PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA PADA MATERI PECAHAN (Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara).
MATEMATIS SISWA PADA MATERI PECAHAN
(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Oleh
ROSI GUSMANTINI 0903171
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR KAMPUS SUMEDANG
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2013
(2)
MATEMATIS SISWA PADA MATERI PECAHAN
(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara)
Oleh
ROSI GUSMANTINI 0903171
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar.
© Rosi Gusmantini 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Juni 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS SISWA PADA MATERI PECAHAN
(Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:
Pembimbing I
Riana Irawati, M.Si. NIP. 198011252005012002
Pembimbing II
Diah Gusrayani, M.Pd. NIP. 197808222005012003
Mengetahui,
Ketua Program Studi PGSD Kelas UPI Kampus Sumedang
Riana Irawati, M.Si. NIP. 198011252005012002
(4)
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSEMBAHAN LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Rumusan dan Batasan Masalah ... 7
C.Tujuan Penelitian... 8
D.Manfaat Hasil Penelitian ... 9
E. Batasan Istilah ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pembelajaran Matematika di SD 1. Pengertian Matematika ... 12
2. Kompetensi yang Ditargetkan dalam Kurikulum Matematika ... 13
3. Tujuan Mata Pelajaran Matematika di SD ... 15
4. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD ... 16
B. Bilangan Pecahan 1. Jenis-jenis Bilangan Pecahan ... 18
2. Operasi pada Bilangan Pecahan ... 19
3. Menyelesaikan Masalah yang Berkaitan dengan Pecahan ... 21
C. Teori Belajar-mengajar Matematika 1. Teori Belajar Piaget ... 25
2. Teori Belajar Ausubel... 27
3. Teori Belajar Skinner ... 28
4. Teori Belajar Brownell ... 28
5. Teori Belajar Vygotsky ... 29
D. Model Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif ... 31
2. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif ... 32
3. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif ... 33
4. Variasi Model Pembelajaran Kooperatif ... 36
5. Pembelajaran Pecahan dengan Model Kooperatif tipe STAD .... 39
E. Hasil penelitian yang Relevan ... 40
(5)
2 BAB III Metodologi Penelitian
A. Subjek Penelitian ... 44
B. Metode dan Desain Penelitian ... 46
C. Instrumen Penelitian ... 48
1. Tes hasil Belajar ... 49
2. Format Observasi ... 55
3. Angket ... 57
4. Catatan Lapangan ... 57
D. Prosedur Penelitian 1. Pra penelitian ... 58
2. Pelaksanaan ... 58
3. Pasca penelitian ... 58
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 1. Data Kuantitatif ... 59
2. Data Kualitatif ... 61
F. Jadwal Kegiatan ... 63
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian Prasyarat Analisis 1. Hasil Pretes ... 64
2. Hasil Postes ... 70
3. Gain ... 76
B. Hasil Penelitian 1. Pembelajaran Konvensional dapat Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa secara Signifikan ... 82
2. Pembelajaran Konvensional dapat Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa secara Signifikan ... 88
3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD lebih baik Secara Signifikan daripada Pembelajaran Konvensional ... 99
4. Respon Siswa terhadap Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD....100
5. Faktor Pendukung dan Penghambat Terlaksananya Pembelajaran dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD ...108
C. Temuan dan Pembahasan ...116
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...122
B. Saran ...124
DAFTAR PUSTAKA ...126
LAMPIRAN-LAMPIRAN ...129
(6)
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Di dalam suatu pembelajaran terdapat dua aktivitas inti yaitu belajar dan mengajar. Menurut Hermawan, dkk. (2007: 22), “Belajar merupakan proses perubahan perilaku yang dilakukan secara sadar dan bersifat menetap”. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap yang merupakan akibat dari latihan dan pengalaman (Chaplin, dalam Syah, 2005: 90). Jadi dapat disimpulkan bahwa salahsatu ciri dari hasil belajar adalah perilaku yang menetap.
Menurut Tardif (Syah, 2005: 182), “Mengajar adalah perbuatan yang dilakukan guru dengan tujuan membantu siswa dalam melakukan kegiatan belajar”. Sementara itu menurut Nasution (Syah, 2005: 182), “Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar”. Dari pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan belajar yang telah dirancang oleh guru melalui usaha yang terencana, agar terjadi perubahan perilaku secara komprehensif.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa dibekali dengan berbagai macam mata pelajaran yang kelak akan berguna untuk kehidupannya. Mata pelajaran matematika merupakan salahsatu mata pelajaran yang harus diberikan mulai dari jenjang pendidikan dasar untuk membekali dan melatih siswa dengan kemampuan berpikir logis, kritis, sistematis, dan kreatif. Melalui pelajaran matematika di sekolah dasar, secara umum siswa dituntut untuk dapat menghadapi perubahan dan perkembangan di dalam kehidupan dan mampu menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (BSNP, 2006: 30), mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut.
(7)
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Selain memiliki tujuan, mata pelajaran Matematika juga memiliki lima kompetensi dasar yang diklasifikasikan dalam beberapa aspek. Aspek-aspek ini merupakan kemampuan-kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap siswa setelah mengikuti pembelajaran Matematika. Menurut Maulana (2008: 56), kemampuan matematika yang ditargetkan dalam kurikulum matematika terdiri dari:
1. pemahaman matematis,
2. pemecahan masalah matematis, 3. penalaran matematis,
4. koneksi matematis, dan 5. komunikasi matematis.
Dengan adanya kemampuan yang ditargetkan dalam kurikulum matematika, pembelajaran seyogianya dapat dilaksanakan untuk membantu siswa dalam mencapai kemampuan tersebut. Namun, pembelajaran konvensional selama ini yang menggunakan metode ceramah pada kenyataannya lebih didominasi dengan proses penghafalan konsep. Hal itu mengakibatkan pemahaman siswa mengenai konsep-konsep masih rendah, sehingga siswa tidak dapat menggunakannya jika diberikan masalah yang kompleks. Pengajaran matematika yang sesungguhnya tidaklah sekedar menyampaikan konsep bagi para siswa untuk mereka hafalkan. Akan tetapi, dalam pengajaran matematika yang penting adalah cara guru agar dapat melibatkan siswa secara aktif dalam upaya mendorong mereka mengkontruksi dan memahami pengetahuan mereka sehingga
(8)
pembelajaran menjadi bermakna. Hal ini sesuai dengan teori Ausubel (Maulana: 2008) yang menyatakan pentingnya belajar bermakna daripada belajar menghafal.
Menurut Piaget (Sanjaya, 2006: 122), “Individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri”. Lebih lanjut Piaget (Sanjaya, 2006) juga mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh oleh siswa melalui pemberitahuan tidak akan bermakna dan cenderung akan mudah dilupakan. Berbeda halnya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan cara dibangun oleh sendiri yang tentunya akan melekat lama dalam ingatan siswa. Begitu pula dengan mata pelajaran matematika. Matematika sebagai suatu ilmu yang memiliki konsep yang abstrak harus diajarkan dengan suatu proses penemuan konsep oleh siswa sendiri.
Munculnya lima kompetensi matematis dalam hasil belajar siswa merupakan sesuatu yang diharapkan. Ketika suatu konsep informasi matematika diberikan oleh seorang guru kepada siswa ataupun siswa mendapatkan sendiri melalui bacaan, maka saat itu sedang terjadi transformasi informasi dari komunikator kepada komunikan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Effendy (1990) bahwa pendidikan merupakan komunikasi yang melibatkan guru sebagai komunikator dan siswa sebagai komunikan. Respon yang diberikan komunikan merupakan interpretasi komunikan tentang informasi yang diberikan oleh komunikator.
Dalam matematika, kualitas interpretasi dan respon sering kali menjadi masalah istimewa. Contohnya saja apabila siswa tidak mampu memahami soal cerita tentang pecahan yang diberikan oleh guru, ada kemungkinan siswa tidak mampu menyelesaikan soal tersebut dengan baik. Contoh lainnya juga apabila siswa belum bisa memahami hubungan gambar dengan ide matematika. Ketika siswa diberi pertanyaan terkait hal tersebut, siswa akan sulit untuk menjawab dengan tepat. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi matematis sangat diperlukan oleh siswa. Hal ini sebagai salahsatu akibat dari karakteristik matematika itu sendiri yang memiliki bahasa artifisial. Menurut Sumardyono (2004: 28), “Bahasa matematika adalah bahasa simbol yang bersifat artifisial, yang baru memiliki arti apabila dikenakan pada suatu konteks”.
