., Apt., selaku Pembimbing Praktek Kerja Lapangan di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang telah


(4)

iii

membimbing dan memberikan banyak ilmu dan arahan pada saat Praktek Kerja Lapangan.

5. Bapak Dr., Muchlisyam, M.Si., Apt., sebagai Dosen Penasehat Akademis yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada penulis dalam hal Akademis setiap semester.

6. Dosen dan Pegawai Fakultas Farmasi Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan yang berupaya mendukung kemajuan mahasiswa. 7. Seluruh Staf dan Pegawai PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang

telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam melaksanakan Praktek Kerja Lapangan.

8. Teman-teman PKL yang saling mendukung dan bahu membahu selama PKL hingga Tugas Akhir ini selesai dan teman-teman mahasiswa Analis Farmasi dan Makanan stambuk 2012 semuanya tanpa terkecuali, adik-adik stambuk 2013 dan 2014 yang tidak disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya selama ini, serta masukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

9. Serta pihak-pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Teristimewa kedua orang tua penulis yaitu Alm. Ayahanda Suhaili Ismail dan Ibunda Ulfa haini serta saudara-saudara penulis yaitu Kakak Qamarul Laily, Emalyn Senorita dan Mona Maya Mita yang selalu memberikan doa serta semangat, perhatian, dorongan dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam penyelesaian tugas akhir ini.


(5)

iv

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian tugas akhir ini terdapat kekurangan dan kelemahan serta masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua dan harapan penulis semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin yaa Rabbal Alamin.

Medan, April 2015 Penulis,

Yulita Armiya NIM 122410079


(6)

v

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Latar Belakang: Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, sehingga mutu merupakan ketentuan konsumen, bukan produsen atau pemasok. Pengawasan terhadap mutu bahan baku riboflavin perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap mutu bahan baku riboflavin harus dilakukan sebelum diproses menjadi sediaan.

Tujuan: Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dari bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet vitamin B kompleks memenuhi syarat seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi IV.

Hasil: Hasil pengukuran didapatkan bahwa riboflavin memenuhi spesifikasi pemerian serbuk hablur kuning atau orange kuning, kelarutan sangat sukar larut dalam air praktis tidak larut dalam etanol 96%, susut pengeringan maks 1,5%, suhu lebur ± 280ºC dan kadar yang diperoleh adalah 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Kesimpulan: Hasil pemeriksaan bahan baku riboflavin yang telah ditetapkan pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III dan IV.

Kata kunci: riboflavin, mutu, bahan baku, pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, kadar.


(7)

vi

QUALITY TEST SUBSTANCE RIBOFLAVIN AS

BASIC SUBSTANCE VITAMIN B COMPLEX THAT PRODUCTION BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Background: Quality is all of characteristics a product or service that support ability a product or the service forward to satisfied need that evident or the real need, so that quality is certained the consument, neither producer nor supplier. Supervision quality basic substance riboflavin it needs to do it because if there are not fullfill condition can lose out the consument. However, inspection quality basic substance riboflavin have to do before in process can be ready.

Objective: The test have to objective to know quality from basic substance riboflavin it can be used special quality in formulation vitamin B complex tablet dosage is form fullfill condition like officially stamped of Indonesia Farmakope edition IV.

Result: The result of measure it getting that riboflavin fullfill specification form dust the yellow crystal or orange yellow, dissolved is very difficult dissolve in practis water is not dissolve in etanol 96%, decrease warming max 1,5%, melted temperature ± 280ºC and the degree getting are 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Conclution: The result of inspection basic substance riboflavin decided form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and the degree have fullfilled condition of Indonesia Farmakope Edition III and IV.

Keywords: riboflavin, quality basic substance, form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and degree.


(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan dan Manfaat ... 3

1.2.1. Tujuan ... 3

1.2.2. Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Obat ... 4

2.2. Bahan Baku ... 5

2.3. Uji Mutu Bahan Baku ... 6

2.3.1. Pemerian ... 6


(9)

viii

2.3.3. Susut Pengeringan ... 7

2.3.4. Suhu Lebur ... 7

2.3.5. Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis ... 7

2.4. Vitamin ... 8

2.4.1. Fungsi Vitamin ... 9

2.4.2. Vitamin Larut Lemak ... 9

2.4.3. Vitamin Larut Air ... 10

2.5. Vitamin B2 (Riboflavin) ... 10

2.5.1. Indikasi ... 14

2.5.2. Farmakologi ... 14

2.6. Metode Analisis Vitamin B2 (Riboflavin) ... 15

2.6.1. Metode Spektrofotometri ... 15

2.7. Spektrofotometer ... 15

2.7.1. Spektrofotometer UV-Vis ... 15

2.7.2. Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis ... 16

BAB III METODOLOGI ... 19

3.1. Tempat ... 19

3.2. Alat-alat ... 19

3.3. Bahan-bahan ... 19

3.4. Prosedur ... 19

3.4.1. Pemerian ... 19


(10)

ix

3.4.3. Susut Pengeringan ... 20

3.4.4. Suhu Lebur ... 21

3.4.5. Pembuatan Larutan Baku ... 22

3.4.6. Pembuatan Larutan Uji ... 22

3.4.7. Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis ... 22

3.4.8. Perhitungan ... 23

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1. Hasil ... 25

4.2. Pembahasan ... 26

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

5.1. Kesimpulan ... 27

5.2. Saran ... 27


(11)

