MODEL PENGOMPOSAN KIAMBANG (Salvinia molesta) SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN GULMA AIR DI WADUK BATUTEGI LAMPUNG, MENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHATANI YANG
MODEL PENGOMPOSAN KIAMBANG (Salvinia molesta) SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN GULMA AIR DI WADUK BATUTEGI LAMPUNG, MENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHATANI YANG
RAMAH LINGKUNGAN
Oleh: Erdiansyah, S.P.
(THL-TBPP)
BALAI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (BP3K) KECAMATAN AIR NANINGAN
KABUPATEN TANGGAMUS PROVINSI LAMPUNG
(2)
ABSTRAK
MODEL PENGOMPOSAN KIAMBANG (Salvinia molesta) SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN GULMA AIR DI WADUK BATUTEGI LAMPUNG, MENDUKUNG KEBERLANJUTAN USAHATANI YANG
RAMAH LINGKUNGAN Erdiansyah, S.P. (THL TBPP)
Penelitian ini bertujuan mengetahui: (1) alternatif pengendalian gulma air di Waduk Batutegi; (2) potensi bobot kering kiambang di Waduk Batutegi; (3) pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencachan terhadap lamanya pengomposan kiambang; (4) mutu kompos kiambang. Alternatif pengendalian kiambang dikaji berdasarkan studi pustaka.
Pengukuran bobot kering kiambang dilakukan dengan penjemuran sampai didapat bobot konstan. Variasi perlakuan pengomposan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengomposan kiambang dilakukan secara aerob menggunakan bak dari bambu (Metode Jepang). Mutu kompos kiambang dilihat dari rasio C/N, kandungan unsur hara esensial (makro dan mikro) dan dibandingkan dengan baku mutu kompos yang dikeluarkan BSN tahun 2004.
Hasil penelitian ini diketahui bahwa kiambang segar berpotensi dijadikan bahan baku kompos karena pengujian terhadap 4 unsur hara makro (P, K, Ca, dan Mg) semua terdeteksi. Selain itu, kiambang juga berpotensi dijadikan pakan ternak ruminansia karena mengandung zat-zat makanan (seperti protein, abu, serat kasar, dan lemak). Bobot kering kiambang mencapai 9.812,25 ton/tahun, dapat menghasilkan kompos kiambang murni 12.265,312 ton (kadar air kompos 20%), dan memenuhi kebutuhan pupuk organik pada lahan kebun atau sawah seluas 2453 ha/tahun (dengan asumsi kebutuhan kompos 5 ton/ha/tahun). Kombinasi penambahan kotoran ternak sebanyak 30% dari total bahan dan perlakuan pencacahan (baik secara manual maupun menggunakan mesin) terbukti dapat mempercepat proses pengomposan kiambang (<30 hari). Rasio C/N kompos kiambang (6,775) lebih rendah dari batas
minimum baku mutu kompos BSN (10). Kandungan unsur hara makro (Ca dan Mg) sangat rendah (<0,1%) jauh di bawah batas maksimum baku mutu kompos BSN. Unsur hara mikro yang terkandung dalam kompos kiambang hanya 5 unsur (Fe, Cu, Zn, Mn, dan Cl). Untuk meningkatkan mutu kompos kiambang, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memperkaya variasi bahan.
Kata kunci: pengendalian, kiambang (Salvinia molesta), pengomposan, kompos, dan mutu kompos
(3)
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya jualah penulisan naskah karya tulis ilmiah yang berjudul Model Pengomposan Kiambang (Salvinia molesta) sebagai Upaya Pengendalian Gulma Air di Waduk Batutegi Lampung, Mendukung Keberlanjutan Usahatani yang Ramah Lingkungandapat penulis selesaikan. Karya tulis ini disusun berdasarkan pengkajian penulis selama mendampingi Kelompok Tani Sangarus Jaya Desa Airnaningan dan Kelompok Tani Aren Lestari Desa Datar Lebuay dalam memanfaatkan kiambang menjadi bahan baku pembuatan kompos sejak tahun 2011. Karya tulis ilmiah ini penulis persembahkan kepada bidadari yang sedang mengandung anak pertama kami. Kepadanya, Hening Yogo Astuti,
penulis menghaturkan terimakasih mendalam atas do’a dan dukungannya selama proses penulisan karya tulis ini.
Kepada segenap pengurus dan anggota Kelompok Tani Sangarus Jaya dan Kelompok Tani Aren Lestari, yang selalu aktif berpartisipasi
menyukseskan percobaan pengomposan kiambang, sehingga penulis dapat menyusunnya menjadi tulisan ilmiah ini, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya semoga dapat menjadi kelompok yang tangguh dan mandiri dalam meningkatkan efisiensi usahatani dengan mengoptimalkan sumberdaya lokal. Kepada rekan-rekan penyuluh se-Kecamatan
Airnaningan, Kepala BP3K Kecamatan Airnaningan, dan Kepala BP4K Kabupaten Tanggamus, terimakasih atas dukungan dan saran-sarannya yang membangun. Tidak lupa kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu-persatu penulis ucapkan terimakasih. Penulis menyadari karya tulis sederhana ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Akhirnya, semoga karya tulis ini bermanfaat sebagai rujukan pemecahan permasalahan gulma air (kiambang) dan keberlanjutan usahatani yang ramah lingkungan.