(9)
Kemampuan komunikasi dalam matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat berbagai kesempatan untuk berkomunikasi seperti yang diungkapkan oleh Maulana (2008: 58) dalam bentuk:
1. menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika;
2. menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematik, secara lisan atau tulisan, dengan benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar;
3. menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; 4. mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika;
5. membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi; dan
6. menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Dalam pembelajaran matematika saat ini, kemampuan serta aktivitas siswa dalam mengomunikasikan ide-ide matematikanya masih kurang. Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya yaitu model pembelajaran yang terpaku pada bentuk pembelajaran yang statis. Guru juga lebih membiasakan siswa untuk menghafalkan suatu konsep matematika. Pembelajaran yang dilaksanakan guru kurang memberikan kesempatan pada siswa untuk memecahkan masalah dan saling berkomunikasi, dan masih banyaknya siswa yang menganggap matematika itu sulit.
Pressini dan Basset (Muabuai, 2009) mengatakan bahwa tanpa komunikasi dalam matematika, pemerolehan keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi dalam matematika akan cenderung kurang. Melalui komunikasi matematis, guru dapat memahami kemampuan siswa dalam menginterpretasi konsep dan proses matematika. Namun, beberapa praktik di lapangan memberikan keterangan bahwa guru lebih aktif daripada siswa, sehingga pembelajaran matematika dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasinya.
Siswa merupakan individu yang berbeda, maka mereka juga memiliki kemampuan untuk memahami suatu konsep dengan kecepatan yang berbeda. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang. Misalnya perbedaan-perbedaan dalam
(10)
intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.
Pernyataan di atas juga didukung dengan pembelajaran selama ini yang merupakan pembelajaran klasikal berdasarkan perkiraan kecepatan rata-rata siswa. Dengan demikian akan ada siswa yang merasa bahwa pengajaran yang dilakukan guru terlalu cepat dan ada siswa lain yang merasa terlalu lambat. Siswa yang merasa terlalu lambat tentunya akan mengalami penurunan motivasi dalam belajar ketika mereka belum mampu menguasai konsep, namun harus dibebankan untuk menguasai konsep selanjutnya. Disinilah peran teman sebaya harus ditonjolkan agar mampu membantu dan memotivasi siswa yang lambat dalam memahami suatu konsep. Selain itu, Bonita (2011) juga berpendapat bahwa pembelajaran klasikal mempunyai banyak kelemahan, di antaranya adalah pembelajaran tidak memperhatikan pengalaman siswa, siswa menjadi penerima secara pasif, serta pembelajaran bersifat abstrak dan teoretis.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah alternatif pengajaran yang dapat mengatasi masalah tersebut. Slavin (2005) berpendapat bahwa gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Isjoni (2007) juga berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD menekankan kepada aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. Jadi dapat disimpulkan bahwa gagasan utama model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah untuk memotivasi siswa agar dapat bekerja sama dengan baik dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru untuk mencapai tujuan secara maksimal.
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memunculkan kerjasama antara siswa yang satu dengan siswa lainnya dari semua tingkatan kemampuan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Dalam proses pembelajarannya para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang. Slavin (2005) menyatakan bahwa STAD terdiri dari lima komponen utama, yaitu presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim.
(11)
Materi dalam STAD pertama-tama disajikan oleh guru dalam presentasi kelas. Pada tahap ini siswa diberitahukan untuk memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru, karena hasil pemahamannya akan bergantung kepada kemampuan mereka untuk mengerjakan kuis yang akan diberikan guru setelah kerja kelompok (Slavin, 2005: 144). Dalam pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD, guru melibatkan siswa ketika sedang menerangkan suatu konsep.
Setelah selesai menyampaikan materinya, guru membuat siswa ke dalam tim-tim kelompok yang dibuat secara heterogen. Slavin (2005) memberikan pendapatnya bahwa tujuan utama dari tim ini adalah memastikan agar siswa benar-benar belajar dan lebih khususnya lagi untuk mempersiapkan setiap anggota dalam mengerjakan kuis individual. Mereka boleh bekerja berpasangan dan membandingkan jawaban masing-masing, mendiskusikan setiap ketidaksesuaian, dan saling membantu satu sama lain jika ada yang salah dalam memahami materi. Apabila para siswa ingin agar timnya berhasil, mereka akan mendorong anggota timnya untuk lebih baik dan mampu melakukan pekerjaan yang luar biasa. Mereka harus dapat menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain dengan menerjemahkan bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa anak-anak. Hal ini sejalan dengan ungkapan Within (Ahmad, 2012) bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi berlangsung, siswa diharapkan mampu menyatakan, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama sehingga dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika.
Selama ini, membuat interpretasi mengenai soal tentang pecahan yang disajikan dalam bentuk gambar, simbol dan soal cerita sering menjadi kesulitan bagi siswa. Namun, melalui bekerja bersama dengan tim dalam STAD diharapkan kemampuan komunikasi siswa dapat meningkat dan berdampak pada keberhasilan siswa dalam belajar. Tidak dapat dipungkiri bahwa siswa akan lebih berani mengungkapkan keluh kesahnya kepada teman, dibandingkan dengan kepada gurunya. Meskipun para siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling bantu dalam mengerjakan kuis individu. Satu-satunya cara bagi tim untuk berhasil
(12)
adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai informasi yang diajarkan oleh guru sehingga tiap anggota mendapatkan skor perkembangan tertinggi (Slavin, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai upaya konkret untuk menciptakan suasana belajar yang melibatkan siswa secara aktif, memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling berinteraksi, berdiskusi, dan berkomunikasi, dan untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa, dilakukan penelitian ini dengan judul: “ Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa pada Materi Pecahan (Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III di Kecamatan Sumedang Utara)”.
B.Rumusan dan Batasan Masalah
Pada bagian latar belakang telah diungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD diharapkan akan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan. Berdasarkan hal tersebut, muncul suatu rumusan masalah umum untuk diketahui apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD akan mampu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan? Secara lebih rinci rumusan masalah tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut ini.
1. Apakah pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi pecahan?
2. Apakah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi pecahan?
3. Apakah kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional?
4. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD?
(13)
5. Faktor-faktor apa saja yang mendukung atau menghambat terlaksananya proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD?
Penelitian ini difokuskan pada penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pecahan. Penelitian ini dibatasi hanya pada siswa kelas IV sekolah dasar di Kecamatan Sumedang Utara semester genap tahun ajaran 2012/2013 pada pokok bahasan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Pemilihan materi tersebut didasarkan pada hal-hal sebagai berikut ini. 1. Pecahan merupakan salah satu materi yang erat kaitannya dan banyak
aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pecahan digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. 3. Dengan mempelajari materi pecahan dapat mengajarkan siswa untuk berbuat
adil kepada siapapun.
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk melihat adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan. Tujuan tersebut dijabarkan lebih lanjut menjadi tujuan khusus sebagai berikut ini. 1. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis
siswa secara signifikan pada materi pecahan di kelas konvensional.
2. Untuk mengetahui adanya peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi pecahan yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa secara signifikan pada materi pecahan yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional.
4. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
(14)
5. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung atau menghambat terlaksanakannya proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
D.Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam penelitian ini. Berikut disajikan manfaat-manfaat bagi masing-masing pihak.
1. Bagi Peneliti
Peneliti dapat mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan di kelas IV.
2. Bagi Siswa
Siswa dapat merasakan perbedaan suasana pembelajaran pada materi pecahan. Motivasi belajar, hubungan sosial dan kerjasama dalam belajarnya pun akan bertambah.
3. Bagi Guru Matematika SD
Guru matematika dapat menggunakan pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe STAD sebagai alternatif pembelajaran dengan inovasi baru di tingkat SD. Di samping itu, guru pun melibataktifkan siswa dalam pembelajaran sebagai upaya untuk menghilangkan kejenuhan dalam belajar. 4. Bagi Pihak Sekolah
Sekolah yang dijadikan tempat penelitian bisa lebih meningkat mutu pembelajarannya dibandingkan dengan sekolah yang lainnya.
5. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi peneliti terkait dengan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif.
(15)
E.Batasan Istilah
Batasan istilah diperlukan agar tidak terjadi salah penafsiran terhadap judul penelitian yang dibuat. Penjelasan mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian adalah sebagai berikut ini.
1. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru di dalam kelas. (Sudrajat, 2008)
2. Model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. (Isjoni, 2007: 15)
3. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi di antara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal. (Slavin, 2005: 143)
4. Pecahan adalah nilai bilangan antara dua bilangan cacah yang ditulis dengan dan b bilangan cacah dan bersyarat b ≠ 0, dalam hal ini disebut pembilang dan b disebut penyebut. (Maulana, 2010: 109)
5. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa untuk mengomunikasikan ide matematis kepada orang lain, dalam bentuk lisan, tulisan, atau diagram sehingga orang lain memahaminya. (Tanti, 2012) Indikator kemampuan komunikasi matematis (Maulana, 2008: 58) yang digunakan adalah :
a. menghubungkan benda nyata, gambar, diagram ke dalam ide matematika, b. menjelaskan ide matematik dengan gambar,
c. menyatakan peristiwa sehari-hari dalam simbol matematika, dan d. menyusun argumen.
6. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam melaksanakan proses
(16)
pembelajaran (Sastradi, 2013). Pada kelas kontrol dalam penelitian ini pembelajaran konvensional yang dilakukan menggunakan metode ceramah.
(17)
(18)
44 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.Subjek Penelitian 1. Populasi
Menurut Sugiyono (2007: 117), “Populasi adalah wilayah generalisasi
yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik
kesimpulannya”. Populasi adalah seluruh data yang menjadi perhatian dalam
lingkup dan waktu tertentu (Maulana, 2009: 25). Populasi yang digunakan dalam penelitian merupakan ruang generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan.
Sebelum menentukan populasi yang akan digunakan dalam penelitian, langkah pertama yang dilakukan adalah mengurutkan nilai UN SD tahun ajaran 2011/2012 mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. Terdapat 35 SD di Kecamatan Sumedang Utara yang dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu kelompok unggul, kelompok papak, dan kelompok asor. Menurut Sugiyono
(2008: 180), “Jumlah kelompok yang tinggi diambil 27% dan kelompok yang
rendah diambil 27% dari sampel ujicoba”. Penentuan jumlah sekolah yang masuk pada kategori unggul, papak dan asor menggunakan persentase 27%, 46% dan 27%.
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan random secara sederhana untuk mendapatkan populasi yang akan digunakan dalam penelitian. Setelah dilakukan random secara sederhana, dihasilkanlah SD Sindangraja sebagai kelompok yang akan digunakan dalam penelitian. Berdasarkan data nilai UN tahun ajaran 2011/2012, SD Sindangraja merupakan SD yang termasuk ke dalam kategori unggul. Maka dari itu, diputuskanlah bahwa populasi dalam penelitian ini adalah SD yang tergolong unggul berdasarkan nilai UN tahun ajaran 2011/2012. Hal ini didasarkan pada hasil random secara sederhana yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan hasil random tersebut, maka diperoleh 27% dari 35 SD yaitu sebanyak 9 SD yang tergolong dalam kelompok unggul. Populasi yang digunakan pada penelitian ini tertuangkan dalam tabel berikut.
(19)
Tabel 3.1
Daftar Peringkat Sekolah Dasar yang Termasuk Kelompok Unggul di Kecamatan Sumedang Utara
Nomor Nama Sekolah Rata-rata nilai UN
1 SUKAMAJU 9.27
2 MARGAMULYA 9.03
3 PANYINGKIRAN III 8.92
4 SINDANGRAJA 8.91
5 SUKAMULYA 8.85
6 JATIHURIP 8.78
7 RANCAMULYA 8.76
8 SUKALUYU 8.72
9 PANYINGKIRAN I 8.51
2. Sampel
Menurut Maulana (2009: 26), “Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti”. Sementara itu, menurut Sugiyono (2007: 118), “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi tersebut”. Cara
pemilihan sampel terdiri dari dua jenis, yaitu sensus dan sampling. Sensus berbeda dengan sampling. Sensus dilakukan jika peneliti akan meneliti seluruh anggota populasi. Sampling dilakukan jika peneliti hanya meneliti sebagian dari
populasi. Menurut Maulana, (2009: 27) “Dalam teknik pengumpulan sampel,
terdapat dua cara yaitu random dan cara purposif dan quota”. Cara random terdiri dari 6 jenis, yaitu random sederhana, strata, kelompok, sistematik, bertahap dan beruntun (Maulana, 2009: 27). Dalam penelitian ini digunakan teknik random sederhana. Setiap anggota dalam populasi mempunyai hak yang sama untuk terpilih.
Untuk efisiensi waktu, biaya, dan tenaga serta mengingat populasi yang diambil ukurannya relatif homogen yakni sekolah yang berada di kelompok unggul berdasarkan rata-rata nilai Ujian Nasional, maka dalam penelitian ini digunakan teknik sampling. Hanya tetap harus diperhatikan bahwa ukuran sampel yang diambil harus merupakan sampel yang representatif. Menurut Ruseffendi
(20)
mengakibatkan pengambilan keputusan yang keliru”. Kejelian dalam melakukan
teknik sampling ini benar-benar sangat diperlukan, mengingat yang dilakukan adalah pencarian kebenaran dengan metode ilmiah yang keabsahannya pasti dipertanyakan. Maulana (2009) mengungkapkan bahwa pengambilan sampel pada penelitian akan sampai kepada suatu titik yang optimal. Artinya setiap sampel yang diambil harus bisa mewakili subjek lain yang tidak terambil, lebih jauhnya hasil penelitian teruji keabsahan generalisasinya.
Dalam penelitian ini, sampel yang diambil adalah dua kelompok dari dua sekolah yang berbeda. Berdasarkan hasil random secara sederhana, dihasilkan lah kelompok unggul yang menjadi populasi pada penelitian ini. Kemudian dilakukan pemilihan secara acak dari sembilan SD yang berada dalam kelompok unggul. Terpilihlah SD Panyingkiran III sebagai kelompok yang akan dibandingkan dengan SD Sindangraja. Langkah yang terakhir dilakukan pemilihan kembali untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil random, terpilihlah SDN Panyingkiran III sebagai kelompok kontrol dan SDN Sindangraja sebagai kelompok eksperimen.
B.Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan sebab-akibat yakni untuk melihat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis pada materi pecahan. Berdasarkan karakteristiknya maka penelitian ini termasuk ke dalam penelitian eksperimen. Hasil dari perlakuan yang dilakukan terhadap variabel bebas dapat dilihat hasilnya pada variabel terikat (Maulana, 2009: 20). Dalam arti dilakukan pemanipulasian terhadap satu variabel bebas yakni model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk kemudian diamati perubahan yang terjadi pada kemampuan komunikasi matematis subjek penelitian terhadap materi pecahan.
Menurut Maulana (2009: 23), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penelitian eksperimen adalah sebagai berikut ini.
(21)
b. Adanya kesetaraan (ekuivalensi) subjek-subjek dalam kelompok-kelompok yang berbeda. Kesetaraan ini biasanya dilakukan secara acak (random).
c. Minimal ada dua kelompok/kondisi yang berbeda pada saat yang sama, atau satu kelompok tetapi untuk dua saat yang berbeda.
d. Variabel terikatnya diukur secara kuantitatif maupun dikuantitatifkan. e. Menggunakan statistika inferensial.
f. Adanya kontrol terhadap variabel-variabel luar (extraneous variables). g. Setidaknya terdapat satu variabel bebas yang dimanipulasikan.
Pada penelitian ini terdapat dua kelompok kelompok yang dibandingkan, kedua kelompok yang dimaksud adalah kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pertama-tama dilakukan pengurutan peringkat SD berdasarkan rata-rata nilai UN yang diperoleh pada tahun 2011/2012. Hasil pengurutan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok unggul, kelompok papak dan kelompok asor. Kemudian dilakukan random secara sederhana dari 35 SD yang ada di Kecamatan Sumedang Utara. Terpilihlah SD Sindangraja, yang mewakili kelompok unggul sebagai populasi dalam penelitian ini. Selanjutnya dilakukan random secara sederhana lagi untuk SD yang berada di kelompok unggul. Terpilihlah SD Panyingkiran III sebagai kelompok yang akan dibandingkan dengan SD Sindangraja.
