1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam suatu pembelajaran terdapat dua aktivitas inti yaitu belajar dan mengajar. Menurut Herm
awan, dkk. 2007: 22, “Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang dilakukan secara sadar dan bersifat
menetap”. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang merupakan akibat dari
latihan dan pengalaman Chaplin, dalam Syah, 2005: 90. Jadi dapat disimpulkan bahwa salahsatu ciri dari hasil belajar adalah perilaku yang menetap.
Menurut Tar dif Syah, 2005: 182, “Mengajar adalah perbuatan yang
dilakukan guru dengan tujuan membantu siswa dalam melakukan kegiatan belajar”. Sementara itu menurut Nasution Syah, 2005: 182, “Mengajar adalah
suatu aktivitas
mengorganisasi lingkungan
sebaik-baiknya dan
menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu
proses kegiatan belajar yang telah dirancang oleh guru melalui usaha yang terencana, agar terjadi perubahan perilaku secara komprehensif.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa dibekali dengan berbagai macam mata pelajaran yang kelak akan berguna untuk kehidupannya. Mata
pelajaran matematika merupakan salahsatu mata pelajaran yang harus diberikan mulai dari jenjang pendidikan dasar untuk membekali dan melatih siswa dengan
kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis, dan kreatif. Melalui pelajaran matematika di sekolah dasar, secara umum siswa dituntut untuk dapat
menghadapi perubahan dan perkembangan di dalam kehidupan dan mampu menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari
ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan BSNP, 2006: 30, mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai
berikut.
2
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5.
Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Selain memiliki tujuan, mata pelajaran Matematika juga memiliki lima kompetensi dasar yang diklasifikasikan dalam beberapa aspek. Aspek-aspek ini
merupakan kemampuan-kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap siswa setelah mengikuti pembelajaran
Matematika. Menurut Maulana 2008: 56, kemampuan matematika yang ditargetkan dalam kurikulum matematika terdiri dari:
1. pemahaman matematis,
2. pemecahan masalah matematis,
3. penalaran matematis,
4. koneksi matematis, dan
5. komunikasi matematis.
Dengan adanya kemampuan yang ditargetkan dalam kurikulum matematika, pembelajaran seyogianya dapat dilaksanakan untuk membantu siswa
dalam mencapai kemampuan tersebut. Namun, pembelajaran konvensional selama ini yang menggunakan metode ceramah pada kenyataannya lebih didominasi
dengan proses penghafalan konsep. Hal itu mengakibatkan pemahaman siswa mengenai konsep-konsep masih rendah, sehingga siswa tidak dapat
menggunakannya jika diberikan masalah yang kompleks. Pengajaran matematika yang sesungguhnya tidaklah sekedar menyampaikan konsep bagi para siswa untuk
mereka hafalkan. Akan tetapi, dalam pengajaran matematika yang penting adalah cara guru agar dapat melibatkan siswa secara aktif dalam upaya mendorong
mereka mengkontruksi dan memahami pengetahuan mereka sehingga
3
pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini sesuai dengan teori Ausubel Maulana: 2008 yang menyatakan pentingnya belajar bermakna daripada belajar menghafal.
Menuru t Piaget Sanjaya, 2006: 122, “Individu sejak kecil sudah memiliki
kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri”. Lebih lanjut Piaget
Sanjaya, 2006 juga mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh siswa melalui pemberitahuan tidak akan bermakna dan cenderung akan mudah
dilupakan. Berbeda halnya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara dibangun oleh sendiri yang tentunya akan melekat lama dalam ingatan siswa.
Begitu pula dengan mata pelajaran matematika. Matematika sebagai suatu ilmu yang memiliki konsep yang abstrak harus diajarkan dengan suatu proses
penemuan konsep oleh siswa sendiri. Munculnya lima kompetensi matematis dalam hasil belajar siswa
merupakan sesuatu yang diharapkan. Ketika suatu konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa ataupun siswa mendapatkan sendiri
melalui bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi dari komunikator kepada komunikan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan
oleh Effendy 1990 bahwa pendidikan merupakan komunikasi yang melibatkan guru sebagai komunikator dan siswa sebagai komunikan. Respon yang diberikan
komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi yang diberikan oleh komunikator.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon sering kali menjadi masalah istimewa. Contohnya saja apabila siswa tidak mampu memahami soal
cerita tentang pecahan yang diberikan oleh guru, ada kemungkinan siswa tidak mampu menyelesaikan soal tersebut dengan baik. Contoh lainnya juga apabila
siswa belum bisa memahami hubungan gambar dengan ide matematika. Ketika siswa diberi pertanyaan terkait hal tersebut, siswa akan sulit untuk menjawab
dengan tepat. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi matematis sangat diperlukan oleh siswa. Hal ini sebagai salahsatu akibat dari karakteristik
matematika itu sendiri yang memiliki bahasa artifisial. Menurut Sumardyono 2004: 28, “Bahasa matematika adalah bahasa simbol yang bersifat artifisial,
yang baru memiliki arti apabila dikenakan pada suatu konteks”.