Tanggamus, 17 April 2014
Penulis,
(4)
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan ... 4
II. LANDASAN TEORI ... 5
A. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Kompos ... 5
2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengomposan ... 6
3. Metode Pengomposan ... 10
4. Kualitas Kompos ... 12
5. Kiambang ... 13
6. Mutu Tanah ... 14
7. Pertanian Ramah Lingkungan ... 16
B. Kerangka Pemikiran ... 16
III. METODELOGI ... 19
(5)
B. Alat dan Bahan ... 19
C. Metode Penelitian ... 19
D. Variabel Penelitian ... 20
E. Tahapan Penelitian ... 20
F. Analisa Data ... 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
A. Alternatif Penanggulangan Gulma Air di Waduk Batutegi ... 24
1. Potensi kiambang menjadi bahan baku kompos ... 24
2. Potensi kiambang menjadi bahan baku pakan ternak ... 25
B. Potensi Bobot Kiambang di Waduk Batutegi sebagai Bahan Baku Kompos ... 26
1. Perhitungan luas areal genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang ... 26
2. Perhitungan bobot kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi ... 27
C. Pengaruh Penambahan Kotoran Ternak dan Perlakuan Pencacahan terhadap Lamanya Proses Pengomposan Kiambang ... 28
1. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 29
2. Pengaruh perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 31
3. Pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 32
D. Mutu Kompos Kiambang ... 33
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38
A. Kesimpulan ... 38
B. Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
(6)
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 1. Kandungan beberapa unsur hara makro pada
kiambang ... 3 Tabel 2. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam
tumpukan sampah ... 7 Tabel 3. Rasio C/N beberapa jenis bahan organik ... 8 Tabel 4. Kombinasi pengomposan kiambang ... 20 Tabel 5. Perbandingan kadar hara kiambang segar dengan
standar kualitas kompos dari BSN ... 24 Tabel 6. Kadar proksimat beberapa jenis bahan pakan
ruminansia ... 25 Tabel 7. Hasil perhitungan bobot kiambang di Waduk
Batutegi berdasarkan lokasi pengamatan ... 27 Tabel 8. Hasil pengamatan suhu pada proses fermentasi
kiambang ... 29
Tabel 9. Kandungan unsur hara pada kompos kiambang ... 34 Tabel 10. Perbandingan kandungan unsur hara kompos
kiambang dengan baku mutu kompos BSN tahun 2004 ... 35 Tabel 11. Standar mutu kompos ... 44
(7)
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar 1. Salvinia molesta ... 14
Gambar 2. Skema penyelesaian masalah usahatani di hulu dan masalah gulma air di Waduk Batutegi ... 18
Gambar 3. Bak kompos sederhana dari bambu ... 21
Gambar 4. Ukuran lapisan bahan kompos ... 22
Gambar 5. Skema Pengolahan Kiambang menjadi Kompos ... 23
Gambar 6. Petak pengamatan ... 27
Gambar 7. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 29
Gambar 8. Pengaruh pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 31
Gambar 9. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan kiambang ... 32
Gambar 10. Lamanya proses pengomposan pada semua kombinasi formulasi dan perlakuan ... 33
Gambar 11. Peta Irigasi Way Sekampung ... 43
Gambar 12. Salvinia minima ... 45
Gambar 13. Salvinia natans ... 45
Gambar 14. Pistia stratiotes ... 45
Gambar 15. Salvinia molesta ... 45
Gambar 16. Kiambang di areal genangan Waduk Batutegi ... 46
Gambar 17. Pembuangan kiambang melaluai saluran pelimpasan ... 46
(8)
Gambar 18. Kiambang yang mengendap di dasar areal genangan berpotensi menyebabkan
pendangkalan ... 46
Gambar 19. Upaya Kelompok Tani Sangarus Jaya Pekon Airnaningan memanfaatkan kiambang perlu mendapat dukungan ... 46
Gambar 20. Pencacahan kiambang secara manual ... 47
Gambar 21. Pencacahan kiambang menggunakan mesin ... 47
Gambar 22. Proses pengomposan kiambang ... 47
Gambar 23. Proses pengomposan kiambang ... 47
Gambar 24. Kompos kiambang hampir matang ... 48
Gambar 25. Penghitungan bobot kering kiambang ... 48
Gambar 26. Kaji terap penerapan kompos kiambang skala terbatas pada tanaman tomat ... 48
Gambar 27. Perbedaan pertumbuhan tanaman tomat (A2 = Tanah + kompos Kiambang 1kg; B2 = Tanah + POG 1 kg; C2 Tanah tanpa kompos (kontrol) ... 48
(9)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuntutan pembangunan pertanian saat ini adalah keberlanjutan usaha dengan mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Oleh karenanya pengembangan teknologi usahatani haruslah mengarah kepada
kemandirian petani dalam meningkatkan mutu lingkungan serta
mengefisienkan penggunaan input dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal.