Setelah terpilih SD Sindangraja dan SD Panyingkiran III sebagai tempat penelitian, dilakukan random sederhana lagi untuk menentukan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Berdasarkan hasil random sederhana, terpilihlah SD Sindangraja sebagai kelompok eksperimen dan SD Panyingkiran III sebagai kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut diberikan pretes untuk mengukur kesetaraan kemampuan awal subjek penelitian. Selanjutnya pada kelompok eksperimen diberikan pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan pada kelompok kontrol diberikan pembelajaran konvensional seperti biasanya kelompok tersebut belajar. Pada akhir tindakan, diberikan postes untuk melihat perbedaan hasil peningkatan kemampuan komunikasi matematis kedua kelompok tersebut setelah diberikan perlakuan yang berbeda.
(22)
2. Desain Penelitian
Menurut Maulana (2009: 24), “Dalam penelitian eksperimen murni,
terdapat tiga jenis desain yaitu desain kelompok kontrol pretes-postes, desain kelompok kontrol hanya postes, dan desain empat kelompok Solomon”. Desain penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol pretes-postes (pretes-postes control group design). Menurut Ruseffendi (2005: 50), “Pada jenis desain eksperimen ini terjadi pengelompokan secara acak (A), adanya pretes (0), dan adanya postes (0). Kelompok yang satu tidak memperoleh
perlakuan, sedangkan yang satu lagi memperoleh perlakuan (X)”. Adapun bentuk
desain penelitiannya sebagaimana menurut Ruseffendi (2005: 50) adalah sebagai berikut ini.
A 0 X 0 A 0 0 Keterangan:
A = dilakukan pemilihan sampel secara acak 0 = pretes dan postes
X = perlakuan terhadap kelompok eksperimen
Pada bentuk desain penelitian di atas terlihat adanya pemilihan secara acak (A) baik untuk kelompok eksperimen maupun untuk kelompok kontrol. Kemudian adanya pretes (0) untuk kedua kelompok tersebut. Selanjutnya kelompok eksperimen diberikan perlakuan (X) yakni pembelajaran pecahan dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan atau pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran konvensional. Terakhir, pada kedua kelompok diberikan postes (0) untuk mengukur peningkatan kemampuan komunikasi matematis masing-masing kelompok atau melihat adanya perbedaan kemampuan komunikasi matematis masing-masing kelompok terhadap materi pecahan.
C.Instrumen Penelitian
Di dalam melakukan pengumpulan data mengenai penelitian, akan digunakan instrumen-instrumen sebagai berikut ini.
(23)
1. Tes Hasil Belajar
Untuk mengukur sejauh mana kemampuan subjek penelitian terhadap materi pembelajaran pada saat penelitian, maka dilakukan tes sebagai alat ukurnya. Tes ini terbagi menjadi dua bagian, ada pretes untuk mengukur kemampuan awal subjek penelitian baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, dan postes yang digunakan untuk mengukur peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa terhadap materi pecahan pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Untuk mengukur ketepatan (validitas) isi soal yang dibuat, sebelumnya dikonsultasikan terlebih dahulu kepada ahli dalam pembuatan soal, dalam hal ini dosen pembimbing. Selain validitas isi, konsultasi juga dilakukan untuk mengetahui adanya validitas muka dalam arti bentuk soal dalam tes hasil belajar yang digunakan memang tepat untuk diberikan kepada subjek penelitian. Setelah validitas isi dan validitas muka terpenuhi, maka terbentuklah soal tes hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini yang berjumlah 5 butir soal dengan bentuk soal uraian (soal tes hasil belajar terlampir).
Selanjutnya, untuk mengukur ketepatan dan keajegan (reliabilitas) instrumen tes tersebut, selanjutnya dilakukan ujicoba instrumen kepada siswa kelas V (lima) SD yang telah memperoleh pembelajaran mengenai pecahan sebelumnya. Ujicoba instrumen tes hasil belajar siswa dilakukan kepada siswa kelas V SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III Kecamatan Sumedang Utara dengan jumlah total siswa sebanyak 53 siswa (daftar lengkap hasil ujicoba tes hasil belajar terlampir). Penjelasan mengenai hasil ujicoba instrumen yang dilakukan dijelaskan dalam teknik pengolahan data tes hasil belajar dan hasil ujicoba instrumennya berikut ini.
a. Validitas Instrumen
Untuk menentukan tingkat (kriteria) validitas instrumen, maka digunakan koefisien korelasi. Koefisien korelasi ini dihitung dengan menggunakan rumus product moment dari Pearson (Suherman dan Sukjaya, 1990: 154) dengan formula sebagai berikut.
=
∑ −(∑ ) (∑ )(24)
Keterangan:
= Koefisien korelasi antara X dan Y N = Banyaknya peserta tes
X = Nilai hasil ujicoba Y = Nilai rapot siswa
Formula di atas digunakan untuk menghitung validitas soal secara keseluruhan. Sementara itu, untuk mengetahui validitas masing-masing butir soal masih menggunakan product moment raw score, tetapi variabel x untuk jumlah skor soal yang dimaksud dan variabel y untuk skor total soal tes hasil belajar. Untuk menghitung validitas instrumen, akan digunakan Microsoft Excel 2007 for Windows untuk memudahkan proses perhitungan dan menjamin keakuratan hasil perhitungan. Selanjutnya koefisien korelasi yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien korelasi (koefisien validitas) menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990: 147):
Tabel 3.2
Klasifikasi Koefisien Validitas
Koefisien korelasi Interpretasi 0,80 < 1,00 Validitas sangat tinggi 0,60 < 0,80 Validitas tinggi 0,40 < 0,60 Validitas sedang 0,20 < 0,40 Validitas rendah 0,00 < 0,20 Validitas sangat rendah
0,00 Tidak valid
Hasil ujicoba menunjukkan bahwa secara keseluruhan, soal yang digunakan dalam penelitian ini koefisien korelasinya mencapai 0,55 yang berarti validitas instrumen tes hasil belajar pada penelitian ini sedang berdasarkan Tabel 3.2 (perhitungan validitas hasil ujicoba instrumen terlampir). Sementara itu, validitas instrumen tes hasil belajar masing-masing soal dapat dilihat dalam Tabel 3.3 berikut ini.
(25)
Tabel 3.3
Validitas Butir Soal Tes Hasil Belajar
Nomor soal
Koefisien Korelasi Tafsiran
1 0,35 Validitas Rendah
2 0,67 Validitas Tinggi
3 0,53 Validitas Sedang
4 0,39 Validitas Rendah
5 0,60 Validitas Tinggi
6 0,66 Validitas Tinggi
7 0,46 Validitas Sedang
8 0,49 Validitas Sedang
9 0,31 Validitas Rendah
10 0,49 Validitas Sedang
b. Reliabilitas Instrumen
Menurut Ruseffendi (2005: 158), “Reliabilitas instrumen adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukut atau ketetapan siswa dalam menjawab evaluasi itu”. Untuk mengukur reliabilitas instrumen tersebut dapat digunakan nilai koefisien relabilitas yang dihitung dengan menggunakan formula Alpha (Suherman dan Sukjaya, 1990: 194) berikut.
11= −1 1−∑ �� 2
� 2
Keterangan:
n = Banyaknya butir soal
�2= Variansi skor setiap butir soal 2 = Variansi skor total
Untuk menghitung reliabilitas instrumen, digunakan Microsoft Excel 2007 for Windows untuk memudahkan proses perhitungan dan menjamin keakuratan hasil perhitungan. Koefisien reliabilitas yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan formula di atas selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien reliabilitas menurut Guilford (Suherman dan Sukjaya, 1990: 177):
(26)
Tabel 3.4
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
Koefisien korelasi Interpretasi 0,80 < 11 1,00 Reliabilitas sangat tinggi 0,60 < 11 0,80 Reliabilitas tinggi 0,40 < 11 0,60 Reliabilitas sedang
0,20 < 11 0,40 Reliabilitas rendah 11 0,20 Reliabilitas sangat rendah
Berdasarkan Tabel 3.4, hasil ujicoba instrumen yang digunakan dalam penelitian mencapai kriteria reliabilitas sedang dengan perolehan koefisien korelasi reliabilitas mencapai 0,59. (perhitungan reliabilitas hasil ujicoba instrumen terlampir).
