PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG (Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sukaraja II dan SDN Pasanggrahan III di Kecamatan Sumedang Sel

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG

(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sukaraja II dan SDN Pasanggrahan III di Kecamatan Sumedang Selatan)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

Oleh

YANTI JULLIANTI 0903197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR KAMPUS SUMEDANG

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013


(2)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG

(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sukaraja II dan SDN Pasanggrahan III di Kecamatan Sumedang Selatan)

Oleh

YANTI JULLIANTI 0903197

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

© Yanti Jullianti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

(4)

v DAFTAR ISI

ABSTAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR DIAGRAM ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan dan Batasan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Definisi Operasional... 8

BAB II STUDI LITERATUR... 9

A. Hakikat Pembelajaran Matematika ... 9

1. Pengertian Matematika... 9

2. Tujuan Pembelajaran Matematika ... 10

3. Manfaat Mempelajari Matematika ... 11

4. Pembelajaran Matematika di SD ... 12

5. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD ... 13

B. Konsep Bangun Ruang ... 14

C. Teori Belajar Matematika ... 16

D. Pembelajaran Konvensional ... 23

E. Pembelajaran Kooperatif ... 24

F. Model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share ... 29

G. Kemampuan Komunikasi Matematis ... 32

H. Pembelajaran Bangun Ruang dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share ... 36

I. Hasil Penelitian yang Relevan ... 37

J. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Subjek Penelitian ... 40

1. Populasi ... 40

2. Sampel ... 41

B. Metode dan Desain Penelitian ... 42

1. Metode Penelitian... 42

2. Desain Penelitian ... 42

C. Prosedur Penelitian... 43


(5)

2. Tahap Pelaksanaan ... 43

3. Tahap Pengolahan Data... 44

D. Instrumen Penelitian... 44

1. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis ... 44

2. Lembar Observasi ... 50

3. Angket ... 51

4. Catatan Lapangan ... 51

E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 52

1. Data Kuantitatif ... 52

2. Data Kualitatif ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 58

A. Hasil Penelitian ... 58

1. Analisis Data Kuantitatif ... 58

2. Analisis Data Kualitatif ... 84

B. Temuan dan Pembahasan ... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109

DAFTAR PUSTAKA ... 112

LAMPIRAN- LAMPIRAN ... 115

RIWAYAT HIDUP ... 282


(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara, karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional,

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, pemerintah menitikberatkan pada sistem pendidikan formal yaitu pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Matematika merupakan salahsatu mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi.

Pada hakekatnya matematika adalah ilmu pengetahuan yang berperan sebagai ratu dan pelayan ilmu. Matematika adalah ratu dan ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain. Matematika sebagai pelayan ilmu maksudnya adalah matematika melayani kebutuhan untuk ilmu-ilmu yang lain. Dengan perkataan lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Matematika adalah ilmu penting yang dapat berguna dalam setiap aspek kehidupan manusia.

Mengingat pentingnya matematika, maka mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, berkomunikasi serta kemampuan bekerjasama. Diajarkannya matematika di sekolah terdapat tujuan yang ingin dicapai/dikembangkan. Tujuan pembelajaran


(7)

matematika di sekolah dasar menurut BSNP (2006: 30), yaitu agar siswa:

1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah;

2. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;

3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh;

4. mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah;

5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan tujuan tersebut tampak bahwa arah atau orientasi pembelajaran matematika salahsatunya adalah kemampuan komunikasi matematis. Kemampuan komunikasi matematis adalah salahsatu kemampuan dasar pembelajaran matematika dalam membaca, memahami, menjelaskan, dan menyatakan suatu masalah ke dalam bahasa matematis. Komunikasi matematis bisa mendukung belajar siswa, siswa dapat menggunakan objek-objek nyata yang berkaitan dengan masalah matematika, memberikan laporan dan penjelasan-penjelasan lisan, menggunakan diagram, menulis, serta mengunakan simbol-simbol matematis sehingga siswa dapat memahami konsep tersebut dengan benar. Hal ini sejalan dengan pendapat Suherman (2008: 9) yang menyatakan,

Indikator dari kemampuan komunikasi matematis adalah menyatakan situasi-gambar-diagram ke dalam bahasa, simbol, ide, model matematika; menjelaskan ide; situasi dan relasi matematis secara lisan atau tulisan; mendengarkan, berdiskusi presentasi, menulis matematika; membaca representasi matematika; dan mengungkapkan kembali suatu uraian matematis dengan bahasa sendiri.

Sekarang ini, pembelajaran matematika sangat kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk kreatif dan ikut berpartisipasi aktif dalam mengembangkan ide/gagasan atau pendapatnya. Akhirnya komunikasi matematis siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya. Dalam pembelajaran matematika banyak siswa yang dapat menyelesaikan soal tetapi tidak mampu menjelaskan


(8)

3

jawaban yang mereka berikan. Sebagian besar siswa dapat menyelesaikan soal yang sudah diberikan contoh penyelesaiannya. Siswa menyelesaikan soal hanya dengan mengikuti langkah-langkah yang diberikan guru pada contoh soal. Pada pembelajarannya jarang sekali siswa mengkomunikasikan ide-idenya, sehingga matematika dianggap mata pelajaran yang sukar bagi sebagian besar siswa dibanding dengan mata pelajaran yang lain.

Kemampuan komunikasi matematis haruslah dimiliki pada setiap pembelajaran matematika dan pada setiap pokok bahasan yang diajarkan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek: bilangan, geometri dan pengukuran serta pengolahan data.

Geometri khususnya materi bangun ruang adalah salahsatu pokok bahasan yang menjadi bagian dari standar kompetensi pada kelas IV Semester 2 dan pada pokok bahasan bangun ruang inipun siswa harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi secara tulisan maupun lisan. Komunikasi tulisan diartikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan dunia nyata dengan mengunakan kosakata yang dituangkan dalam gambar, grafik maupun simbol-simbol matematika. Komunikasi matematis lisan dapat diartikan sebagai interaksi yang terjadi di dalam lingkungan kelas dan sedang terjadi pengalihan pesan yang berisi tentang materi pelajaran antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa.

Pada kenyataan di lapangan, masih banyak siswa yang belum berani mengkomunikasikan ide atau gagasannya secara lisan maupun tulisan pada pokok bahasan bangun ruang. Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya pada materi bangun ruang harus dapat diperhatikan, karena hal ini sangat penting agar pembelajaran matematika khususnya pada materi bangun ruang menjadi lebih bermakna bagi siswa.

Pada saat ini komunikasi matematis terutama pada materi bangun ruang yang seharusnya mendapat perhatian sering terabaikan. Dari fenomena di atas, menunjukkan bahwa masih perlu diteliti lagi model atau pendekatan yang paling tepat diterapkan yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis


(9)

siswa. Kekurangtepatan guru dalam memilih model pembelajaran merupakan salah satu penyebab kurang baiknya kemampuan komunikasi matematis siswa.