Tanah adalah unsur lingkungan pokok selain air dalam sistem budidaya tanaman yang harus dijaga kelestariannya. Menurut Hanafiah et al. (2005) tanah berperan menyuplai unsur hara, penyedia air, dan tempat berkembangnya akar tanaman. Peranan tanah terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dipengaruhi oleh mutu tanah. Secara sederhana mutu tanah dapat dilihat dari tingkat kegemburan (sifat fisik), keberadaan organisme (sifat biologi), dan ketersediaan unsur hara (sifat kimia). Semakin baik mutu tanah, maka peranannya terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan semakin besar.
Kompos merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan guna meningkatkan mutu tanah, baik dari segi fisik, biologi, maupun kimia dan diproduksi dengan memanfaatkan ketersediaan sumberdaya lokal, seperti kotoran ternak dan limbah pertanian (Setyorini et al., 2006). Dengan demikian, penggunaan kompos pada lahan usahatani menunjang kelestarian lingkungan sehingga ptraktik budidaya tanaman dapat berkelanjutan.
(10)
Khususnya di Kecamatan Airnaningan, Kabupaten Tanggamus, selain kotoran ternak dan limbah pertanian, bahan baku kompos juga melimpah berupa gulma air jenis kiambang. Kiambang (Salvinia molesta) tumbuh dan berkembang di Sungai Way Sangarus, Way Sekampung, sampai ke areal genangan Waduk Batutegi. Berdasarkan pengkajian pendahuluan, diperkirakan setiap tahunnya sejak tahun 2010 hingga 2014, tidak kurang seluas 15,75 km2(75%) dari 21 km2luas areal genangan Waduk Batutegi pada kapasitas tampung efektif (elevasi 274 m) tertutupi kiambang. Puncak kepadatan kiambang terjadi pada akhir musim penghujan sampai awal kemarau antara bulan April – Juli.
Pertumbuhan kiambang yang pesat di Waduk Batutegi telah menjadi permasalahan serius yang membutuhkan solusi. Keberadaan gulma yang siklus hidupnya ada di permukaan air ini, berpotensi menyumbangkan sedimentasi karena kiambang yang telah membusuk akan mengendap di dasar waduk. Selain itu, keberadaan gulma air, akan meningkatkan laju evapotranspirasi, menghambat transportasi nelayan, dan mengganggu suplai air yang menyebabkan terhambatnya produksi listrik PLTA Batutegi pada Bulan Juli 2010.
Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut di muka, keberadaan kiambang berpotensi menurunkan efektifitas Waduk Batutegi sebagai penyuplai irigasi Way Sekampung, pembangkit listrik, dan air baku. Data dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji-Sekampung (2006) disebutkan bahwa adanya Waduk Batutegi dapat meningkatkan luas areal
persawahan yang terairi mencapai 22.985 ha. Sasaran Irigasi Way Sekampung terpusat di Kabupaten Kota Metro, Lampung Timur, dan Lampung Tengah (Gambar 11, Lampiran 1). Dengan demikian,
terganggunya fungsi Waduk Batutegi, akan menghambat produksi padi di Provinsi Lampung, sehingga akan berimplikasi terhadap ketahanan pangan nasional.
Penanggulangan kiambang di Waduk Batutegi oleh pihak pengelola diantaranya dengan mengangkatnya ke tepi dan pembuangan melalui
(11)
saluran pelimpasan air. Pengangkatan kiambang ke tepi bendungan membutuhkan tenaga dan biaya besar serta kurang bermanfaat karena tidak ada pengolahan lebih lanjut, sedangkan pembuangan melalui saluran pelimpasan menimbulkan masalah baru di hilir. Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif solusi guna mengendalikan pertumbuhan kiambang salah satunya dengan mengolahnya menjadi kompos yang bermanfaat khususnya bagi petani di Kecamatan Airnaningan.
Berdasarkan hasil uji kandungan beberapa unsur hara makro (P, K, Mg, dan Ca) yang dilakukan Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung, diketahui bahwa kiambang segar berpotensi dijadikan bahan baku
kompos. Hasil uji kandungan beberapa unsur hara makro pada kiambang segar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan beberapa unsur hara makro pada kiambang
No Parameter
Pengujian Satuan Hasil Metode
1 P-Total % 0,570 Spektrofotometri
2 K-Total % 1,494 Flamefotometri
3 Mg-Total Mg/100g 11,740 Volumetri
4 Ca-Total Mg/100g 38,202 Volumetri
Mencermati Tabel 1, apabila kiambang dapat dijadikan kompos yang bermutu, petani yang ada di lingkungan Sungai Way Sangarus, Way Sekampung, dan Waduk Batutegi dapat memanfaatkan kiambang sebagai bahan baku kompos guna meningkatkan efisiensi penggunaan input serta memperbaiki mutu tanah. Semakin banyak petani yang berpartisipasi mengolah kiambang menjadi kompos, maka model pengendalian gulma air di Waduk Batutegi ini akan semakin efektif. Untuk itu, dibutuhkan
komposisi dan desain pembuatan kompos yang mudah, hemat, dan cepat.