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Data Hasil Pemeriksaan Bahan Baku ... 25


(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Struktur Riboflavin ... 12


(13)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Bahan Baku ... 30

Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku ... 32

Lampiran 3. Hasil Absorban Larutan Uji ... 33

Lampiran 4. Hasil Absorban Larutan Standart ... 34

Lampiran 5. Gambar Alat Digital Semi Micro Balance ... 35

Lampiran 6. Gambar Alat Melting Point Analyzer ... 35

Lampiran 7. Gambar Alat Moisture Analyzer ... 36


(14)

v

UJI MUTU BAHAN BAKU RIBOFLAVIN SEBAGAI

BAHAN BAKU VITAMIN B KOMPLEKS YANG DIPRODUKSI OLEH PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstrak

Latar Belakang: Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat, sehingga mutu merupakan ketentuan konsumen, bukan produsen atau pemasok. Pengawasan terhadap mutu bahan baku riboflavin perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap mutu bahan baku riboflavin harus dilakukan sebelum diproses menjadi sediaan.

Tujuan: Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui mutu dari bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet vitamin B kompleks memenuhi syarat seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi IV.

Hasil: Hasil pengukuran didapatkan bahwa riboflavin memenuhi spesifikasi pemerian serbuk hablur kuning atau orange kuning, kelarutan sangat sukar larut dalam air praktis tidak larut dalam etanol 96%, susut pengeringan maks 1,5%, suhu lebur ± 280ºC dan kadar yang diperoleh adalah 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Kesimpulan: Hasil pemeriksaan bahan baku riboflavin yang telah ditetapkan pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III dan IV.

Kata kunci: riboflavin, mutu, bahan baku, pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, kadar.


(15)

vi

QUALITY TEST SUBSTANCE RIBOFLAVIN AS

BASIC SUBSTANCE VITAMIN B COMPLEX THAT PRODUCTION BY PT. KIMIA FARMA (PERSERO) TBK. PLANT MEDAN

Abstract

Background: Quality is all of characteristics a product or service that support ability a product or the service forward to satisfied need that evident or the real need, so that quality is certained the consument, neither producer nor supplier. Supervision quality basic substance riboflavin it needs to do it because if there are not fullfill condition can lose out the consument. However, inspection quality basic substance riboflavin have to do before in process can be ready.

Objective: The test have to objective to know quality from basic substance riboflavin it can be used special quality in formulation vitamin B complex tablet dosage is form fullfill condition like officially stamped of Indonesia Farmakope edition IV.

Result: The result of measure it getting that riboflavin fullfill specification form dust the yellow crystal or orange yellow, dissolved is very difficult dissolve in practis water is not dissolve in etanol 96%, decrease warming max 1,5%, melted temperature ± 280ºC and the degree getting are 98,03%, 99,07%, 100,07%, 98,98%.

Conclution: The result of inspection basic substance riboflavin decided form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and the degree have fullfilled condition of Indonesia Farmakope Edition III and IV.

Keywords: riboflavin, quality basic substance, form, dissolved, decrease of warming, melted temperature, and degree.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Mutu adalah keseluruhan ciri dan karakteristik suatu produk atau layanan yang mendukung kemampuan produk atau layanan itu untuk memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau kebutuhan yang tersirat (Siregar, 2010).

Mutu harus dijaga mulai dari perencanaan terhadap produk, termasuk perencanaan terhadap bangunan, ruang-ruang, ventilasi, kebersihan, dan sanitasi lingkungan yang akan mendukung proses produksi nantinya (Lachman, dkk., 1994).

Vitamin merupakan suatu molekul organik yang sangat diperlukan oleh tubuh untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang sangat cukup, oleh karena itu, harus diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi (Budiyanto, 2009).

Riboflavin dalam bentuk murni diperoleh dari isolasi ragi, hati, putih telur dan susu. Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi dari persenyawaan ribosa (satu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning orange yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Sumber riboflavin terutama berasal dari hasil ternak. Hati, ginjal, dan jantung mengandung riboflavin dalam jumlah yang sangat tinggi (Budiyanto, 2009).

Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun tidak berkhasiat (zat non aktif / eksipien), yang berubah maupun tidak berubah,


(17)

2

yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat didalam produk ruahan (Siregar, 2010).

Komponen bahan baku adalah bahan aktif, bahan tambahan dan bahan pengemas. Pada bentuk sediaan tablet bahan bakunya adalah bahan aktif (active pharmacetical ingredient), bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pengembang, dan bahan pelicin. Dalam hal tertentu bisa juga ditambahkan bahan lain, bahan pewarna, penambah rasa, antioksidan. Di industri PT. Kimia Farma Plant. Medan salah satu tablet yang diproduksi adalah vitamin B kompleks. Salah satu Bahan aktifnya adalah riboflavin harus memenuhi spesifikasi Farmakope Edisi III meliputi pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan kadar. Guna pemeriksaan bahan baku untuk menyesuaikan persyaratan spesifikasi, serta menghindari pemalsuan.

Pada industri PT. Kimia Farma Plant. Medan pemeriksaan bahan baku dilakukan oleh laboratorium Quality Control. Berdasarkan hal diatas maka penulis ingin berpartisipasi ikut melakukan pemeriksaan bahan baku pada industri tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul tugas akhir sebagai berikut ”Uji Mutu Bahan Baku Riboflavin Sebagai Bahan Baku Vitamin B Kompleks”. Dalam tugas akhir ini data yang ditampilkan adalah hasil pemeriksaan bahan baku riboflavin pada siklus pertama tahun 2015 produksi vitamin B kompleks PT. Kimia Farma Plant. Medan.