4
Kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi seperti
yang diungkapkan oleh Maulana 2008: 58 dalam bentuk: 1.
menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika;
2. menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan,
dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; 3.
menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; 4.
mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; 5.
membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan
generalisasi; dan 6.
menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Dalam pembelajaran matematika saat ini, kemampuan serta aktivitas siswa dalam mengomunikasikan ide-ide matematikanya masih kurang. Rendahnya
kemampuan komunikasi matematis siswa disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu model pembelajaran yang terpaku pada bentuk pembelajaran yang
statis. Guru juga lebih membiasakan siswa untuk menghafalkan suatu konsep matematika. Pembelajaran yang dilaksanakan guru kurang memberikan
kesempatan pada siswa untuk memecahkan masalah dan saling berkomunikasi, dan masih banyaknya siswa yang menganggap matematika itu sulit.
Pressini dan Basset Muabuai, 2009 mengatakan bahwa tanpa komunikasi dalam matematika, pemerolehan keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman
siswa dalam melakukan proses dan aplikasi dalam matematika akan cenderung kurang. Melalui komunikasi matematis, guru dapat memahami kemampuan siswa
dalam menginterpretasi konsep dan proses matematika. Namun, beberapa praktik di lapangan memberikan keterangan bahwa guru lebih aktif daripada siswa,
sehingga pembelajaran matematika dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya.
Siswa merupakan individu yang berbeda, maka mereka juga memiliki kemampuan untuk memahami suatu konsep dengan kecepatan yang berbeda.
Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan- perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang. Misalnya perbedaan dalam
5
intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.
Pernyataan di atas juga didukung dengan pembelajaran selama ini yang merupakan pembelajaran klasikal berdasarkan perkiraan kecepatan rata-rata
siswa. Dengan demikian akan ada siswa yang merasa bahwa pengajaran yang dilakukan guru terlalu cepat dan ada siswa lain yang merasa terlalu lambat. Siswa
yang merasa terlalu lambat tentunya akan mengalami penurunan motivasi dalam belajar ketika mereka belum mampu menguasai konsep, namun harus dibebankan
untuk menguasai konsep selanjutnya. Disinilah peran teman sebaya harus ditonjolkan agar mampu membantu dan memotivasi siswa yang lambat dalam
memahami suatu konsep. Selain itu, Bonita 2011 juga berpendapat bahwa pembelajaran klasikal mempunyai banyak kelemahan, di antaranya adalah
pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa, siswa menjadi penerima secara pasif, serta pembelajaran bersifat abstrak dan teoretis.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah alternatif pengajaran yang dapat mengatasi masalah tersebut. Slavin 2005 berpendapat bahwa gagasan
utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh
guru. Isjoni 2007 juga berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan kepada aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling
memotivasi dan membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Jadi dapat disimpulkan bahwa gagasan utama model
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah untuk memotivasi siswa agar dapat bekerja sama dengan baik dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru
untuk mencapai tujuan secara maksimal. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memunculkan kerjasama
antara siswa yang satu dengan siswa lainnya dari semua tingkatan kemampuan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Dalam proses pembelajarannya para siswa
akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang. Slavin 2005 menyatakan bahwa STAD terdiri dari lima komponen utama, yaitu
presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim.
6
Materi dalam STAD pertama-tama disajikan oleh guru dalam presentasi kelas. Pada tahap ini siswa diberitahukan untuk memperhatikan apa yang
disampaikan oleh guru, karena hasil pemahamannya akan bergantung kepada kemampuan mereka untuk mengerjakan kuis yang akan diberikan guru setelah
kerja kelompok Slavin, 2005: 144. Dalam pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD, guru melibatkan siswa ketika sedang menerangkan
suatu konsep. Setelah selesai menyampaikan materinya, guru membuat siswa ke dalam
tim-tim kelompok yang dibuat secara heterogen. Slavin 2005 memberikan pendapatnya bahwa tujuan utama dari tim ini adalah memastikan agar siswa
benar-benar belajar dan lebih khususnya lagi untuk mempersiapkan setiap anggota dalam mengerjakan kuis individual. Mereka boleh bekerja berpasangan dan
membandingkan jawaban masing-masing, mendiskusikan setiap ketidaksesuaian, dan saling membantu satu sama lain jika ada yang salah dalam memahami materi.
Apabila para siswa ingin agar timnya berhasil, mereka akan mendorong anggota timnya untuk lebih baik dan mampu melakukan pekerjaan yang luar
biasa. Mereka harus dapat menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Within Ahmad, 2012 bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi berlangsung, siswa diharapkan mampu
menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang
matematika. Selama ini, membuat interpretasi mengenai soal tentang pecahan yang
disajikan dalam bentuk gambar, simbol dan soal cerita sering menjadi kesulitan bagi siswa. Namun, melalui bekerja bersama dengan tim dalam STAD diharapkan
kemampuan komunikasi siswa dapat meningkat dan berdampak pada keberhasilan siswa dalam belajar. Tidak dapat dipungkiri bahwa siswa akan lebih berani
mengungkapkan keluh kesahnya kepada teman, dibandingkan dengan kepada gurunya. Meskipun para siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling bantu
dalam mengerjakan kuis individu. Satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil
7
adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai informasi yang diajarkan oleh guru sehingga tiap anggota mendapatkan skor perkembangan tertinggi
Slavin, 2005. Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai upaya konkret untuk
menciptakan suasana belajar yang melibatkan siswa secara aktif, memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling berinteraksi, berdiskusi, dan
berkomunikasi, dan untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa, dilakukan penelitian ini dengan jud
ul: “ Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada
Materi Pecahan Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara”.
B. Rumusan dan Batasan Masalah