11
ramah lingkungan, 3 dihasilkan alternatif solusi penanggulangan gulma air di Waduk Batutegi dengan memperhatikan azaz kemanfaatan dan
kelestarian, 4 terjaganya kelestarian Waduk Batutegi akan menjamin suplai irigasi Way Sekampung sehingga menunjang produktivitas padi di
Provinsi Lampung, 5 berdirinya pabrik pengolahan kiambang menjadi kompos milik kelompok tani sebagai model pemberdayaan masyarakat di
Kecamatan Airnaningan.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja alternatif solusi pengendalian gulma air di Waduk Batutegi? 2. Berapa potensi bobot kering kiambang yang tumbuh di Waduk
Batutegi? 3. Bagaimanakah pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan
pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang? 4. Bagaimanakah mutu kompos kiambang?
C. Tujuan
1. Mengetahui alternatif solusi pengendalian gulma air di Waduk Batutegi. 2. Mengetahui potensi bobot kering kiambang yang tumbuh di Waduk
Batutegi. 3. Mengetahui pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan
pencachan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang. 4. Mengetahui mutu kompos kiambang.
12
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kompos Menurut Hadisuwito 2007, kompos merupakan pupuk organik yang
berasal dari limbah organik tumbuhan dan hewan yang telah mengalami dekomposisi. Proses dekomposisi bahan organik
dilakukan oleh jasad pengurai baik makro cacing dan serangga tanah maupun mikro bakteri dan jamur. Setyorini et al. 2006
menyimpulkan bahwa kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Penggunaan kompos pada lahan usahatani dalam jangka panjang dapat memperbaiki pH dan meningkatkan prouksi tanaman.
Secara alami proses pengomposan bahan organik dimulai dari penghancuran bahan organik oleh organisme tanah hingga berukuran
kecil, selanjutnya proses tersebut dilanjutkan oleh mikroba tanah. Proses dekomposisi secara alami membutuhkan waktu yang cukup
lama satu bulan hingga satu tahun tergantung jenis bahan organiknya. Sebelum bahan organik mengalami penguraian, unsur hara masih
terikat tidak dapat diserap oleh tanaman. Selama proses perubahan bahan organik, unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan
dapat diserap tanaman Setyorini et al., 2006. Lebih lanjut Setyorini et al. 2006 mengemukakan bahwa sisa-sisa
tanaman merupakan bahan organik yang potensial dijadikan kompos. Pengolahan sisa-sisa tanaman menjadi kompos dan
mengembalikannya ke lahan usahatani akan mempertahankan
13
kegemburan dan kesuburan lahan. Sebaliknya, apabila sisa-sisa tanaman tidak dikelola dengan baik, maka akan berdampak negatif
terhadap lingkungan, seperti mengakibatkan rendahnya pertumbuhan benih karena imobilisasi hara, allelopati, atau sebagai tempat
berkembangbiaknya patogen tanaman.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi proses pengomposan Djaja 2008 mengemukakan bahwa terjadinya proses pengomposan
disebabkan tiga hal, yaitu: 1 zat hara pada bahan; 2 mikroba; 3 dan keadaan lingkungan hidup mikroba Oksigen dan aerasi; rasio CN;
kandungan air; porositas, struktur, dan ukuran partikel; pH bahan baku; temperatur. Zat hara dibutuhkan mikroba dalam proses dekomposisi
bahan, sedangkan lingkungan yang optimal menyebabkan mikroba dapat berkembang dan beraktivitas maksimal.
Masih menurut Djaja 2008, mikroba memegang peranan utama dalam proses pengomposan. Pada proses pengomposan mikroba yang
berperan adalah bakteri, fungi, dan aktinomisetes. Saraswati dan Sumarno 2008 mengemukakan bahwa manfaat mikroba dalam proses
pengomposan adalah sebagai bioaktivator. Saraswati et al. 2006 menggolongkan organisme perombak bahan
organik ke dalam dua golongan: pertama adalah perombak primer dari golongan mesofauna seperti cacing tanah dan colembolla; kedua
adalah perombak sekunder dari golongan mikroorganisme. Beberapa jenis mikroorganisme perombak bahan organik yang umum ditemukan
dalam tumpukan sampah disajikan pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam tumpukan sampah
Karakteristik suhu Bakteri
Fungi
Mesofilik 10–40
o
C Pseudomonas spp.