c. Tingkat kesukaran
Suherman dan Sukjaya (1990) mengungkapkan bahwa soal yang terlalu sukar dan soal yang terlalu mudah itu tidak baik. Soal yang terlalu sukar menyebabkan siswa mengalami frustasi karena tidak bisa mengerjakannya. Sementara soal yang terlalu mudah menyebabkan siswa menjadi tidak terangsang untuk melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi. Untuk mengetahui tingkat atau indeks kesukaran setiap butir soal, digunakan formula sebagai berikut:
IK = �
Keterangan:
IK = Tingkat/indeks kesukaran = Rata-rata skor setiap butir soal SMI = Skor maksimum ideal
Untuk menghitung tingkat kesukaran instrumen, digunakan Microsoft Excel 2007 for Windows untuk memudahkan proses perhitungan dan menjamin keakuratan hasil perhitungan. Tingkat kesukaran yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan menggunakan formula di atas, selanjutnya diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria berikut (Suherman dan Sukjaya, 1990: 213):
(27)
Tabel 3.5
Klasifikasi Indeks Kesukaran
Koefisien korelasi Interpretasi IK = 0,00 Terlalu sukar 0,00 < � 0,30 Sukar 0,30 < � 0,70 Sedang 0,70 < � 1,00 Mudah
�= 1,00 Terlalu mudah
Berikut ini merupakan data tingkat kesukaran hasil ujicoba instrumen tes hasil belajar yang dilakukan.
Tabel 3.6
Analisis Tingkat Kesukaran
Nomor soal Tingkat Kesukaran Tafsiran
1 1,09 0,36 Sedang
2 2,30 0,38 Sedang
3 1,43 0,48 Sedang
4 1,37 0,46 Sedang
5 1,59 0,80 Mudah
6 2,39 0,48 Sedang
7 1,67 0,28 Sukar
8 1,81 0,36 Sedang
9 0,35 0,12 Sukar
10 0,89 0,13 Sukar
Kesimpulan: 1 soal mudah 10% 6 soal sedang 60% 3 soal sukar 30%
d. Daya Pembeda
Menurut Suherman dan Sukjaya (1990: 199), “Daya pembeda dari sebuah
butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal tersebut”. Pada suatu kelompok, idealnya terdapat siswa yang unggul, papak dan asor. Daya pembeda butir soal yang baik adalah yang dapat membedakan kemampuan siswa yang unggul, papak, dan asor. Untuk mengetahui daya pembeda setiap butir soal, digunakan formula berikut:
(28)
DP = − � Keterangan:
DP = Daya pembeda
= Rata-rata skor kelompok atas = Rata-rata skor kelompok bawah SMI = Skor maksimum ideal
Untuk menghitung daya pembeda instrumen, digunakan Microsoft Excel 2007 for Windows untuk memudahkan proses perhitungan dan menjamin keakuratan hasil perhitungan. Selanjutnya daya pembeda yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi daya pembeda sebagai berikut (Suherman dan Sukjaya, 1990: 202):
Tabel 3.7
Klasifikasi Daya Pembeda
Koefisien korelasi Interpretasi DP 0,00 Sangat jelek 0,00 < �� 0,20 Jelek 0,20 < �� 0,40 Cukup 0,40 < �� 0,70 Baik 0,70 <�� 1,00 Sangat baik
Berikut ini merupakan data daya pembeda hasil ujicoba instrumen tes hasil belajar yang dilakukan.
Tabel 3.8
Daya Pembeda Butir Soal
Nomor Soal DP Tafsiran
1 1,1 0,9 0,06 Jelek
2 4,33 1,27 0,51 Baik
3 2 1,5 0,16 Jelek
4 1,7 1,4 0,1 Jelek
5 1,9 1,2 0,35 Cukup
6 3,5 2,2 0,26 Cukup
7 2,1 0,9 0,2 Jelek
8 2,4 0,8 0,32 Cukup
9 0,7 0,3 0,13 Jelek
(29)
Kesimpulan: 1 soal baik 10% 3 soal cukup 30% 6 soal jelek 50%
Dari sepuluh soal yang ada, hanya 5 soal yang akan digunakan dalam penelitian. Pemilihan kelima soal tersebut diperoleh dari hasil diskusi dengan ahli dengan mempertimbangkan hasil ujicoba instrumen. Kelima soal yang dipilih terdiri dari soal nomor 2, soal nomor 6, soal nomor 7, soal nomor 8, dan soal nomor 10. Pemilihan soal tersebut didasarkan pada validitas butir soal, daya pembeda dan tingkat kesukarannya. Berikut merupakan rincian hasil ujicoba instrumen tes yang akan digunakan.
Tabel 3.9
Rekapitulasi Soal yang Digunakan
Nomor soal Validitas Daya pembeda Tingkat kesukaran
2 Tinggi Baik Sedang
6 Tinggi Cukup Sedang
7 Sedang Jelek Sukar
8 Sedang Cukup Sedang
10 Sedang Jelek Sukar
Berdasarkan Tabel 3.9 di atas, dapat dilihat bahwa kelima soal tersebut memiliki validitas sedang dan tinggi. Daya pembeda dari kelima soal tersebut adalah baik, cukup dan jelek. Untuk soal nomor 7 dan 10 memiliki daya pembeda yang jelek, namun berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dapat diketahui bahwa soal tersebut merupakan soal yang sukar. Jadi, kedua soal tersebut dapat dipergunakan dalam penelitian.
2. Format Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung dengan menggunakan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan jika perlu pengecapan
(Maulana, 2009: 35). Menurut Sugiyono (2007: 203), “Observasi digunakan bila
penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam
dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar”. Observasi yang dilakukan
(30)
pembelajaran saat di dalam kelompok. Aktivitas ini diukur melalui format observasi yang dibuat dalam bentuk daftar cek (checklist).
Ada tiga aspek yang diukur dalam aktivitas siswa ini, yaitu, partisipasi, kerjasama, dan motivasi. Setiap aspek diukur dengan skor pada rentang 0-3 dengan indikator yang telah disusun. Skor yang telah diberikan untuk masing-masing aspek dijumlahkan dan hasilnya ditafsirkan ke dalam bentuk perilaku baik (B), cukup (C), atau kurang (K). Lebih jelasnya tafsiran jumlah perolehan skor observasi aktivitas siswa adalah sebagai berikut ini.
Kurang (K) = jika perolehan jumlah skor siswa 0 sampai 3 Cukup (C) = jika perolehan jumlah skor siswa 4 sampai 6 Baik (B) = jika perolehan jumlah skor siswa 7 sampai 9
Selain aktivitas siswa, observasi juga dilakukan terhadap kinerja guru. Aspek yang diukur dalam observasi kinerja guru ini terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek perencanaan pembelajaran, aspek pelaksanaan pembelajaran, dan yang terakhir adalah aspek evaluasi pembelajaran. Pada kelompok kontrol, setiap kegiatan diukur dengan skor pada rentang 0-3 dengan deskriptor yang telah disusun berdasarkan pengembangan dari IPKG 1 dan IPKG 2 yang dibuat oleh UPI. Sedangkan pada kelompok eksperimen digunakan format observasi yang dibuat oleh peneliti yang telah dikonsultasikan dengan ahli. Format observasi tersebut disesuaikan dengan langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Skor yang telah diberikan untuk masing-masing kegiatan dijumlahkan dan hasilnya ditafsirkan ke dalam bentuk nilai dengan ukuran sangat baik (A), baik (B), cukup (C), atau kurang (D). Lebih jelasnya tafsiran jumlah perolehan skor observasi kinerja guru adalah sebagai berikut ini.
Sangat Baik (SB) = indikator yang muncul 81 - 100% Baik (B) = indikator yang muncul 61 - 80% Cukup (C) = indikator yang muncul 41 - 60% Kurang (K) = indikator yang muncul 21 - 40% Sangat Kurang (SK) = indikator yang muncul 0 - 20%
(31)
3. Skala Sikap
Menurut Maulana (2009: 39), “Sebuah skala sikap terdiri dari sekumpulan pernyataan yang setiap orang diminta untuk memberikan respons atasnya”. Skala
sikap berfungsi untuk mengukur kecenderungan siswa dalam bersikap. Dalam hal ini adalah mengukur kecenderungan siswa dalam merespons pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD.
Skala sikap dalam penelitian ini berguna untuk melihat respon siswa terhadap pembelajaran menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Skala sikap ini diberikan kepada kelompok eksperimen di akhir penelitian. Jawaban setiap item instrumen berupa kata-kata SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat tidak setuju). Sebagai keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban itu diberi skor sebagai berikut.