Salahsatu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat dan dapat memotivasi siswa untuk dapat mengembangkan komunikasi matematis siswa ketika dalam proses pembelajaran berlangsung. Kemampuan komunikasi matematis menjadi penting ketika diskusi antar siswa dilakukan, di mana siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerjasama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika. Dengan berdiskusi siswa mendapatkan banyak ide yang baru. Siswa dapat menyampaikan ide-ide yang telah didapatnya kepada teman yang lain. Jika idenya terdapat kekurangan, teman yang lain dapat menambahkannya sehingga siswa mampu memahami secara keseluruhan konsep yang diajarkan. Jenis pembelajaran tersebut terdapat pada pembelajaran kooperatif.

Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang melibatkan interaksi siswa di dalam kelompoknya sehingga dapat memecahkan suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Pada pembelajaran kooperatif siswa diberi kesempatan untuk bekerjasama dengan temannya dalam mengerjakan tugas-tugas dan mengkomunikasikannya bersama teman serta guru.

Salah satu metode pembelajaran matematika yang diduga dapat membantu para siswa dalam mengembangkan komunikasi matematis khususnya pada materi bangun ruang adalah pembelajaran dengan metode think-pair-share. Think-pair-share dikembangkan oleh Frank Lyman (Lie, 2005: 57) sebagai struktur kegiatan pembelajaran kooperatif. Teknik ini merupakan model pembelajaran alternatif yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, karena model pembelajaran ini memfokuskan pada kemampuan siswa. Siswa melakukan suatu proses komunikasi matematis sesuai dengan bahasa atau pemahamannya sendiri. Model pembelajaran ini juga memfokuskan pada kemampuan siswa untuk membangun konsep-konsep materi bagi siswa.

Suherman (2008) mengemukakan bahwa, think-pair-share tergolong tipe kooperatif dengan sintaks: guru menyajikan materi klasikal, berikan persoalan


(10)

5

kepada siswa. Pada saat guru memberikan masalah yang dapat merangsang pemikiran siswa, siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan jawabannya sendiri terhadap permasalahan yang diberikan (think). Kemudian siswa bekerja kelompok dengan cara berpasangan sebangku-sebangku (pair), dengan bekerja kelompok siswa dapat mencari solusi untuk memecahkan masalah yang diberikan, serta siswa dapat mengembangkan idenya yang telah didapat dengan teman-temannya. Setelah mendapatkan ide siswa dengan teman sebangkunya berbagi ide (share) dan memberikan jawaban atas permasalahan yang diberikan.

Model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain, siswa dapat mengembangkan kemampuan untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Selain itu, interaksi yang terjadi selama pembelajaran dapat meningkatkan motivasi dan memberi rangsangan untuk berpikir sehingga bermanfaat bagi proses pendidikan jangka panjang.

Berdasarkan berbagai pemikiran itulah, penulis melakukan penelitian eksperimen yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dalam Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Bangun Ruang”.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apakah pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang? 2. Apakah pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe

think-pair-share dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang?

3. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi bangun ruang yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe


(11)

think-pair-share lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional?

4. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share?

5. Faktor apa saja yang mendukung atau menghambat pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share?

Penelitian ini dibatasi hanya pada siswa kelas IV sekolah dasar di Kecamatan Sumedang Selatan semester genap tahun ajaran 2012/2013 pada pokok bahasan memahami sifat bangun ruang sederhana dan hubungan antar bangun datar dengan subpokok bahasan menentukan sifat-sifat dan jaring-jaring balok serta kubus. Pemilihan materi tersebut didasarkan pada hal-hal sebagai berikut ini.

1. Bangun ruang merupakan salah satu materi yang erat kaitannya dan banyak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Materi bangun ruang dapat melatih dan memperkuat kemampuan tilikan ruang siswa.

C. Tujuan Penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan tertentu, begitu pula dengan penelitian ini. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, tujuan yang hendak dicapai adalah:

1. untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang yang mengikuti pembelajaran konvensional,

2. untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang yang mengikuti model kooperatif tipe think-pair-share,

3. untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional,


(12)

7

4. untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share,

5. untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung atau menghambat pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pelaksanaan pendidikan dalam upaya memperbaiki proses belajar-mengajar dan meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa dalam pembelajaran matematika. Adapun manfaat yang dapat diambil dari pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share ini sebagai berikut.

1. Bagi siswa, dengan penelitian ini siswa akan memperoleh kesempatan untuk merepresentasikan ide-ide matematika dengan menggunakan kata-kata sendiri, menggunakan argumen serta memperoleh pembelajaran yang berbeda dengan yang biasa diterima/dilakukan sebelumnya sehingga dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan komunikasi matematis yang dimilikinya baik secara lisan maupun tulisan dan bisa lebih bersosialisasi diantara teman serta tumbuh rasa kebersamaan dan gotong-royong.

2. Bagi guru, sebagai masukan dalam mencari solusi yang lebih efektif yang berkaitan dengan peningkatan hasil belajar siswa dengan mengembangkan kemampuan komunikasi yang ada pada diri siswa. Selain itu, menambah wawasan mengenai pembelajaran dengan menggunakan model think-pair-share dan termotivasi untuk mencoba model-model pembelajaran inovatif dalam proses belajar-mengajar sehingga tidak monoton dan lebih bervariasi. 3. Bagi sekolah, memberikan kontribusi dan inovasi dalam meningkatkan

kualitas pembelajaran di sekolah dasar.

4. Bagi peneliti, pengalaman dan temuan-temuan baru yang inovatif dalam penelitian bisa digunakan sebagai langkah awal penelitian yang akan datang.


(13)

E. Definisi Operasional

1. Model kooperatif tipe think-pair-share adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif dengan tiga tahapan yaitu think (berpikir secara individual), pair (berpasangan) dan share (berbagi jawaban dengan siswa seluruh kelas).

2. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru di sekolah. Pada umumnya pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang lebih terpusat pada guru. Akibatnya terjadi praktik belajar pembelajaran yang kurang optimal karena guru membuat siswa pasif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.

3. Kemampuan komunikasi matematis siswa adalah suatu kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui peristiwa dialog atau saling hubungan yang terjadi di lingkungan kelas, di mana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus, atau strategi penyelesaian suatu masalah. Indikator-indikatornya yaitu sebagai berikut:

a. menghubungkan benda nyata, gambar, diagram ke dalam ide matematika, b. menjelaskan ide matematika tertulis dengan gambar,

c. menyusun argumen.

4. Bangun ruang disebut juga bangun tiga dimensi. Bangun ruang merupakan sebuah bangun yang memiliki ruang yang dibatasi oleh beberapa sisi.

Adapun bagian-bagian bangun ruang yaitu sebagai berikut:

a. sisi, yaitu bidang pada bangun ruang yang membatasi antara bangun ruang dengan ruangan di sekitarnya,

b. rusuk, yaitu pertemuan dua sisi yang berupa ruas garis pada bangun ruang, c. titik sudut, yaitu titik hasil pertemuan dari tiga atau lebih rusuk.


