perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
yang diterangkan lebih lanjut dalam Peraturan Mendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi telah membawa perubahan dalam bidang pendidikan.
Implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, antara lain Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan
delapan standar nasional pendidikan, yaitu 1 standar isi, 2 standar proses, 3 standar kompetensi lulusan, 4 standar pendidik dan tenaga kependidikan, 5
standar sarana dan prasarana, 6 standar pengelolaan, 7 standar pembiayaan, dan 8 standar penilaian pendidikan.
Dalam kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia sekarang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP, standar kompetensi mata pelajaran bahasa
Indonesia mencakup dua kompetensi, yaitu 1 kompetensi berbahasa, dan 2 kompetensi bersastra. Dua kompetensi tersebut secara terpadu diajarkan melalui
empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 2
Menulis sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa penting diajarkan kepada siswa karena keterampilan menulis sudah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat dihindarkan dalam memenuhi keperluan sehari-hari terkait dengan kegiatan tulis-menulis. Selain itu, siswa diharapkan mampu mengungkapkan gagasan secara
jelas, logis, sistematis, sesuai dengan konteks dan keperluan komunikasi. Pembelajaran bahasa Indonesia selama ini sangat kurang melatih siswa dalam
penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi. Siswa lebih banyak diberi pengetahuan dan aturan-aturan tata bahasa tanpa pernah tahu bagaimana
mengaitkannya dalam latihan-latihan menulis dan berbicara Muklisoh dkk,. 1992:1. Masalah yang sering dilontarkan dalam pelajaran menulis adalah kurangnya
kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal tersebut dapat dilihat pada pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang
efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata atau membuat kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide secara teratur dan sistematik, di
samping kesalahan masalah ejaan Sabarti Akhadiah dkk, 1996 : 5. Selain itu, menulis efektif merupakan kebutuhan mutlak bagi setiap orang
yang terlibat dalam kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Hal tersebut disebabkan semua aktivitas komunikasi tidak dapat dilepaskan dari
pemanfaatan sarana tulis. Kenyataannya bentuk komunikasi tertulis merupakan bentuk komunikasi yang paling diperlukan Atar Semi, 1990: 3. Arswendo
Atmowiloto 1986: 6 menyatakan, rasanya tidak ada kegiatan selama ini yang dapat dipisahkan dari baca tulis. Menurut Atar Semi 1990: 7, kemampuan menulis
efektif diperlukan pada semua lapangan pekerjaan dan dapat menunjang atau bahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 3
menentukan keberhasilan dalam suatu pekerjaan atau jabatan. Senada dengan Atar Semi, The Liang Gie 1992: 3 menyatakan bahwa mengarang merupakan
kepandaian yang amat berguna bagi semua orang. Menurut Tarigan 1990: 187, sebagian besar guru tidak mampu menyajikan
materi menulis secara menarik, inspiratif, dan kreatif. Padahal teknik pengajaran yang dipilih dan dipraktikkan guru dalam pelaksanaan pembelajaran menulis sangat
berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Sampai saat ini, sebagian besar guru masih melaksanakan pembelajaran
dengan pendekatan konvensional, mengajarkan menulis dengan metode ceramah, dan dengan teknik penugasan. Guru menentukan beberapa judultopik, lalu
menugasi siswa memilih satu judul sebagai dasar untuk menulis. Yang diutamakan adalah produk yang berupa tulisan. Pembahasan karangan jarang dilakukan.
Dengan model pembelajaran seperti itu, siswa mengalami kesulitan dalam menulis karena keharusan mematuhi judultopik yang telah ditentukan guru. Hal itu
membuat kreativitas siswa tidak dapat berkembang maksimal. Pada hakikatnya, kesulitan menulis tersebut berkaitan dengan apa yang harus ditulis dan bagaimana
cara menuangkannya dalam bentuk tulisan. Dampak negatif dari model pembelajaran itu adalah kurangnya motivasi siswa untuk menulis sehingga
keterampilan menulis siswa rendah. Di SMP Negeri 3 Arjosari Pacitan, untuk standar isi sudah diterapkan KTSP.
KTSP di SMP 3 Arjosari menekankan pada penguatan life skill karena setelah tamat rata-rata tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Baik SMA maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 4
SMK. Sebagian besar siswanya setelah lulus pergi merantau ke Jakarta, Surabaya, Sumatera, dll.