SS (sangat setuju) = 5
S (setuju) = 4
TS (tidak setuju) = 2 STS (sangat tidak setuju) = 1
4. Catatan Lapangan
Maulana (2009: 36) berpendapat bahwa ada cara lain yang digunakan untuk merekam tingkah laku individu yaitu dengan menggunakan catatan lapangan. Catatan lapangan ini berisi segala sesuatu yang dianggap penting selama penelitian berlangsung dan berfungsi untuk mengukur apa yang tidak terukur oleh instrumen non-tes yang lainnya. Menurut Maulana (2009: 36),
“Tidak ada bentuk yang baku mengenai catatan lapangan ini, karena peneliti
bebas mencatat apa saja yang dirasakan penting sehubungan dengan
penelitiannya”. Oleh karena itu, format catatan lapangan hanya berisi tabel kosong yang nantinya akan diisi oleh tulisan tangan guru sendiri.
(32)
D.Prosedur Penelitian
Ruseffendi (2005) berpendapat bahwa prosedur dari suatu penelitian berisi uraian tentang semua langkah yang dilakukan pada penelitian yang dijabarkan mulai dari langkah pertama sampai terakhir secara kronologik. Prosedur dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, yaitu pra penelitian, tahap saat penelitian, dan tahap pasca penelitian. Penjelasan dari ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tahap Pra Penelitian
Pada tahap ini akan dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu: mengumpulkan sumber untuk studi pendahuluan, penyusunan instrumen, konsultasi instrumen kepada ahli, ujicoba instrumen, mengurus perizinan penelitian, dan pemilihan secara acak siswa kelas IV SDN Sindangraja dan SDN Panyingkiran III untuk dijadikan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
2. Tahap Saat Penelitian
Pada tahap ini kegiatan awal yang dilakukan adalah memberikan pretes untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis untuk kelompok kontrol dan eksperimen. Hal ini bertujuan untuk mengukur kemampuan awal kedua kelompok tersebut. Kemudian hasil tes pretes diolah dan dilakukan uji normalitas, homogenitas dan perbedaan rata-rata. Setelah terbukti bahwa kedua kelompok tersebut memiliki kemampuan yang sama, langkah selanjutnya adalah melakukan pembelajaran sesuai jadwal dan materi yang sudah ditetapkan.
Pada saat pembelajaran berlangsung, aktivitas pembelajaran akan diobservasi oleh observer. Setelah pembelajaran berakhir secara keseluruhan, akan dilaksanakan tes akhir kemampuan komunikasi matematis untuk kedua kelompok. Untuk mengetahui apa yang dirasakan siswa selama pembelajaran berlangsung, setelah pembelajaran berakhir siswa langsung diberikan sebuah skala sikap. Catatan lapangan juga digunakan untuk mencatat segala hal yang perlu dicatat ketika penelitian berlangsung.
3. Tahap Pasca Penelitian
Pada tahap ini akan dilakukan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan selama penelitian, yaitu berupa data kuantitatif dan data kualitatif.
(33)
Pengolahan data kualitatif berupa hasil skala sikap, catatan lapangan dan format observasi. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji perbedaan rata-rata. Setelah pengolahan data selesai dilakukan, selanjutnya dilakukan penafsiran dan menyimpulkan hasil data penelitian.
E.Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif diperoleh dari hasil observasi, skala sikap, dan catatan lapangan. Adapun data kuantitatif diperoleh dari hasil pretes dan postes. Analisis data kualitatif dimulai dengan mengelompokkan data ke dalam kategori tertentu. Data yang diperoleh diidentifikasi terlebih dahulu kemudian dianalisis. Setelah itu, hasil dari data kualitatif dirubah ke dalam bentuk bilangan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya sebagian data yang terkait dengan keperluan tertentu diolah dan dikualifikasikan seperlunya untuk menghasilkan suatu kesimpulan tertentu. Berikut ini dipaparkan penjelasan tentang pengolahan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif.
1. Data Kuantitatif a. Uji normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas data digunakan SPSS 16 for Windows dengan langkah-langkah sebagai berikut ini.
1) Merumuskan hipotesis pengujian normalitas data
0 = data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal 1 = data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
2) Menguji normalitas data dengan menggunakan uji liliefors (Kolmogorov-Smirnov) pada SPSS 16.
Jika nilai signifikansi 0,05 maka 0 diterima
(34)
Jika kedua data kelompok berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan pengujian homogenitas data dengan menggunakan uji Levene’s pada SPSS 16. b. Uji homogenitas
Uji homogenitas data digunakan untuk menguji homogen atau tidaknya data sampel yang diambil dari populasi yang sama. Untuk menganalisis homogenitas data, digunakan uji Levene’s test dalam SPSS 16, dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Merumuskan hipotesis pengujian homogenitas
0 = data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang sama
atau homogen
1 = data sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians tidak sama
atau tidak homogen
2) Menghitung uji homogenitas data dengan menggunakan rumus Levene’s test dalam SPSS 16
Melihat nilai signifikansi pada uji Levene’s test dengan menggunakan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: Jika nilai signifikansi 0,05 maka 0 diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 maka 0 ditolak
c. Uji perbedaan dua rata-rata
Untuk menguji kesamaan dua rata-rata pretes atau dua rata-rata postes ada tiga alternatif yang bisa dilakukan, antara lain sebagai berikut ini.
1) Jika data dari kedua kelompok tersebut normal dan homogen, maka digunakan uji independent sample t-test dengan langkah-langkah dan kriteria sebagai berikut.
2) Merumuskan hipotesis pengujian kesamaan nilai rata pretes atau nilai rata-rata postes kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, yaitu sebagai berikut ini.
0 = kemampuan komunikasi matematis siswa sama 1 = kemampuan komunikasi matematis siswa tidak sama
3) Menghitung uji perbedaan dua rata-rata data pretes atau dua rata-rata data postes dengan menggunakan uji independent sample t-test dalam SPSS 16
(35)
4) Melihat nilai signifikansi pada uji Levene’s test dengan menggunakan taraf signifikansi 5%. Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: Jika nilai signifikansi 0,05 maka 0 diterima
Jika nilai signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak
5) Jika data dari kedua kelompok normal tetapi tidak homogen, maka masih digunakan uji independent sampel t-test, akan tetapi untuk membaca hasil dari pengujiannya yaitu pada kolom Equal Variance Not Asumed (diasumsikan varians tidak sama).
6) Jika salah satu atau kedua data kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak berdistribusi normal, maka tidak diuji homogenitasnya, tetapi digunakan uji statistik Non-Parametrik dengan uji Mann Whitney pada SPSS 16.
d. Gain normal
Menghitung peningkatan yang terjadi sebelum dan sesudah pembelajaran dengan rumus gain yang dinormalisasi (N-Gain) menurut Meltzer (Fauzan, 2012: 83) yaitu sebagai berikut:
� = � − � �
� �� − � � Keterangan:
� =skor postes
� � = skor pretes
� �� = skor maksimum
Kriteria tingkat N-Gain menurut Hake (Fauzan, 2012: 83) adalah:
g ≥ 0,7 Tinggi
0,3 ≤ g < 0,7 Sedang g < 0,3 Rendah
2. Data Kualitatif a. Skala Sikap
Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala sikap model Likert. Hal ini dikarenakan peneliti menghendaki jawaban yang benar-benar mewakili respon siswa terhadap pernyataan yang menunjukan minat siswa
(36)
terhadap model kooperatif tipe STAD. Skala sikap dibagi ke dalam dua pernyataan, pernyataan positif dan pernyataan negatif. Setiap pernyataan diberikan empat pilihan jawaban yakni: SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju). Untuk tiap pernyataan, pilihan jawaban diberi skor seperti tertera pada Tabel 3.10 (Suherman dalam Purnamasari, 2012: 55) dibawah ini:
Tabel 3.10
Ketentuan Pemberian Skor Pernyataan Skala sikap
Pernyataan Skor Tiap Pilihan SS S TS STS
Positif 5 4 2 1
Negatif 1 2 4 5
Data hasil pengisian skala sikap dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
1) Menghitung rata-rata skor tiap siswa
� =�
�
Keterangan:
� =rata-rata skor siswa
� = jumlah skor siswa
� = jumlah pernyataan 2) Menghitung rata-rata total
� =∑ �
�
Keterangan:
� = Rata-rata total
∑ � = Jumlah rata-rata skor tiap siswa
(37)
Tabel 3.11
Kategori Skala sikap Sesuai Skala Likert
Skor rata-rata ( ) Kriteria
1 < 3 Negatif
= 3 Netral
3 < 5 Positif
(Sumber: Suherman dalam Purnamasari, 2012: 56) b. Format Observasi
Data hasil observasi dianalisis untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan model kooperatif tipe STAD yang tercermin dari aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Data pelaksanaan pembelajaran dianalisis untuk mengevaluasi aspek-aspek pelaksanaan pembelajaran yang dominan dilakukan guru selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian data hasil observasi dilakukan dengan cara menyimpulkan hasil pengamatan observasi selama proses pembelajaran berlangsung.