(14)

40 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek Penelitian 1. Populasi

Menurut Sugiyono (2007: 49), “Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya”. Lebih lanjut Maulana (2009: 25-26) mengatakan populasi merupakan:

a. keseluruhan subjek atau objek penelitian,

b. wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek atau objek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya,

c. seluruh data yang menjadi perhatian dalam lingkup dan waktu tertentu, d. semua anggota kelompok orang, kejadian, atau objek lain yang telah

dirumuskan secara jelas.

Adapun yang menjadi populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD se-Kecamatan Sumedang Selatan yang peringkat sekolahnya termasuk ke dalam golongan kelompok tinggi. Dari seluruh SD yang ada di Kecamatan Sumedang Selatan tedapat 45 SD yang dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu kelompok tinggi, kelompok sedang, dan kelompok rendah. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang yang pengelompokannya berdasarkan jumlah nilai ujian nasional (UN) tingkat SD/MI Kabupaten Sumedang tahun ajaran 2011/2012. Persentase kelompok tinggi adalah 27%, kelompok sedang adalah 46%, dan kelompok rendah adalah 27% (Sugiyono, 2007: 180). Berdasarkan hal tersebut, maka urutan kelompok tinggi dari nomor urut 1-12, kelompok sedang dari nomor urut 13-31, dan kelompok rendah dari nomor urut 32-45. Adapun populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD se-Kecamatan Sumedang Selatan yang peringkat sekolahnya termasuk ke dalam golongan kelompok tinggi, yang dapat dilihat dalam Tabel 3.1.


(15)

Tabel 3.1 Populasi Penelitian

No. SD

1. SDN Sukasirna II 2. SDN Margacinta

3. SDN Pakuwon I

4. SDN Sukaraja I

5. SDN Manangga

6. SDN Gunasari

7. SDN Pasanggrahan III

8. SDN Cipancar

9. SDN Melati

10. SDN Ciawi

11. SDN Gudangkopi II 12. SDN Sukaraja II

2. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Maulana, 2009: 26). Dalam pemilihan sampel harus diperhatikan pula ukuran sampelnya, hal ini sejalan dengan pendapat Maulana (2009: 28), “Ukuran sampel menjadi pemikiran penting dalam menentukan sampling, yakni apakah sampel yang diambil sudah memenuhi kaidah representatif atau belum”. Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah dua kelas dari dua sekolah yang berbeda. Setelah ditentukan kelompok tinggi yang menjadi populasi pada penelitian ini, kemudian dilakukan pemilihan secara random sederhana. Dari 12 SD yang berada dalam kelompok tinggi, terpilihlah dua SD yakni SDN Sukaraja II dan SDN Pasanggrahan III sebagai tempat penelitian ini. Selanjutnya, dilakukan pemilihan kembali secara random untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol, maka terpilihlah SDN Sukaraja II sebagai kelas eksperimen dan SDN Pasanggrahan III sebagai kelas kontrol.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini sampel penelitiannya adalah siswa kelas IV SDN Sukaraja II sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas IV SDN Pasanggrahan III sebagai kelas kontrol.


(16)

42

B. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian

Agar penelitian ini terlaksana dengan baik dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka diperlukan adanya suatu metode yang tepat dalam melaksanakan penelitian. Menurut Sugiyono (2007: 3), “Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunan tertentu”. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.

Dikatakan penelitan eksperimen, karena penelitian ini bertujuan benar-benar untuk melihat hubungan sebab akibat. Peneliti melakukan suatu manipulasi terhadap variabel bebas kemudian mengamati perubahan yang terjadi pada variabel terikatnya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemanipulasian terhadap satu variabel bebas yakni model kooperatif tipe think-pair-share untuk kemudian diamati perubahan yang terjadi pada kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap materi bangun ruang. Selain itu, dalam pengambilan sampel penelitiannya pun dilakukan secara acak.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Maulana (2009: 23), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penelitian eksperimen adalah sebagai berikut ini.

a. Membandingkan dua kelompok atau lebih.

b. Adanya kesetaraan (ekuivalensi) subjek-subjek dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Kesetaraan ini biasanya dilakukan secara acak (random).

c. Minimal ada dua kelompok/kondisi yang berbeda pada saat yang sama, atau satu kelompok tetapi untuk dua saat yang berbeda.

d. Variabel terikatnya diukur secara kuantitatif maupun dikuantitatifkan. e. Menggunakan statistika inferensial.

f. Adanya kontrol terhadap variabel-variabel luar (extraneous variables). g. Setidaknya terdapat satu variabel bebas yang dimanipulasikan.

2. Desain Penelitian

Pada penelitian ini akan melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang diberi perlakuan khusus, yaitu pemberian pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share, sedangkan kelompok kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Kedua kelompok


(17)

tersebut diberikan tes awal (pretest) sebelum pelaksanaan pembelajaran dan tes akhir (posttest) di akhir pertemuan.

Adapun bentuk desain penelitiannya sebagaimana menurut (Maulana, 2009: 24) adalah sebagai berikut ini.

A 0 0 A 0 0 Keterangan:

A = Pemilihan sampel secara acak.

0 = Tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest)

= Perlakuan dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share. = Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

C. Prosedur Penelitian

Secara umum, penelitian ini terbagi dalam tiga tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap pengolahan data. 1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan penelitian ini meliputi sebagai berikut.

a. Melakukan observasi ke sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. b. Mengurus perizinan penelitian dengan pihak sekolah.

c. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dosen pembimbing dan guru matematika yang bersangkutan. d. Merancang instrumen yang akan digunakan dalam penelitian.

e. Melakukan ujicoba instrumen, untuk mengetahui validitas kriteria, reliabilitas, daya pembeda, dan tingkat kesukaran instrumen.

f. Melakukan pengolahan terhadap instrumen, dan jika perlu direvisi, maka diuji coba ulang.

2. Tahap Pelaksanaan

Persiapan dan instrumen telah selesai serta telah disetujui oleh dosen pembimbing, maka dilaksanakan penelitian. Pelaksanaan penelitian disesuaikan dengan jadwal pelajaran pada kelas tersebut, peneliti bertindak sebagai guru dan yang bertindak sebagai observer adalah teman sejawat atau guru kelas.


(18)

44

Adapun tahap-tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut. a. Melaksanakan tes awal (pretest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. b. Melaksanakan proses pembelajaran dengan model kooperatif tipe

think-pair-share pada kelas eksperimen sedangkan untuk kelas kontrol, pembelajaran dilaksanakan dengan model pembelajaran kovensional.

c. Meminta observer melakukan observasi ketika proses pembelajaran berlangsung.

d. Melaksanakan tes akhir (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. e. Pengisian angket oleh setiap siswa untuk mengetahui respon siswa terhadap

pembelajaran yang dilaksanakan. 3. Tahap Pengolahan Data

Adapun tahap-tahap pengolahan data penelitian adalah sebagai berikut. a. Melakukan pengolahan dan analisis data kuantitatif terhadap hasil tes

kemampuan komunikasi matematis siswa.

b. Melakukan pengolahan dan analisis data kualitatif terhadap lembar observasi dan angket.

c. Mengambil kesimpulan terhadap hasil analisis data yang telah dilakukan.

