Kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di perairan gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta

(1)

 

IN

MUH

SEKOLA

NSTITUT

HAMMAD

AH PASC

T PERTA

BOGO

2011

D ABRAR

CASARJA

ANIAN BO

OR

1

R

ANA

OGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa thesis yang berjudul: Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir thesis ini

Bogor, Februari 2011

Muhammad Abrar


(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD ABRAR. Successful of Coral Recruitment (Scleractinia) in the Pari Islands, Kepulauan Seribu, Jakarta. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA

One of all important phase is the development of coral recruitment and survival after settlement of the allegedly affected by the internal condition of coral recruit and external from environment. Research survival of coral recruits have been conducted in Pari Islands, Kepulauan Seribu, Jakarta, from March to November 2010 with the purpose to know the level of survival of coral recruits on the life form and size of different colonies. In this study selected two life forms Massive and Branching colonies at number 15 colonies in the area belt transect 2 meters x 70 meters at 5-7 meters depth. Furthermore, on each life form, coral recruit again grouped into 3 classes, Small (<3 cm), Medium (3-6 cm), and Large (> 6 cm and 10 cm ≤). Observations were made at two stations namely ST1-pari and ST2-tikus with observe one month interval (March-August) and three months interval (September-November). At the same time measurement of water quality and biological factor such as competitor, predator and desease. Coral recruits in the study site is multiple diverse with species richness reach to 15 genera from 10 families consist of 9 genera at ST1-pari and 8 genera at ST2-tikus which genera of Faviidae most dominated, in fact recruits Faviidae rare and even absent in the stages of larva settlement. Density of coral recruits is high diversity index and tended to stabilize. The observation result shows that the difference between Massive survival rate higher than Branching. Survival of Medium size was lowest compared two other size indicated that this class is vulnerable period for survival of coral recruits. Water conditions Northern of Pari Island or the Station ST2-tikus are more supportive to the development and survival of coral recruitment compared Southern or ST1-pari. The quality of waters within the normal range, while the sedimentation and nutrient content of waters predictable impact on the survival of coral recruits.


(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ABRAR. Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan I WAYAN NURJAYA.

Rekrutmen karang didefinisikan sebagai peristiwa kemunculan individu-individu baru karang ke dalam populasi sebagai bentuk keberlanjutan suatu komunitas karang sehingga menjadi bagian penting dalam proses pemulihan dan resiliensi terumbu. Secara alami terumbu karang yang mengalami kerusakan akan segera pulih melalui kejadian rekrutmen karang sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Salah satu tahapan penting rekrutmen karang adalah perkembangan dan kelulusan hidup rekrut karang setelah penempelan yang diduga dipengaruhi oleh kondisi internal rekrut karang dan faktor eksternal dari lingkungan. Oleh karena itu pengamatan terhadap kelulusan hidup rekrutmen karang setelah penempelan penting untuk dilakukan

Penelitian kelulusan hidup rekrut karang telah dilakukan di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dari bulan Maret sampai November 2010 dengan tujuan untuk melihat tingkat kelulusan hidup rekrut karang pada bentuk dan ukuran koloni yang berbeda. Pada penelitian ini dipilih dua bentuk koloni yaitu Massive dan Branching sebanyak 15 koloni dalam luasan belt transek 2 meter x 70 meter di kedalaman 5-7 meter. Selanjutnya pada setiap bentuk koloni, rekrut karang dikelompokan lagi dalam 3 kelas ukuran yaitu Small (< 3 cm), Medium (3-6 cm), dan Large (> 6 cm dan 10 cm ≤) jumlah masing-masingnya 5 koloni dan ditandai (tagging). Pengamatan dilakukan pada dua stasiun yaitu ST1-pari dan ST2-tikus dengan interval waktu setiap bulan (Maret – Agustus) dan interval setiap tiga (3) bulan (September-November). Pada waktu yang sama dilakukan pengukuran terhadap kualitas perairan dan faktor-faktor biologi antara lain biota kompetitor, predator dan penyakit.

Rekrut karang di lokasi penelitian cukup beragam dengan kekayaan jenis mencapai 15 genus dari 9 famili terdiri dari 9 genus di Stasiun ST1-pari dan 8 genus di Stasiun ST2-tikus. Genus-genus dari Famili Faviidae paling mendominasi, namun pada kenyataannya rekrut Faviidae jarang dan bahkan tidak ditemukan pada tahapan penempelan dalam siklus bulanan. Keanekaragaman rekrut karang termasuk tinggi yaitu dengan nilai indeks keanekaragaman pada kedua stasiun yaitu 1,85 pada ST1-pari dan 1,59 pada ST-tikus dengan keragaman cenderung stabil. Total Koloni yang ditemukan adalah 44 koloni dengan kepadatan 7,3 koloni/m2 terdiri dari 26 koloni di ST1-pari dengan kepadatan 8,7 koloni/m2 dan 18 koloni di ST2-tikus dengan kepadatan 6 koloni/m2. Hasil observasi menunjukan adanya perbedaan kelulusan hidup antara bentuk koloni yaitu tingkat kelulusan Massive lebih tinggi dibanding Branching. Kelulusan hidup ukuran Medium pada bentuk Branching paling rendah dibanding dua ukuran lainnya dikedua bentuk koloni. Hal ini mengindikasikan bahwa kelas ukuran Medium berada pada periode rentan dalam keberlangsungan hidup rekrut karang. Waktu pengamatan yang merepresentasikan variasi musim menunjukan hubungan yang nyata dengan laju kelulusan hidup dan pertumbuhan rekrut karang dikedua stasiun penelitian.


(5)

Kondisi Perairan Gugus Pulau Pari bagian Utara atau pada Stasiun ST2-tikus lebih mendukung bagi perkembangan dan kelulusan hidup rekrutmen karang dabanding bagian Selatan atau Stasiun ST1-pari. Kualitas perairan yang diukur selama waktu penelitian berada dalam kisaran normal, sedangkan sedimentasi dan kadar nutrien perairan diprediksi berdampak terhadap kelulusan hidup karang. Kelimpahan ikan karang dari Famili Chaetodontidae, Scaridae dan Siganidae sangat sedikit sebagai indikasi rendahnya dampak predator dan herbivor terhadap rekrut karang. Penyakit dan biota pengganggu terlihat pada beberapa rekrut karang namun tidak menyebabkan kematian. Kemunculan rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dapat memprediksi tahapan suksesi karang yaitu kelimpahan dan kekayaan genus yang lebih tinggi dari bentuk Massive Famili Faviidae mengindikasikan tahapan pionir kolonisasi karang telah terlewatkan. Kelas ukuran memberikan gambaran tahapan kritis kelulusan hidup yaitu ukuran 3-6 cm (Medium) merupakan periode rentan bagi keberlangsungan hidup rekrut karang di alam.

Kata kunci: rekrutmen karang, kelulusan hidup, kelas ukuran, bentuk koloni, Gugus Pulau Pari


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebarkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

KELULUSAN HIDUP REKRUTMEN KARANG (

Scleractinia

)

DI PERAIRAN GUGUS PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU,

JAKARTA

MUHAMMAD ABRAR

Thesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magsiter Sains

pada Mayor Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Judul thesis : Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta

Nama : Muhammad Abrar

NRP : C551080211

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil. A. Notodiputro, MS


(10)

RIWAYAT HIDUP

MUHAMMAD ABRAR dilahirkan di Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat pada tanggal 10 Oktober 1972, anak ke 3 dari 7 bersaudara pasangan Bapak Dailami Syarif dan Ibunda Huriah. Pendidikan dari SD hingga SMA diselesaikan di Pariaman, Sumatera Barat. Pada 1991 menyelesaikan pendidikan Jurusan Fisika SMA Negeri 1 Pariaman, Kapupaten Padang Pariaman dan pada tahun 1992 melanjutkan pendidikan di Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Andalas Padang, dan pada bulan Maret 1997 memperoleh Sarjana Sains di universitas yang sama. Pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan magister (S2) di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, gelar Magister Sains diperoleh pada tahun 2011

Sejak 1997 bergabung dengan Pusat Studi Penelitian Perikanan Universitas Bung Hatta, Padang dan Pusat Studi Terumbu Karang Wilayah I Sumatera, dan pada tahun 1998 hingga 2002 menjadi Ketua Harian Yayasan Minang Bahari Padang . Pada Desember 2002 diangkat sebagai staf peneliti di UPT Loka Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Manusia Oseanografi , Pulau Pari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dan November 2010 menjabat sebagai Kepala UPT LPKSDMO, Pulau Pari

Penulis menikah dengan Rahmayeni Sastra, AMd pada bulan Januari tahun 2003 dan hingga sekarang telah dikaruniahi dua orang anak, yaitu Mirza Nawfal Maula dan Mirza Faiz Zydhan.


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-NYA penulisan tesis dengan judul Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta telah dapat diselesaikan. Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada: Ibu Dr. Ir. Neviaty P Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan sammpai Tesis ini diselesaikan. Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memeberikan masukan dan saran. Bapak Dr. Sukarno dan Prof. Dr. Suharsono atas konsultasi yang diberikan. Program COREMAP Indonesia atas bantuan beasiswa penulisan dan penelitian. Ibu Ir. Dwi Hindarti, M.Sc, staf dan teknisi di UPT LPKSDMO, Pulau Pari LIPI, dan P2O LIPI yang telah meberikan izin, kemudahan dan batuan. Rekan satu angkatan di Mayor Ilmu Kelautan yang selalu memberi motivasi dan dukungan. Rekan-rekan yang telah banyak membantu di lapangan terutama Rikoh Siringoringo, Hasim, Hasan, Sayyid Afdal, Mumuh, Deden dan Iman. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, namun tidak dapat disebutkan satu-persatu

Harapannya apa yang telah ditulis dalam Tesis ini dapat memberikan masukan yang berguna.

Bogor, Februari 2011


(12)

DAFTAR ISI

Hal

PRAKATA ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalahan ... 4

1.3 Tujuan ... 5

1.4 Manfaat ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ekosiste Terumbu Karang ... 7

2.3 Sebaran dan Tipe Terumbu ... 8

2,4 Persyaratan Lingkungan ... 10

2.5 Biologi Biota Karang ... 11

2.6 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang ... 15

2.7 Rekrutmen Karang ... 19

2.8 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang ... 21

2.9 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang ... 25

3. METODOLOGI ... 26

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 26

3.2 Objek Penelitian ... 27

3.4 Metode sampling ... 28

3.5 Analisa Data ... 29

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 31

4.2 Gambaran Stasiun Penelitian ... 33

4.3 Gambaran Kondisi Perairan ... 34

4.4 Kondisi Fisika Kimia Perairan ... 36


(13)

4.6 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang ... 47

4.7 Laju Pertumbuhan Rekrutmen Karang ... 49

4.8 Kompetisi dan Predasi ... 52

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

6. DAFTAR PUSTAKA ... 56


(14)

DAFTAR TABEL

No Hal

1 Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu ... .. ... 10

2 Persentasi tutupan kategori bentik terumbu pada terumbu Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (7 stasiun) ...

32 3 Kualitas air (kondisi fisika-kimia) perairan di kedua stasiun penelitian 36

4 Struktur populasi rekrutmen karang pada kedua stasiun penelitian di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta ...