Alternaria spp. Achromobacter spp.
Cladosporium spp. Bacillus spp.
Aspergillus spp. Flavobacterium spp.
Mucor spp. Clostriium spp.
Penicillium spp. Streptomyces spp.
Termofilik 41–70
o
C Bacillus spp.
Mucor pusillus Thermus spp.
Chaetomium thermophile
Thermoactinomyces spp. Humicola lanuginosa
Thermonospora spp. Absidia ramosa
Microplyspora spp. Sprotricbum
thermophile Torula thermophile
yeast Thermoascus
aureanticus
Sumber: Saraswati et al., 2006 Menurut Setyorini et al. 2006 pengomposan dapat berhasil apabila
adanya kesesuaian kondisi lingkungan hidup mikroba pengurai, diantaranya: 1 rasio CN; 2 ukuran bahan baku; 3 suhu dan
tingginya timbunan kompos; 4 Kelembapan; 5 sirkulasi udara; 6 nilai pH.
Proses pegomposan sebagaimana diuraikan di muka melibatkan mikroba pengurai baik mikro flora maupun mikro fauna. Mikroba
pengurai ini membutuhkan C karbon untuk menghasilkan energi dan N nitrogen untuk mensintesa protein dalam keadaan yang seimbang.
Isrori dan N. Yuliarti 2009 menyebutkan bahwa perbandingan CN yang optimum bagi kebutuhan mikroba selama melakukan penguraian
bahan organik antara 30 – 40. Pada kondisi dimana rasio CN terlalu tinggi 40, mikroba akan kekurangan N untuk mensintesa protein,
sehingga proses dekomposisi bahan organik akan berjalan lambat. Sutanto 2002 menerangkan kandungan C dalam bahan organik dapat
dilihat dari kadar lignin. Semakin tinggi lignin dalam bahan organik
15
maka kandungan C akan semakin tinggi yang berarti akan menaikkan rasio CN. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hanafiah et al. 2013
mengemukakan bahwasanya dedaunan yang jatuh di permukaan tanah umumnya bernisbah CN tinggi dengan kadar senyawa resisten seperti
selulosa dan lignin dominan yang tidak terombak oleh cacing tanah. Gaur 1980 menyatakan bahwa selain kandungan C dan N, perlu pula
diperhatikan kandungan Phosfor P dan Kalium K yang terkandung pada bahan baku. Hal ini disebabkan N, P, dan K dibutuhkan mikroba
pengurai dalam proses metabolisme sel. Penguraian bahan baku bisa berlangsung cepat apabila perbandingan antara kadar C C-organik:
N:P:K dalam bahan yang terurai setara 30:1:0,1:0,5. Setyorini et al 2006 menyimpulkan bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan
rasio CN nitrogen sehingga sama dengan CN tanah 20. Dengan demikian faktor penentu utama dalam proses pengomposan adalah
rasio CN bahan baku. Pada kenyataannya, banyak limbah pertanian yang mengandung rasio
CN 40, seperti jerami dan serbuk gergaji. Beberapa jenis bahan organik dan rasio CN disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rasio CN beberapa jenis bahan organik
Sumber: 1.Nataraja 2008; 2. Yuwono, 2005; 3. Ditjenbun, 2006; 4. Cahaya T.S. dan Nugroho, 2008
Isrori dan N. Yuliarti 2009 mengemukakan bahwa untuk mempercepat proses dekomposisi, bahan-bahan kompos yang memiliki rasio CN
No Bahan Organik Rasio CN
1 Kiambang
1
36,93 2 Jerami padi
2
50–70 3 Jerami jagung
2
100 4 Serbuk gergaji
2
500 5 Kayu
2
200–400 6 Kulit kayu
2
100–130 7 Kulit kopi
3
20,04 8 Kotoran kambing
4
21,12 9 Ampas tebu
4
31,57
16
tinggi perlu dicampur dengan bahan organik dengan rasio CN rendah. Pengomposan jerami padi misalnya, perlu dicampur dengan kotoran
kambing yang memiliki rasio CN rendah. Setyorini et al. 2006 menyimpulkan bahwa kandungan selulosa pada limbah pertanian, yang
digunakan sebagai bahan dasar kompos, mengandung selulosa 15– 40. Selulosa merupakan senyawa yang secara alami sulit
terdekomposisi. Hal inilah yang menyebabkan lamanya proses dekomposisi limbah pertanian secara alami.
Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa proses dekomposisi bahan organik secara alami dilakukan oleh organisme tanah baik makro
maupun mikro. Semakin luas permukaan bahan organik akan meningkatkan kontak antara organisme tanah dengan bahan organik.
Menurut Isrori dan N. Yuliarti 2009 semakin tinggi intensitas kontak organisme tanah dengan bahan organik memengaruhi cepatnya
penghancuran bahan menjadi ukuran yang lebih kecil. Hal ini disebabkan, permukaan bahan organik merupakan area serang cacing,
bakteri, dan jamur dalam melakukan penguraian. Dengan demikian, agar proses pengomposan berjalan lebih cepat, bahan organik perlu
dicacah untuk memperkecil ukuran dan meningkatkan luas permuakaan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan keberhasilan pengomposan perlu diperhatikan tingginya tumpukan bahan. Semakin tinggi tumpukan
bahan suhu akan semakin meningkat, sebaliknya apabila tumpukan bahan terlalu rendah maka bahan tidak cukup untuk menahan panas.
Tinggi tumpukan bahan idealnya sekitar 1,25–2 m Setyorini et al., 2006. Menurut Yuwono 2005 Suhu optimum dalam proses
pengomposan adalah 45–65
o
C.
Untuk menjaga kelangsungan aktivitas mikroba melakukan dekomposisi bahan, kelembapan perlu dipertahankan. Kadar air
optimum pada bahan berkisar antara 40–65 Djaja, 2008. Menurut
17
Yuwono 2005 keberhasilan pengomposan secara aerob apabila kadar air bahan berkisar antara 40–50, sedangkan pada pengomposan
anaerob kadar air bahan baku yang baik 50. Pada proses pengomposan aerob kelebihan air mengakibatkan tumpukan bahan
kekurangan oksigen, sebaliknya apabila bahan terlalu kering tidak mendukung kehidupan mikroba.
Pada proses pengomposan aerob mikroba pengurai membutuhkan oksigen selama proses penguraian berlangsung. Peningkatan sirkulasi
udara dalam proses pengomposan dapat dilakukan melalui pembalikan bahan secara berkala Setyorini et al., 2006.
Nilai pH optimum dalam proses pengomposan baik aerob maupun anaerob berkisar antara 6–8. Umumnya bakteri pengurai bahan
organik lebih menyukai pH netral Yuwono, 2005. Menurut Setyorini et al. 2006 penggunaan kapur pertanian berlebihan dalam proses
pengomposan akan menyebabkan pH tinggi dan berdampak pada kehilangan nitrogen karena volatilisasi.
3. Metode pengomposan Menurut Sutanto 2002 ada 6 metode pengomposan yang sudah
dikenal yaitu: 1 Metode indore; 2 Metode heap ; 3 Metode bangalore; 4 Metode berkeley; 5 Metode vermikompos; dan 6
Metode Jepang. Secara rinci ke enam metode tersebut diuraikan sebagai berikut.
