PENDAHULUAN 1 Pengembangan Algoritma Untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batimetri atau kedalaman perairan adalah ukuran kedalaman dari permukaan air sampai dengan dasar laut. Peta batimetri memberikan informasi tentang kondisi permukaan maupun dasar laut, struktur, bentuk dan penampakan. Selain itu dasar laut sebagai bagian dari laut itu sendiri merupakan suatu sistem yang dinamis, setiap saat perubahan-perubahan terjadi sehingga perbaikan peta-peta batimetri perlu sekali dilakukan agar informasi-informasi mengenai dasar suatu perairan bisa seiring dengan perubahan yang terjadi. Pemetaan batimetri di perairan dangkal mempunyai peranan penting untuk kegiatan perikanan dan kelautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih lagi dengan kondisi Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil yang tersebar di seluruh nusantara. Mengetahui kedalaman perairan dapat memberikan petunjuk atau informasi mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut, salah satu faktor untuk perencanaan pembangunan darmaga kapal, keselamatan pelayaran serta pemasangan maupun pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut dan sebagainya. Informasi kedalaman perairan batimetri juga dapat digunakan untuk membantu membedakan dan memberikan ciri menggolongkan habitat terumbu karang seperti pecahan karang, karang hidup, karang mati maupun lamun dan rumput laut. Mengetahui struktur yang detail dari dasar laut di perairan dangkal akan membantu dalam menggolongkan peranan dan sifat karang yang merupakan tempat hidup ikan-ikan karang. Selain itu dalam penangkapan, pengetahuan tentang struktur dasar perairan yang bervariasi akan menentukan alat penangkapan yang lebih sesuai dengan kondisi perairan tersebut. Teknologi pemetaan batimetri berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya, kedalaman diukur dengan menggunakan tambang yang ujungnya diberi pemberat dan mencoba untuk memperhitungkan kapan pemberat tersebut menyentuh dasar. Tetapi metode ini sulit dilakukan dan hasilnya hampir selalu tidak akurat karena arus yang kuat dapat menarik tambang dan pemberatnya ke samping sehingga kedalaman yang dihasilkan seringkali bukan kedalaman sebenarnya, jika perairan yang diukur relatif lebih dalam maka tambang yang dibutuhkan akan lebih panjang dan sulit untuk mengetahui kapan pemberat tersebut menyentuh dasar. Selain metode ini kurang akurat juga membutuhkan waktu yang lama karena, kapal harus berhenti dalam waktu yang lama untuk menurunkan dan menaikkan tambang Sager 1998. Dengan ditemukannya echo sounder kedalaman perairan lebih mudah diukur. Metode ini bekerja berdasarkan prinsip perambatan suara di dalam air. Metode ini bisa menghasilkan kedalaman yang akurat untuk perairan dalam Sager 1998. Tetapi metode ini cukup sulit untuk diterapkan di perairan dangkal, dimana ekosistem terumbu karang dan padang lamun berada di dalamnya. Kapal-kapal yang membawa berbagai perlengkapan peralatan pemetaan seperti echo sounder, sonar dan lain-lain tidak dapat masuk ke perairan tersebut dengan leluasa karena akses yang sulit sehubungan dengan karakteristik yang khas di perairan tersebut, seperti kondisi perairan yang dangkal serta keadaan substrat dasar yang tidak beraturan. Di samping itu, mengingat ekosistem perairan dangkal sangat luas maka kegiatan pemetaan dengan metode konvensional akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat tinggi. Dewasa ini teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan karena dipandang sebagai salah satu cara yang efektif dan efisien serta cukup terlihat kegunaannya dalam mengkompilasi dan merevisi peta-peta sumberdaya yang ada juga berguna sebagai alat bantu dalam perencanaan dan pengelolaan suatu sumberdaya Butler 1988; Lillesand dan Kiefer 1994; Danoedoro 1996. Teknologi ini mampu untuk mendapatkan informasi secara sinoptik sehingga dapat mengamati fenomena yang terjadi di lautan yang luas dan dinamis. Disamping itu teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan informasi secara kontinu karena wahana satelit telah diprogram melintas daerah yang sama dalam waktu tertentu. Namun demikian, teknologi ini juga masih belum mampu memberikan hasil yang memuaskan dalam hal keakuratan informasi, sehingga masalah keakuratan ini merupakan suatu kegiatan penelitian yang terus berkembang sampai saat ini. Keakuratan informasi yang dideteksi dengan sensor yang dipasang di satelit dipengaruhi kondisi atmosfer dan kondisi perairan yang diliput. Agar pemetaan kedalaman dengan penginderaan jauh mendekati nilai kedalaman yang sesungguhnya diperlukan kondisi perairan yang dangkal dan jernih. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan, sensor sinar tampak hanya dapat menjangkau sampai kedalaman 30 meter pada perairan yang jernih. Harus pada perairan yang jernih, karena adanya fitoplankton, muatan padatan tersuspensi maupun yellow substance yang berada di kolom perairan maupun adanya substrat dasar yang berbeda yang akan memberikan nilai pemantulan berbeda yang tentunya akan memberikan estimasi kedalaman yang berbeda dengan nilai kedalaman yang seharusnya. Secara teoritis jika dasar perairan dapat dilihat maka dapat dibentuk suatu hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor. Pengembangan konsep hubungan ini sudah banyak dilakukan seperti Lyzenga 1985, Hashim 1990, Van Hengel dan Spitzer 1991, Bierwith et al. 1993, Green et al. 2000, Stumpf et al. 2003, Islam et al. 2004, Leu dan Chang 2005. Algoritma tertentu dibuat untuk mengestimasi kedalaman perairan dengan menggunakan citra satelit. Van Hengel dan Spitzer 1991 memperkenalkan sebuah algoritma baru untuk dapat mengestimasi kedalaman perairan dengan citra Landsat TM. Algoritma ini didasari dari hasil penelitian Lyzenga 1978, Paredes dan Spero 1983 dan Spitzer dan Dirks 1987 yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding lurus dengan radiansi pantul dari dasar laut. Menurut Lyzenga 1978 serta Van Hengel dan Spitzer 1988 pada penelitian terdahulunya mengatakan untuk mendapatkan nilai kedalaman relatif bisa dilakukan dengan melakukan rotasi tertentu pada nilai spektral masing-masing band. Sebagian besar pemetaan kedalaman perairan di Indonesia menggunakan echo sounder, sedangkan pemetaan perairan dangkal di Indonesia dengan citra satelit menggunakan algoritma-algoritma yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti luar negeri dan sebagian lokasi penelitian di negeri 4 musim yang kondisi optik, fisika dan kimia perairannya berbeda dengan Indonesia. Sehingga muncul keinginan untuk mencari algoritma kedalaman perairan dangkal di wilayah Indonesia.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Mencari kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari 2. Mengkaji seberapa jauh kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dapat digunakan dalam pemetaan kedalaman perairan dangkal. 3. Mencari algoritma terbaik untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal terutama di Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dalam memetakan kedalaman perairan dangkal 2. Mendapatkan kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari 3. Menentukan model terbaik yang paling efektif untuk memetakan kedalaman perairan dangkal 4. Mengetahui nilai gallat error algoritma kedalaman yang dihasilkan terhadap data lapang

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi kelautan dalam hal metode, teknik dan dayaguna citra penginderaan jauh khususnya citra Landsat-7 ETM+ untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal. 2. Bermanfaat bagi pembangunan karena penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar dalam bidang perikanan dan rekayasa kelautan.

1. 5 Hipotesis