(15)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1 Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993) ... 12

2 Lokasi Gugus Pulau Pari dan posisi stasiun penelitian

26 3 Objek penelitian, rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dan kelas

ukuran ... 27

4 Kelas bentukan terumbu dan pemanfaatan lahan Gugus Pulau Pari 5 Kecerahan (m) perairan pada kedua stasiun penelitian selaman

bulan pengamatan ...

38

6 Kecepatan arus permukaan pada kedua stasiun selama bulan

pengamatan ... 39

7 Variasi kosentrasi Posfat pada kedua stasiun selama pengamatan ... 41

8 Variasi laju sedimentasi pada kedua stasiun selama pengamatan ... 43

9 Kondisi bentik terumbu perairan pada kedua stasiun penelitian ... 46

10 Laju Kelulusan Hidup Rekrut Karang pada kedu stasiun penelitian 47

11 Persentasi kelulusan hidup rekrutmen karang berdasarkan kelas

ukuran dan bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian ... 48

12 Laju pertumbuhan rekrutmen karang pada kedua stasiun

penelitian selama bulan pengamatan ... 50

13 Laju pertumbuhan rekrutmen karang berdasarkan kelas ukuran dan

bentuk koloni pada kedua stasiun penelitian ... 51

14 Persentasi tutupan bentik kompetisi dan substrat dasar perairan ... 53


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Hal

1 Rekrutmen branching‐small selama 6 bulan pengamatan ... 

59 2 Rekrutmen Branching‐Medium selama 6 bulan pengamatan ...

60

3 Rekrutmen Branching‐Large, selama 6 bulan pengamatan ... 61

4 Rekrutmen massive‐small, selama 6 bulan pengamatan ... 62

5 Rekrutmen massive‐medium, selama 6 bulan pengamatan ... 63

6 Rekrutmen massive‐large, selama 6 bulan pengamatan ... 64

7 Rekrutment branching‐large yang mengalami kematian ... 65

8 Contoh lembaran data hasil pengukuran rekrutmen karang ... 66 9 Kondisi fisika-kimia perairan pada kedua stasiun penelitian selama

pengamatan ...

67

10 Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST1-pari pada setiap bulan pengamatan

11 Data hasil pengukuran laju pertumbuhan pada Stasiun ST2-tikus pada setiap bulan pengamatan

12 Data laju kelulusan hidup rekrutmen karang ST1-pari (A) dan Stasiun ST2-tikus (B)

13 Data pengukuran laju sedimentasi pada kedua stasiun

14 Hasil uji regresi linier sederhana untuk melihat hubungan waktu laju kelulusan hidup (A) dan laju pertumbuhan rekrut karang


(17)

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat sensitif dan rentan sekali terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis terumbu karang ditandai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam komunitas serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotis lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari berbagai aktifitas manusia maupun oleh kejadian-kejadian alam telah memberikan dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk bertahan (resistensi) dan menunjukan gejala pemulihan (recovery) sampai terbentuknya komunitas yang stabil (resilience) kembali setelah mengalami kerusakan (Obura dan Grimsditch, 2009).

Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari peningkatan tutupan koloni biota karang hidup pembentuk terumbu (reef building corals) sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Di alam pemulihan terumbu karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang muda (juvenil) dengan ukuran koloni relatif kecil (Babcok dan Mundy, 1996). Kemunculan koloni karang muda ini memberikan indikasi telah terjadi penambahan koloni baru (rekrutmen) ke dalam populasi dan berkontribusi nyata dalam pembentukan dan perkembangan komunitas karang selanjutnya. Namun pada banyak laporan dan hasil penelitian, laju rekrutmen yang tinggi tidak selalu diikuti dengan peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan. Hasil pengamatan oleh Abrar (2005) pada pemulihan terumbu karang setelah tiga tahun kejadian pemutihan karang (bleaching) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kepadatan rata-rata rekrutmen karang 19,25 koloni/m2 dengan tutupan koloni karang hidup mencapai 7,85-22,89%, namun hasil monitoring CRITC COREMAP – LIPI pada lokasi yang sama, memperlihatkan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup hanya mencapai 7,72% selama tahun 2004-2007 (Sukarno, 2008).

Kepadatan koloni karang muda dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur tingkat rekrutmen karang pada suatu terumbu. Menurut Engelhardt


(18)

(2000) kepadatan rekrutmen karang untuk koloni-koloni bercabang >10 koloni/m2 termasuk dalam kategori sangat tinggi dan diprediksi memilki potensi besar untuk segera pulih. Dunstan dan Johnson (1998) mendapatkan total 8.627 rekrutmen pada substrat penempelan selama 4 tahun pengamatan di terumbu karang Pulau Heron, Great Barrier Reef, Australia. Pengamatan rekrutmen karang pada daerah lintang tinggi didapatkan rata-rata 6,7 koloni pada tiap pasang substrat penempelan lebih sedikit dibanding rekrutmen pada daerah Great Barrier Reef yaitu 44-242 rekrut pada setiap pasangan substrat (Harriot dan Banks, 1995 ; Rudi, 2006).

Pengamatan pola rekrutmen hewan karang di beberapa wilayah perairan Indonesia telah dilaporkan oleh Suharsono (1999), Abrar (2000 ; 2005), Bachtiar (2002), Saputra (2004), Zakaria (2004), Samidjan (2005) Rudi (2006), Munasik et al (2008) dan Siringoringo (2008) menunjukan rata-rata kepadatan rekrutmen karang berkisar antara 5-15 koloni/m2 dan termasuk dalam kategori sedang - sangat tinggi. Sebaliknya potensi rekrutmen yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan. Hasil monitoring reguler yang dilakukan oleh CRITC COREMAP pada 14 lokasi di wilayah barat dan timur perairan Indonesia selama periode 2004-2007 menunjukan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup yaitu berkisar antara 2,6 - 7,2% (Sukarno, 2008). Hal ini memberikan gambaran bahwa rekrutmen hewan karang yang telah menempel tidak mampu bertahan hidup sampai menjadi koloni karang dewasa dengan kata lain proses rekrutmen mengalami kegagalan.

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah terumbu karang penting di perairan barat-utara Pulau Jawa. Dengan kepadatan penduduk mencapai 7.870 jiwa/km2 mendiami sekitar 6 pulau dari 105 pulau-pulau kecil yang ada, kehidupannya sangat tergantung dengan ekosistem dan sumberdaya pesisir khususnya terumbu karang. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari berbagai aktifitas ekonomi antara lain perikanan tangkap dan budidaya, aktifitas wisata bahari serta jasa-jasa kelautan lainnya dengan 69,3 % bekerja sebagai nelayan tradisonal.

Tingginya aktifitas pemanfaatan sumber daya serta terbatasnya daya dukung dan tidak sebandingnya luas wilayah (sebagian besar kurang dari 10 ha)


(19)

dengan jumlah penduduk, menjadi pemicu kerusakan ekosistem teumbu karang. Kerusakan terumbu karang semakin komplit oleh adanya berbagai tekanan dari daratan utama pesisir Pulau Jawa terutama dari pesisir Jakarta dan Banten. UNESCO (1997) melaporkan bahwa intensitas polusi dan masukan sedimentasi yang tinggi telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu secara terus menerus terutama terumbu karang pada pulau-pulau kecil yang berada dekat daratan utama. Giyanto dan Soekarno (1997) telah mengelompokan empat (4) zona kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu berdasar kan intesitas tekanan dan jaraknya dari daratan utama. Zona I berada paling dekatan dengan daratan dengan intensitas tekanan lingkungan sangat tinggi dan terumbu karang berada pada kondisi sangat buruk. Semakin ke utara, zona IV berada paling jauh dari daratan dengan intensitas dan pengaruh tekanan dari daratan semakin kecil dimana kondisi terumbu karang nya relatif lebih baik. Estradivari et al (2007) melaporkan rerata tutupan karang hidup pada 54 pulau kecil di Kepulauan Seribu pada tahun 2004 mencapai 32,9% dan sedikit meningkat pada tahun 2005 menjadi 33,2%. Sekitar 10 pulau-pulau kecil sebaliknya mengalami penurunan tutupan karang hidup dari tahun 2004-2005.

Gugus Pulau Pari termasuk salah satu pulau kecil Kepulauan Seribu dengan kondisi terumbu karang yang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Giayanto dan Soekarno (1997) mengelompokan terumbu karang gugus Pulau Pari ke dalam zona III dengan persentase tutupan karang hidup mencapai 40-60% pada kedalaman 1-3 meter. Selanjutnya Suharsono (1994) melaporkan kondisi terumbu karang di gugus Pulau Pari terus mengalami penurunan dengan tutupan karang hidup mencapai 30-50% pada lereng terumbu dan 5-20% pada rataan terumbu. Monitoring oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia dalam kurun waktu 2004 - 2005 menunujukan kondisinya semakin menurun dengan tutupan hanya mencapai 29,13-38,13% di Pulau Pari bagian selatan dan 30,85-54,15% pada Pulau Pari bagian timur-laut (Estradivari et al., 2007) Hasil pengamatan pemulihan yang ditandai dengan kemunculan koloni karang baru (rekrutmen) cukup tinggi. Penelitian Rudi (2006) menunjukan kepadatan penempelan koloni karang pada substrat buatan di Pulau Pari mencapai 5-9 koloni/0,4 m2 atau sekitar 12-22 koloni/m2 dengan kategori rekrutmen sangat tinggi (Engelhardt, 2000)


(20)

Gejala pemulihan terumbu karang yang buruk menunjukan bahwa telah terjadi kegagalan rekrutmen karang mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup. Kegagalan rekrutmen karang ini tidak terlepas dari kelulusan hidupnya setelah penempelan. Proses rekrutmen hewan karang diawali dengan penempelan larva planula setelah melewati masa hidupnya sebagai larva planktonik. Setelah penempelan larva planula dengan segera mengalami metamorphosis menjadi satu individu hewan karang (polyp) yang secara terus menerus tumbuh menjadi banyak banyak individu hewan karang karang melalui reproduksi aseksual pertunasan (budding) (Richmon, 1997).

Kegagalan rekrutmen secara alami disebabkan oleh rekrutmen karang tidak mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup. Tingginya biota kempetitor, predator dan herbivor (grazer) serta pengaruh lingkungan abiotis seperti sedimentasi, polusi, arus dan gelombang, dan perubahan kualitas perairan menjadi faktor penghambat rekrutmen karang untuk bertahan hidup (Richmond, 1997). Disamping itu serangan penyakit diduga memiliki potensi tinggi penyebab kematian rekrut karang. Adanya keterkaitan dan hubungan antara kemampuan dan kelulusan hidup biota karang batu dengan berbagai faktor di atas sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Disamping itu bagaimana proses rekrutmen karang batu bertahan hidup serta faktor apa saja yang mempengaruhi masih sangat jarang diteliti

1.2 Perumusan Masalah

Banyak upaya telah dilakukan untuk mencegah dan meminimalisasi kerusakan terumbu karang di pulau-pulau kecil Kepulauan Seribu, DKI Jakarta termasuk terumbu karang Gugus Pulau Pari. Pada saat yang sama upaya rehabilitasi dan restorasi habitat terumbu yang telah rusak terus-menerus dilakukan antara lain pengadaan terumbu buatan, transplantasi karang, fish selter dan modifikasi habitat dengan teknologi biorock dan ecoreef. Di lain hal untuk optimalisasi dan jaminan keberlanjutan ekosistem terumbu karang telah dilakukan upaya pengelolaan dan konservasi kawasan peraiaran dalam bentuk Taman Nasional Laut sedangkan dalam skala lokal dengan area terbatas dibentuk Area Perlindunga Laut atau DPL dan Kawasan Perlindungan Laut atau KKL. Hasil


(21)

pemantauan masih menunjukan kondisi terumbu karang yang berfluktuatif antara buruk dan sedang dan sedangkan dibanyak lokasi menujukan gejala pemulihan yang lambat.