1 Metode indore Pada prinsipnya pengomposan dengan metode indore dilakukan
ditempat terbuka dengan terlebih dahulu membuat lubang pengomposan dengan kedalaman 1 m, lebar 1,5–2 m, dan panjang
menyesuaikan dengan banyaknya bahan yang akan dikomposkan. Bahan kompos terdiri dari sisa-sisa tanaman. Bahan dimasukkan ke
18
dalam lublang secara berlapis dengan ketebalan lapisan 15 cm. Untuk memperkaya mikroba pada setiap lapisan digunakan kotoran
ternak sebanyak 4,5 kg, tanah yang terkena urine ternak 3,5 kg, dan 4,5 kg inokulan fungi diambil dari bahan kompos yang sedang aktif.
Pembalikan dilakukan secara berkala yakni pada hari ke 15, hari ke- 30, dan terakhir setelah pengomposan berlangsung selama 2 bulan.
Selama proses pengomposan dibutuhkan kelembaban yang cukup. 2 Metode heap
Sebagaimana metode indore, metode heap juga dilakukan di tempat terbuka. Perbedaannya jika pada metode indore bahan
dikomposkan dalam lubang galian, pengomposan dengan metode heap dilakukan di atas tanah. Bahan kompos yang digunakan harus
seimbang antara bahan yang kandungan C tinggi dengan bahan yang kandungan N tinggi. Bahan-bahan ditumpuk berlapis dengan
ketebalan 15 cm dan dimulai dari bahan yang kandungan C lebih tinggi. Tinggi tumpukan minimal mencapai 1,5 m, lebar dasar 2 m,
dan panjang menyesuaikan dengan banyaknya bahan. Pada bagian tepi atas tumpukan dilakukan pemadatan sehingga lebar bagian atas
menyempit kurang lebih menjadi 0,5 m. Untuk menghindari sinar matahari, hujan, dan angin tumpukan kompos dibuatkan penaung.
Pembalikan dilakukan setelah proses pengomposan berlangsung selama 6 minggu dan 12 minggu.
3 Metode bangalore Berbeda dengan metode indore dan heap, metode bangalore dalam
proses pengomposannya tidak dilakukan pembalikan. Semua bahan ditimbun di dalam lubang galian. Setelah dilakukan penyiraman
sampai basah, lubang ditutup dengan tanah atau lumpur. Kompos akan matang setelah 6-8 bulan.
19
4 Metode berkeley Pengomposan dengan metode berkeley hampir sama dengan
metode heap, namun perbedaannya terletak pada komposisi bahan dan intensitas pembalikan. Komposisi bahan diformulasikan 2
bagian bahan yang kaya N ditambah 1 bagian bahan yang kaya C. Bahan ditumpuk secara berlapis dengan ukuran tinggi lapisan
mencapai 1,5 m, lebar 2 m, dan panjang 2,4 m. Pembalikan bahan dilakukan pada hari ke-4, ke-7, dan ke-10.
5 Metode vermikompos Sebagaimana namanya, perbedaan mendasar dengan 4 metode
sebelumnya yakni pemanfaatan cacing tanah sebagai dekomposer. Jenis cacing tanah yang efisien digunakan dalam pengomposan
adalah Eisenia fetida dan E. eugeniae. 6 Metode Jepang
Pengomposan dengan Metode Jepang sebagaimana metode heap dan berkeley dilakukan di atas tanah. Perbedaannya pada metode
heap dan berkeley bahan ditumpuk tanpa menggunakan cetakan atau bak sedangkan pada metode jepang digunakan bak. Bak
pengomposan dibuat dari bambu sehingga sirkulasi udara pada dindingnya akan berlangsung baik. Untuk menjaga kehilangan
cairan kompos lindi, bagian dasar bak dilapisi plastik terpal. Bahan kompos terdiri dari sisa-sisa tanaman, gulma, dan kotoran ternak.
Metode ini memiliki kelebihan sebagaimana metode heap dan berkeley yakni pembalikan dapat dilakukan lebih mudah
dibandingkan metode indore. Mikroba yang biasa digunakan dalam proses pengomposan adalah Trichoderma sp.