Keadaan itu mendorong sekolah untuk semua mata pelajaran harus ada life skill-nya. Mata pelajaran Bahasa Indonesia pun harus ada life skill-nya. Misalnya,
ketika mengajarkan kompetensi dasar berpidato anak wajib bisa berpidato karena kalau pergi merantau ke Sumatera harus bisa tampil di masyarakat.
Kendala di SMP 3 Arjosari sarana dan prasarana serba terbatas. Ruang laboratorium bahasa tidak ada. Aula yang biasanya digunakan untuk pentas drama
belum ada. Perpustakaan sebagai wahana membaca –kemampuan bahasa yang dekat dengan menulis- siswa tidak ada. Yang ada hanyalah buku paket. Itupun kurang jika
dibandingkan dengan jumlah siswa. Setiap ditanya tentang permasalahan di atas jawabnya meski berkaitan
dengan dana yang minim karena hanya mengandalkan uang BOS. Itu pun tidak besar.
Ketika mengajar, guru di SMP 3 Arjosari sangat tidak profesional. Guru beralasan karena jarak rumah ke sekolah jauh, sekitar 17 Km, apalagi terjal dan naik,
sampai sekolah tinggal lelahnya. Bu Sri Puji Hartanti tidak menyiapkan pelajaran dengan baik. Ketika masuk kelas hanya berbekalkan satu buku. Kalau ditanya
tentang silabus, RPP, dan perangkat mengajar yang lain Ibu Sri Puji Hartanti bingung.
Saat mengadakan pengamatan sebelum diadakan penelitian, Ibu Sri Puji harjanti mengajarkan materi keterampilan menulis lebih banyak menjelaskan teori
menulis. Guru tidak mengajarkan keterampilan menulis. Pertanyaan yang dilontarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 5
Bu Sri Puji Hartanti pada siswa antara lain: 1 Apa yang disebut menulis, 2 Apakah jenis-jenis menulis? 3 Bagaimana cara menulis, dan lain-lain. Demikian
pula saat dilakukan wawancara dengan tiga siswa, ketiga siswa menjawab bahwa tidak pernah diberi tugas untuk membuat tulisan, khususnya tulisan narasi. Yang
diberikan kepada siswa, khusunya ketiga siswa berupa teori menulis. Berkaitan dengan keadaan di atas menyebabkan siswa tidak bergairah untuk
mengikuti pelajaran. Siswa datang di sekolah dimotivasi terpaksa. Siswa tidak termotivasi untuk mencari ilmu. Buku yang dibawa hanyalah buku tulis yang
jumlahnya tiga buah. Saat di dalam kelas pun demikian. Suasana kelas tidak menunjukkan aktivitas
belajar mengajar yang menyenangkan. Ada siswa yang begitu masuk langsung tidur. Begitu ada gurunya langsung duduk lagi. Kalau tidak ada gurunya tidur lagi. Siswa
yang lain lebih senang bergurau dengan teman sekelas. Hampir tidak ada siswa yang membaca buku.
Ketika pelajaran dimulai, ada siswa yang tengok ke kiri dan ke kanan. Mereka bingung sendiri. Mengapa ada peristiwa seperti itu? Karena, guru tidak
melakukan apersepsi. Siswa tidak tahu tujuan pembelajaran. Apalagi, tiba-tiba guru menyuruh siswa untuk menyiapkan satu lembar kertas kosong. Ibu Sri Puji Hartanti
kemudian menyuruh siswa untuk membuat karangan bertema pengalaman menarik. Lalu, guru mengatakan kepada siswa saat bel berbunyi pekerjaan dikumpulkan.
Setelah itu, Ibu Sri Puji Hartanti pergi begitu saja entah ke mana. Keadaan seperti itu berlangsung terus-menerus, khususnya saat pelajaran
menulis. Guru tidak pernah melakukan pembimbingan kepada siswanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 6
Berdasarkan peristiwa di atas, perlu ada tindakan. Salah satu tindakan atau cara mengatasi kekurangberhasilan pembelajaran menulis dilakukan terapi dengan
penelitian tindakan kelas Classroom Action Research. Dengan penelitian tindakan kelas, guru akan memperoleh manfaat praktis, yaitu dapat mengetahui secara jelas
masalah-masalah yang ada di kelasnya dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kontekstual.
Dengan demikian, guru dapat memperbaiki proses pembelajarannya di kelas secara sadar dan terencana dengan baik. Dengan penelitian tindakan kelas, kualitas
mengajar guru lebih baik, meningkatkan kualitas pelayanan dalam mengajar sehingga kinerja guru dan siswa meningkat. Selain itu guru akan terdorong semakin
profesional.
B. Perumusan Masalah