D. Instrumen Penelitian

Menurut Maulana (2009: 29), “Instrumen adalah alat untuk mengumpulkan data penelitian”. Di dalam melakukan pengumpulan data, akan digunakan instrumen-instrumen sebagai berikut ini. Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas instrumen tes dan non tes. Instrumen tes yaitu tes kemampuan komunikasi matematis siswa. Instrumen non tes terdiri atas angket, pedoman observasi dan catatan lapangan. Penjelasan dari instrumen-instrumen yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

1. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa

Tes terdiri dari dua bagian, ada pretest untuk mengukur kemampuan awal subjek penelitian baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol, dan posttest yang digunakan untuk mengukur peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap materi bangun ruang pada kelompok eksperimen maupun kelas kontrol.


(19)

Bentuk soal tes dalam penelitian ini berbentuk uraian. Soal-soal yang diberikan pada saat tes awal sama dengan soal-soal yang diberikan pada saat tes akhir. Adapun formatnya dapat dilihat pada Lampiran B.Instrumen penelitian yang baik, tentu harus diperhatikan kualitas dari instrumen tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kualitas soal yang baik, harus diperhatikan beberapa hal berikut: validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan indeks kesukaran.

a. Validitas Instrumen

Uji validitas alat evaluasi bertujuan untuk mengetahui valid tidaknya suatu alat evaluasi. Suatu alat evaluasi disebut valid apabila alat tersebut mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman, 2003: 102). Untuk mengetahui tingkat validitas instrumen dilakukan perhitungan koefisien korelasi. Koefisien korelasi ini dihitung dengan product moment raw score dari Pearson (Suherman dan Sukjaya, 1990: 154) dengan formula sebagai berikut ini.

Keterangan:

: koefisien korelasi antara x dan y : banyaknya peserta tes

: nilai hasil uji coba

: nilai rata-rata ulangan harian siswa

Selanjutnya koefisien korelasi yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien korelasi menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990: 177).

Tabel 3.2

Klasifikasi Koefisien Korelasi Koefisien Korelasi Interpretasi

Validitas sangat tinggi Validitas tinggi Validitas sedang Validitas rendah Validitas sangat rendah


(20)

46

Berdasarkan rumus di atas, dari ujicoba soal yang telah dilaksanakan diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,63. Jadi, dapat diinterpretasikan bahwa soal yang telah diujikan memiliki validitas tinggi dan instrumen layak untuk digunakan. Adapun validitas instrumen tiap butir soal dapat dilihat dalam tabel 3.3 berikut ini.

Tabel 3.3

Validitas Tiap Butir Soal

No Soal Koefisien Korelasi Interpretasi

1 0,70 Tinggi

2 0,66 Tinggi

3 0,68 Tinggi

4 0,71 Tinggi

5 0,63 Tinggi

6 0,44 Sedang

7 0,49 Sedang

8 0,59 Sedang

Berdasarkan Tabel 3.3, dari ujicoba soal yang telah dilaksanakan ada lima soal yang memiliki validitas tinggi dan tiga soal yang memiliki validitas sedang. Jadi dapat disimpulkan instrumen layak untuk digunakan. Adapun format perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran D.

b. Reliabilitas Instrumen

Reliabilitas instrumen adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi itu (Ruseffendi, 2005: 158). Untuk mengukur reliabilitas instrumen tersebut dapat digunakan nilai koefisien reliabilitas yang dihitung dengan menggunakan formula Cronbach Alpha (Suherman dan Sukjaya, 1990: 194) sebagai berikut.


(21)

Keterangan:

: koefisien korelasi reliabilitas : banyaknya butir soal

: varians skor setiap butir soal : varians skor total

Koefisien reliabilitas yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan formula di atas selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990: 177).

Tabel 3.4

Klasifikasi Koefisien Korelasi Reliabilitas Koefisien Korelasi Interpretasi

Reliabilitas sangat tinggi Reliabilitas tinggi Reliabilitas sedang Reliabilitas rendah Reliabilitas sangat rendah

Berdasarkan rumus di atas, ujicoba soal yang telah dilaksanakan diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,67. Jadi, soal yang telah diujikan memiliki reliabilitas tinggi. Adapun format perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran D.

c. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran menyatakan derajat kesukaran sebuah soal. Untuk mengukur tingkat atau indeks kesukaran setiap butir soal, digunakan formula sebagai berikut:

Keterangan:

: tingkat/indeks kesukaran : rata-rata skor setiap butir soal

: skor maksimum ideal


(22)

48

di atas, selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi tingkat kesukaran (Suherman dan Sukjaya, 1990: 213).

Tabel 3.5

Klasifikasi Tingkat Kesukaran Tingkat Kesukaran Interpretasi

IK = 0,00 Terlalu sukar

Sukar Sedang Mudah Terlalu mudah

Berdasarkan rumus di atas, tingkat kesukaran ujicoba soal yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6

Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran Soal

No Skor Rata-rata Skor Maksimal Tingkat Kesukaran Keterangan

1 8,25 10 0,83 Mudah

2 2,12 7 0,30 Sukar

3 2,11 3 0,70 Sedang

4 1,82 6 0,30 Sukar

5 2,42 4 0,61 Sedang

6 1,06 4 0,27 Sukar

7 1,4 2 0,70 Sedang

8 2,62 4 0,66 Sedang

Dari hasil perhitungan tingkat kesukaran soal di atas, dapat disimpulkan bahwa 1 item soal mudah (12,5%), 4 item soal sedang (50%), dan 3 item soal sukar (37,5%). Dari delapan soal, hanya 1 item soal yang mudah, dan tujuh soal yang tergolong soal sedang dan sukar, hal ini karena penulis ingin meneliti kemampuan tingkat tinggi yaitu kemampuan komunikasi siswa pada materi bangun ruang. Adapun format perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran D.


(23)

d. Daya Pembeda

Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut (Suherman dan Sukjaya, 1990: 200). Dengan kata lain, daya pembeda sebuah butir soal adalah kemampuan butir soal itu untuk membedakan antara testi (siswa) yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah.

Untuk mengukur daya pembeda setiap butir soal, digunakan formula berikut.

Keterangan:

: daya pembeda

: rata-rata skor kelompok atas : rata-rata skor kelompok bawah

: skor maksimum ideal

Selanjutnya daya pembeda yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi daya pembeda (Suherman dan Sukjaya, 1990: 202).

Tabel 3.7

Klasifikasi Daya Pembeda

Daya Pembeda Interpretasi

Sangat jelek Jelek Cukup

Baik Sangat baik

Berikut ini merupakan data daya pembeda hasil uji coba instrumen yang dilakukan.