(18)

3 1.2 Tujuan dan Manfaat

1.2.1 Tujuan

Untuk mengetahui apakah mutu bahan baku riboflavin yang akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet Vitamin B Kompleks memenuhi syarat atau tidak seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV.

1.2.2 Manfaat

Untuk mengetahui mutu bahan baku riboflavin, serta menambah pengetahuan dan keterampilan, khususnya tentang uji mutu bahan baku riboflavin sebagai zat aktif untuk pembuatan vitamin B kompleks.


(19)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Obat

Obat adalah unsur aktif secara fisiologi dipakai dalam diagnosis, pencegahan, pengobatan, atau penyembuhan suatu penyakit pada manusia atau hewan. Obat dapat berasal dari alam diperoleh dari sumber mineral, tumbuh-tumbuhan atau hewan atau dapat dihasilkan dari sintesis kimia organik atau biosintesis (Ansel, 1989).

Menurut undang-undang, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Syamsuni, 2007).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tapi banyak kejadian yang mengakibatkan seseorang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 2007).


(20)

5 2.2 Bahan baku

Menurut Dirjen POM (2012), bahan aktif obat adalah tiap bahan yang digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat akan menjadi zat aktif obat tersebut. Bahan tersebut bertujuan untuk menghasilkan khasiat farmakologi atau memberikan efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit, atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

Semua bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan resmi farmakope atau persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan–bahan yang dibeli harus sesuai dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati (Siregar, 2010).

Formulasi pembuatan tablet vitamin B kompleks yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma Plant. Medan

R/ Thiamin mononitrat 2 mg Riboflavina 2 mg Pyridoksina 2 mg Nikotinamide 2 mg Kalsium Pantotenat 10 mg Bobot vitamin B kompleks 100 mg.


(21)

6 2.3 Uji Mutu Bahan Baku

2.3.1 Pemerian

Pemerian memuat paparan mengenai sifat zat yang diuraikan secara umum terutama meliputi wujud, rupa, warna, rasa, bau dan untuk beberapa hal dilengkapi dengan sifat kimia atau sifat fisiknya, dimaksudkan untuk dijadikan petunjuk dalam pembuatan, peracikan dan penggunaan, di samping juga berguna untuk membantu pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian. Karena itu, pernyataan yang terdapat di dalamnya tidak cukup kuat dijadikan syarat baku (Ditjen POM, 1984).

2.3.2 Kelarutan

Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian umum kadang-kadang perlu digunakan, tanpa mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20º dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh menunjukkan sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu. Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa 1g zat padat atau 1 ml zat cair dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan suatu zat tidak diketahui dengan pasti, kelarutannya dapat ditunjukkan dengan kelarutan yang tertera pada kelarutan dalam etanol merupakan syarat baku obat yang bersangkutan (Ditjen POM, 1984).


(22)

7 2.3.3 Susut Pengeringan

Susut pengeringan adalah banyaknya bagian zat yang mudah menguap, termasuk air, ditetapkan dengan cara pengeringan, kecuali dinyatakan lain, dilakukan pada suhu 105º hingga bobot tetap (Ditjen POM, 1984).

Prosedur ini digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan yang mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Untuk zat yang diperkirakan mengandung air sebagai satu-satunya bahan mudah menguap, cara yang terdapat pada penetapan kadar air sudah memadai dan dicantumkan dalam masing-masing monografi (Ditjen POM, 1995).

2.3.4 Suhu Lebur

Suhu lebur zat adalah suhu pada saat zat tepat melebur seluruhnya yang ditunjukkan pada saat fase padat tepat hilang (Ditjen POM, 1984).

Dalam farmakope, jarak lebur atau suhu lebur zat padat didefinisikan sebagai rentang suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna (Ditjen POM, 1995).

2.3.5 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometri serap adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnet panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik, yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190 nm – 380 nm) atau pada daerah cahaya tampak (panjang gelombang 380 nm – 780 nm) (Ditjen POM, 1984).

Identifikasi zat secara spektrofotometri pada daerah ultraviolet pada umumnya dilakukan dengan menggambarkan spektrum serapan larutan zat dalam


(23)

8

pelarut, dan dengan kadar seperti yang tertera pada monografi, untuk menetapkan letak serapan maksimum atau minimum (Ditjen POM, 1984).

Penetapan secara kuantitatif dilakukan dengan mengukur serapan larutan zat dalam pelarut serta pada panjang gelombang tertentu. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan maksimum dan yang umumnya telah dicantumkan pada monografi (Ditjen POM, 1984).

2.4 Vitamin

Vitamin adalah zat-zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil dan pada umumnya tidak dapat dibentuk oleh tubuh. Oleh karena itu, harus didatangkan dari makanan. Vitamin termasuk kelompok zat pengatur pertumbuhan dan pemeliharaan kehidupan. Tiap vitamin mempunyai tugas spesifik di dalam tubuh. Karena vitamin adalah zat organik maka vitamin dapat rusak karena penyimpanan dan pengolahan (Almatsier, 2009).