Berdasarkan uraian di muka, penelitian ini penting dilakukan dengan harapan 1) didapatnya teknologi cara pengolahan kiambang menjadi kompos yang mudah, hemat, dan cepat, 2) kompos kiambang akan bermanfaat bagi petani guna mendukung keberlanjutan usahatani yang Sumber: Laboratorium Analisis Polinela, 2012
(12)
ramah lingkungan, 3) dihasilkan alternatif solusi penanggulangan gulma air di Waduk Batutegi dengan memperhatikan azaz kemanfaatan dan kelestarian, 4) terjaganya kelestarian Waduk Batutegi akan menjamin suplai irigasi Way Sekampung sehingga menunjang produktivitas padi di Provinsi Lampung, 5) berdirinya pabrik pengolahan kiambang menjadi kompos milik kelompok tani sebagai model pemberdayaan masyarakat di Kecamatan Airnaningan.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja alternatif solusi pengendalian gulma air di Waduk Batutegi? 2. Berapa potensi bobot kering kiambang yang tumbuh di Waduk
Batutegi?
3. Bagaimanakah pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang?
4. Bagaimanakah mutu kompos kiambang?
C. Tujuan
1. Mengetahui alternatif solusi pengendalian gulma air di Waduk Batutegi. 2. Mengetahui potensi bobot kering kiambang yang tumbuh di Waduk
Batutegi.
3. Mengetahui pengaruh penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencachan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang. 4. Mengetahui mutu kompos kiambang.
(13)
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kompos
Menurut Hadisuwito (2007), kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari limbah organik (tumbuhan dan hewan) yang telah
mengalami dekomposisi. Proses dekomposisi bahan organik
dilakukan oleh jasad pengurai baik makro (cacing dan serangga tanah) maupun mikro (bakteri dan jamur). Setyorini et al. (2006)
menyimpulkan bahwa kompos merupakan sumber bahan organik dan nutrisi tanaman untuk mendukung pertanian berkelanjutan.
Penggunaan kompos pada lahan usahatani dalam jangka panjang dapat memperbaiki pH dan meningkatkan prouksi tanaman.
Secara alami proses pengomposan bahan organik dimulai dari
penghancuran bahan organik oleh organisme tanah hingga berukuran kecil, selanjutnya proses tersebut dilanjutkan oleh mikroba tanah. Proses dekomposisi secara alami membutuhkan waktu yang cukup lama (satu bulan hingga satu tahun) tergantung jenis bahan organiknya. Sebelum bahan organik mengalami penguraian, unsur hara masih
terikat tidak dapat diserap oleh tanaman. Selama proses perubahan bahan organik, unsur hara akan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat diserap tanaman (Setyorini et al., 2006).
Lebih lanjut Setyorini et al. (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa tanaman merupakan bahan organik yang potensial dijadikan kompos. Pengolahan sisa-sisa tanaman menjadi kompos dan
(14)
kegemburan dan kesuburan lahan. Sebaliknya, apabila sisa-sisa tanaman tidak dikelola dengan baik, maka akan berdampak negatif terhadap lingkungan, seperti mengakibatkan rendahnya pertumbuhan benih karena imobilisasi hara, allelopati, atau sebagai tempat
berkembangbiaknya patogen tanaman.
2. Faktor-faktor yang memengaruhi proses pengomposan
Djaja (2008) mengemukakan bahwa terjadinya proses pengomposan disebabkan tiga hal, yaitu: (1) zat hara pada bahan; (2) mikroba; (3) dan keadaan lingkungan hidup mikroba (Oksigen dan aerasi; rasio C/N; kandungan air; porositas, struktur, dan ukuran partikel; pH bahan baku; temperatur). Zat hara dibutuhkan mikroba dalam proses dekomposisi bahan, sedangkan lingkungan yang optimal menyebabkan mikroba dapat berkembang dan beraktivitas maksimal.
Masih menurut Djaja (2008), mikroba memegang peranan utama dalam proses pengomposan. Pada proses pengomposan mikroba yang berperan adalah bakteri, fungi, dan aktinomisetes. Saraswati dan Sumarno (2008) mengemukakan bahwa manfaat mikroba dalam proses pengomposan adalah sebagai bioaktivator.
Saraswati et al. (2006) menggolongkan organisme perombak bahan organik ke dalam dua golongan: pertama adalah perombak primer dari golongan mesofauna (seperti cacing tanah dan colembolla); kedua adalah perombak sekunder dari golongan mikroorganisme. Beberapa jenis mikroorganisme perombak bahan organik yang umum ditemukan dalam tumpukan sampah disajikan pada Tabel 2.
(15)
Tabel 2. Mikroorganisme yang umum berasosiasi dalam tumpukan sampah
Karakteristik suhu Bakteri Fungi
Mesofilik (10–40oC) Pseudomonasspp. Alternariaspp. Achromobacterspp. Cladosporiumspp. Bacillusspp. Aspergillusspp. Flavobacteriumspp. Mucorspp. Clostriiumspp. Penicilliumspp. Streptomycesspp.
Termofilik (41–70oC) Bacillusspp. Mucor pusillus Thermusspp. Chaetomium
thermophile
Thermoactinomycesspp. Humicola lanuginosa Thermonosporaspp. Absidia ramosa Microplysporaspp. Sprotricbum
thermophile
Torula thermophile (yeast)
Thermoascus aureanticus Sumber: Saraswati et al., 2006
Menurut Setyorini et al. (2006) pengomposan dapat berhasil apabila adanya kesesuaian kondisi lingkungan hidup mikroba pengurai, diantaranya: (1) rasio C/N; (2) ukuran bahan baku; (3) suhu dan tingginya timbunan kompos; (4) Kelembapan; (5) sirkulasi udara; (6) nilai pH.