Salah satu program penting dalam pengelolan dan rehabilitasi terumbu karang adalah melakukan monitoring secara berkala. Monitoring terhadap proses dan laju pemulihan terumbu karang setelah mengalami kerusakan dengan melakukan pengamatan terhadap rekrutmen karang setelah penempelan di terumbu alami penting untuk dilakukan. Data dan informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan untuk upaya rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang secara tepat dan berkelanjutan.

Penelitian tentang kelulusan hidup rekrutmen karang setelah penempelan pada karakter,pemanfaatan dan pengelolaan wilayah perairan yang berbeda akan memberikan informasi terhadapa efesiensi upaya pengelolaan, strategi konservasi dan teknologi rehabilitasi yang akan diterapkan. Dalam penelitian ini, pengamatan lebih mendalam dilakukan terhadap aspek bio-ekologis rekrutmen karang dan hubungannya dengan faktor biotis dan abiotis (fisika-kimia oseanografis) sehingga didapat penyebab keberhasilan dan kegagalan rekrutmen secara alami. Data-data dasar ini harapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Apakah kemampuan bertahan dan tingkat kelulusan hidup rekrutmen karang batu ditentukan oleh kondisi internal seperti kelompok taksa, ukuran dan bentuk koloninya, fisiologi dan gentik, atau lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi abiotis lingkungan atau interaksi dengan faktor biotis seperti predator, herbivore, serangan penyakit atau oleh biota perusak (bioerotion). Apakah ada korelasi yang kuat antara faktor biotis dan abiotis terhadap kemampuan bertahan dan tingkat kelulusan hidup rekrutmen karang batu.

1.3 Tujuan

Penelitian tentang kelulusan hidup rekrutmen karang (Scleractinia) di Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta dilakukan dengan tujuan: 1. Mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi kelulusan hidup rekrutmen


(22)

2. Mengetahui perbedaan bentuk dan ukuran koloni terhadap tingkat kelulusan hidup rekrut karang

3. Mengukur laju kelulusan hidup(survival rate) dan pertumbuhan (growth rate) rekrut karang

4. Mendapatkan hubungan waktu terhadap kelulusan hidup rekrutmen karang

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi ilmu pengetahuan khususnya penelitian dibidang terumbu karang 2. Sebagai data dasar bagi pengelolaan dan konservasi terumbu karang

3. Menjadi data pendukung dalam pengembangan teknologi rehabilitasi dan restorasi terumbu karang yang mengalami kerusakan

4. Memberikan kontribusi dalam teknik budidaya, restoking dan bentuk rekayasa reproduksi karang lainnya.


(23)

2.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan dangkal laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur. Hampir sebagian besar bentuk, struktur serta material kapur pembentuk terumbu dibentuk dan dihasilkan oleh biota karang sehingga terumbu karang sering juga didefinisikan sebagai ekosistem perairan tropis yang didominasi oleh biota karang. Menurut Veron (1995) terumbu karang dibentuk dari endapan (deposit) massif padat kalsium karbonat (CaCo3) yang dihasilkan oleh biota karang dan tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) serta biota lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat (CaCo3). Berdasarkan definisi di atas dapat dibedakan dengan jelas antara biota karang (coral) sebagai individu suatu organisme atau komponen dari suatu komunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef ) merupakan suatu ekosistem (Nybaken, 1988 ; Sorokin, 1993).

Dalam proses pembentukan terumbu karang, biota karang batu (Scleractinia) merupakan penyusun dan pembangun terumbu (reef building corals) paling penting. Berdasarkan kepada kemampuannya memproduksi kapur maka biota karang batu dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat menghasilkan material kapur sebagai bahan dasar pembangun terumbu. Karang kelompok hermatipik sebarannya hanya ditemukan di daerah tropis sampai sub tropis. Karang ahermatipik tidak menghasilkan material kapur pembentuk terumbu dan kelompok ini tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama karang hermatipik dan karang ahermatipik adalah adanya alga simbion zooxhantella dalam jaringannya yaitu sejenis algae uniselular (Dinoflagellata uniselular), seperti Gymnodinium microadriatum (Sorokin, 1993 ; Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000)

Endapan padat terumbu terdiri dari material kapur yang terjadi dalam proses jutan tahun yang dihasilkan oleh jutaan individu penghasil kapur. Laju pembentukan endapan kapur sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan proses biologis dalam biota pembentuk terumbu. Selanjutnya Sumich (1992)


(24)

menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae.

2.2 Sebaran dan Tipe Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan dangkal daerah tropis dan terbatas pada daerah sub tropis. Konsekuensinya sebaran terumbu karang tidak ditemukan pada daerah lintang sedang dan tinggi dengan sebaran optimal pada 28o Lintang Utara sampai 32o Lintang Selatan dengan sebaran ekstrim pada >40o Lintang Selatan (Potts dan Jacobs, 2002) . Pada belahan bumi utara terumbu karang masih ditemukan sepanjang perairan Okinawa, Jepang, Florida, AS , Teluk Meksiko, Laut Karibia, Laut Merah, India-Srilangka dan pulau-pulau kecil di samudera hindia. Sedangkan pada belahan bumi selatan meliputi Perairan selatan Afrika, dan timur-selatan Australia . Sebaran pada daerah lintang sedang ini dibatasi oleh luasan dan keanekaragaman biotanya. Secara bujur sebaran terumbu karang dunia dibedakan berdasarkan wilayah perairan yaitu Indo-Pasifik, Samudera Hindia, Samudera Atlantik perairan Karibia. Sebaran ini dicirikan dengan luasan dan komposisi jenis biota yang ada (Veron, 1985, 2000 ; Suharsono, 2008).

Sebaran terumbu secara vertical dibatasi pada kedalaman tertentu dengan kedalaman optimal 0-20 meter. Sebaran terumbu seperti ini lebih dibatasi oleh ketersedian substrat dan kejernihan perairan. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang mem bentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dengan suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10 oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang


(25)

dari 10 m dan suhu sekitar 25 oC sampai 29 oC (Nybaken, 1988 ; Veron, 1985 ; Nybaken dan Bertness, 2005).

Berdasarkan posisi dan letak terumbu karang terhadap daratan atau pulau-pulau kecil dibedakan atas beberapa tipe sebagai berikut:

2.2.1 Frengging Reef

Frengging reef atau terumbu karang tepi ditemukan tersebar di sepanjang pesisir daratan benua atau pulau-pulau kecil. Terumbu karang tepi (fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh ke atas atau ke arah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat (Veron 1995 ; 2000). Terkadang ditemukan terumbu karang tepi yang mengalami modifikasi menjadi bagian-bagian yang terpisah dan mengelompok di luar garis pantai (Hubbard, 1997)

2.2.2 Barrier Reef

Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef ) terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri dan sejajar pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil (Veron, 2000)

2.2.3 Atoll

Terumbu karang cincin (atol) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 meter jarang sampai 100 meter seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan. Veron (1985 ; 2000) menjelaskan teori kejadian terumbu atol sebagai sebuah gejala geologis yang melibatkan gerakan lempeng tektonik dan aktifitas vulkanik. Hubbard (1997) merinci lebih jelas kejadian terumbu


(26)

dikombinasikan dengan peristiwa pertumbuhan terumbu yang bergerak ke atas akibat kenaikan muka air laut.

Ketiga tipe di atas dapat mengalami modifikasi akibat perubahan kondisi geografis atau kejadian-kejadian tektonik. Modifikasi tersebut adalah pemisahan bagian terumbu menjadi kelompok-kelompok kecil terumbu dalam rangkaian terumbu utama atau dikenal juga dengan patch reef. Tipe terumbu lain adalah terumbu laut dalam yang sampai sekarang masih belum banyak teori yang mengungkap asal usul kejadiannya.

2.3 Persyaratan ligkungan

Sebaran terumbu dengan tipe-tipe seperti di atas dibatasi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain temperatur, cahaya (kejernihan dan kedalaman), salinitas dan nutrien perairan. Pott dan Jacobs (2002) (dari Vaunghan dan Wells, 1943 ; Wells, 1956 ; Newell, 1971 ; Fagerstrom, 1987 ; Veron, 1995 ; Hallock, 1997, dan Wood, 1999) menerangkan kondisi lingkungan optimal dan ekstrim terumbu karang seperti pada table berikut ini:

Tabel 1. Kondisi lingkungan optimal bagi terumbu dan biota karang pembentuk terumbu

KONDISI LINGKUNGAN OPTIMAL EKSTRIM

Kedalaman (meter) 0-20 1-2

Kedalaman maksimum perkiraan 100 <15

Temperatur (oC) >18 - <32 <10 dan >40 Lintang 28o LU - 32o LS >40o LS Salinitas (o/oo) Perkiraan 34-36 <25 dan >40

Nutrien Sangat rendah Tinggi – Sangat Tinggi

Sedimen Rendah Tinggi

Turbiditi Rendah Tinggi

Cahaya Tinggi Rendah

Oksigen Tinggi Selalu rendah

Stabilitas habitat Tinggi Rendah

Arus cukup Tidak ada gerakan

Umumnya terumbu karang berkembang baik pada perairan dangkal pesisir dan laut tropis dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat


(27)

sensitif terhadap perubahan lingkungan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Disamping itu untuk hidup biota karang pembentuk terumbu membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 oC (Sorokin, 1993 ; Veron, 1995 ; Nybakken, 1988 ; Nybaken dan Bertenss, 2005). Pada perubahan suhu perairan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95% (Oliver et al., 2004). Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata kenaikan suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 oC di atas suhu normal.

Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Birkeland (1997) menyebutkan bahwa terumbu karang sangat berkembang baik pada salinitas air laut mendekati 35 o/oo, namun

kondisi ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti pemasukan air tawar. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Dampak selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.

2.4 Biologi Biota Karang Batu

2.4.1 Taksonomi

Biota karang batu pembentuk terumbu dicirikan dengan kemampuannya memproduksi kapur sebagai rangka dan menjadi bahan dasar pembangun terumbu karang. Secara taksomi biota karang batu termasuk ke dalam anggota Filum Coelentrata. Biota karang bersama biota lainnya yang termasuk dalam filum ini dicirikan dengan bentuk tubuh sederhana, radial simetris dengan satu rongga tubuh tunggal yang disebut dengan Coelum. Hampir sebagian besar kelompok biotanya dilengkapi dengan sel-sel penyengat (nematocyte) sehingga filum ini dikenal juga dengan nama lain Cnidaria (Colin dan Anerson, 1995 ; Veron, 2000).