Vitamin dikenal sebagai mikronutrien karena vitamin dibutuhkan pada makanan manusia hanya dalam jumlah miligram atau mirogram per hari. Vitamin masuk ke dalam tubuh bersama makanan. Kebutuhan tubuh akan berbagai vitamin tidak sama setiap hari sebab masing-masing vitamin mempunyai fungsi yang berbeda. Jumlah kebutuhan vitamin per hari ada yang dapat ditentukan dengan pasti dan ada yang tidak (Sumardjo, 2009).

Kebutuhan tubuh akan vitamin ada batasnya. Kelebihan suatu vitamin tidak selalu dibuang, tetapi ada juga yang disimpan. Contohnya vitamin A, disimpan dalam jumlah besar di hati, sedangkan penyimpanan vitamin K dalam hati terbatas. Untuk vitamin-vitamin yang penyimpanannya dalam tubuh terbatas,


(24)

9

diperlukan tambahan setiap hari dan hal ini diperoleh dari makanan (Sumardjo, 2009).

Vitamin dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) vitamin larut lemak: vitamin A, D, E, dan K; dan (2) vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin larut air disimpan dalam tubuh hanya dalam jumlah terbatas dan sisanya dibuang, sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain merupakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Sebaliknya vitamin larut lemak dapat disimpan dalam jumlah banyak, sehingga untuk timbulnya gejala defisiensi dibutuhkan waktu lebih lama dan kemungkinan terjadinya toksisitas jauh lebih besar dari pada vitamin larut air (Setiabudy, 2007).

2.4.1 Fungsi Vitamin

Vitamin berperan dalam beberapa tahap reaksi metabolisme energi, pertumbuhan, dan pemeliharaan tubuh, pada umumnya sebagai koenzim atau sebagai bagian dari enzim. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk apoenzim, yaitu vitamin yang terikat dengan protein (Almatsier, 2009).

2.4.2 Vitamin Larut Lemak

Vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) diabsorpsi dengan cara yang kompleks dan sejalan dengan absorpsi lemak. Vitamin-vitamin ini disimpan terutama di hati dan diekskresi melalui feses. Karena metabolismenya sangat lambat, dosis yang berlebihan dapat menimbulkan efek toksik (Setiabudy, 2007).


(25)

10

Vitamin larut dalam lemak, pada umumnya stabil terhadap pemasakan, namun kandungannya dalam bahan makanan akan berkurang bila bahan makanan tersebut menjadi tengik, kering, atau layu. Penyerapan vitamin golongan ini dalam usus membutuhkan lemak dalam makanan dan aktivitas asam-asam empedu. Kelebihan vitamin akan disimpan dalam tubuh, terutama di hati (Sumardjo, 2009). 2.4.3 Vitamin Larut Air

Vitamin larut air terdiri dari vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks mencakup sejumlah vitamin dengan rumus kimia dan efek biologik yang sangat berbeda yang digolongkan bersama karena dapat diperoleh dari sumber yang sama, antara lain hati dan ragi. Yang termasuk dalam golongan vitamin ini adalah: tiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2), asam nikotinat (niasin), piridoksin (vitamin B6), asam pantotenat, biotin, kolin, inositol, asam para-amino benzoat, asam folat dan sianokobalamin (vitamin B12) (Setiabudy, 2007).

Sebagian besar vitamin larut air merupakan komponen sistem enzim yang banyak terlibat dalam membantu metabolisme energi. Vitamin larut air biasanya tidak disimpan di dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin dalam jumlah kecil. Oleh sebab itu vitamin larut air perlu dikonsumsi tiap hari untuk mencegah kekurangan yang dapat mengganggu fungsi tubuh normal (Almatsier, 2009). 2.5 Vitamin B2 (Riboflavin)

Vitamin B2 (riboflavin) sangat penting dalam berbagai proses yang terjadi didalam sel, terutama yang menghasilkan energi dan metabolisme asam amino.


(26)

11

Sumber makanan yang banyak mengandung vitamin B2 adalah produk-produk olahan susu, daging, ikan dan unggas (Kristanti, 2010).

Riboflavin terutama berfungsi sebagai komponen koenzim Flavin Adenin Dinukleotida (FAD) dan Flavin Adenin Mononukleotida (FMN). Kedua enzim flavoprotein terlibat dalam reaksi oksidasi-reduksi berbagai jalur metabolisme energi dan mempengaruhi respirasi sel (Almatsier, 2009).

Riboflavin yang berwarna kuning jingga sangat sukar larut dalam air, dalam pelarut organik praktis tidak larut. Sebaliknya senyawa ini larut baik dalam asam klorida pekat ataupun dalam larutan alkali hidroksida encer dengan pembentukan garam secara mudah. Larutan dalam basa terurai dengan cepat. Penentuan kadar dilakukan dengan penentuan ekstinksi larutan riboflavin pada 444 nm. Kadarnya selanjutnya dihitung dengan bantuan ekstinksi jenis (Schunack, dkk., 1990).