4. Kualitas kompos Setelah menjalani serangkaian proses dekomposisi, bahan baku
menjadi kompos matang yang bisa digunakan sebagai pupuk. Indikator
20
kematangan kompos suhu stabil, warna coklat tua, dan bau tanah Yang, 1996. Kompos yang diproduksi dengan memperhatikan kaidah
pengomposan akan menghasilkan pupuk organik berkualitas. Kualitas kompos berdasarkan Badan Standardisasi Nasional BSN tahun 2004
ditinjau dari: 1 kadar air; 2 temperatur; 3 warna; 4 bau; 5 ukuran partikel; 6 kemampuan mengikat air; 7 pH; 8 bahan asing; 9 bahan
organik; 10 unsur hara; dan 11 bakteri. Standar kualitas kompos yang dikeluarkan BSN tahun 2004 disajikan pada Tabel 12 Lampiran 2.
5. Kiambang Kiambang adalah salah satu spesies gulma air yang tumbuh dan
berkembang di permukaan air. Kiambang dapat tumbuh baik di air yang mengalir stagnan atau lambat seperti danau, lahan persawahan,
kolam, sungai, waduk, dan rawa. Kiambang tumbuh baik pada suhu optimum 25-28
o
C. Pada kisaran suhu tersebut kiambang dapat melipatgandakan diri dalam waktu 1 minggu Divakaran et al.,1980
Kiambang terdiri dari batang horizontal yang menghasilkan dua tipe daun yang berbeda fungsi. Daun yang pertama berada di permukaan
air berwarna hijau, berbentuk seperti kuku dan tersusun berpasangan menyerupai sepasang sayap kupu-kupu. Setiap sisi daun pertama ini
ditutupi rambut halus yang berfungsi mencegah air dan membantu kiambang mengapung. Daun yang kedua berbentuk mirip akar
berwarna coklat dan tumbuh di dalam air. Tipe daun kedua ini mengandung sporocarps berbentuk bulat dan padat berbulu, berukuran
2-3 mm. Fungsi daun kedua ini adalah menangkap unsur hara untuk tumbuh dan berkembang Whiteman, 1991.
21
USDA 2002 mengklasifikasikan kiambang sebagai berikut: Kingdom
: Plantae Sub kingdom
: Tracheobionta Divisi
: Pteridophyta Kelas
: Filicopsida Ordo
: Hidropteridales Famili
: Salviniaceae Genus
: Salvinia Spesies
: Salvinia molesta Beberapa spesies lain yang masih masuk kedalam genus Salvinia
diantaranya: 1 Salvinia minima, 2 Salvinia natans, dan 3 Pistia stratiotes Gambar 12, 13, dan 14, Lampiran 3.
Hasil penelitian Filliazati et al. 2013 bahwa kiambang berpotensi sebagai penjernih air dan mampu menurunkan kadar Biological Oxygen
Demand BOD serta minyak dan lemak yang terkandung pada air limbah rumah tangga meskipun belum layak untuk dikonsumsi. Hal ini
dikarenakan adanya aktivitas mikroba di dalam air yang melakukan perombakan bahan organik menjadikan unsur hara larut dan tersedia
bagi tanaman. Unsur hara terlarut diserap oleh daun kaiambang yang menyerupai akar dan tumbuh di dalam air.
Kendatipun kiambang berperan positif terhadap kualitas air, keberadaan kiambang di perairan dalam jumlah banyak dapat
menimbulkan dampak negatif. Loveless 1989 mengemukakan bahwa pada tahun 1962 kiambang telah menutupi 18 1000 km
2
dari total luas permukaan Danau Karibia 5546 km
2
. Keberadaan kiambang di Danau Karibia telah menghambat pelayaran transportasi air,
perikanan niaga, serta mengganggu jalannya turbin-turbin pembangkit tenaga listrik. Selain itu, menurut Divakaran et al. 1980 keberadaan
kiambang di waduk juga akan memengaruhi sistem irigasi pertanian padi sawah, mengurangi intensitas cahaya dalam air, dan
Gambar 1. Salvinia molesta
22
mempercepat pendangkalan waduk. Terbatasnya cahaya dalam air berdampak pada kelangsungan hidup fitoplankton yang merupakan
sumber pakan ikan. 6. Mutu tanah
Indikator mutu tanah adalah karakteristik fisik, kimia, dan biologi yang menggambarkan kondisi tanah SQI, 2001. Karakteristik fisik tanah
dapat dilihat diantaranya dari warna, tekstur, kegemburan, dan kemampuan menyerap air. Karakteristik kimia tanah diantaranya dapat
dilihat dari kandungan unsur hara dan pH. Selanjutnya, karakteristik biologi tanah dilihat dari kehidupan organisme tanah.