(24)

50

Tabel 3.8

Hasil Perhitungan Daya Pembeda Soal

No Daya Pembeda Keterangan

1 0,28 Cukup

2 0,11 Jelek

3 0,27 Cukup

4 0,13 Jelek

5 0,52 Baik

6 0,24 Cukup

7 0,15 Jelek

8 0,30 Cukup

Dari delapan soal yang ada, tiga soal yang memiliki daya pembeda jelek, yaitu soal no 2, no 4 dan no 7. Namun, dilihat dari hasil validitas menunjukkan ketiga soal yang dimaksud memiliki interpretasi validitas tinggi dan sedang. Selain itu, setelah dilihat dari hasil perhitungan tingkat kesukaran soal, soal yang memiliki daya pembeda jelek tersebut tergolong soal yang sedang dan sukar. Jika soalnya sukar, siswa yang unggul dan asor cenderung merasa sulit bahkan tidak bisa menjawab dengan benar, sedangkan jika soal yang mudah, siswa yang unggul dan siswa yang asor cenderung dapat menjawab soal. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan delapan soal yang ada dapat digunakan. Adapun format perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran D.

2. Lembar Observasi

Observasi merupakan pengamatan langsung menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, dan perabaan, dan jika perlu pengecapan (Maulana, 2009: 35). Lembar observasi dapat mengukur atau menilai proses pembelajaran. Observasi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang pembelajaran secara terperinci mengenai kinerja guru dan aktivitas siswa selama proses pembelajaran dilaksanakan. Alat yang digunakan pada observasi ini adalah


(25)

lembar observasi kinerja guru dan lembar observasi aktivitas siswa dalam bentuk daftar cek (checklist). Lembar observasi ini diisi oleh observer ketika pembelajaran berlangsung. Adapun format observasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran C.

3. Angket

Angket adalah sekumpulan pernyataan atau pertanyaan yang harus dilengkapi oleh responden dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang sudah disediakan atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisinya (Ruseffendi dalam Maulana, 2009: 35). Angket ini digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share. Angket yang akan diberikan kepada siswa menggunakan skala Likert dan bersifat tertutup, artinya alternatif jawabannya sudah disediakan dan responden tinggal memilih salah satu alternatif jawaban yang sesuai dengan pendapatnya dengan membubuhkan tanda cek (√) pada salah satu kolom yaitu:

a. sangat setuju (SS), b. setuju (S),

c. tidak setuju (TS), dan d. sangat tidak setuju (STS).

Angket diberikan setelah pembelajaran selesai dilakukan sehingga secara umum dapat memperlihatkan sikap siswa terhadap materi bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share melalui pernyataan yang diberikan. Angket ini terdiri dari 15 butir pernyataan. Adapun pernyataan yang terdapat pada angket terbagi dua, yaitu pernyataan positif dan pernyataan negatif. Adapun format angket respon siswa dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran C.

4. Catatan Lapangan

Bogdan dan Biklen (Moleong, 2004: 153) menyatakan “Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dan dipikirkan dalam


(26)

52

rangka pengumpulan data kualitatif dan refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif”. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat data kualitatif untuk melukiskan suatu proses dan kejadian-kejadian yang terjadi dalam pembelajaran mengenai bangun ruang. Kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan adalah mencatat segala sesuatu dari berbagai aspek pembelajaran di kelas, suasana kelas, pengelolaan kelas, interaksi guru dan siswa, interaksi siswa dan siswa yang terjadi dalam proses pembelajaran mengenai materi bangun ruang yaitu khususnya sifat-sifat dan jaring-jaring bangun ruang. Adapun format catatan lapangan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran C.

E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest, sedangkan data kualitatif diperoleh dari hasil observasi, angket, dan catatan lapangan. Analisis data kualitatif dimulai dengan mengelompokkan data ke dalam kategori tertentu. Data yang diperoleh diidentifikasi terlebih dahulu kemudian dianalisis. Selanjutnya sebagian data yang terkait dengan keperluan tertentu diolah dan dikualifikasikan seperlunya untuk menghasilkan suatu kesimpulan tertentu.

1. Data Kuantitatif a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah hasil sampel pretest atau posttest berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0 for windows menggunakan liliefors (Kolmogorov-Smirnov).

1) Merumuskan hipotesis pengujian normalitas data adalah sebagai berikut: = data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

= data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. 2) Menguji normalitas data dengan menggunakan uji liliefors

(Kolmogorov-Smirnov) pada SPSS 16.0 for windows.


(27)

Jika nilai signifikansi maka ditolak.

Jika kedua data kelas berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan pengujian homogenitas data dengan menggunakan uji Levene’s pada SPSS 16.0 for windows.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kedua distribusi kelas eksperimen dan kelas kontrol apakah variansi-variansinya sama atau tidak. Uji homogenitas dilakukan dengan SPSS 16.0 for windows. Untuk menguji homogenitas ada dua alternatif yang bisa dilakukan, antara lain sebagai berikut ini.

1) Jika datanya berdistribusi normal, maka menghitung uji homogenitas data dengan menggunakan rumus Levene’s test dalam SPSS 16.0 for windows. a) Merumuskan hipotesis pengujian homogenitas data adalah sebagai

berikut.

= data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang sama atau homogen.

= data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians tidak sama atau tidak homogen.

b) Menghitung uji homogenitas data dengan menggunakan rumus

Levene’s test dalam SPSS 16.0 for windows. Jika nilai signifikansi maka diterima. Jika nilai signifikansi maka ditolak.

2) Jika datanya tidak berdistribusi normal maka uji homogenitas dilakukan dengan uji non-parametrik Chi-Kuadrat dalam SPSS 16.0 for windows, pada taraf signifikansi α = 0,05. Adapun bentuk hipotesis dari uji homogenitas ini adalah sebagai berikut.

= data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang sama atau homogen.


(28)

54

= data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians tidak sama atau tidak homogen.

Kriteria yang digunakan untuk menolak atau tidak menolak berdasarkan P-value adalah sebagai berikut.

a) Jika nilai signifikansi maka diterima. b) Jika nilai signifikansi maka ditolak.

c. Uji Perbedaan Rata-rata

Uji perbedaan rata-rata dilakukan untuk data tes awal, tes akhir, dan indeks gain yang diperoleh. Uji perbedaan rata-rata untuk menguji hipotesis dengan menggunakan rumus uji-t setelah mengetahui bahwa data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen.

Uji perbedaan rata-rata dilakukan untuk mengetahui perbandingan kemampuan siswa kelas ekperimen dan kelas kontrol. Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan jika hasil tes yang diperoleh memiliki distribusi normal dan memilki variansi yang sama. Untuk menguji perbedaan dua rata pretest atau dua rata-rata posttest ada tiga alternatif yang bisa dilakukan, antara lain sebagai berikut ini. 1) Jika data dari kedua kelas tersebut normal dan homogen , maka digunakan uji

independent sample t-test dengan langkah-langkah dan kriteria sebagai berikut.

a) Merumuskan hipotesis pengujian perbedaan rata pretes atau nilai rata-rata postes kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu sebagai berikut ini.

= kemampuan komunikasi matematis siswa sama. = kemampuan komunikasi matematis siswa tidak sama.

b) Menghitung uji perbedaan rata-rata data pretes atau dua rata-rata data postes dengan menggunakan uji independent sample t-test dalam SPSS 16.0 for windows.

c) Melihat nilai signifikansi pada uji Levene’s test dengan menggunakan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut.


(29)

Jika nilai signifikansi maka ditolak.