Riboflavin dalam bentuk murni diperoleh dari isolasi ragi, hati, putih telur, dan susu. Vitamin ini dinamakan riboflavin karena terjadi dari persenyawaan ribosa (suatu gula lima karbon) dengan suatu zat berwarna kuning oranye yang memberikan fluoresensi kuning kehijauan pada larutan. Sifat riboflavin larut dalam air dan tahan panas di dalam larutan netral atau asam, namun dapat rusak bila dipanaskan dalam larutan basa atau bila kena sinar matahari (Kusharto, 1992). Penyebab kekurangan vitamin B2 jarang terjadi, kecuali di daerah-daerah dimana makanan terutama berupa padi giling. Kekurangan vitamin ini juga bisa terjadi pada:


(27)

12 • Penderita penyakit hati • Penderita diare menahun

Gejala yang paling sering terjadi adalah luka terbuka di sudut mulut, yang diikuti dengan bibir pecah-pecah, yang bisa meninggalkan jaringan parut. Jika didaerah mulut terjadi thrush (suatu infeksi jamur), akan tampak bercak-bercak putih keabuan. Warna lidah berubah menjadi magenta dan pada daerah diantara hidung dan bibir muncul bercak-bercak berminyak (seboroik). Kadang tumbuh pembuluh darah ke dalam kornea, menyebabkan mata silau. Pada laki-laki kulit buah zakar mengalami peradangan (Kristanti, 2010).

Menurut Dirjen POM (1995), sifat fisika dan kimia riboflavin adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1. Struktur Riboflavin Rumus molekul : C17H2ON4O6

Berat molekul : 376,37

Pemerian : Serbuk hablur, kuning hingga kuning jingga; bau lemah. Melebur pada suhu lebih kurang 280º. Larutan jernihnya netral terhadap lakmus. Jika kering tidak begitu dipengaruhi oleh cahaya terdifusi, tetapi dalam larutan


(28)

13

cahaya sangat cepat menyebabkan peruraian, terutama jika ada alkali.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam larutan natrium klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam larutan alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam kloroform.

Baku pembanding : Riboflavin BPFI; lakukan pengeringan pada suhu 105º sebelum digunakan.

Identifikasi : Larutan 1 mg dalam 100 ml air dilihat dengan cahaya yang ditransmisikan larutan berwarna kuning pucat kehijauan, berfluoresensi hijau kekuningan intensif, yang dengan penambahan asam mineral atau alkali, fluoresensi hilang.

Susut pengeringan : Tidak lebih dari 1,5%, lakukam pengeringan pada suhu 105º selama 2 jam, menggunakan 500 mg.

Syarat kadar : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C17H2ON4O6, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Perhitungan penetapan kadar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

C

��


(29)

14 Keterangan :

C : Kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml Iu : Serapan Larutan Uji

Is : Serapan Larutan Baku 2.5.1 Indikasi

Penggunaanya yang utama adalah untuk pencegahan dan terapi defisiensi vitamin B2 yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vitamin B kompleks lainnya, sehingga riboflavin sering diberikan bersama vitamin lain. Dosis untuk pengobatan adalah 5-10 mg/hari (Setiabudy, 2007).

Kebutuhan riboflavin per hari untuk bayi sekitar 0,6 mg; anak-anak dan orang dewasa sekitar 0,9-2,5 mg, sedangkan untuk ibu-ibu selama hamil dan menyusui sekitar 3 mg. Defisiensi riboflavin dapat menyebabkan luka-luka khas pada bibir (cheilocis), radang pada lidah (glossitis), dan radang pada selaput mata (conjunctivis) (Sumardjo, 2009).

2.5.2 Farmakologi

Defisiensi riboflavin ditandai dengan gejala sakit tenggorok dan radang di sudut mulut (stomatitis angularis), keilosis, glositis, lidah berwarna merah dan licin. Timbul dermatitis seboroik di muka, anggota gerak dan seluruh badan. Gejala-gejala pada mata adalah fotofobia, lakrimasi, gatal dan panas (Setiabudy, 2007).


(30)

15

2.6 Metode Analisis Vitamin B2 (Riboflavin) 2.6.1 Metode Spektrofotometri

Larutan riboflavin dalam dapar pH 4,0 menunjukkan absorbansi

maksimum (λ maks) pada 444 nm dengan �1�� 1%

320. Cara ini digunakan untuk menetapkan kemurnian riboflavin atau untuk penetapan riboflavin dengan kadar lebih besar dari 90%. Penetapan riboflavin dilakukan dengan cara terlindung dari cahaya (Rohman, 2008).

Cara penetapan riboflavin tunggal secara spektrofotometri: lebih kurang 100 mg riboflavin yang ditimbang saksama dilarutkan dengan pemanasan dalam campuran 2 mL asam asetat glasial dan 150 mL air. Larutan selanjutnya diencerkan dengan air, didinginkan, ditambah air secukupnya hingga 1000 mL. Pada 10,0 mL larutan ditambah 3,5 mL natrium asetat 0,1 M kemudian ditambah air secukupnya hingga 100 mL. Larutan akhir diukur absorbansinya dengan kuvet 1 cm pada panjang gelombang 444 nm. Kadar riboflavin dihitung dengan menggunakan riboflavin baku sebagai pembanding (Rohman, 2008).

2.7 Spektrofotometer

2.7.1 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut


(31)

16

ditransmisikan, direfleksikan, atau diemisikan sebagai fungsi panjang gelombang (Khopkar, 2008).

Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan sinar tampak terdiri atas suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan sinar monokromatis dalam jangkauan panjang gelombang 200-800 nm (Rohman, 2007).

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

2.7.2 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut ”spektrometer” atau spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: (1) sumber tenaga radiasi yang stabil, (2) sistem yang terdiri atas


(32)

lensa-17

lensa, cermin, celah-celah, dan lain-lain, (3) monokromator untuk mengubah radiasi menjadi komponen-komponen panjang gelombang tunggal, (4) tempat cuplikan yang transparan, dan (5) detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat (Sastrohamidjojo, 1991).

Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi: a. Sumber tenaga radiasi

Sumber radiasi ultraviolet. Sumber-sumber radiasi ultraviolet yang kebanyakan digunakan adalah lampu hidrogen dan lampu deuterium. Mereka terdiri dari sepasang elektroda yang terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium pada tekanan yang rendah. Bila tegangan yang tinggi dikenakan pada elektroda-elektroda, maka akan dihasilkan elektron-elektron yang mengeksitasikan elektron-elektron-elektron-elektron lain dalam molekul gas ke tingkatan tenaga yang tinggi. Bila elektron-elektron kembali ke tingkat dasar mereka melepaskan radiasi yang kontinyu dalam daerah sekitar 180 dan 350 nm. Sumber radiasi ultraviolet yang lain adalah lampu xenon, tetapi ia tidak se stabil lampu hidrogen (Sastrohamidjojo, 1991).

b. Monokromator

Seperti kita ketahui bahwa sumber radiasi yang umum digunakan menghasilkan radiasi kontinu dalam kisaran panjang gelombang yang lebar. Dalam spektrometer, radiasi yang polikromatik ini harus diubah menjadi radiasi monokromatik. Ada dua jenis alat yang digunakan untuk mengurai radiasi polikromatik menjadi monokromatik yaitu penyaring dan monokromator. Penyaring dibuat dari benda khusus yang hanya meneruskan radiasi pada daerah


(33)

18

panjang gelombang tertentu dan menyerap radiasi dari panjang gelombang yang lain. Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang-gelombang tunggalnya dan memisahkan panjang gelombang-gelombang tersebut menjadi jalur-jalur yang sangat sempit (Sastrohamidjojo, 1991).

c. Tempat cuplikan

Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet atau terlihat yang biasanya berupa gas atau larutan ditempatkan dalam sel atau cuvet. Untuk daerah ultraviolet biasanya digunakan Quartz atau sel dari silika yang dilebur, sedangkan untuk daerah terlihat digunakan gelas biasa atau quartz (Sastrohamidjojo, 1991). d. Detektor

Setiap detektor menyerap tenaga foton yang mengenainya dan mengubah tenaga tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif seperti sebagai arus listrik atau perubahan-perubahan panas. Kebanyakan detektor menghasilkan sinyal listrik yang dapat mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang mengenainya. Persyaratan-persyaratan penting detektor meliputi: (1) sensitivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang mempunyai tingkatan rendah sekalipun, (2) waktu respon yang pendek, (3) stabilitas yang panjang/lama untuk menjamin respon secara kuantitatif, dan (4) sinyal elektronik yang mudah diperjelas (Sastrohamidjojo, 1991).


(34)

19 BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat

Uji mutu bahan baku riboflavin ini dilakukan di Laboratorium yang terdapat di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yang beralamat di Jl. Sisingamangaraja Km.9 No. 59 Medan.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah Moisture Analyzer merk Mettler Toledo

type HB43–S Halogen, Melting Point Merk Buchi type B-545, Spektrofotometer UV-Vis merk Agilent type 8453 E, Ultrasonic Digital, Digital balance merk

Satorius type ep 224 5, kertas perkarmen, spatuladan alat-alat gelas (beaker gelas,

corong, gelas ukur, labu tentukur dan pipet volume). 3.3 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah Riboflavin Baku Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI), dan Sampel yang diuji bahan baku riboflavin dengan No. Batch RIB1497FP, Asam Asetat Glasial (p), dan Aquadem.

3.4 Prosedur Pemeriksaan 3.4.1 Pemerian

Dapat di amati secara visual. 3.4.2 Kelarutan

Diambil sampel lalu dilarutkan dalam 30 ml aquadem dan diambil lagi sampel untuk di larutkan dalam etanol 96 %.


(35)

20 3.4.3 Susut Pengeringan

a. Ditimbang dengan teliti 500 mg sampel, lakukan pengeringan pada suhu 105º C selama 2 jam.

b. Tekan tombol “Power” untuk menghidupkan printer. Hubungkan steaker alat dengan stop kontak, tekan tombol “On/Off” hingga muncul tampilan dasar pada display.

c. Tekan tombol “Menu” kemudian pilih metode, ”Method A” atau ”Method B”. kemudian tekan “Sel” lalu dipilih data produk yang akan diuji.

d. Untuk mengubah parameter data produk, tekan “Edit”, lalu pilih “Name” lalu “Edit” isi nama produk yang akan diuji. Gunakan “A” untuk huruf kapital atau “abc” untuk huruf kecil.

e. Tekan “ → “ untuk pengetikan karakter kedua dan gunakan ”^” atau ”v” untuk memilih huruf, bila telah selesai tekan “ ← ”.

f. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Target weight” isi dengan bobot sampel yang akan diuji, gunakan ”_” atau “+” untuk menambah atau mengurangi bobot kemudian tekan “ ← “.

g. Parameter selanjutnya “Drying program” tekan “Edit” kemudian pilih “STD”.

h. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Temperature” isi dengan syarat suhu pemanasan sesuai dengan sampel yang diuji. Gunakan “_” atau “+” untuk menambah atau mengurangi suhu lalu tekan “ ← ”.

i. Tekan “v” untuk memilih parameter selanjutnya “Switch of mode” lalu pilih “Edit” kemudian pilih “3” yang digunakan untuk setting standartnya


