Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

Total pendapatan tahun 2012 sebesar Rp 461.07 triliun, 75 dari pendapatan tersebut berasal dari dana perimbangan. Pada tahun 2013 pendapatan naik menjadi Rp 520.95 triliun, dimana 73 nya berasal dari dana perimbangan. Sedangkan tahun 2014 pendapatan sebesar Rp 551.05 triliun, persentase dana perimbangan tetap sebesar 73 . Salah satu yang menjadi ciri keberhasilan pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahannya dengan menggali seluruh potensi yang ada di daerahnya. Tabel 1.2 Tren Belanja Daerah Tahun 2012-2014 Sumber : Data LRA Tahun 2012-2014 yang diolah Total realisasi belanja tahun 2012 sebesar Rp 592.660 milyar dan mengalami peningkatan sebesar 19 pada tahun 2013 sedangkan pada tahun 2014 menjadi Rp 817.675 milyar, atau meningkat sebesar 16 dari tahun 2013. Alokasi belanja tersebut sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai baik langsung maupun tidak langsung, yaitu 44,10 di tahun 2012, 41,93 di tahun 2013 dan sedikit mengalami penurunan di tahun 2014 yaitu 39,96 dari total realisasi belanja. Berdasarkan data tersebut, tujuan dilaksanakannya desentralisasi fiskal yaitu meningkatkan pelayanan publik yang optimal dan pemenuhan standar pelayanan minimal bagi masyarakat menjadi terhambat. Hal ini karena sebagian besar pendapatan baik dari transfer maupun PAD yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki sarana, prasarana dan infrastruktur dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, digunakan untuk keperluan pembayaran gaji pegawai. Menurut Moisiu 2013 tujuan desentralisasi fiskal adalah meningkatkan sumber keuangan yang berasal dari daerah dan mempergunakannya untuk peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan kebutuhan masyarakat. Dengan desentralisasi fiskal diharapkan daerah akan memiliki kemandirian dalam meningkatkan sumber keuangan daerah untuk membiayai belanja daerah dan kegiatan pembangunan di daerah. Sehingga pelaksanaan desentralisasi fiskal memerlukan tanggungjawab dan transparansi dari pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan. Akuntabilitas merupakan komponen kunci dari reformasi desentralisasi fiskal. Karena dengan akuntabilitas maka pengelolaan sumber keuangan yang sudah dipercayakan oleh masyarakat menjadi lebih transparan. Sedangkan pencapaian opini terhadap audit laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK merupakan bentuk akuntabilitas. Karena merupakan pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah dan bebas dari salah saji yang material. Dengan tingkat kemandirian yang tinggi, menunjukkan bahwa pemerintah daerah telah mengelola penerimaan PAD secara transparan. Sehingga dimungkinkan pemerintah daerah lebih akuntabel dalam mengelola keuangan dan dapat berdampak pada pencapaian opini yang baik oleh BPK. Selain itu menurut UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah bahwa kepala daerah wajib menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah, laporan keterangan pertanggungjawaban dan ringkasan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Laporan pertanggungjawaban kepala daerah berupa Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah LPPD kepada pemerintah atasan BupatiWalikota kepada Gubernur, Gubernur kepada Mendagri, LKPJ Laporan Keterangan Pertanggungjawaban yang dilaporkan kepada DPRD dan ringkasan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang diinformasikan kepada masyarakat. LPPD adalah laporan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran berdasarkan Rencana Keuangan Pembangunan Daerah RKPD yang disampaikan oleh kepala daerah kepada pemerintah pusat. Kewajiban melaporkan penyelenggaraan pemerintah daerah oleh kepala daerah kepada pemerintah pusat dalam bentuk bentuk LPPD digunakan sebagai dasar Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah EPPD, diatur dalam dalam pasal 69 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Penyelanggaraan Pemerintah Daerah EKPPD di atur dalam PP No. 73 Tahun 2009. EKPPD merupakan suatu sistem pengukuran dengan menggunakan IKK Indikator Kinerja Kunci dalam penilaian yang terintegrasi dan mandiri terhadap pemerintah daerah yang dilakukan oleh tim daerah dan tim nasional EPPD Tim Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. EKPPD dilakukan tahunan atas LPPD untuk menilai kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah dalam upaya peningkatan kinerja berdasarkan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pelaksanaan EKPPD dapat diperoleh gambaran kinerja dari pemerintahan daerah. Kinerja tersebut baik di level pengambil kebijakan maupun di level pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Kinerja pemerintah daerah yang baik akan mendorong tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan tata kelola pemerintahan yang baik, akan tercipta transparansi dan akuntabilitas publik terhadap pengelolaan keuangan Negara. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia telah menyebutkan secara tegas bahwa Badan Pemeriksa Keuangan memiliki tugas untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara. Kinerja daerah yang baik dalam menyelenggarakan pemerintahan, seharusnya juga diikuti dengan pencapaian opini tertinggi sebagai hasil dari pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah oleh BPK. Dengan demikian Pengelolaan keuangan negara dapat dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Berikut data skor hasil EKPPD dan opini yang dicapai kabupaten dan kota selama tahun 2012-2104. Tabel 1.3 Data Skor Hasil EKPPD dan Opini LKPD Kabupaten Di Indonesia Tahun 2011-2014 Perin gkat Kab 2011-2012 Kab 2012-2103 Kab 2013-2014 Skor EKPPD 2011 Opini BPK 2012 Skor EKPPD 2012 Opini BPK 2013 Skor EKPPD 2013 Opini BPK 2014 1 Tuban 3.4787 WDP Kulon Progo 3.3465 WDP Tuban 3.3879 WDP 2 Tulungagun 3.4298 WTP Gowa 3.2897 WTP Lamongan 3.3766 WDP 3 Jombang 3.3756 WDP Jepara 3.2739 WTP- DPP Purbalingga 3.3233 WDP 4 Pacitan 3.2124 WDP Pasaman 3.2618 WTP- DPP Kulon Progo 3.3013 WTP-DPP 5 Purbalingga 3.1332 WDP Sleman 3.2614 WTP Sleman 3.2581 WTP 6 Semarang 3.1177 WTP Purbaling 3.2406 WDP Pinrang 3.2557 WTP-DPP 7 Enrekang 3.1016 WDP Pacitan 3.2400 WTP- DPP Sidoarjo 3.2526 WTP-DPP 8 Sleman 3.0923 WTP- Bangkalan 3.2089 WTP Bantul 3.2464 WTP-DPP 9 Jepara 3.0893 WTP Tuban 3.2079 WDP Pasaman 3.2316 WTP-DPP 10 Humbang Hasundutan 3.0876 WTP- Jombang 3.1910 WTP- DPP Kutai Kartanegara 3.2289 WTP Perin gkat Kota 2011-2012 Kota 2012-2103 Kota 2013-2014 Skor EKPPD 2011 Opini BPK 2012 Skor EKPPD 2012 Opini BPK 2013 Skor EKPPD 2013 Opini BPK 2014 1 Tangerang 3.2320 WTP Semarang 3.2950 WTP- DPP Madiun 3.3702 WTP-DPP 2 Madiun 3.2144 WDP Madiun 3.2157 WTP- DPP Blitar 3.3340 WTP-DPP 3 Yogyakarta 3.1535 WTP- DPP Surakarta 3.1805 WTP Probolinggo 3.3248 WTP-DPP 4 Depok 3.1486 WTP Proboling 3.1601 WTP- DPP Mojokerto 3.3158 WTP-DPP 5 Medan 3.1165 WTP- DPP Tangerang 3.1533 WTP Surabaya 3.2898 WTP_DP P 6 Cimahi 3.0907 WDP Mojokerto 3.1473 WDP_D Samarinda 3.2332 WTP 7 Surakarta 3.0823 WTP Tegal 3.1292 WDP Semarang 3.2246 WTP 8 Mojokerto 3.0803 WDP Balikpapa 3.1212 WTP- DPP Cimahi 3.1095 WTP 9 Tegal 3.0785 WDP Depok 3.1212 WTP Yogyakarta 3.0938 WTP-DPP 10 Sawahlunto 3.0257 WDP Salatiga 3.1126 WDP Depok 3.0926 WTP Sumber : Data IHPS I Tahun 2015 dan skor EKPPD Tahun 2011-2014 Dari data di atas diketahui kabupaten dan kota yang memperoleh peringkat 10 terbaik EKKPD dengan prestasi sangat baik. Dari hasil evaluasi tersebut dapat diperoleh gambaran kinerja dari pemerintahan daerah, baik di level pengambil kebijakan maupun di level pelaksana kebijakan. Pencapaian prestasi EKKPD yang sangat baik itu, oleh sebagian kabupaten dan kota tidak diikuti dengan pencapaian opini hasil pemeriksaan laporan keuangan, meskipun dari tahun 2012 – 2014 mengalami peningkatan. Sesuai dengan UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK merupakan satu badan Negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Selain memeriksa laporan keuangan Badan Pengawas Keuangan BPK juga melakukan pemeriksaan atas Sistem Pengendalian Intern SPI dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan. Pemberian opini atas audit oleh BPK didasarkan pada kriteria yaitu kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan SAP, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. UU No. 15 Tahun 2004 Pasal 16 menyatakan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan BPK atas laporan keuangan pemerintah memuat opini, laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Dalam pasal 20 menyebutkan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan serta wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Tabel berikut merupakan nilai rekomendasi periode Tahun 2005-2010. Tabel 1.4 Nilai Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK Periode Tahun 2005 – 2010 5 10 15 20 25