2) Jika hasil tes yang diperoleh memiliki distribusi normal dan memiliki variansi yang tidak sama (tidak homogen) maka uji perbedaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0 for windows dengan uji t’ sample independen.

3) Jika data yang diperoleh tidak normal, maka uji perbedaan rata-rata non-parametrik menggunakan Mann-Whitney atau Uji U dalam SPSS 16.0 for windows.

d. Gain Normal

Menghitung peningkatan yang terjadi pretest dan posttest dengan rumus Gain dari Meltzer yaitu sebagai berikut.

Gain (G) =

Adapun interpretasi untuk nilai dari indeks gain mengacu pada kriteria Hake yaitu sebagai berikut:

G ฀ 0,30 : rendah 0,30 ≤ G≤ 0,70 : sedang G ฀ 0,70 : tinggi 2. Data Kualitatif

a. Angket

Angket dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Hal ini dikarenakan peneliti menghendaki jawaban yang benar-benar mewakili respons siswa terhadap pernyataan yang menunjukan minat siswa terhadap matematika, terhadap model kooperatif tipe think-pair-share, dan terhadap soal-soal kemampuan komunikasi matematis.

Angket dibagi ke dalam dua pernyataan, pernyataan positif dan pernyataan negatif. Setiap pernyataan diberikan empat pilihan jawaban yakni: SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), STS (sangat tidak setuju). Untuk tiap pernyataan, pilihan jawaban diberi skor seperti tertera pada Tabel 3.9 (Suherman dalam Purnamasari, 2012: 55) dibawah ini:


(30)

56

Tabel 3.9

Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Angket

Pernyataan Skor Tiap Pilihan

SS S TS STS

Positif 5 4 2 1

Negatif 1 2 4 5

Data hasil pengisian angket dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

1) Menghitung rata-rata skor tiap siswa

Keterangan:

= rata-rata skor siswa = jumlah skor siswa = jumlah pernyataan 2) Menghitung rata-rata total

Keterangan:

= rata-rata total

= jumlah rata-rata skor tiap siswa = jumlah siswa

Tabel 3.10

Kategori Angket Sesuai Skala Likert

Skor rata-rata ( ) Kriteria

Negatif Netral Positif


(31)

b. Lembar Observasi

Data hasil observasi dianalisis untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan model kooperatif tipe think-pair-share yang tercermin dari kinerja guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran. Data pelaksanaan pembelajaran dianalisis untuk mengevaluasi aspek-aspek pelaksanaan pembelajaran yang dominan dilakukan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian data hasil observasi dilakukan dengan cara menyimpulkan hasil pengamatan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.


(32)

107 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dapat

meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang. Dari hasil perhitungan perbedaan rata-rata data pretes dan postes kelompok kontrol dengan menggunakan uji U dan menggunakan = 5% two tailed didapatkan nilai P-value (Sig.2-tailed) = 0,000. Karena yang diuji satu arah, jadi 0,000 dibagi dua, sehingga P-value (Sig.1-tailed) = 0,000. Karena P-value (Sig.1-tailed) nilainya kurang dari , maka ditolak atau diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang. Artinya, model pembelajaran konvensional yang selama ini dianggap buruk ternyata sebenarnya tidak seburuk yang dituduhkan kepadanya. Dengan model pembelajaran yang dilakukan dengan baik, seperti perencanaan yang matang, kinerja guru yang optimal, siswa diarahkan dengan baik, dan sebagainya maka hasilnya pun akan baik.

2. Pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang. Dari hasil perhitungan perbedaan rata-rata data pretes dan data postes kelompok eksperimen dengan menggunakan uji t’ Sampel Independen dan menggunakan = 5% two tailed didapatkan nilai P-value (Sig.2-tailed) = 0,000 (dilihat dari equal variances not assumed). Karena yang diuji satu arah, sehingga 0,000 dibagi dua, sehingga P-value (Sig.1-tailed) = 0,000. Hasil yang diperoleh P-value < , maka ditolak atau diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share dapat meningkatkan


(33)

kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi bangun ruang. Artinya, suatu hal yang wajar model kooperatif tipe think-pair-share dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa, karena dengan pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share, siswa dapat belajar dari siswa lain serta saling menyampaikan idenya untuk didiskusikan sebelum disampaikan di depan kelas, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir dan menjawab dalam komunikasi antara satu dengan yang lain, serta bekerja saling membantu dalam kelompok kecil, siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, di mana tiap kelompok hanya terdiri dari dua orang, dan siswa memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh temannya sehingga ide yang ada menyebar.

3. Pembelajaran matematika dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi bangun ruang. Dari hasil perhitungan, didapatkan nilai P-value (Sig.2-tailed) = 0,000. Karena yang diuji satu arah, jadi 0,000 dibagi dua, sehingga P-value (Sig.1-tailed) = 0,000. Karena P-value (Sig.1-tailed) nilainya kurang dari nilai , maka ditolak dan diterima. Ini berarti peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrol. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bangun ruang menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share lebih baik daripada pembelajaran bangun ruang menggunakan model konvensional untuk meningkatkan kemampuan komunikasi siswa kelas IV. Artinya, jika guru sudah terbiasa menggunakan konvensional dengan baik, maka upaya-upaya guru untuk menambah pengetahuan mengenai pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share akan lebih berdampak positif. Selain itu, ada beberapa poin dalam model kooperatif tipe think-pair-share yang tidak ditemukan dalam model pembelajaran konvensional, sehingga wajar model kooperatif tipe think-pair-share lebih baik daripada pembelajaran bangun


(34)

109

ruang menggunakan model konvensional dalam meningkatkan kemampuan komunikasi siswa.

4. Setelah melakukan pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share, siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran perkalian menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share yaitu siswa senang dengan adanya diskusi bersama teman, memberikan pendapat kepada teman kelompok lain, belajar dalam suasana yang tenang, dan mendapat penghargaan dari guru. Setelah diberikannya angket, rata-rata skor siswa yang diperoleh siswa sebesar 4,20 atau siswa memiliki respon positif. Artinya, sebuah pembelajaran jika dilakukan dengan baik dan menyenangkan ternyata mampu membuat respon siswa menjadi positif, sehingga siswa akan belajar dengan baik.

5. Faktor yang mendukung dalam pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share yaitu kinerja guru yang optimal, dan aktivitas siswa yang cenderung dalam kategori baik. Adapun faktor penghambat terlaksananya pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share selama penelitian ini, yaitu terutama dari faktor siswa. Pada tahap pair, masih saja ada siswa yang suka ribut saat diskusi. Artinya, pengawasan guru terhadap siswa harus lebih ditingkatkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, ada beberapa saran yang diajukan yaitu sebagai berikut.