(28)

Bersama biota karang lunak, biota karang batu diklasifikasikan ke dalam Kelas Anthozoa dengan ciri utama memiliki siklus hidup dewasa pada stadium polip dengan lengan-lengan tentakel. Perbedaan utama biota karang lunak dan karang keras adalah jumlah tentakel yang dimilki yaitu kelipatan delapan (8) dan kelipatan enam (6), sehingga mereka dibedakan lagi dalam dua sub kelas yaitu Octocoralia (jumlah tentakel kelipatan 8) dan Hexacorallia (jumlah tentakel kelipatan 6). Semua biota karang dalam Kelas Hexacorallia adalah biota-biota pembentuk terumbu dengan ordo tunggal Scleractinia dan beberapa ordo lain dari Kelas Octocoralia yaitu Helioporaria dan Stolonifera ditambah satu ordo dari Kelas Hydrozoa yaitu Stylasterina (Sorokin, 1992 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008).

FILUM KELAS SUB KELAS ORDO

Coelentrata

Anthozoa

Hexacorallia

Zooantharia Corallimorphalia Antipatharia Ceriantharia Actinaria

Scleractinia

Octocoralia

Gorgonacea Alcyonacea Pennalulacea

Helioporaria Stolonifera

Hydrozoa Stylasterina

Gambar 1. Bagan klasifikasi Filum Coelentrata, karang batu pembentuk terumbu berada dalam kolom ordo cetak tebal (Sorokin, 1993)


(29)

2.4.2 Morfologi dan Anatomi

Bentuk tubuh luar (morfologi) polip biota karang batu sangat sederhana seperti silinder terdiri dari bagian atas (aboral) dan bagian bawah (basal plate). Bagian atas berfungsi seperti kepala terdiri dari lengan-lengan tentakel, mulut dengan saluran yang terbuka ke rongga tubuh. Bagian tengah atau batang tubuh dengan jaringan yang menyatu dengan tubuh polip lainnya dalam koloni yang sama. Basal plate bagian bawah sedikit melebar dan menempel langsung pada substrat dasar perairan (Miller dan Harley, 2001).

Koloni karang batu terdiri dari polip-polip karang yang satu sama lain dihubungkan oleh jaringan tipis yang dikenal dengan Columella. Perbanyakan polip-polip karang batu terjadi melalui reproduksi secara aseksual pertunasan (budding). Pola dan tipe pertunasan sangat khas dan bervariasi pada setiap jenis karang batu sehingga sangat menentukan bentuk koloninya masing masing. Secara umum bentuk koloni karang dibedakan atas bentuk bercabang (branching), massive, Sub massive, lembaran (foliose), merayap (encrusting), merata seperti meja (tabulate) dan soliter (Veron 2000 ; Suharsono, 2008)

Karang secara fisiologis terus menerus mensekresikan kapur sebagai rangka luarnya (eksoskleton). Pada polip karang yang telah mati dan jaringan hidup habis terurai akan memperlihatkan eksoskleton ini dengan jelas. Keseluruhan struktur rangka yang membangun satu polip dalam satu koloni disebut dengan koralit (coralite) sedang keseluruhan rangka pada setiap polip dalam satu koloni disebut dengan koralum (corallum). Struktur luar koralit terdiri dari lempengan-lempengan berdiri tegak yang disebut dengan septa

(septae). Epiteka (epiteca) berbentuk dari lempengan berada pada bagian dasar

dengan pinggirannya membentuk bagian yang lebih tinggi menjadi dinding kerangka. Lingkar dinding ini membentuk bagian yang terbuka dari koralit yang disebut dengan kalik (calice). Septa berdiri tegak di atas permukaan bagian dalam dinding dan kadang berlanjut sampai ke bagian luar dinding menjadi kosta

(costae). Septa-septa ini memiliki pinggiran yang tidak rata atau bergerigi

dengan bentuk dan pola yang khas pada setiap jenis. Pada famili tertentu septa memiliki tonjolan dengan bentuk dan posisi yang sama pada masing-masing septa sehingga membentuk pola seperti bunga atau mahkota disebut dengan pali (pali


(30)

form). Kolumella (Columella) berada persis pada bagian tengan epiteka berbentuk tonjolan sebagai hasil endapan kapur dengan struktur berongga dan berpori. Sruktur kolumella ini sangat spesisfik dan bahkan tidak dimiliki oleh jenis-jenis tertentu sehingga menjadi acuan untuk identifikasi sampai tingkatan jenis (Veron, 2000 ; Suharsono, 2008).

Secara anatomi tubuh polip karang terdiri dari tiga lapis jaringan yaitu ektoderma, endoderma dan mesoglea. Lapisan jaringan paling luar atau ektoderma disusun atas beberapa jenis sel antara lain sel penyengat/jelatang (nematosis) dan sel mukus. Sel-sel mukus menghasil getah mukus yang membantu menangkap makanan dan membersihkan diri dari endapan sedimen, sedangkan sel jelatang sangan berperan dalam membunuh mangsa untuk makanan dan mekanisme mempertahankan diri. Lapisan mesoglea berada diantara lapisan ektoderma dan endoderma dengan substansi berbentuk jelli berisi benang-benang fibril dengan lapisan tipis seperti otot pada bagian luarnya. Lapisan endoderma berada pada bagain dalam dan berhubungan langsung dengan rongga tubuh. Pada lapisan permukaan jaringan terutama pada el-sel mesenteri sampai permukaan tentakel ditemukan flagella dan silia yang berkembang baik (Nybaken dan Bertness, 2005).

Pada lapisan endoderma ditemukan alga simbion bersel satu (zooxhantella). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Zooxanthella memberikan warna pada jaringan karang dan algae simbion ini sangat aktif melakukan proses fotosintesis (Muller-Paker dan D’Ellia, 1997)

Organ dalam polip karang sangat sederhana dan telah menunjukan beberapa fungsi fisiologis. Mulut yang terdapat pada bagian aboral diteruskan kedalam rongga tubuh melalui saluran yang disebut dengan tenggorokan (pharynx). Rongga tubuh (gastrovascular) merupakan bagian dari lapisan endoderma dengan struktur dinding yang melipat-lipat (mesenteries) mengandung


(31)

benang-benang mesenteris (mesenterial filament) dengan ujung yang lepas ke dalam rongga tubuh yang disebut acontia. Urutan organ tersebut secara fisiologis membantu dalam proses pencernaan makanan (Miller dan Harley, 2001)

2.5 Reproduksi dan Siklus Hidup Karang

Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual pada hewan karang melibatkan sejumlah proses dimana pembentukan koloni baru terjadi melalui pemisahan atau pelepasan sebagian jaringannya melalui fragmentasi dan polip bailout. Reproduksi secara seksual sangat komplek dan meliputi berbagai kejadian mulai dari produksi sel gamet jantan dan betina, proses pembuahan dan pembentukan embrio sebagai planula yang berenang bebas (Richmond, 1997)

2.5.1 Reproduksi Aseksual

Sebagian besar hewan karang adalah biota berkoloni terdiri dari ratusan sampai ribuan polip yang saling berhubungan satu sama lainnya. Polip-polip ini tumbuh dan bertambah banyak melalui proses secara aseksual tunas (budding). Pertunasan secara ekstratentakular terjadi jika penambahan polip baru muncul dari jaringan yang terdapat di antara dua polip yang berdekatan. Sedangkan pertunasan secara intratentakular terjadi bila tunas polip baru muncul dari dinding tubuh polip yang sudah ada, kemudian memisah menjadi menjadi polip baru. Kejadian pembentukan dan penambahan polip-polip bukan termasuk dalam reproduksi aseksual karang batu karena sebenarnya tidak ada pembentukan koloni hewan karang baru (Sorokin, 1993 ; Richmond dan Hunter, 1990 ; Richmond, 1997 ; Veron, 2000 ; Suharsono, 2008).

Pembentukan koloni karang baru melalui reproduksi aseksual dapat dilakukan dengan beberapa cara. Fragmentasi adalah cara reproduksi aseksual paling umum terutama pada karang bercabang dan berbentuk lembaran tipis (foliose). Fragmen atau potongan jaringan hewan karang yang terlepas dari koloni induk akibat berbagai kejadian seperti arus dan gelombang yang kuat, ikan predator atau faktor fisik lainnya akan jatuh pada dasar perairan. Bila fragmen tepat berada di atas permukaan substrat yang keras, jaringan karang akan menempel dan mulai tumbuh mejadi koloni karang baru melalui pertunasan


(32)

(Sorokin, 1993 ; Richmond, 1997). Sering pembentukan koloni baru hewan karang dari fragmen gagal terjadi akibat terlepas kembali oleh arus atau gelombang yang kuat (Knowlton et al, 1981).

Pada kondisi tertentu beberapa jenis hewan karang jaringan atau polip yang ada pada fragmen karang dapat terlepas dan berenang bebas atau terbawa arus sampai menemukan substrat yang tepat untuk menempel dan tumbu membentk koloni baru. Kejadian ini dikenal dengan polyp bailout yang selalu aktif melepaskan diri dari jaringan/skleton induk. Pada cara yang sama, sebagian hewan karang dapat melepaskan bola-bola jaringan hidupnya dari sekitar skleton yang telah mati atau pelepasan ooze dari kalis polip yang kemudian terdifferensiasi menjadi polip baru yang tumbuh menjadi koloni hewan karang baru (Highsmith, 1982 ; Krupp et al, 1993). Reproduksi aseksual hewan karang dapat juga terjadi dari larva yang dihasilkan dari telur yang tidak dibuahi melalui proses partenogenesis (Stoddart, 1983). Mekanisme rperodukasi sperti ini banyak terjadi pada tumbuhan dan hewan-hewan dalam bentuk koloni.

Koloni karang dari hasil reproduksi aseksual secara genetic akan identik dengan induknya. Pada kondisi lingkungan yang sama koloni-koloni ini akan berkembang baik seperti indukya. Namun pada kenyataannya kondisi lingkungan sangat bervariasi dan selalu berubah setiap saat. Pada kejadian lingkungan ekstrim seperti kenaikan suhu air laut akibat El-Nino akan menimbulkan berbagai perubahan seperti munculnya predator dengan kesukaan makan yang baru, muncul serangan penyakit, atau muncul kompetitor baru. Pada kondisi seperti ini koloni-koloni hewan karang dari hasil reproduksi aseksual tidak dapat bertahan hidup karena tidak adanya variasi genetik yang dimiliki. Selain itu reproduksi secara aseksual ini sangat membatasi kemampuan pemencaran koloni karang yang penting bagi kesuksesan populasinya (Richmond, 1997).