F. Jadwal Kegiatan
No. Kegiatan
Bulan
Desember Januari Februari Maret April Mei Juni
1 Penyusunan proposal
2 Seminar proposal
3 Perbaikan proposal
4 Pembuatan instrumen
5 Perizinan
6 Ujicoba instrumen
7 Penelitian
(38)
(39)
122 A.Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan pengolahan data hasil penelitian pada BAB IV, dapat disimpulkan mengenai pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut.
1. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa SD pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil postes siswa pada kelompok kontrol yakni 27,1 dalam rentang 1-100 dengan rata-rata kemampuan awal siswa adalah 10,7. Dari hasil perhitungan perbedaan rata-rata data pretes dan data postes kelas kontrol dengan menggunakan uji-U dan menggunakan � = 5% two tailed didapatkan
nilai P-value (Asymp.Sig.2-tailed) = 0,000. Karena yang diuji satu arah, maka 0,000 dibagi dua, sehingga hasilnya 0. Hasil yang diperoleh P-value < �, maka
�0 ditolak atau �1 diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
konvensional dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IV di Kecamatan Sumedang Utara pada kelompok unggul secara signifikan. Hal itu menerangkan bahwa pembelajaran konvensional (menggunakan metode ceramah) yang selama ini diragukan keberhasilannya tidak terbukti. Berdasarkan hasil observasi kinerja guru di kelompok kontrol, didapatkan bahwa kinerja guru mencapai kriteria sangat baik. Itu artinya baik atau tidaknya pembelajaran konvensional bergantung kepada kinerja guru dalam melaksanakannya.
2. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa SD pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Hal ini terlihat dari rata-rata hasil postes siswa pada kelompok eksperimen yakni 40,19 dalam rentang 1-100 dengan rata-rata kemampuan awal siswa adalah 13,9. Dari hasil perhitungan perbedaan rata-rata data pretes dan data postes kelas eksperimen dengan menggunakan uji-U dan menggunakan � = 5% two tailed didapatkan
(40)
nilai P-value (Sig.2-tailed) = 0,000. Karena yang diuji satu arah, maka 0,000 dibagi dua, sehingga hasilnya 0. Hasil yang diperoleh P-value < �, maka
�0ditolak atau �1 diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas IV di Kecamatan Sumedang Utara pada kelompok unggul secara signifikan. Hal itu menerangkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD baik digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Berdasarkan hasil observasi kinerja guru di kelompok eksperimen, didapatkan bahwa kinerja guru mencapai kriteria sangat baik. Itu artinya model-model pembelajaran yang baru akan baik hasilnya apabila dilaksanakan dengan prosedur yang sesuai.
3. Kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik secara signifikan daripada siswa yang mengikuti pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari nilai gain pada kelompok eksperimen yakni 0,31 sedangkan gain pada kelompok kontrol yakni 0,18. Dari hasil perhitungan uji perbedaan rata-rata data gain kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan uji-U dan � = 5% two tailed didapatkan nilai P-value
(Asymp.Sig.2-tailed) = 0,016. Karena yang diuji satu arah, maka 0,016 dibagi dua, sehingga hasilnya 0,008. Hasil yang diperoleh P-value (Asymp.Sig.1-tailed) < �, maka �0 ditolak atau �1 diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan komunikasi matematis siswa pada materi pecahan yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD lebih baik secara signifikan dapat meningkatkan model pembelajaran kooperatif siswa kelas IV di Kecamatan Sumedang Utara pada kelompok unggul. Hal itu menerangkan bahwa metode ceramah akan baik diterapkan jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Begitu pula pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang baru akan baik diterapkan jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Namun, dalam penelitian ini diketahui bahwa ada model pembelajaran yang lain yang lebih baik dari metode ceramah. Dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
(41)
4. Secara umum, respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD cenderung positif. Pembelajaran secara berkelompok (tim) telah membuat siswa merasa mampu belajar lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Selain itu, adanya rekognisi tim telah mampu menarik keinginan dan perhatian siswa untuk belajar lebih baik lagi agar mendapatkan hasil yang maksimal. Selain itu setelah diberikannya angket, rata-rata skor yang diperoleh siswa sebesar 4,14 atau sebesar 82,8% siswa memberi sikap positif terhadap pembelajaran pecahan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Dengan demikian, pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menawarkan alternatif pembelajaran dengan suasana yang menyenangkan bagi siswa.
5. Faktor-faktor pendukung terlaksananya proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di antaranya adalah kinerja guru yang maksimal, dan aktivitas siswa yang cenderung dalam kategori baik. Selain itu, terdapat faktor yang menghambat dalam pembelajaran pecahan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu terutama dari faktor siswa yaitu temannya yang mengganggunya saat belajar.
B. Saran
Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan pada bagian terdahulu, saran yang dapat diberikan untuk beberapa pihak di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bagi Guru Matematika
Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa SD pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan. Untuk itu, sebaiknya pembelajaran ini digunakan sebagai alternatif dalam melaksanakan pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika di SD. Tidak hanya pada materi menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan, sebaiknya dilakukan penelitian yang sejenis pada materi yang lain dalam matematika maupun di luar matematika.
(42)
2. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini sebaiknya dipublikasikan kepada guru-guru di sekolah. Agar guru-guru termotivasi untuk melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi selain pecahan. Selain itu, perlunya sekolah untuk mengundang pakar-pakar yang ahli dalam bidang penelitian agar guru tertarik untuk melaksanakan penelitian secara berkala.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan cara mengelompokkannya berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Selain itu, guru juga terlebih dahulu harus mengenal karakter siswanya agar dapat membuat kelompok dengan anggota yang bervariasi.
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
126
Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung: UPI Press.
Ahmad, Marzuki. (2012). Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://lubisbrother88.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html [18 November 2012]
Bonita, Hesti Sol. (2011). Kelemahan Pembelajaran Klasikal. [Online]. Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2211895-kelemahan-pembelajaran-klasikal/#ixzz2CY2i1Phz [17 November 2012]
Effendy, Onong Uchjana. (1990). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Rosda.
Fadhilah, Nur Azizah, dkk. (2012). Teori Perkembangan Konstruktivisme Sosial Lev Vygotsky dalam Dunia Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://utak-
atik-psikologi.blogspot.com/2012/03/teori-perkembangan-konstruktivisme.html [3 Desember 2012]
Fauzan. (2012). Pengaruh Kombinasi Media Pembelajaran Berbasis Komputer dan Permainan Berbasis Alam dalam Meningkatkan Pemahaman Siswa Sekolah Dasar terhadap Materi Kesebangunan (Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas V SDN Jatihurip dan SDN Cilengkrang di Kabupaten Sumedang). Skripsi di PGSD UPI Kampus Sumedang. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Gunawan, Bakti. (2012). Penerapan Teori Belajar Vygotsky dalam Interaksi
Belajar Mengajar. [Online].
Tersedia:http://kompasiana.com/2012/01/penerapan-teori-belajar-vygotskydalam-interaksi-belajar-mengajar.html [3 Desember 2012].
Hermawan, dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung: UPI PRESS.
Handayani, Nia. (2012). Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Pada Pokok Bahasan Pecahan (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas IV SD Negeri Kirisik Kecamatan Jatinunggal Tahun Pelajaran 2011/2012). Skripsi di STKIP jurusan Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Hidayat, Edi. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Tesis di UPI bandung jurusan Pendidikan Matematika. Bandung: Tidak diterbitkan.
(48)
Isjoni. (2007). Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Karso. (1998). Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas Terbuka.