Proses pegomposan sebagaimana diuraikan di muka melibatkan mikroba pengurai baik mikro flora maupun mikro fauna. Mikroba pengurai ini membutuhkan C (karbon) untuk menghasilkan energi dan N (nitrogen) untuk mensintesa protein dalam keadaan yang seimbang. Isrori dan N. Yuliarti (2009) menyebutkan bahwa perbandingan C/N yang optimum bagi kebutuhan mikroba selama melakukan penguraian bahan organik antara 30 – 40. Pada kondisi dimana rasio C/N terlalu tinggi (> 40), mikroba akan kekurangan N untuk mensintesa protein, sehingga proses dekomposisi bahan organik akan berjalan lambat.
Sutanto (2002) menerangkan kandungan C dalam bahan organik dapat dilihat dari kadar lignin. Semakin tinggi lignin dalam bahan organik
(16)
maka kandungan C akan semakin tinggi yang berarti akan menaikkan rasio C/N. Sejalan dengan pendapat tersebut, Hanafiah et al. (2013) mengemukakan bahwasanya dedaunan yang jatuh di permukaan tanah umumnya bernisbah C/N tinggi dengan kadar senyawa resisten seperti selulosa dan lignin dominan yang tidak terombak oleh cacing tanah.
Gaur (1980) menyatakan bahwa selain kandungan C dan N, perlu pula diperhatikan kandungan Phosfor (P) dan Kalium (K) yang terkandung pada bahan baku. Hal ini disebabkan N, P, dan K dibutuhkan mikroba pengurai dalam proses metabolisme sel. Penguraian bahan baku bisa berlangsung cepat apabila perbandingan antara kadar C (C-organik): N:P:K dalam bahan yang terurai setara 30:1:0,1:0,5. Setyorini et al (2006) menyimpulkan bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan rasio C/N (nitrogen) sehingga sama dengan C/N tanah (<20). Dengan demikian faktor penentu utama dalam proses pengomposan adalah rasio C/N bahan baku.
Pada kenyataannya, banyak limbah pertanian yang mengandung rasio C/N >40, seperti jerami dan serbuk gergaji. Beberapa jenis bahan organik dan rasio C/N disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rasio C/N beberapa jenis bahan organik
Sumber: 1.Nataraja (2008); 2. Yuwono, 2005; 3. Ditjenbun, 2006; 4. Cahaya T.S. dan Nugroho, 2008
Isrori dan N. Yuliarti (2009) mengemukakan bahwa untuk mempercepat proses dekomposisi, bahan-bahan kompos yang memiliki rasio C/N
No Bahan Organik Rasio C/N
1 Kiambang1 36,93
2 Jerami padi2 50–70
3 Jerami jagung2 100
4 Serbuk gergaji2 500
5 Kayu2 200–400
6 Kulit kayu2 100–130
7 Kulit kopi3 20,04
8 Kotoran kambing4 21,12
(17)
tinggi perlu dicampur dengan bahan organik dengan rasio C/N rendah. Pengomposan jerami padi misalnya, perlu dicampur dengan kotoran kambing yang memiliki rasio C/N rendah. Setyorini et al. (2006)
menyimpulkan bahwa kandungan selulosa pada limbah pertanian, yang digunakan sebagai bahan dasar kompos, mengandung selulosa 15– 40%. Selulosa merupakan senyawa yang secara alami sulit
terdekomposisi. Hal inilah yang menyebabkan lamanya proses dekomposisi limbah pertanian secara alami.
Sebagaimana diuraikan di muka, bahwa proses dekomposisi bahan organik secara alami dilakukan oleh organisme tanah baik makro maupun mikro. Semakin luas permukaan bahan organik akan
meningkatkan kontak antara organisme tanah dengan bahan organik. Menurut Isrori dan N. Yuliarti (2009) semakin tinggi intensitas kontak organisme tanah dengan bahan organik memengaruhi cepatnya penghancuran bahan menjadi ukuran yang lebih kecil. Hal ini
disebabkan, permukaan bahan organik merupakan area serang cacing, bakteri, dan jamur dalam melakukan penguraian. Dengan demikian, agar proses pengomposan berjalan lebih cepat, bahan organik perlu dicacah untuk memperkecil ukuran dan meningkatkan luas
permuakaan.
Selanjutnya, untuk meningkatkan keberhasilan pengomposan perlu diperhatikan tingginya tumpukan bahan. Semakin tinggi tumpukan bahan suhu akan semakin meningkat, sebaliknya apabila tumpukan bahan terlalu rendah maka bahan tidak cukup untuk menahan panas. Tinggi tumpukan bahan idealnya sekitar 1,25–2 m (Setyorini et al., 2006). Menurut Yuwono (2005) Suhu optimum dalam proses pengomposan adalah 45–65 oC.