1. Bagi Guru

a. Sebelum melakukan proses pembelajaran, disarankan guru harus mengetahui kemampuan awal siswa, sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran guru dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

b. Siswa yang memiliki kemampuan awal rendah hendaknya selalu diperhatikan dan diberi perlakuan yang berbeda, serta harus selalu


(35)

dimotivasi dan diberi kiat-kiat mudah dalam memahami materi, untuk meningkatkan kemampuan dalam memahami materi pelajaran.

c. Guru harus lebih memahami karakter dari masing-masing siswa.

d. Guru-guru yang mengajar dengan model pembelajaran konvensional yang masih buruk, belajarlah mengenai model pembelajaran konvensional dengan benar, karena memang sudah terbukti model pembelajaran konvensional itu jika dilakukan dengan cara yang benar itu bagus. Setelah belajar konvensional yang benar, lanjutkan belajar model pembelajaran yang lain supaya hasilnya lebih bagus.

2. Bagi Siswa

a. Siswa disarankan untuk memanfaatkan waktu dengan baik, sehingga setiap tahapan yang ada dalam proses pembelajaran think-pair-share dapat terlaksana dengan baik.

b. Siswa yang ditegur oleh guru, tidak perlu berkecil hati apalagi menimbulkan trauma, jadikan motivasi untuk lebih baik kedepannya. c. Siswa tidak perlu malu atau takut dalam mengemukakan pendapat,

bertanya atau menjawab pertanyaan yang diajukan guru.

3. Bagi Peneliti Lain

a. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian pada mata pelajaran IPA guna mengetahui keberhasilan penerapan pembelajaran kooperatif model think-pair-share.

b. Apabila ingin menerapkan model pembelajaran ini, agar disesuaikan dengan jumlah siswa di sekolah tempat diadakan penelitian.

4. Bagi Sekolah

a. Kepala sekolah hendaknya lebih menghimbau, mendorong, serta mengusahakan peningkatan kualitas dan keterampilan guru, dengan memberikan dana yang cukup bagi guru untuk mengikuti diklat, workshop, penataran, profesi guru, sertifikasi, dan lain-lain.


(36)

111

b. Mengundang pakar dari setiap mata pelajaran yang ada di SD, sehingga guru dapat berkonsultasi atau sharing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing mata pelajaran.


(37)

112 Daftar Pustaka

Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung: UPI Press.

Ananda, Ridho. (2012). Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:

http://modelpembelajaranonline.blogspot.com/2012/11/komunikasi-matematika-nctm.html. [15 April 2013].

Barlita, Karrinda (2011). Penerapan Model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kepercayaan Diri Siswa SMP. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=5941. [ 3 Desember 2012].

Dimas. (2009). Teori-teori Motivasi. [Online]. Tersedia: http://d1maz.blogspot.com/2009/12/v-behaviorurldefaultvml-o.html. [30 Mei 2013].

Djamarah, Syaiful Bahri. (2005). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Fadholi, A. (2009). Kelebihan & Kekurangan TPS. [Online]. Tersedia: http://arif fadholi.wordpress.com/kelebihan-&-kekurangan-tps/ [10 Desember 2012]. Herdian. (2010). Kemampuan Matematika. [Online]. Tersedia:

http://herdy07.wordpress.com/tag/kemampuan-matematika/ [8 Desember 2012].

Isjoni. (2007). Cooperative Learning (Efektivitas Pembelajaran Kelompok). Bandung: Alfabeta.

Kartini. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. [Online]. Tersedia: http://kartiniokey.blogspot.com/2010/05/meningkatkan-kemampuan-komunikasi.html. [8 Desember 2012].

Lie, A. (2005). Cooperative: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Maulana. (2008). Pendidikan Matematika 1: Bahan Belajar untuk Guru, Calon Guru, dan Mahasiswa PGSD. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Maulana. (2009). Memahami Hakikat, Variabel, dan Instrumen Penelitian Pendidikan dengan Benar: Panduan Sederhana bagi Mahasiswa dan Guru Calon Peneliti. Bandung: Learn2Live n Live2Learn.


(38)

113

Moleong, L.J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nurmala. (2011). Perbandingan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan Model Pembelajaran Generatif dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Komunikasi Matematik Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Skripsi pada UNSAP jurusan STKIP Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.

Nurmeidina, Rahmatya. (2013). Kemampuan Komunikasi Siswa dalam

Matematika. [Online]. Tersedia:

http://tyanurdina.wordpress.com/2013/01/05/kemampuan-komunikasi-siswa-dalam-matematika/. [15 April 2013].

Pitadjeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Depdiknas.

Purnamasari, Krisma. (2012). Pengaruh Model Resource-Based Learning (RBL) terhadap Peningkatan Kemampuan Kreativitas Matematika pada Siswa SMP. Skripsi pada UNSAP jurusan STKIP Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.

Riyanti. (2012). Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://sin-riyanti.blogspot.com/2012/10/pembelajaran-konvensional_5536.html. [20 Maret 2013].

Rumapea, Dormantio. (2013). Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://dormatio.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [20 Maret 2013].

Ruseffendi, E. T., dkk. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media. Sarbini. (2012). Cara Mengatasi Siswa yang Bermasalah. [Online]. Tersedia:

http://karsonosarbini.blogspot.com/2012/01/cara-mengatasi-siswa-bermasalah.html. [30 Mei 2013].

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.


(39)

Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka.

Suherman, E., dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Suherman, E. (2008). Perkuliahan Belajar dan Pembelajaran. Hands Out Perkuliahan pada FMIPA UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Suwangsih, E dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS.

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trisna, Ridwan. (2013). Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia:

http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [3 Maret 2013].

Waluyo, Budi. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis Jurusan PGSD FIP UPI. Bandung. Tidak dipublikasikan.

Dokumen

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk SD/MI. Jakarta : Dharma Bakti.

Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang (2012). Daftar Kolektif Hasil Ujian Nasional (DKHUN) SD/MI Kecamatan Sumedang Selatan Tahun Ajaran 2011/2012. Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Fokus Media.


(1)

109

ruang menggunakan model konvensional dalam meningkatkan kemampuan komunikasi siswa.

4. Setelah melakukan pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share, siswa memberi respon positif terhadap pembelajaran perkalian menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share yaitu siswa senang dengan adanya diskusi bersama teman, memberikan pendapat kepada teman kelompok lain, belajar dalam suasana yang tenang, dan mendapat penghargaan dari guru. Setelah diberikannya angket, rata-rata skor siswa yang diperoleh siswa sebesar 4,20 atau siswa memiliki respon positif. Artinya, sebuah pembelajaran jika dilakukan dengan baik dan menyenangkan ternyata mampu membuat respon siswa menjadi positif, sehingga siswa akan belajar dengan baik.

5. Faktor yang mendukung dalam pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share yaitu kinerja guru yang optimal, dan aktivitas siswa yang cenderung dalam kategori baik. Adapun faktor penghambat terlaksananya pembelajaran bangun ruang dengan menggunakan model kooperatif tipe think-pair-share selama penelitian ini, yaitu terutama dari faktor siswa. Pada tahap pair, masih saja ada siswa yang suka ribut saat diskusi. Artinya, pengawasan guru terhadap siswa harus lebih ditingkatkan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, ada beberapa saran yang diajukan yaitu sebagai berikut.