Menurut Agustina 2004 kandungan unsur hara pada tanah yang esensial bagi pertumbuhan tanaman terdiri dari unsur hara makro dan
mikro. Unsur hara makro ada 6 unsur N, P, K, Ca, Mg, dan S. Unsur hara mikro ada 7 unsur Fe, Zn, Cu, Mn, Mo, B, dan Cl. Ketersediaan
unsur hara esensial yang paling minimum di dalam tanah merupakan faktor penentu pertumbuhan dan perkembangan tanaman hukum
minimum Leibig. Dengan demikian, ketersediaan 6 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro dalam tanah merupakan keharusan dalam
sistem budidaya tanaman. Blair 1979 dalam Agustina, 2004 mengemukakan bahwa ketersediaan
unsur hara di dalam tanah dipengaruhi tiga faktor penting yaitu, suplai dari fase padat, pH tanah, dan suplai air. Ketersediaan bahan organik
di dalam tanah berperan penting pada fase padat. Bahan organik yang dikembalikan ke tanah akan mengalami penguraian unsur-unsurnya
dan akan dilepas ke tanah. Menurut Hanafiah et al. 2005 cacing tanah berperan sebagai
bioindikator efek budidaya pertanian. Semakin intensif pengolahan lahan pertanian, maka resiko dampak negatif terhadap populasi cacing
tanah akan semakin tinggi. Lebih rinci Edwards 1980 merumuskan bahwa populasi cacing tanah ditentukan oleh 4 faktor positif dan 4
23
faktor negatif. Faktor-faktor positif tersebut diantaranya: 1 penambahan bahan organik, 2 meminimalkan pengolahan tanah , 3
menanam tanaman serealia secara terus-menerus, dan 4 mengurangi kemasaman tanah dengan pengapuran; sedangkan faktor-faktor negatif
yang harus dihindari dalam budidaya tanaman meliputi: 1 penggunaan pestisida terutama fungisida bensindorsal, 2 penggunaan pupuk
bereaksi masam seperti amonium sulfat, 3 pembakaran atau pembuangan sisa-sisa tanaman, 4 budidaya yang terlalu intensif.
7. Pertanian ramah lingkungan Kegiatan eksploitasi lahan pertanian yang dilakukan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan, dalam jangka panjang akan menurunkan mutu lahan baik dari segi fisik, biologi, dan kimia. Untuk
itu, kegiatan usahatani ramah lingkungan perlu ditingkatkan menjadi budaya yang dibutuhkan. Menurut Sumarno et al. 2007 pertanian
ramah lingkungan merupakan kegiatan usahatani untuk memperoleh produksi optimal tanpa merusak lingkungan dengan ciri keberlanjutan
usaha yang memenuhi kriteria: 1 terpeliharanya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologis biota tanah; 2 terpeliharanya
kualitas sumber daya pertanian dari segi fisik, hidrologis, kimiawi, dan biologi; 3 tidak mengandung residu kimia, limbah organik, dan
anorganik yang berbahaya atau mengganggu proses hidup tanaman; 4 terlestarikannya keanekaragaman genetik tanaman budi daya; 5
tidak terjadi akumulasi senyawa beracun dan logam berat yang membahayakan atau melebihi batas ambang aman; 6 adanya
keseimbangan ekologis antara hama penyakit dengan musuh-musuh alami; 7 produktivitas lahan stabil dan berkelanjutan; 8 produksi hasil
panen bermutu tinggi dan aman sebagai pangan atau pakan.
B. Kerangka Pemikiran