Untuk menjaga kelangsungan aktivitas mikroba melakukan dekomposisi bahan, kelembapan perlu dipertahankan. Kadar air optimum pada bahan berkisar antara 40–65% (Djaja, 2008). Menurut
(18)
Yuwono (2005) keberhasilan pengomposan secara aerob apabila kadar air bahan berkisar antara 40–50%, sedangkan pada pengomposan anaerob kadar air bahan baku yang baik >50%. Pada proses pengomposan aerob kelebihan air mengakibatkan tumpukan bahan kekurangan oksigen, sebaliknya apabila bahan terlalu kering tidak mendukung kehidupan mikroba.
Pada proses pengomposan aerob mikroba pengurai membutuhkan oksigen selama proses penguraian berlangsung. Peningkatan sirkulasi udara dalam proses pengomposan dapat dilakukan melalui pembalikan bahan secara berkala (Setyorini et al., 2006).
Nilai pH optimum dalam proses pengomposan baik aerob maupun anaerob berkisar antara 6–8. Umumnya bakteri pengurai bahan
organik lebih menyukai pH netral (Yuwono, 2005). Menurut Setyorini et al. (2006) penggunaan kapur pertanian berlebihan dalam proses
pengomposan akan menyebabkan pH tinggi dan berdampak pada kehilangan nitrogen karena volatilisasi.
3. Metode pengomposan
Menurut Sutanto (2002) ada 6 metode pengomposan yang sudah dikenal yaitu: (1) Metode indore; (2) Metode heap ; (3) Metode bangalore; (4) Metode berkeley; (5) Metode vermikompos; dan (6) Metode Jepang. Secara rinci ke enam metode tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Metode indore
Pada prinsipnya pengomposan dengan metode indoredilakukan ditempat terbuka dengan terlebih dahulu membuat lubang
pengomposan dengan kedalaman 1 m, lebar 1,5–2 m, dan panjang menyesuaikan dengan banyaknya bahan yang akan dikomposkan. Bahan kompos terdiri dari sisa-sisa tanaman. Bahan dimasukkan ke
(19)
dalam lublang secara berlapis dengan ketebalan lapisan 15 cm. Untuk memperkaya mikroba pada setiap lapisan digunakan kotoran ternak sebanyak 4,5 kg, tanah yang terkena urine ternak 3,5 kg, dan 4,5 kg inokulan fungi diambil dari bahan kompos yang sedang aktif. Pembalikan dilakukan secara berkala yakni pada hari ke 15, hari ke-30, dan terakhir setelah pengomposan berlangsung selama 2 bulan. Selama proses pengomposan dibutuhkan kelembaban yang cukup. 2) Metode heap
Sebagaimana metode indore, metode heap juga dilakukan di tempat terbuka. Perbedaannya jika pada metode indorebahan
dikomposkan dalam lubang galian, pengomposan dengan metode heap dilakukan di atas tanah. Bahan kompos yang digunakan harus seimbang antara bahan yang kandungan C tinggi dengan bahan yang kandungan N tinggi. Bahan-bahan ditumpuk berlapis dengan ketebalan 15 cm dan dimulai dari bahan yang kandungan C lebih tinggi. Tinggi tumpukan minimal mencapai 1,5 m, lebar dasar 2 m, dan panjang menyesuaikan dengan banyaknya bahan. Pada bagian tepi atas tumpukan dilakukan pemadatan sehingga lebar bagian atas menyempit kurang lebih menjadi 0,5 m. Untuk menghindari sinar matahari, hujan, dan angin tumpukan kompos dibuatkan penaung. Pembalikan dilakukan setelah proses pengomposan berlangsung selama 6 minggu dan 12 minggu.
3) Metode bangalore
Berbeda dengan metode indoredan heap, metode bangalore dalam proses pengomposannya tidak dilakukan pembalikan. Semua bahan ditimbun di dalam lubang galian. Setelah dilakukan penyiraman sampai basah, lubang ditutup dengan tanah atau lumpur. Kompos akan matang setelah 6-8 bulan.
(20)
4) Metode berkeley
Pengomposan dengan metode berkeley hampir sama dengan
metode heap, namun perbedaannya terletak pada komposisi bahan dan intensitas pembalikan. Komposisi bahan diformulasikan 2 bagian bahan yang kaya N ditambah 1 bagian bahan yang kaya C. Bahan ditumpuk secara berlapis dengan ukuran tinggi lapisan mencapai 1,5 m, lebar 2 m, dan panjang 2,4 m. Pembalikan bahan dilakukan pada hari ke-4, ke-7, dan ke-10.
5) Metode vermikompos
Sebagaimana namanya, perbedaan mendasar dengan 4 metode sebelumnya yakni pemanfaatan cacing tanah sebagai dekomposer. Jenis cacing tanah yang efisien digunakan dalam pengomposan adalah Eisenia fetidadan E. eugeniae.
6) Metode Jepang
Pengomposan dengan Metode Jepang sebagaimana metode heap dan berkeley dilakukan di atas tanah. Perbedaannya pada metode heap dan berkeley bahan ditumpuk tanpa menggunakan cetakan atau bak sedangkan pada metode jepang digunakan bak. Bak pengomposan dibuat dari bambu sehingga sirkulasi udara pada dindingnya akan berlangsung baik. Untuk menjaga kehilangan cairan kompos (lindi), bagian dasar bak dilapisi plastik terpal. Bahan kompos terdiri dari sisa-sisa tanaman, gulma, dan kotoran ternak. Metode ini memiliki kelebihan sebagaimana metode heap dan berkeley yakni pembalikan dapat dilakukan lebih mudah
dibandingkan metode indore. Mikroba yang biasa digunakan dalam proses pengomposan adalah Trichoderma sp.