15.48 20.38

J u m la h Rp T r il iu n Periode 2005-2009 2010-2014 Sumber : IHPS II Tahun 2015 yang diolah Berdasarkan data Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester IHPS I tahun 2015, perkembangan nilai rekomendasi hasil pemeriksaan terhadap pemerintah daerah periode tahun 2010 – 2014 naik sebesar 32 dibandingkan tahun 2005 – 2009. Tabel 1.5 Perkembangan Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan Periode Tahun 2005 – 2014 10 20 30 40 50 2005-2009 2010-2014

45.2 27.84

47 54.14

5.81 17.69

1.99 0.33

Ju m la h Periode Telah Sesuai Belum Sesuai Belum Ditindaklanjuti Tidak dapat ditindaklanjuti Sumber : IHPS II Tahun 2015 yang diolah Tetapi pelaksanaan tindak lanjut terhadap rekomendasi hasil pemeriksaan yang telah sesuai periode 2010-2014 mengalami penurunan sebesar 38 . dibandingkan periode tahun 2005-2009. Seharusnya peningkatan nilai rekomendasi diikuti juga dengan tindak lanjut yang telah sesuai dengan rekomendasi. Semakin besar persentase rekomendasi hasil pemeriksaan yang ditindaklanjuti, maka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara semakin baik yang ditunjukkan dengan semakin berkurang temuan audit pada periode selanjutnya Setyaningrum, Gani dan Martani, 2014. Astriani 2014 dan Sari 2013 menemukan bahwa tindak lanjut temuan audit berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan. Pelaksanaan tindak lanjut dari temuan audit dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan suatu instansi yang berimplikasi pada penerapan tata kelola pemerintahan dan pencapaian opini BPK yang baik. Kabupatenkota yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian WTP tahun 2014 meningkat 23 dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya sebesar 18 . Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.6 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2012 – 2014 20 40 60 80 WTP WDP TW TMP 18 61 1 17 26 64 3 10 41 50 1 8 Pe rs e n ta se Opini 2012 2013 2014 Sumber : Data IHPS II Tahun 2015 Berdasarkan IHPS I Tahun 2015, hasil pemeriksaan BPK atas LKPD Tahun 2014 umumnya mengalami penurunan opini yang disebabkan asset berupa tanah, kendaraan dan asset lainnya masih dikuasai pihak lain sehingga berpotensi merugikan negara. Sebaliknya, pemerintah daerah juga mengalami peningkatan opini dari WDP ke WTP atau TW dan TMP menjadi WDP. Peningkatan pencapaian opini tersebut salah satunya disebabkan pemerintah daerah telah melakukan perbaikan pengelolaan dan inventarisasi asset tetap. Menurut Setyaningrum 2012, pemerintah daerah yang memiliki umur administratif lebih lama akan lebih baik dalam menyajikan laporan keuangan. Karena semakin lama, maka pemerintah daerah semakin berpengalaman dan mempunyai kemampuan yang lebih baik menyajikan laporan keuangan sesuai dengan SAP. Hal ini disebabkan laporan keuangan tahun sebelumnya telah diperika oleh BPK dan hasil evaluasi terhadap hasil pemeriksaan sudah diperbaiki dan ditindaklanjuti pada tahun berikutnya. Sehingga pencapaian opini BPK terhadap LKPD tahun berikutnya juga meningkat. Umur administratif daerah merupakan tahun dibentuknya pemerintah daerah berdasarkan undang- undang pembentukan daerah. Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik, berlaku sama antara daerah induk maupun daerah hasil pemekaran atau daerah otonomi baru . Tetapi dengan adanya pemekaran daerah otonomi baru DOB dapat menimbulkan masalah yang dapat mempengaruhi kualitas laporan keuangan yang berdampak pada pencapaian opini LKPD. Diantaranya pembiayaan bantuan untuk daerah otonomi baru DOB tidak terdapat bukti yang valid mengenai jumlah bantuan, pengalihan asset tidak didukung dengan berita acara pelimpahan dan dokumentasi yang memadai. Khusus untuk pemekaran di mana ibu kota daerah induk berada pada wilayah geografis DOB terjadi