2.5.2 Reproduksi Seksual

Beda dengan reproduksi secara akseksual, reproduksi seksual dihasilkan dari pembuahan gamet jantan dan gamet betina. Koloni hewan karang hasil reperoduksi seksual memilki kombinasi dan variasi genetik yang diturunkan dari kedua induknya melalu sel sperma dan telur. Hasil pembuahan berkembang


(33)

menjadi planula karang yang berenang bebas atau hanyut terbawa arus. Adaptasi planula seperti ini sangat membantu pemencaran hewan karang pada tempat-tempat yang baru atau pada terumbu yang berada jauh dari induknya (Richmond, 1997)

Beradasarkan asal usul dan tipe produksi sel gamet, reproduksi seksual dibedakan atas gonochorics species dan hermaphrodite species. Gonochorics species memproduksi gamet jantan dan betina pada individu yang berbeda atau dikenal juga dengan diaceous species. Sedangkan pada hermaphrodite species gamet jantan dan betina diproduksi pada satu individu yang sama. Diperkirakan sekitar 25% hewan karang termasuk gonochorics species sisanya adalah hermaphrodite (Harrison dan Wallace, 1990). Pada kenyataanya kedua tipe ini sulit dibedakan, dimana dalam proses gametogenesis sering produksi telur lebih lama dibanding sperma. Akibatnya dapat disimpulkan koloni seperti ini termasuk betina, namun beberapa waktu kemudian menghasilkan sel sperma juga (Chonersky dan Peters, 1987 ; Harrison dan Wallace, 1990 ; Veron 1995).

Hermaphrodite simultaneous terjadi pada hewan karang yang menghasilkan sperma dan telur pada waktu yang bersamaan. Pada kejadian lain koloni awal jantan kemudian setelah itu berkembang menjadi betina atau dikenal juga dengan protandry dengan inisial menjadi betina. Pada kasus lain sebaliknya dapat berkembang menjadi jantan kembali atau dikenal juga dengan protagyny dengan inisial hermaphrodite. Hampir sebagain besar koloni hewan karang adalah hermprodite simultaneous dan sedikit yang sekuensial hermaphrodite (Veron, 1995 ; Richmond, 1997).

Hewan karang memperlihatkan tipe reproduksi berbeda didasarkan pada cara terjadinya pembuahan. Pada tipe brooding spesies, pembuahan telur terjadi secara internal dan hasil pembuahan dalam bentuk larva planula berkembang dalam rongga tubuh polip karang. Hasil pembuahan ditetaskan dalam bentuk larva planula yang komplit dan berenang bebas ata hanyut terbawa arus. Tipe lain adalah spawning spesies dimana telur dilepaskan ke dalam kolom air dan dibuahi oleh sperma secara eksternal. Hasil pembuahan berkembang sampai terbentuknya planula dalam kolom air. Keberhasilan kedua tipe reproduksi ini sangat ditententuk oleh aspek bio-ekologi termasuk masuknya algae simbion ke dalam


(34)

jaringan planula, kompetensi planula (kesuksesan penempelan dan metamorfosis), pola sebaran dan variasi genetik. Bagaimanapun tipe spawning spesies melepaskan telur yang mengapung di atas permukaan air untuk waktu tertentu sehingga sangat retan terhadap polutan dan pemangsaan (Richmond dan Jokiel, 1984 ; Richmond, 1997) .

Karang dengan tipe brooding spesies lebih kompeten yaitu lebih sukses menempel dan bermetamorfosis. Ukuran planula yang dihasilkan brooding spesies lebih besar dibanding spawning spesies serta telah memiliki alga simbion zooxhantella yang ditransfer selama perkembangan dalam tubuh induknya. Pada tingkatan ini zooxhantella telah berkontribusi dalam proses metabolisme planula dan menambah energi selama masa pemencarannya. Brooding spesies dengan melihat planula sebagi hasilnya terjadi hanya pada sedikit jenis hewan karang, yaitu sekita 15%. Jenis Pocillopora damicornis melepas planula pada siklus bulanan sepanjang tahun di terumbu Mikronesia dan Hawaii, namun hanya pada bulan-bulan tertentu di terumbu Okinawa dan Australia bagian barat (Fadlallah, 1983 ; Richmond dan Hunter, 1990). Hal yang berbeda pada jenis yang sama Pocillopora damicornis menunjukan spawning spesies di terumbu Pasifik bagian Timur dan juga Australia bagian Barat (Glynn et al., 1991 ; Ward, 1992). Pelepasan larva Pocillopora damicornis terjadi setiap bulan (bulan gelap dan terang) dan mencapai puncaknya pada musim kering (dry monsoon) pada perlakuan outdoor dengan sistem air mengalir di Pulau Panjang, Jawa Tengah Indonesia (Munasik et al., 2008)

Lebih dari 250 jenis hewan karang yang telah diteliti (85%) umunya adalah spawning spesies yang memijah massal pada periode tertentu setiap tahun. Di Okinawa sebagain besar spawning spesies melepaskan gamet selama lebih dari 5-8 hari pada malam hari bulan purnma Mei dan Juni setiap musim panas (Hayashibara et al., 1993). Di Guam, Mikronesia puncak pemijahan terjadi 7-10 hari setelah bulan purnama di bulan Juli (Richmond dan Hunter, 1990). Pemijahan karang terjadi beberapa bulan dalam setahun antara lain Maret, April dan Mei di pulau-pulau kecil sekitar Palau ( Kenyon, 1995). Di terumbu Australia pemijahan massal terjadi selama November (Harrison et al., 1984).


(35)

2.6 Rekrutmen Karang

Rekrutmen menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dan perkembangan komunitas dalam suatu ekosistem terumbu karang di alam. Dengan kata lain rekrutmen memberikan jaminan terhadap pembentuk komunitas serta memberikan jaminan bahwa populasi itu akan selalu bertahan. Porses rekrutmen berperan dalam penambahan individu-individu baru kedalam populasi dewasa sehingga eksistensi dan keberlanjutan populasi dapat dipertahankan dan berlangsung secara terus menerus (Erwin et al., 2008).

Secara sederhana rekrutmen hewan karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang yang masih muda (juvenile). Secara visual-morfologis koloni-koloni karang muda ini dapat dibedakan dengan dewasanya berdasarkan ukuran koloni yaitu relatif lebih kecil. Definisi dan batasan ini tidak selalu benar dimana pada kenyataannya banyak koloni karang berukuran kecil tapi bukan karang muda. Kemampuan reproduksi secara aseksual sering merancukan hal ini seperti pertunasan pada koloni karang yang mati sebagian. Pada kasus ini koloni kelihatan berukuran kecil (hanya beberapa polip) namun sebenarnya berasal dari koloni dewasa yang sebagain besar telah mati akibat berbagai faktor seperti penyakit atau tertutup sedimen. Hal yang sama juga terjadi pada reproduksi aseksual lainnya seperti fragmentasi, dimana sebagian kecil koloni terlepas dari koloni induk kemudian menempel jadi koloni karang baru dengan ukuran relatif kecil (Edmunds, 2008). Rekrutmen pada populasi selalu dibatasi dengan ciri mofologi serta aktifitas biologis yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moorsel (1989) bahwa rekrutmen adalah individu dengan bentuk morfologi yang berbeda dengan populasi dewasa serta dibatasi oleh ukuran koloni dan kemampuan untuk melakukan reproduksi.

Proses rekrutmen diawali dengan perubahan planula karang dari fase planktonik menjadi bentik dan siap untuk melakukan penempelan pada substrat di dasar perairan. Menurut Richmond (1997), reproduksi dan rekrutmen adalah dua proses penting yang menentukan keberadaan dan keberlangsungan suatu terumbu karang. Proses reproduksi menjamin terbentuk calon koloni baru, sedangkan rekrutment adalah proses bagaimana calon koloni baru hasil reproduksi sukses menjadi anggota baru dalam populasi. Proses rekrutmen ditandai dengan


(36)

kemunculan calon koloni baru dalam ukuran relative kecil (juvenile) pada habitat baru dan beradaptasi baik dengan relung ekologisnya. Peristiwa ini dikenal juga dengan proses kolonisasi yang sangat tergantung dengan ketersedian larva dan substrat untuk penempelan.

Kolonisasi terjadi melalui beberapa tahapan dan keberhasilannya didukung oleh beberapa persyaratan lingkungan. Tahapan awal adalah keberhasilan dalam proses reproduksi yang menjamin tersedianya larva dalam bentuk plantonik. Tahapan selanjutnya adalah kemampuan larva untuk melakukan orientasi, pengenalan dan identifikasi terhadap substrat yang akan ditempeli. Keberhasilan kolonisasi didukung oleh beberapa persyaratan termasuk tipe substrat, arus, salinitas, cukup cahaya, sedimentasi dan faktor biologis seperti ketersedian lapisan tipis mikroalgae (biofilm) di atas permukaan substrat bisanya dari kelompok diatom dan bakteri (Sorokin, 1991 ; Richmon,1997). Penempelan larva planula dalam proses kolonisasi dengan segera diikuti oleh perisiwa metamorfosis. Metamorfosis merupakan serangkaian proses yang dindikasikan oleh perubahan secara morfologis dan perangsangan bio-kimia larva planula menjadi koloni karang muda (juvenile). Secara morfologis hewan karang dalam tingkatan larva sangat berbeda bentuknya dengan polyp yaitu tidak memiliki tentakel, mulut, rongga gastrovascular, tidak memiliki enzim pencernaan dan tidak memproduksi kapur untuk rangka.

Metamorfosis baru akan dilakukan jika larva planula benar-benar sudah memastikan susbstrat untuk penempelan selamanya. Metamorfosis diawali dengan proses kalsifikasi yang mengsekresikan kapur sebagai lempengan dasar berbentuk mangkuk sebagai rangka awal. Selanjut proses awali ini diikuti dengan pembentukan tentakel yang dilengkapi dengan sel-sel penyengat mengelilingi mulut. Proses akhir metamorfosis ini menghasilkan polip awal yang selanjutnya mengalami pertunasan untuk menbentuk polip-polip baru, masing-masing juga mengsekresikan kapur sebagai rangkanya. Polip pertama hasil metamorfosis ini dapat keluar dari rangka yang telah dibentuk kemudian menjadi plantonik lagi sampai ditemukan substrat baru untuk menempel lagi (Moorsel, 1989 ; Sorokin, 1991 ; Richmond, 1997).


(37)

Planula karang dari spawning spesies tidak mendapat algae simbion zoxhantella dari induknya, namun ditransfer selama proses penempelan dan metamorfosis dari kolom air laut di sekitarnya. Hasil obeservasi terhadap beberapa jenis karang Acropora menunjukan bahwa karang ini mengandung alga simbion selama proses penempelan dan metamorfosis dan selama dua (2) minggu tidak mengandung algae simbion. Karang muda yang terbentuk hasil metamorfosis sering bersaing dengan coralline dan filamentous algae dan algae merah lainnya (Richmond, 19970).

Penempelan larva planula tidak menjamin metamorfosis akan selalu terjadi. Pada beberapa larva invertebrate metamofhosis merupakan rangkaian reaksi yang komplek yang dimulai bila hanya terjadi perangsangan secara bio-kimia tertentu. Rangsangan untuk memulai metamorfosis menjadi spesifik pada jenis-jenis tertentu yang ditandai dengan penempelan coralline algae dan lapisan biofilm dari mikroorganisme.