4. Kualitas kompos
Setelah menjalani serangkaian proses dekomposisi, bahan baku
(21)
kematangan kompos suhu stabil, warna coklat tua, dan bau tanah (Yang, 1996). Kompos yang diproduksi dengan memperhatikan kaidah pengomposan akan menghasilkan pupuk organik berkualitas. Kualitas kompos berdasarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2004 ditinjau dari: 1) kadar air; 2) temperatur; 3) warna; 4) bau; 5) ukuran partikel; 6) kemampuan mengikat air; 7) pH; 8) bahan asing; 9) bahan organik; 10) unsur hara; dan 11) bakteri. Standar kualitas kompos yang dikeluarkan BSN tahun 2004 disajikan pada Tabel 12 (Lampiran 2).
5. Kiambang
Kiambang adalah salah satu spesies gulma air yang tumbuh dan berkembang di permukaan air. Kiambang dapat tumbuh baik di air yang mengalir stagnan atau lambat seperti danau, lahan persawahan, kolam, sungai, waduk, dan rawa. Kiambang tumbuh baik pada suhu optimum 25-28 oC. Pada kisaran suhu tersebut kiambang dapat melipatgandakan diri dalam waktu 1 minggu (Divakaran et al.,1980)
Kiambang terdiri dari batang horizontal yang menghasilkan dua tipe daun yang berbeda fungsi. Daun yang pertama berada di permukaan air berwarna hijau, berbentuk seperti kuku dan tersusun berpasangan menyerupai sepasang sayap kupu-kupu. Setiap sisi daun pertama ini ditutupi rambut halus yang berfungsi mencegah air dan membantu kiambang mengapung. Daun yang kedua berbentuk mirip akar berwarna coklat dan tumbuh di dalam air. Tipe daun kedua ini
mengandung sporocarps berbentuk bulat dan padat berbulu, berukuran 2-3 mm. Fungsi daun kedua ini adalah menangkap unsur hara untuk tumbuh dan berkembang (Whiteman, 1991).
(22)
USDA (2002) mengklasifikasikan kiambang sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Filicopsida
Ordo : Hidropteridales
Famili : Salviniaceae
Genus : Salvinia
Spesies : Salvinia molesta
Beberapa spesies lain yang masih masuk kedalam genus Salvinia diantaranya: (1) Salvinia minima, (2) Salvinia natans, dan (3) Pistia stratiotes (Gambar 12, 13, dan 14, Lampiran 3).
Hasil penelitian Filliazati et al. (2013) bahwa kiambang berpotensi sebagai penjernih air dan mampu menurunkan kadar Biological Oxygen Demand(BOD) serta minyak dan lemak yang terkandung pada air limbah rumah tangga meskipun belum layak untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas mikroba di dalam air yang melakukan perombakan bahan organik menjadikan unsur hara larut dan tersedia bagi tanaman. Unsur hara terlarut diserap oleh daun kaiambang yang menyerupai akar dan tumbuh di dalam air.
Kendatipun kiambang berperan positif terhadap kualitas air, keberadaan kiambang di perairan dalam jumlah banyak dapat
menimbulkan dampak negatif. Loveless (1989) mengemukakan bahwa pada tahun 1962 kiambang telah menutupi 18% (1000 km2) dari total luas permukaan Danau Karibia (5546 km2). Keberadaan kiambang di Danau Karibia telah menghambat pelayaran (transportasi air),
perikanan niaga, serta mengganggu jalannya turbin-turbin pembangkit tenaga listrik. Selain itu, menurut Divakaran et al. (1980) keberadaan kiambang di waduk juga akan memengaruhi sistem irigasi pertanian padi sawah, mengurangi intensitas cahaya dalam air, dan
(23)
mempercepat pendangkalan waduk. Terbatasnya cahaya dalam air berdampak pada kelangsungan hidup fitoplankton yang merupakan sumber pakan ikan.
6. Mutu tanah
Indikator mutu tanah adalah karakteristik fisik, kimia, dan biologi yang menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Karakteristik fisik tanah dapat dilihat diantaranya dari warna, tekstur, kegemburan, dan
kemampuan menyerap air. Karakteristik kimia tanah diantaranya dapat dilihat dari kandungan unsur hara dan pH. Selanjutnya, karakteristik biologi tanah dilihat dari kehidupan organisme tanah.
Menurut Agustina (2004) kandungan unsur hara pada tanah yang esensial bagi pertumbuhan tanaman terdiri dari unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro ada 6 unsur (N, P, K, Ca, Mg, dan S). Unsur hara mikro ada 7 unsur (Fe, Zn, Cu, Mn, Mo, B, dan Cl). Ketersediaan unsur hara esensial yang paling minimum di dalam tanah merupakan faktor penentu pertumbuhan dan perkembangan tanaman (hukum minimum Leibig). Dengan demikian, ketersediaan 6 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro dalam tanah merupakan keharusan dalam sistem budidaya tanaman.