permasalahan dalam pengalihan ibu kota daerah induk termasuk permasalahan pengalihan asset dan kebutuhan personil pegawai belum sesuai kualifikasi baik daerah induk maupun DOB. Selain itu juga terjadi perebutan asset sumber daya yang dapat menambah pajak dan mengandung potensi sumber daya alam antara daerah induk dan DOB. Contoh perebutan wilayah akibat adanya potensi daerah yang mengandung sumber daya alam adalah antara Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Tana Tidung karena wilayah Linuang Kecamatan Sembakung Nunukan mengandung potensi batubara dan migas. Terdapat 124 kabupaten induk yang mengalami pemekaran sampai dengan Tahun 2014. Sebanyak 51 kabupaten diantaranya mengalami pemekaran dari periode Tahun 2005 – 2014. Selama periode tersebut, perkembangan pencapaian opini WTP baru meningkat secara signifikan di mulai Tahun 2014, yaitu sebanyak 20 kabupaten. Apabila dibandingkan dengan Tahun 2013 hanya 8 kabupaten saja yang memperoleh opini WTP. Sehingga memerlukan waktu yang lama bagi kabupaten induk yang mengalami pemekaran untuk mendapatkan opini WTP, setelah mengalami pemekaran. Tabel 1.7 Data Perkembangan Opini WTP Pada Daerah yang Dimekarkan Periode Tahun 2005 – 2014 5 10 15 20 25 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 J um la h Ka bupa te n Tahun Pemekaran Opini WTP Sumber : Data IHPS II Tahun 2010 dan 2015 yang diolah Peneliti mereplikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Mudhofar dan Tahar 2016. Penelitian tersebut berjudul Pengaruh Desentralisasi Fiskal dan Kinerja Terhadap Akuntabilitas Pelaporan Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia : Efek Moderasi dari Kinerja. Adapun perbedaan antara penulis dengan peneliti terdahulu adalah adanya tambahan variabel yang digunakan penulis yaitu tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Penulis menggunakan vaiabel kontrol yaitu umur administratif daerah, jumlah asset dan daerah yang mengalami

Dokumen yang terkait

PENGARUH KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH DAN OPINI AUDIT BPK TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH.

1 2 32

PENGARUH PEMERIKSAAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH Pengaruh Pemeriksaan Dan Pengawasan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Studi Empiris Pada Pemerintah Daerah Kabupaten

6 31 20

PENGARUH PEMERIKSAAN DAN PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH TERHADAP KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH Pengaruh Pemeriksaan Dan Pengawasan Keuangan Daerah Terhadap Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Studi Empiris Pada Pemerintah Daerah Kabupaten

1 7 17

PENGARUH PERAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) TERHADAP TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN BPK-RI PADA PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA.

0 0 19

PENGARUH KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH, KEPALA DAERAH DAN TINDAK LANJUT HASIL TEMUAN AUDIT TERHADAP OPINI AUDIT BPK ( Studi Empiris Pada Pemerintah Daerah Seluruh Indonesia).

0 1 17

PENGARUH KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH DAN HASIL PEMERIKSAAN AUDIT BPK TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH OTONOMI BARU DI INDONESIA.

0 0 14

opini bpk atas hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah

0 0 1

LAPORAN PROMOSI atas HASIL PRODUKSI PERT (1)

0 0 23

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN KINERJA TERHADAP AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

0 0 24

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN KINERJA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP KUALITAS LAPORAN KEUANGAN (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota di Sumatera) - UNIB Scholar Repository

1 1 84