Laju rekruitmen hewan karang telah banyak diteliti dengan menempatkan biotopes dari substrat buatan untuk penempelan planula karang. Pada terumbu Great Barrier Reef (GBR) Australia laju rekruitmen mencapai 10 koloni/m2/tahun, sedang di terumbu karang Laut Merah berkisar 5 koloni/m2/tahun. Di Terumbu karang Atlantik dilaporkan laju rekruitmen lebih rendah hanya berkisar antar 3-4 koloni/m2/tahun didominasi oleh jenis Stylopora pistilata. Abrar (2000) melaporkan laju rekruitmen di perairan Pulau Sikuai, Padang, Sumatera Barat mencapai puncaknya 0, 41 koloni/m2/bulan atau sekitar 5 koloni/m2/tahun didominasi oleh genus Pocillopora.

2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem dengan berbagai interaksi yang komplek mulai dari tingkatan mikroorganisme, organisme multiseluler dan sampai tingkatan komunitas. Pada hewan karang interaksi pada proses reproduksi dan rekrutmen meliptui interaksi antar koloni, sel-sel gamet, larva planula dan penempelan yang dipicu oleh sinyal bio-kimia. Interaksi yang terjadi serta berbagai konsekuensi yang dihasilkan adalah bentuk adaptasi yang


(38)

dilakukan hewan karang utnuk sukses dalam reperoduksi dan rekrutmen serta memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Nybaken dan Bertness, 2005).

Kondisi lingkungan sangat menentukan kesuksesan proses reproduksi dan rekrutmen dan kelulusan hidup juvenil karang. Perubahan kualitas perairan sudah mulai mempengaruhi pada tahapan awal reproduksi seperti waktu reproduksi, sikronisasi musim kawin dan pemijahan, interaksi sperma dan telur, metamorfosis dan transfer algae simbion dari kolom air. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perubahan salinitas, temperatur, dan ketersedian cahaya akan berdampak terhadap produksi larva dari jenis Pocillopora damicornis (Jokiel, 1985). Kemudian Kojis dan Quinn (1984), menemukan adanya korelasi antara kesuburan, kedalaman dan sedimentasi pada jenis Acropora palifera. Pada jenis Goniastrea favulus kemampuan reproduksi meningkata sejalan dengan adanya perpindahan energy dalam jaringannya (Kojis dan Quinn, 1985).

Hewan karang berkembang baik pada salinitas laut normal 35 o /oo namun

memiliki toleransi terhadap salinitas tinggi dan rendah untuk beberapa waktu. Pada kasus lain koloni karang yang terpapar karena air surut akan menutupi koloni dengan lendir (mucous) yang dikeluarkan untuk bertahan dari kekeringan. Salinitas juga berdampak terhadap laju fertilisasi hewan karang dimana penurunan salinitas sampai 26% dari salinitas normal dapat menurun laju fertilisasi sampai 86%. Kejadian ini bisa terjadi saat puncak pemicahan bersamaan dengan musim hujan seperti yang dilaporkan di terumbu Mikronesia dan Okinawa (Birkeland, 1997).

Faktor internal ukuran koloni sangat menentukan kesuburan hewan karang. Pada karang-karang dengan polip kecil dengan ukura koloni sama, umur dapat juga berdampak terhadap reproduksi yang dihasilkan, dimana karang yang tua lebih subur (Kojin dan Quinn, 1985). Sebaliknya pada karang dengan ukuran polip besar sepserti Lobophyllia cortmbosa menunjukan bahwa ukuran polip lebih menentukan kedewasaan dan kesuburan dibanding ukuran koloninya. (Harriot, 1983). Pada koloni bentuk bercabang seperti Pocillopora dan Acropora memperlihatkan kematangan seksualnya pada umur 2-3 tahun dan mulai menghasilkan gamet atau larva pertama. Karang massive yang diwakili oleh Porites menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lama berkisar antara


(39)

4-7 tahun (Babcock, 1988). Pada jenis-jenis yang memperlihatkan adanya hubungan antara ukuran koloni dan reproduksi akan gangguan pertumbuhan akibat stress juga akan menunjukan penurunan potensi reproduksinya (Brown and Howard, 1985).

Kecerahan perairan penting bagi pertumbuhan dan mendukung proses reproduksi dan rekrutment hewan karang (Jokiel, 1985 ; Tomascik dan Sander, 1987). Perairan yang jernih dengan sedimen rendah meningkatkan penetrasi cahaya yang dibutuhkan selama aktifitas fotosintesis oleh algae simbion zooxhantella. Hasil fotosintesis berupa karbohidrat dan transfer energi berkontribusi jelas dalam proses reproduksi terutama saat produksi gamet dan larva. Sebaran terumbu karang sepanjang perairan dangkal pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap sedimentasi yang meningkatkan kekeruhan perairan.

Sedimentasi secara terus menerus menjadi masalah utama terumbu karang di perairan pesisir. Penimbunana sedimen diatas permukaan koloni karang membutuhkan energi banyak untuk membersihkannya sehingga memperlambat laju pertumbuhan serta mengurangi ketersedian energi untuk proses reproduksi. Sedimen juga menghalangi dan mencegah sinyal bio-kimia larva hewan karang untuk mengenali substrat yang akan ditempelinya (Tomascik dan Sander, 1987).

Pengayaan nutrient dalam perairan atau eutrofikasi menjadi permasalan tersendiri terhadap proses reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Tomascik, 1991). Sumber utama nutrient dalam perairan berasal dari aktifitas pertanian dan limbah rumah tangga. Suspensi nutrien dalam perairan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Pada kondisi lain, peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan cepat biota bentik tertentu seperti Algae, Sponge, Tunicate dan Bryzoan yang merupakan kompetitor utama bentik karang yang tumbuh lambat (Birkeland, 1988). Pertumbuhan biota bentik yang cepat menutupi permukaan substrat dan menghalangi penempelan larva hewan karang (Hatcher, 1984 ; Tomascik, 1991 ; Done, 1992 ; Hughes, 1994).

Total pemasukan substansi/matreal ke dalam perairan berbanding lurus dengan waktu. Artinya aktifitas pemanfaatan di sepanjang pesisir akan memberikan kontribusi pencemaran yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.


(40)

Substansi pencemar seperti minyak, cadmium dan logam berat yang berasal dari berbagai sumber masuk ke dalam perairan melalui, arus laut, aliran sungai dan air hujan. Bahan pencemar seperti pestisida Chlorpyrifos mampu menurunkan kemampuan penempelan dan metamorphosis larva hewan karang pada kadar 0.005 ppm. Tumpahan minyak telah menurunkan ukuran dan volum gonad hewan karang dibanding daerah yang tidak terkena tumpahan minyak (Guzman dan Holst, 1993). Pada kondisi tertentu pencemaran minyak dapat menggagalkan formasi larva karang untuk bertahan hidup (Loya dan Rinkevich, 1979). Substansi pencemar juga diketahui mampu menghalangi sinyal bio-kimia karang yang mengatur kesesuaian dan keteraturan produksi sperma dan telur (Richmond, 1993)

Pola rekrutmen dan kemampuan larva pada beberapa terumbu sangat tergantung pada jauhnya jarak komunitas karang mensuplai larva planulanya (Richmond, 1987 ; Babcock, 1988). Jika terumbu tempat hewan karang menghasilkan larva atau telur terganggu dengan sendirinya juga memberikan dampak terhadap keberlanjutan terumbu itu sendiri. Prinsip ini penting untuk menentukan daerah perlindungan yang terdiri dari banyak pulau atau antar wilayah terumbu yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada penentuan daerah-daerah perlindungan laut untuk terumbu karang dengan mempertimbangkan pola pemenceran larvanya (William et al, 1984).

Keberhasilan reproduksi hewan karang tidak menjamin penambahan koloni ke dalam populasi sampai larva dan reproduksi aseksual berhasil dalam proses rekrutmennya. Larva yang dihasilakan oleh koloni pada terumbu yang sehat tidak mengalami rekrutmen dengan baik karena kualitas perairan dan ketersedian larva. Sedimentasi tinggi dari sungai mengakibatkan kematian pada koloni karang dewasa, namun menyediakan substrat dan tidak menghalagi penenmpelan larva. Kondisi terumbu karang (kelimpahan dan keanekragaman) tidak bisa menunjukan kesehatan terumbu karang hanya menunjukan kondisi pada saat itu. Namun pola rekrutmen mampu memprediksi keadaan terumbu pada masa akan datang. Kegagalan reproduksi dan ketidak mampuan penempelan sering terlihat pada wilayah dimana karang dewasa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik (Richmond, 1997).


(41)

2.8 Kerusakan dan Pemulihan Terumbu Karang

Hewan karang sangat sensitif dan mudah mengalami kematian akibat kejadian alam dan aktifitas manusia. Keberhasilan proses reproduksi dan kelulusan hidup rekrutmen karang akan menjamin keberlanjutan populasi hewan karang dan memulihakan komunitas terumbu yang telah rusak. Tindakan pencegahan dan rehabilitasi kerusakan terumbu karang dapat dilakukan dengan mengelolaa aktifitas yang berdapmpak terhadap kerusan terumbu. Selain itu pengembangan metode untuk aplikasi pembenihan dan pengembalian habitat terumbu kembali sangat dibutuhkan. Percobaan pemanenan larva di alam untuk dijadikan benih telah sukses dilakukan pada wilayah yang telah rusak akibat serangan predator Achantatser dan sedimentasi. Hai ini menunjukan bahwa pembenihan kembali di alam dapat menaikan laju rekrutmen secara alami. Namun tetap saja sebuah koloni karang dengan umur 50 tahun tidak bisa digantikan oleh rekrut yang berumur kurang dari 50 tahun. Pencegahan terhadap aktifitas manusia yang merusak terumbu lebih efektif untuk mendukung reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Richmond, 1997).


(42)

 

3. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 9 bulan mulai Maret sampai November 2010. Alokasi waktu 9 bulan mengindikasikan representasi musim yaitu Musim Peralihan Barat-Timur (Maret - April- Mei), Musim Timur (Juni – Juli - Agustus), dan Musim Peralihan Timur-Barat (September – Oktober - November), dimana masing-masing musim menunjukan karakter oseanografis dan gejala cuaca yang khas (Suyarso, 1995). Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu (1) bulan yaitu Maret sampai Agustus (T0-T5) dan interval waktu 3 bulan yaitu September sampai November (T5-T6). Lokasi penelitian adalah perairan terumbu karang Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengamatan di lapangan secara spasial dibedakan atas dua stasiun berdasarkan karakteristik lingkungan perairan, dan kondisi terumbu. Disamping itu bentuk pemanfaatan wilayah perairan dan status konservasi juga menjadi pertimbangan. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan dua stasiun penelitian yaitu Stasiun pari-selatan (ST1-pari) pada posisi 05o 52’ 212’’ Lintang Selatan dan 106o 36’ 754’’ Bujur Timur dan Stasiun tikus-utara (ST2-tikus) pada posisi 05o51’168’’ Lintang Selatan dan 106o34’795’’ Bujur Timur.