1. Bagi Guru

a. Sebelum melakukan proses pembelajaran, disarankan guru harus mengetahui kemampuan awal siswa, sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran guru dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

b. Siswa yang memiliki kemampuan awal rendah hendaknya selalu diperhatikan dan diberi perlakuan yang berbeda, serta harus selalu


(2)

dimotivasi dan diberi kiat-kiat mudah dalam memahami materi, untuk meningkatkan kemampuan dalam memahami materi pelajaran.

c. Guru harus lebih memahami karakter dari masing-masing siswa.

d. Guru-guru yang mengajar dengan model pembelajaran konvensional yang masih buruk, belajarlah mengenai model pembelajaran konvensional dengan benar, karena memang sudah terbukti model pembelajaran konvensional itu jika dilakukan dengan cara yang benar itu bagus. Setelah belajar konvensional yang benar, lanjutkan belajar model pembelajaran yang lain supaya hasilnya lebih bagus.

2. Bagi Siswa

a. Siswa disarankan untuk memanfaatkan waktu dengan baik, sehingga setiap tahapan yang ada dalam proses pembelajaran think-pair-share dapat terlaksana dengan baik.

b. Siswa yang ditegur oleh guru, tidak perlu berkecil hati apalagi menimbulkan trauma, jadikan motivasi untuk lebih baik kedepannya. c. Siswa tidak perlu malu atau takut dalam mengemukakan pendapat,

bertanya atau menjawab pertanyaan yang diajukan guru.

3. Bagi Peneliti Lain

a. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian pada mata pelajaran IPA guna mengetahui keberhasilan penerapan pembelajaran kooperatif model think-pair-share.

b. Apabila ingin menerapkan model pembelajaran ini, agar disesuaikan dengan jumlah siswa di sekolah tempat diadakan penelitian.

4. Bagi Sekolah

a. Kepala sekolah hendaknya lebih menghimbau, mendorong, serta mengusahakan peningkatan kualitas dan keterampilan guru, dengan memberikan dana yang cukup bagi guru untuk mengikuti diklat, workshop, penataran, profesi guru, sertifikasi, dan lain-lain.


(3)

111

b. Mengundang pakar dari setiap mata pelajaran yang ada di SD, sehingga guru dapat berkonsultasi atau sharing mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masing-masing mata pelajaran.


(4)

112 Daftar Pustaka

Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung: UPI Press.

Ananda, Ridho. (2012). Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:

http://modelpembelajaranonline.blogspot.com/2012/11/komunikasi-matematika-nctm.html. [15 April 2013].

Barlita, Karrinda (2011). Penerapan Model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kepercayaan Diri Siswa SMP. [Online]. Tersedia: http://repository.upi.edu/skripsiview.php?no_skripsi=5941. [ 3 Desember 2012].

Dimas. (2009). Teori-teori Motivasi. [Online]. Tersedia: http://d1maz.blogspot.com/2009/12/v-behaviorurldefaultvml-o.html. [30 Mei 2013].

Djamarah, Syaiful Bahri. (2005). Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Fadholi, A. (2009). Kelebihan & Kekurangan TPS. [Online]. Tersedia: http://arif fadholi.wordpress.com/kelebihan-&-kekurangan-tps/ [10 Desember 2012]. Herdian. (2010). Kemampuan Matematika. [Online]. Tersedia:

http://herdy07.wordpress.com/tag/kemampuan-matematika/ [8 Desember 2012].

Isjoni. (2007). Cooperative Learning (Efektivitas Pembelajaran Kelompok). Bandung: Alfabeta.

Kartini. (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi. [Online]. Tersedia: http://kartiniokey.blogspot.com/2010/05/meningkatkan-kemampuan-komunikasi.html. [8 Desember 2012].

Lie, A. (2005). Cooperative: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Maulana. (2008). Pendidikan Matematika 1: Bahan Belajar untuk Guru, Calon Guru, dan Mahasiswa PGSD. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Maulana. (2009). Memahami Hakikat, Variabel, dan Instrumen Penelitian Pendidikan dengan Benar: Panduan Sederhana bagi Mahasiswa dan Guru Calon Peneliti. Bandung: Learn2Live n Live2Learn.


(5)

113

Moleong, L.J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Nurmala. (2011). Perbandingan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan Model Pembelajaran Generatif dalam Upaya Meningkatkan Kompetensi Komunikasi Matematik Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Skripsi pada UNSAP jurusan STKIP Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.

Nurmeidina, Rahmatya. (2013). Kemampuan Komunikasi Siswa dalam

Matematika. [Online]. Tersedia:

http://tyanurdina.wordpress.com/2013/01/05/kemampuan-komunikasi-siswa-dalam-matematika/. [15 April 2013].

Pitadjeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Depdiknas.

Purnamasari, Krisma. (2012). Pengaruh Model Resource-Based Learning (RBL) terhadap Peningkatan Kemampuan Kreativitas Matematika pada Siswa SMP. Skripsi pada UNSAP jurusan STKIP Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.

Riyanti. (2012). Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://sin-riyanti.blogspot.com/2012/10/pembelajaran-konvensional_5536.html. [20 Maret 2013].

Rumapea, Dormantio. (2013). Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia: http://dormatio.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [20 Maret 2013].

Ruseffendi, E. T., dkk. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.

Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media. Sarbini. (2012). Cara Mengatasi Siswa yang Bermasalah. [Online]. Tersedia:

http://karsonosarbini.blogspot.com/2012/01/cara-mengatasi-siswa-bermasalah.html. [30 Mei 2013].

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.


(6)

Sugiyanto. (2010). Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka.

Suherman, E., dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.

Suherman, E. (2008). Perkuliahan Belajar dan Pembelajaran. Hands Out Perkuliahan pada FMIPA UPI. Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Suwangsih, E dan Tiurlina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS.

Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Trisna, Ridwan. (2013). Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia:

http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [3 Maret 2013].

Waluyo, Budi. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dengan Pendekatan Kontekstual. Tesis Jurusan PGSD FIP UPI. Bandung. Tidak dipublikasikan.

Dokumen

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan untuk SD/MI. Jakarta : Dharma Bakti.

Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang (2012). Daftar Kolektif Hasil Ujian Nasional (DKHUN) SD/MI Kecamatan Sumedang Selatan Tahun Ajaran 2011/2012. Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Fokus Media.


Dokumen yang terkait

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA (Penelitian Quasi Eksperimen di SMP Madani Depok)

0 8 150

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi Pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 2 Pringsewu Tahun Pelajaran 2012/2013)

0 2 45

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

1 25 62

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE

1 5 56

PENINGKATAN HASIL BELAJAR TEMA MAKANANKU SEHAT DAN BERGIZI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA SISWA KELAS IV SDN 2 LABUHAN RATU BANDAR LAMPUNG

3 72 62

PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK TALK WRITE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas X SMA Negeri 13 Bandarlampung Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014)

1 8 47

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Studi pada Siswa Kelas VIII Semester Genap SMP Negeri 28 Bandarlampung Tahun Pelajaran 2013/2014)

0 5 54

PENGARUH MODEL KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. AL-MADANI PONTIANAK

0 0 10

PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS-GAMESTOURNAMENTS

0 3 7

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGGOLONGKAN HEWAN BERDASARKAN JENIS MAKANANNYA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STAD SISWA KELAS IV SDN MOJOKERTO

0 0 8