(36)

21

yang bisa digunakan untuk semua sampel, lalu tekan “ ← ” . Gunakan “v” untuk memilih tingkat pemanasan yang lain.

j. Setelah semua parameter diisi lalu tekan “Exit” 2x kemudian “Yes”. k. Tekan tombol “A” atau “B” untuk menampilkan sampel yang akan diuji. l. Kemudian buka penutupnya dan tutup kembali, bila alat digunakan

pertama kalinya. Namun bila alat sudah digunakan buka penutup sekali saja.

m. Kemudian masukkan sampel sesuai dengan bobot maksimum dan minimum pada display, lalu angkat pan piringan dan ratakan sampel.

n. Tutup kembali penutupnya, dan biarkan proses berjalan hingga hasil di proleh.

3.4.4 Suhu Lebur

a. Hubungkan steaker alat dengan stop kontak.

b. Hidupkan alat dan printer dengan menekan switch power ke arah “On”. c. Masukkan zat yang diperiksa pada tabung khusus dan masukkan tabung

tersebut pada lubang khusus yang terdapat pada bagian atas dari alat. d. Tekan menu, atur set point, gradient, dan max point sesuai temperature

±10ºC, tekan enter.

e. Tekan menu, ketikkan nama zat yang diperiksa tekan enter.

f. Tekan menu, pada layar display muncul recall, store, clear dan print. g. Tekan next 3 kali, kemudian tekan tombol start.

h. Tunggu beberapa menit sampai selesai pemeriksaan dan hasil pemeriksaan terprint pada kertas printer.


(37)

22

i. Tekan stop dan biarkan beberapa menit sampai alat dingin. 3.4.5 Pembuatan Larutan Baku

a. Ditimbang seksama sejumlah Riboflavin BPFI sebanyak 10 mg. b. Dimasukkan ke dalam labu tentukur 250 ml.

c. Ditambahkan 2 ml Asam Asetat Glasial (p). d. Ditambahkan 20 ml Aquadem.

e. Dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit. f. Dicukupkan aquadem sampai garis tanda.

g. Dihomogenkan (larutan A). 3.4.6 Pembuatan Larutan Uji

a. Ditimbang seksama 10 mg zat uji.

b. Dimasukkan kedalam labu tentukur 250 ml. c. Ditambahkan 2 ml Asam Asetat Glasial (p). d. Ditambahkan 20 ml Aquadem.

e. Dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit. f. Dicukupkan aquadem sampai garis tanda.

g. Dihomogenkan (larutan B).

3.4.7 Penetapan Kadar Secara Spektrofotometer UV-Vis

Tahapan kerja penetapan kadar yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Hidupkan seperangkat alat spektofotometer ultra violet (UV).

b. Klik program spektofotometer ultra violet (UV) yang terdapat di komputer.


(38)

23

c. Klik menu Quantification, masukkan panjang gelombang maksimum (444 nm) serta jarak batas atas dan batas bawah panjang gelombang (400 nm dan 500 nm).

d. Tunggu selama 1 jam sampai mesin stabil. e. Masukkan aquadem (blanko) ke dalam kuvet.

f. Letakkan kuvet di tempat pengukuran. g. Klik blank, lalu spektrum keluar.

h. Masukkan larutan A (Larutan baku pembanding/BPFI) ke dalam kuvet.

i. Letakkan kuvet di tempat pengukuran.

j. Klik standard, lalu Procosed spectrum standard and calibration curve

keluar serta enam buah absorbansi keluar di dalam tabel. Dalam perhitungan kadar yang digunakan adalah nilai rata-rata dari keenam absorbansi.

k. Masukkan larutan B (Larutan uji) ke dalam kuvet.

l. Letakkan kuvet di tempat pengukuran.

m. Klik sampel, lalu Overhaid sampel spectra keluar. Serta 2 buah absorbansi keluar di dalam tabel, dalam perhitungan kadar yang digunakan adalah nilai rata-rata dari kedua absorbansi untuk masing-masing larutan B.

n. Catat absorban sampel yang diuji.

3.4.8 Perhitungan

Perhitungan penetapan kadar bahan baku riboflavin dapat dilakukan dengan menggunakan rumus:


(39)

24 � =�������

������� ������� Keterangan :

C : Kadar Riboflavinum (%) Abs Uji : Absorban Larutan Uji Abs Std : Absorban Larutan Baku


(40)

25 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Berdasarkan uji mutu bahan baku riboflavin yang dilakukan, diperoleh sebagai berikut:

Tabel 4.1. Data Hasil Pemeriksaan Bahan Baku

Pemeriksaan Persyaratan Hasil

Pemerian Serbuk hablur kuning atau orange kuning

Serbuk hablur kuning atau orange kuning Kelarutan Sangat sukar larut dalam

air praktis tidak larut dalam etanol 96%

Sangat sukar larut dalam air praktis tidak larut dalam etanol 96%

Susut Pengeringan Maks. 1,5% 1. 1,36%

2. 1,50% 3. 1,45% 4. 1,35%

Suhu Lebur ± 280ºC 286,3ºC

Kadar 98,00 – 102,00% 1. 98,03%

2. 99,97% 3. 100,07% 4. 98,98%


(41)

26 4.2 Pembahasan

Dari hasil uji mutu bahan baku riboflavin yang dilakukan bahwa pengujian pemerian memenuhi syarat Farmakope Indonesia Edisi IV, yaitu serbuk hablur kuning atau orange kuning. Kelarutannya sangat sukar larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol 96%, memenuhi persyaratan. Susut pengeringan yang dilakukan diperoleh 1,36%, 1,50%, 1,45%, dan 1,35% dengan persyaratan maks 1,5%, memenuhi persyaratan. Suhu lebur yang dilakukan diperoleh 286,3ºC dengan persyaratan ± 280ºC, memenuhi persyaratan. Pada penetapan kadar menggunakan spektrofotometri UV, diperoleh kadar sebesar 100,07% dengan persyaratan 98,00-102,00%, kadar ini memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Dari data diatas dinyatakan bahwa bahan baku riboflavin yang diproduksi oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan memenuhi persyaratan.