Penelitian dilaksanakan di terumbu karang Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Pengamatan di lapangan secara spasial dibedakan atas dua stasiun berdasarkan bentuk pemanfaatan dan status konservasinya. Pada lokasi penelitian dilakukan sampling pada dua (2) stasiun berbeda, yang didasarkan pada karakteristik perairan dan kondisi terumbu. Selain itu perbedaan stasiun juga didasarkan pada status pemanfaatan wilayah perairan yaitu sebagai area perlindungan laut (APL) dan non-area perlindungan laut (NON-APL). Berdasarkan kriteria tersebut telah ditetapkan stasiun penelitian yaitu Stasiun pari-selatan (ST1-pari) pada posisi 05o 52’ 212’’ lintang selatan dan 106o 36’ 754’’ bujur timur dan Stasiun tikus-utara (ST2-tikus) pada posisi 05o51’168’’ lintang selatan dan 106o34’795’’ bujur timur.


(43)

 

3.2 Objek

Da atau juven (2008) juv (visible) s diameter. beberapa k sampai uk (Engehard lapangan dikelompo

ST1‐tik

Gambar

k Penelitian

alam penelit nile yang te venile kara sampai uku

Rekrutme kelas ukura kuran kuran dt, 2000 ; O objek sa okan dalam kus 

r 2. Lokasi G

n

tian ini rekr elah menem ang didefini

uran kuran en hewan k an koloni mu ng atau sa Obura dan G

ampling d tiga kelas u

Gugus Pulau

rutmen kara mpel tetap p isikan seb ng atau sam

karang yan ulai dari pa ama dengan

Grimsditch dibedakan ukuran yang

P. Tikus

u Pari dan p

ang adalah pada substr agai semua ma dengan ng akan dia aling kecil (d

n 10 cm m , 2009). B

berdasarka g disajikan d

s

posisi stasiu

semua kolo rat alami. a koloni ya 5 cm ma amati dikel dapat diama maksimal p Berdasarkan an bentuk dalam tabel ST1‐pari 

un penelitian

oni karang m Menurut P ang dapat d

aksimal pan ompokan d ati secara v

anjang diam n hasil surv k koloni l 1 berikut in

n muda Penin dilihat njang dalam isual) meter vei di serta ni:


(44)

 

< 3 cm (small) 3 – 6 cm (medium) > 6 cm dan 10cm ≤ (large) Massive

Branching

Gambar 3. Objek penelitian, rekrut karang berdasarkan bentuk koloni dan kelas ukuran

3.3 Metode sampling

Pada setiap stasiun dilakukan pengukuran kelulusan hidup dan laju pertumbuhan rekrutmen karang pada dua (2) bentuk koloni Massive dan Branching dan tiga (3) kelas ukuran yang berbeda, Small (< 3 cm), Medium (3 - 6 cm), dan Large (> 6 cm dan ≤ 10 cm) masing-masingnya sebanyak 5 koloni dan ditandai (tangging). Rekrutmen karang dipilih dalam luasan belt transek permanen 2 meter x 70 meter. Pengamatan dilakukan dengan interval waktu setiap satu bulan dan setiap 3 bulan. Pencatatan awal atau T0- Maret meliputi jumlah koloni, ukuran koloni serta tipe substrat dasar perairan, dilanjutkan pada bulan kedua sebagai T1- April antara lain jumlah koloni yang mati dan ukuran koloni yang hidup, dan seterusnya sebagai T2-Mei, T3-Juni, T4-Juli sampai T6-November. Identifikasi dilakukan langsung di lapangan didukung foto bawah air dan koleksi untuk identifikasi lebih lanjut. Identifikasi dilakukan sampai tingkatan genus dengan mengacu kepada Veron (2000), dan Suharsono (2008). Pada waktu yang sama dilakukan pengukuran kualitas perairan antara lain kadar garam (refractometer), derajat keasaman (pH universal), arus permukaan (konvensional), suhu permukaan (thermometer celup), kecerahan (keping secchi), kadar nutrien (Colorimeter DR/980 set), dan sedimentasi (sedimen trap).

Data pendukung berupa populasi rekrutmen karang dilakukan pada kedua stasiun di satu kedalam yaitu antara 5-7 meter. Metode sampling pengamatan populasi rekrutmen adalah metode bentik kuadrat ukuran 1 meter x 1 meter dengan 3 kali ulangan (Obura dan Grimsditch, 2009). Penempatan bingkai


(45)

 

kuadrat dilakuan secara acak sepanjang transek permanen. Untuk bentik terumbu dilakukan pada kedalaman yang sama dengan menggunakan Metode Line Intercept Transect (LIT), sedangkan populasi ikan karang kelompok Chatodontidae, Scaridae dan Siganidae menggunakan metode belt transek dengan cara under water visual cencus (English et al., 1997).

3.4 Analisa Data

3.4.1 Struktur komunitas

Data kualitatif berupa sebaran kekayaan jenis rekrutmen hewan karang yang ditemukan dianalisis secara deskriptif dengan kekayaan jenis, jumlah koloni dan kepadatan. Analisa struktur komunitas dilakukan terhadap rekrutmen karang dan komponen biologi lainnya. Struktur komunitas dihitung setalah dilakukan identifikasi dan jumlah jenis/koloni telah diketahui. Pengukuran struktur komunitas meliputi:

Indeks keragaman berdasarkan Shannon-Wiener (Krebs, 1989)

Keterangan: H’ = indeks keragaman s = jumlah jenis

pi = perbandingan jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah total individu

Indeks keseragaman (Krebs, 1989)

Keterangan: H’ = indeks kergaman

H maks =indeks kergaman maksimum (log2S)

Indeks dominasi, berdasar indeks dominasi Simpson (Krebs, 1989)

Keterangan: C = indeks dominasi

pi = perbandingan jumlah individu jenis ke-i dengan jumlah total individu s

H’ = ∑pi ln pi

i=1

H’ E = --- H’maks

s

C = ∑ (pi)2


(46)

 

3.4.2 Survival Rate (SR)

Laju kelulusan hidup dianalisis berdasarkan data-data rekrutmen yang masih hidup setiap bulan pengamatan dengan menggunakan formula

Keterangan SR = Laju kelulusan hidup rekrutmen karang

Lt = Total rekrutmen karang yang hidup saat t (koloni) Lo = Total rekrutmen karang pada awal pengamatan (koloni) t = waktu selama pengamatan (bulan)

Hubungan waktu dan laju kelulusan hidup diuji dengan regresi linier sederhana pada tingkat kesalahan 5%

3.4.3 Growth Rate (GR)

Rekrutmen karang yang dapat bertahan hidup selanjutnya dilakukan analisis laju pertumbuhannya dengan menggunakan formula:

Keterangan GR = Laju pertumbuhan rekrutmen karang

Wt = Total rerata luas koloni rekrutmen karang saat t (mm2)

Lo = Total rerata luas koloni rekrutmen karang pada awal pengamatan (mm2) t = waktu selama pengamatan (bulan)

Hubungan waktu dan laju pertumbuhan rekrut karang diuji dengan regresi linier sederhana pada tingkat kesalahan 5%

3.4.4 Data Kualitas Air

Data kualitas air berupa faktor fisika dan kimia yang diukur merupakan karakteristik kualitas air laut di lokasi penelitian. Analisa karakteristik kualitas air pada stasiun berbeda dilakukan dengan analisis secara deskritif berdasarkan data kualitas air yang diukur.

  Lt – Lo  SR =  ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐         t 

  Wt – Wo  GR =  ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐         t 


(47)

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

4.1.1 Lokasi Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. Gugusan pulau-pulau sangat kecil ini termasuk tipe pulau karang timbul dan pulau

daratan rendah (low islands), terdiri dari Pulau Pari, Kongsi, Tengah, Kudus dan

Burung pada posisi 05o 50’ LS sampai 05o 52’ LS dan 106o 34’ BT hingga 106o

38’ BT. Terumbu karang mengelilingi semua gugus pulau-pulau tersebut

sehingga menjadi satu kesatuan terumbu dengan tipe terumbu tepi (freenging

reef) yang memanjang secara diagonal arah Barat Daya – Timur Laut dengan total

luas mencapai 10,74 km2 (Asriningrum, 2005). Bentuk dan bagian-bagian

terumbu cukup komplit, terdiri dari rataan terumbu (reef flate), goba (lagoon) dan

terumbu yang mengelilingi goba (atol) sehingga menyerupai pulau atol dikenal

juga dengan atol semu (pseudoatol) atau atol mini (small atol).

Sumber: Asriningrum, 2005


(48)

Rataan terumbu adalah bagian terumbu paling luas yaitu dengan panjang berkisar antara 400-1500 meter tegak lurus garis pantai pulau terdekat arah ke laut lepas. Saat pasang, rataan terumbu digenangi air sampai kedalaman 1 meter dan dapat terpapar sampai 0,3 - 0,4 meter di atas permukaan laut saat surut terendah. Pada bagian tertentu, di rataan terumbu ditemukan cekungan-cekungan (goba) yang selalu tergenang saat air surut dengan kedalaman berkisar antara 2-15 meter. Dasar perairan rataan terumbu didominasi oleh dasar berpasir terutama bagian yang dekat dengan pantai, sedangkan substrat keras dan patahan karang mati

ditemukan dekat puncak terumbu (reef crest) dan tubir (reef front). Puncak

terumbu ditandai dengan bagian paling tinggi dari terumbu dan terkadang muncul saat surut terendah, sedangkan tubir bagian paling depan dari terumbu. Kedua bagian terumbu ini berhubungan langsung dengan perairan terbuka, didominasi oleh biota bentik dari kelompok algae, karang dan biota bentik lainnya. Tubir

terumbu berlanjut sebagai lereng terumbu (slope) dengan kemiringan berkisar

antara 30-40 derajat sampai kedalaman 10-15 meter (Suharsono, 1999).

Tabel 2. Persentasi tutupan kategori bentik terumbu pada terumbu Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (7 stasiun)

NO

KATEGORI BENTIK

STASIUN

JUMLAH RERATA PC01 PC02 PC03 PC04 PC05 PC06 PC07

I BENTIK BIOTIS

1 Acropora 5 15 20 10 15 15 10 90 12.86

2 Nonacropora 25 20 20 10 35 30 20 170 24.29

3 Soft Coral 5 5 5 5 10 5 7 42 6

4 Sponge 5 3 2 2 3 3 2 20 2.86

5 Makro Algae 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 Seagrass 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7

Death Coral With

Algae 33 20 15 50 20 30 40 198 28.29

8 Death Coral 0 0 1 0 1 0 0 2 0.29

9 Others 2 2 2 3 1 2 1 13 1.86

II BENTIK ABIOTIS

10 Ruble 15 30 30 15 10 10 17 127 18.14

12 Sand 10 5 5 5 5 5 3 38 5.43

13 Rock 0 0 0 0 0 0 0 0 0

JUMLAH 100 100 100 100 100 100 100 700 100

Sumber: Abrar 2008 (unpublish)

Hasil pengamatan substrat dasar pada lereng terumbu Gugus Pulau Pari telah dilakukan di tujuh (7) stasiun dan disajikan dalam Tabel 3. Substrat dasar


(49)

perairan dibedakan dalam kelompok bentik biotis dan abiotis dengan beberapa kategori bentik pada masing-masing kelompok. Hasil pengamatan menunjukan persentasi tutupan masing-masing kategori cukup bervariasi dengan rerata 0,29 - 28,3 % dan beberapa kategori tidak ada. Rerata persentasi tutupan karang hidup

dari kelompok Acropora dan Non Acropora paling tinggi yaitu 37,03 %,

sedangkan tutupan Sponge dan soft coral cukup rendah masing-masing 2,86 %

dan 6%. Kategori bentik dari kelompok karang mati yang telah ditumbuhi algae (death coral with algae) cukup tinggi yaitu 28,29%, sedangkan karang mati yang

belum ditumbuhi algae (bleaching) sangat rendah yaitu 0,29 %. Kategori bentik

biotis lainnya terdiri dari biota-biota yang berassosiasi dengan terumbu memiliki rerata tutupan hanya 1,86%. Kelompok bentik abiotis terutama dari patahan karang mati mencapai 18,14% dan pasir menutupi sekitar 5,43%.