Maulana. (2008). Pendidikan Matematika 1: Bahan Belajar untuk Guru, Calon Guru, dan Mahasiswa PGSD. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Maulana. (2009). Memahami Hakikat, Variabel, dan Instrumen Penelitian Pendidikan dengan Benar: Panduan Sederhana bagi Mahasiswa dan Guru Calon Peneliti. Bandung: Learn2Live n Live2Learn.
Maulana. (2010). Dasar-dasar Keilmuan dan Pembelajaran Matematika Sequel 2. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Muabuai, Yusak. (2009). Pembelajaran Geometri melalui Model Kooperatif Tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dalam Upaya Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis di UPI Bandung Program Studi Matematika: Tidak diterbitkan.
Mustaqim, Burhan dan Astuty, Arya. (2008). Ayo Belajar Matematika untuk SD dan MI Kelas IV. Jakarta: Depdiknas.
Pitadjeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Depdiknas
Purnamasari, Krisma. (2012). Pengaruh Model Resource-Based-Learning (RBL) terhadap Peningkatan Kemampuan Kreativitas Matematika SMP. Skripsi di UNSAP jurusan Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Rizki. (2008). Bilangan Pecahan. [Online]. Tersedia: rangkuman-
pelajaran.blogspot.com/2008/12/materi-matematika-bilangan-pecahan.html?m=1. [26 Desember 2012]
Ruseffendi, E. T., dkk. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sastradi, Trisna. 2013. Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia:
http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [12 Maret 2013]
Slavin, Robert E. (2005). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktis. Bandung: Nusa Media.
(49)
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik dan Model Pembelajaran. [Online]. Tersedia:
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pendekatan-strategi-metode-teknik-dan-model-pembelajaran/. [12 Maret 2013]
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Suherman, E., dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sukirman, Dadang dan Jumhana, Nana. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: UPI PRESS.
Sumardyono. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas
Suwangsih dan Tiulina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS
Suyadi, Asep. (2010). Penerapan Pendekatan Kooperatif tipe STAD untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Penjumlahan Pecahan tidak Senama (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas V SDN Bojongsallam Kecamatan Wado Kabupaten Sumedang). Skripsi di UPI PGSD Kampus Sumedang jurusan Guru Kelas. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Syah, Muhibbin. (1995). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda.
Tanti. 2012. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://catatantanti.blogspot.com/2012/12/kemampuan-komunikasi-matematika.html. [12Maret 2013]
Dokumen:
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI. Jakarta: Kencana Bhakti.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang (2012). Daftar Sekolah Dasar Berdasarkan Jumlah Nilai Ujian Nasional SD/MI Tahun Ajaran 2011/2012 Tingkat Kecamatan Sumedang Utara. Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang.
(50)
(1)
(2)
(3)
126
Adjie, N. dan Maulana. (2006). Pemecahan Masalah Matematika. Bandung: UPI Press.
Ahmad, Marzuki. (2012). Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://lubisbrother88.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html [18 November 2012]
Bonita, Hesti Sol. (2011). Kelemahan Pembelajaran Klasikal. [Online]. Tersedia: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2211895-kelemahan-pembelajaran-klasikal/#ixzz2CY2i1Phz [17 November 2012]
Effendy, Onong Uchjana. (1990). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Rosda.
Fadhilah, Nur Azizah, dkk. (2012). Teori Perkembangan Konstruktivisme Sosial Lev Vygotsky dalam Dunia Pendidikan. [Online]. Tersedia: http://utak-
atik-psikologi.blogspot.com/2012/03/teori-perkembangan-konstruktivisme.html [3 Desember 2012]
Fauzan. (2012). Pengaruh Kombinasi Media Pembelajaran Berbasis Komputer dan Permainan Berbasis Alam dalam Meningkatkan Pemahaman Siswa Sekolah Dasar terhadap Materi Kesebangunan (Penelitian Eksperimen terhadap Siswa Kelas V SDN Jatihurip dan SDN Cilengkrang di Kabupaten Sumedang). Skripsi di PGSD UPI Kampus Sumedang. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Gunawan, Bakti. (2012). Penerapan Teori Belajar Vygotsky dalam Interaksi
Belajar Mengajar. [Online].
Tersedia:http://kompasiana.com/2012/01/penerapan-teori-belajar-vygotskydalam-interaksi-belajar-mengajar.html [3 Desember 2012]. Hermawan, dkk. (2007). Belajar dan Pembelajaran SD. Bandung: UPI PRESS. Handayani, Nia. (2012). Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Pada Pokok Bahasan Pecahan (Penelitian Tindakan Kelas pada Siswa Kelas IV SD Negeri Kirisik Kecamatan Jatinunggal Tahun Pelajaran 2011/2012). Skripsi di STKIP jurusan Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Hidayat, Edi. (2009). Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Menggunakan Pendekatan Matematika Realistik. Tesis di UPI bandung jurusan Pendidikan Matematika. Bandung: Tidak diterbitkan.
(4)
127
Isjoni. (2007). Cooperative Learning Efektivitas Pembelajaran Kelompok. Bandung: Alfabeta.
Karso. (1998). Pendidikan Matematika I. Jakarta: Universitas Terbuka.
Maulana. (2008). Pendidikan Matematika 1: Bahan Belajar untuk Guru, Calon Guru, dan Mahasiswa PGSD. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Maulana. (2009). Memahami Hakikat, Variabel, dan Instrumen Penelitian Pendidikan dengan Benar: Panduan Sederhana bagi Mahasiswa dan Guru Calon Peneliti. Bandung: Learn2Live n Live2Learn.
Maulana. (2010). Dasar-dasar Keilmuan dan Pembelajaran Matematika Sequel 2. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Muabuai, Yusak. (2009). Pembelajaran Geometri melalui Model Kooperatif Tipe STAD Berbasis Program Cabri Geometry II Plus dalam Upaya Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Tesis di UPI Bandung Program Studi Matematika: Tidak diterbitkan.
Mustaqim, Burhan dan Astuty, Arya. (2008). Ayo Belajar Matematika untuk SD dan MI Kelas IV. Jakarta: Depdiknas.
Pitadjeng. (2006). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta: Depdiknas
Purnamasari, Krisma. (2012). Pengaruh Model Resource-Based-Learning (RBL) terhadap Peningkatan Kemampuan Kreativitas Matematika SMP. Skripsi di UNSAP jurusan Pendidikan Matematika. Sumedang: Tidak diterbitkan. Rizki. (2008). Bilangan Pecahan. [Online]. Tersedia:
rangkuman- pelajaran.blogspot.com/2008/12/materi-matematika-bilangan-pecahan.html?m=1. [26 Desember 2012]
Ruseffendi, E. T., dkk. (1992). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Depdikbud, Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan Pendidikan Tinggi.
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sastradi, Trisna. 2013. Model Pembelajaran Konvensional. [Online]. Tersedia:
http://mediafunia.blogspot.com/2013/01/model-pembelajaran-konvensional.html. [12 Maret 2013]
Slavin, Robert E. (2005). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktis. Bandung: Nusa Media.
(5)
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik dan Model Pembelajaran. [Online]. Tersedia:
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/12/pendekatan-strategi-metode-teknik-dan-model-pembelajaran/. [12 Maret 2013]
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Suherman, E., dan Sukjaya, Y. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung: Wijayakusumah 157.
Sukirman, Dadang dan Jumhana, Nana. (2007). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: UPI PRESS.
Sumardyono. (2004). Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas
Suwangsih dan Tiulina. (2006). Model Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI PRESS
Suyadi, Asep. (2010). Penerapan Pendekatan Kooperatif tipe STAD untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa tentang Penjumlahan Pecahan tidak Senama (Penelitian Tindakan Kelas di Kelas V SDN Bojongsallam Kecamatan Wado Kabupaten Sumedang). Skripsi di UPI PGSD Kampus Sumedang jurusan Guru Kelas. Sumedang: Tidak diterbitkan.
Syah, Muhibbin. (1995). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda.
Tanti. 2012. Kemampuan Komunikasi Matematika. [Online]. Tersedia:
http://catatantanti.blogspot.com/2012/12/kemampuan-komunikasi-matematika.html. [12Maret 2013]
Dokumen:
Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SD/MI. Jakarta: Kencana Bhakti.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang (2012). Daftar Sekolah Dasar Berdasarkan Jumlah Nilai Ujian Nasional SD/MI Tahun Ajaran 2011/2012 Tingkat Kecamatan Sumedang Utara. Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang.
(6)