(42)

27 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil pemeriksaan uji mutu bahan baku riboflavin yang nantinya akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan sediaan tablet Vitamin B Kompleks oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan, telah memenuhi persyaratan uji pemeriksaan, yaitu mulai dari pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan penetapan kadar telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia edisi ke-IV dan monografi lainnya yang berpedoman pada Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).

5.2 Saran

Pada saat sebelum melakukan pemeriksaan uji mutu bahan baku riboflavin, sebaiknya harus memahami metode serta prosedur yang dilakukan mulai dari pemerian, kelarutan, susut pengeringan, suhu lebur, dan penetapan kadar sehingga uji mutu bahan baku riboflavin diketahui sebanyak mungkin kadarnya dan mutu sediaan tablet Vitamin B Kompleks yang beredar dimasyarakat terjamin kadarnya karena menggunakan bahan baku berkhasiat riboflavin yang sebelum digunakan dalam formulasi telah memenuhi persyaratan yang ada terlebih dahulu.


(43)

28

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 151, 152, 153, 194.

Anief, M. (2007). Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 3.

Ansel, H.C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hal. 50.

Budiyanto, K.A. (2009). Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press. Hal. 76. Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.

Padang: Andalas University Press. Hal. 1.

Dirjen POM. (2012). Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Jakarta: Badan POM. Hal. 282.

Ditjen POM. (1984). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. XXX, XXXIII, 768, 772, 773.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 741, 742, 1032, 1043.

Khopkar, S.M. (2008). Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press. Hal. 226. Kristanti, H. (2010). Penyakit Akibat Kelebihan dan Kekurangan Vitamin Mineral

dan Elektrolit. Yogyakarta: Citra Pustaka. Hal. 10, 11, 63, 64.

Kusharto, C.M., dan Suhardjo. (1992). Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 235, 236.

Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri II. Edisi III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hal. 1603.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 245, 246, 261, 262.

Rohman, A., dan Sudjadi. (2008). Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 200, 203.

Sastrohamidjojo, H. (1991). Spektroskopi. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 39, 40, 41, 42.

Schunack, W., Mayer, K., dan Haake, M. (1990). Senyawa Obat Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi II. Yogyakarta: UGM Press. Hal. 590, 591.


(44)

29

Setiabudy, R. (2007). Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Penerbit FKUI. Hal. 772, 773, 774, 779.

Siregar, C.J.P. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 84 – 86, 90, 96.

Sumardjo, D. (2009). Pengantar Kimia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351, 352, 368, 370.

Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 61.


(45)

30

Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Bahan Baku Riboflavin

Kadar Riboflavin dihitung dengan rumus sebagai berikut :

� =�������

������� ������� Keterangan :

C : Kadar Riboflavinum (%) Abs Uji : Absorban Larutan Uji Abs Std : Absorban Larutan Baku

St BPFI : Kadar Standar Baku Pembanding Farmakope Indonesia

Data bahan baku ini adalah data pengujian pada tanggal 9 Februari 2015, dengan keterangan pemasoknya PT. Global Chemindo Megatrading ; Nomor Batch RIB1497FP

Diketahui :

Abs Uji 1 : 1,22310

Abs Uji 2 : 1,24730

Abs Uji 3 : 1,24850

Abs Uji 4 : 1,23500

Abs Std : 1,25978

St BPFI : 100,97 %

Kadar Sampel I : �1,22310


(46)

31 Kadar Sampel II : �1,24730

1,25978� X 100,97 % = 99,97%

Kadar Sampel III : �1,24850

1,25978� X 100,97 % = 100,07%

Kadar Sampel IV : �1,23500


(47)

32 Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku


(48)

33 Lampiran 3. Hasil Absorban Larutan Uji


(49)

34 Lampiran 4. Hasil Absorban Larutan Standart


(50)

35

Lampiran 5. Gambar Alat Digital Semi Micro Balance

Lampiran 6. Gambar Alat Melting Point Analyzer


(51)

36

Lampiran 7. Gambar Alat Moisture Analyzer


(1)

31 Kadar Sampel II : �1,24730

1,25978� X 100,97 % = 99,97% Kadar Sampel III : �1,24850

1,25978� X 100,97 % = 100,07% Kadar Sampel IV : �1,23500


(2)

32 Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Bahan Baku


(3)

33 Lampiran 3. Hasil Absorban Larutan Uji


(4)

34 Lampiran 4. Hasil Absorban Larutan Standart


(5)

35

Lampiran 5. Gambar Alat Digital Semi Micro Balance

Lampiran 6. Gambar Alat Melting Point Analyzer


(6)

36

Lampiran 7. Gambar Alat Moisture Analyzer