4.1.2 Gambaran Stasiun Penelitian

Stasiun penelitian ST1-pari berada antara Selatan-Barat Pulau Pari atau

Selatan-Timur Gugus Pulau Pari pada posisi 05o 52’ 212’’ LS dan 106o 36’ 754’’

BT. Kondisi perairan relatif terbuka dengan arus dan gelombang cukup kuat, keruh, dan sangat terpengaruh oleh Musim Timur (Juni – Agustus). Titik Sampling Stasiun ST1-Pari berada di lereng terumbu (slope) pada kedalaman 5 meter. Permukaan terumbu sebagai substrat dasar perairan umumnya adalah patahan karang mati dan dasar keras dari karang mati , ditutupi sedimen halus (lumpur) dan ditumbuhi algae filamen dengan tutupan keduanya mencapai 57% dan sedikit dasar berpasir sekitar 3%. Pada dasar perairan juga ditemukan banyak unit rangka untuk transplantasi karang yang sebagian besar telah ditutup oleh biota bentik termasuk oleh koloni karang. Koloni karang hidup banyak ditemukan pada kedalaman 2-7 meter dan semakin berkurang sampai kedalaman 15 meter. Hasil penilaian secara cepat (RRI) tutupan koloni karang hidup mencapai 30% dengan demikian terumbu berada dalam kondisi sedang. Biota bentik lainya terutama dari sponge, karang lunak dan biota yang berassosiasi dengan terumbu sangat rendah dengan persentasi tutupan hanya 10%.

Wilayah perairan Stasiun ST1-pari termasuk kawasan Area Perlindungan Laut (APL) Kelurahan Pulau Pari dengan pemanfaatan terbatas untuk pendidikan


(50)

dan penelitian kelautan. Aktifitas manusia di darat dari pemukiman masyarakat di Pulau Pari dan pengembangan sepanjang pesisir Teluk Jakarta, dan Pantai Utara Banten sangat berdampak terhadap ekosistem terumbu karang seperti sedimentasi, sampah dan pencemaran perairan (UNESCO, 1997).

Stasiun ST2-tikus berada pada sisi utara Pulau Tikus atau Utara-Barat

Gugus Pulau Pari dengan posisi 05o51’168’’ lintang selatan dan 106o34’795’’

bujur timur. Stasiun ini adalah bagian dari dinding luar terumbu atol Goba Pulau Tikus yang berhadapan langsung dengan laut lepas dan merupakan selat sempit antara Gugus Pulau Pari dan Pulau Payung dengan kedalaman maksimal mencapai 80 meter. Kondisi perairan relatif agak terlindung, lebih jernih dengan gelombang tidak terlalu kuat, namun arus cukup kuat terutama saat mulai surut dan pasang serta sangat terpengaruh oleh Musim Barat (Desember – Februari) (Rudi 2006).

Rataan terumbu cukup luas dengan kombinasi atol dan goba dimana panjangnya mencapai 1500 meter dari garis pantai pulau terdekat. Dasar perairan

didominasi oleh pertumbuhan karang hidup dari kelompok Acropora dan Non

Acropora dengan tutupan mencapai 50% sehingga terumbu karangnya berada dalam kondisi baik. Biota lain antara lain dari kelompok sponge, karang lunak dan biota yang berassosiasi dengan terumbu terlihat sangat sedikit dengan tutupan hanya mencapai 14%. Karang mati yang telah ditumbuhi algae filamen cukup

tinggi dengan tutupan mencapai 20% dan sedikit pemutihan karang (bleaching).

Permukaan terumbu dari patahan karang mati terlihat cukup tinggi yaitu mencapai 20% dengan sedikit dasar berpasir yang hanya menutupi sekitar 5%

Stasiun ST2-tikus tidak termasuk dalam kawasan pengelolaan dan wilayah konservasi. Pemanfaatan perairan adalah sebagai daerah tangkapan perikanan terumbu dan lokasi budidaya rumput laut serta pembesaran ikan dalam keramba terutama di perairan goba. Perairan selat di depan stasiun penelitian cukup dalam yaitu 70-80 meter sehingga menjadi jalur pelayaran bagi kapal-kapal besar menuju dan dari perairan Utara Jawa.


(51)

4.2 Gambaran Kondisi Perairan

Perairan gugus Pulau Pari termasuk dalam Gugusan Kepulauan Seribu dengan tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalam berkisar antara 15-40 meter. Termasuk perairan pedalaman semi terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massa air dari Laut Cina Selatan dan Timur Indonesia. Tipe perairan seperti ini sangat dinamis dan turbulensi tinggi sehingga kualitas perairan sangat dipengaruhi oleh substrat dasar perairan, kondisi lokal geologisnya dan pengaruh aktifitas dan pengembangan di daratan dan pulau-pulau kecil sekitarnya .

Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus, gelombang dan pasut serta kondisi oseanografi lainnya. Pola arus secara umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesia yaitu sangat terpengaruh oleh musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan diantaranya. Pada kasus lokal arus di Gugus Pulau Pari sangat tergantung oleh kondisi fisik pulau, pasang surut dan gelombang. Secara umum arus yang melewati perairan Pulau Pari memiliki kecepatan rata 20-40 cm/ dan dipengaruhi oleh pola musim baik kecepatan maupun arahnya. Pada Musim Barat kecepatan arus cenderung lebih tinggi sedangkan pada Musim Timur terjadi penurunan berkisar antara 12-64 cm/dt. Kondisi lokal ini akan menghasilkan pola-pola arus spesifik di setiap sisi pulau. Kekuatan arus dan pergantian massa air lebih tinggi pada sisi Utara-Barat dibanding sisi Timur-Selatan terutama saat musim Peralihan Barat dan Musim Barat. Kedalama perairan serta kondisi fisik berupa selat serta perairan yang lebih terbuka merupakan faktor lokal yang sangat berpengaruh terhadap pola arus tersebut.

Gelombang sangat berperan terhadap keterlarutan gas dalam perairan serta perpindahan material tersuspensi dalam massa air. Disamping itu pada perairan dangkal gelombang berdampak terhadap turbulensi dan memberikan tekanan pada massa air terhadap substrat dasar perairan. Besarnya pengaruh gelombang sangat ditentukan oleh frekuensi dan ketinggiannya. Tinggi gelombang di perairan Kepulauan Seribu berkisar anatar 0,05 – 1,03 meter dengan frekuensi 2,13 – 5,52 detik. Pada saat Musim Barat tinggi gelombang dapat mencapai 0,5 – 1,5 meter dan pada Musim Timur lebih rendah yaitu 0,5 – 1,0 meter.


(1)

Lampiran 11

. Data laju kelulusan hidup rekrutmen karang ST1-pari (A) dan Stasiun

ST2-tikus (B)

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

Massive Small 5 5 5 5 5 4 4

SR 100 100 100 100 100 80 80

Midle 5 5 5 5 4 4 3

SR 100 100 100 100 80 80 60

Large 5 4 3 3 3 3 2 SR 100 80 60 60 60 60 40

Branching Small 5 5 5 5 3 3 2

SR 100 100 100 100 60 60 40

Midle 5 3 2 2 1 1 1 SR 100 60 40 40 20 20 20 Large 5 3 3 3 3 3 2 SR 100 60 60 60 60 60 40

Jumlah 30 25 23 23 19 18 14

(A) 

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

Massive Small 5 5 5 5 5 4 4

SR 100 100 100 100 100 80 80

Midle 5 5 5 4 4 4 4

SR 100 100 100 80 80 80 80

Large 5 5 5 5 5 5 5

SR 100 100 100 100 100 100 100

Branching Small 5 5 5 5 4 4 4

SR 100 100 100 100 80 80 80

Midle 5 5 5 4 4 3 2

SR 100 100 100 80 80 60 40

Large 5 5 5 5 5 4 4

SR 100 100 100 100 100 80 80

Jumlah    30  30  30  28  27  24  23  (B)           


(2)

ST1-pari ST2-tikus

PERIODE berat basah (gr) berat kering (gr) berat basah berat kering

trap A trap B trap C Rerata trap A trap B trap C Rerata trap A trap B trap C Rerata trap A trap B trap C Rerata

T0-Maret 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

T1-April 13,2 8,5 5 9,9 3,2 2,6 1,9 3,57 9,6 0 0 9,6 2,5 0 0 2,5

T2-Mei 0 13,3 0 5,43 0 9,5 0 4,17 1,2 2,2 5 3,8 0,2 0,9 1,7 1,93

T3-Juni 12,2 15,3 16,4 15,63 7,12 9,93 10 10,02 18 14 20,2 18,4 9,62 8,13 10,8 10,52 T4-Juli 14,5 15,7 11 14,73 4,52 4,83 3,2 5,18 15,1 16,7 17,3 17,37 3,32 3,35 3,4 4,36 T5-Agustus 19,5 14 17,2 17,9 5,2 4,5 4,7 5,8 22,5 36,3 40,4 34,06 4,8 8,6 8,8 8,4 T6-November 12,2 17 16,7 16,3 5,7 7,8 7,5 8 20,3 19,5 23,9 22,23 9,1 7,8 10,1 10

   


(3)

Lampiran 13

. Hasil uji regresi linier sederhana untuk melihat hubungan waktu laju

kelulusan hidup (A) dan laju pertumbuhan rekrut karang

 

 

 

B

T0‐Maret T1‐April T2‐Mei T3‐Juni T4‐Juli T5‐Agustus

ST1‐pari 0 3,84 3,26 2,77 3,18 3,02

ST2‐tikus 0 4,8 4,69 5,39 5,85 5,2

y = 0,360x + 1,415 R² = 0,246 y = 0,852x + 1,336

R² = 0,546

0 1 2 3 4 5 6 7 Laju   Pertumbuhan   (mm/bulan)

T0‐Maret T1‐April T2‐Mei T3‐Juni T4‐Juli T5‐

Agustus

T6‐ Novembe

r

ST1‐tikus 100 100 100 93,33333 90 80 76,66666

ST1‐pari 100 83,33333 76,66666 76,66666 63,33333 60 46,66666

y = ‐4,285x + 108,5 R² = 0,895

y = ‐7,857x + 103,8 R² = 0,951

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Laju   Kelulusan   Hidup   (%)


(4)

           


(5)

(6)