Blair (1979 dalam Agustina, 2004) mengemukakan bahwa ketersediaan unsur hara di dalam tanah dipengaruhi tiga faktor penting yaitu, suplai dari fase padat, pH tanah, dan suplai air. Ketersediaan bahan organik di dalam tanah berperan penting pada fase padat. Bahan organik yang dikembalikan ke tanah akan mengalami penguraian unsur-unsurnya dan akan dilepas ke tanah.
Menurut Hanafiahet al. (2005) cacing tanah berperan sebagai bioindikator efek budidaya pertanian. Semakin intensif pengolahan lahan pertanian, maka resiko dampak negatif terhadap populasi cacing tanah akan semakin tinggi. Lebih rinci Edwards (1980) merumuskan bahwa populasi cacing tanah ditentukan oleh 4 faktor positif dan 4
(24)
faktor negatif. Faktor-faktor positif tersebut diantaranya: 1)
penambahan bahan organik, 2) meminimalkan pengolahan tanah , 3) menanam tanaman serealia secara terus-menerus, dan 4) mengurangi kemasaman tanah dengan pengapuran; sedangkan faktor-faktor negatif yang harus dihindari dalam budidaya tanaman meliputi: 1) penggunaan pestisida terutama fungisida bensindorsal, 2) penggunaan pupuk
bereaksi masam seperti amonium sulfat, 3) pembakaran atau pembuangan sisa-sisa tanaman, 4) budidaya yang terlalu intensif.
7. Pertanian ramah lingkungan
Kegiatan eksploitasi lahan pertanian yang dilakukan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan, dalam jangka panjang akan menurunkan mutu lahan baik dari segi fisik, biologi, dan kimia. Untuk itu, kegiatan usahatani ramah lingkungan perlu ditingkatkan menjadi budaya yang dibutuhkan. Menurut Sumarno et al. (2007) pertanian ramah lingkungan merupakan kegiatan usahatani untuk memperoleh produksi optimal tanpa merusak lingkungan dengan ciri keberlanjutan usaha yang memenuhi kriteria: (1) terpeliharanya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologis biota tanah; (2) terpeliharanya kualitas sumber daya pertanian dari segi fisik, hidrologis, kimiawi, dan biologi; (3) tidak mengandung residu kimia, limbah organik, dan anorganik yang berbahaya atau mengganggu proses hidup tanaman; (4) terlestarikannya keanekaragaman genetik tanaman budi daya; (5) tidak terjadi akumulasi senyawa beracun dan logam berat yang membahayakan atau melebihi batas ambang aman; (6) adanya keseimbangan ekologis antara hama penyakit dengan musuh-musuh alami; (7) produktivitas lahan stabil dan berkelanjutan; (8) produksi hasil panen bermutu tinggi dan aman sebagai pangan atau pakan.
B. Kerangka Pemikiran
Eksploitasi lahan usahatani dalam jangka panjang akan menimbulkan permasalahan mendasar, yakni terganggunya keseimbangan lingkungan.
(25)
Pengolahan lahan tanpa memperhatikan kaidah konservasi menjadikan keseimbangan biologi di dalam tanah juga terganggu. Selain itu,
penggunaan bahan kimia (terutama pestisida) turut mempercepat terganggunya keseimbangan biologi (organisme) tanah. Seperti dikemukakan Hanafiah et al. (2005) bahwa organisme tanah berperan penting dalam peningkatan mutu tanah yang berarti akan meningkatkan produktivitas tanaman.
Sebagaimana diuraikan di muka, permasalahan mendasar kegiatan usahatani di hulu Waduk Batutegi adalah rendahnya mutu tanah.
Minimnya penggunaan bahan organik dan masih intensifnya penggunaan pestisida kimia merupakan kendala utama. Implikasi aktivitas budidaya yang jauh dari kaidah konservasi tersebut, yakni terjadinya pengerasan tanah, tingginya resiko erosi, menurunnya populasi organisme tanah, dan rendahnya daya serap air. Pada kondisi lahan demikian, kegiatan
budidaya intensif, menggunakan pupuk dan pestisida kimia, hanya akan menambah buruknya mutu tanah dan menjadi ancaman kelestarian lingkungan.
Tanah yang daya serap airnya rendah akan mudah terkikis air hujan (erosi) dan merupakan penyebab utama sedimentasi sungai dan waduk. Selain itu, pada tanah yang mutu fisik, kimia, dan biologinya rendah penggunaan pupuk kimia tidak akan efektif. Hal ini dikarenakan pada tanah bermutu rendah daya ikat dan kapasitas tukar kation juga rendah. Sebagian besar unsur hara akan tercuci oleh air hujan, menguap, dan terikat oleh unsur logam (seperti Al) yang banyak terdapat pada tanah masam (mutu rendah). Unsur hara yang tercuci dan terbawa aliran air akan memperkaya kandungan unsur terlarut di air sungai dan waduk. Akibatnya, gulma air (seperti kiambang) mendapatkan suplay hara melimpah dan dapat tumbuh dengan pesat. Hal demikian juga dimungkinkan telah terjadi di Waduk Batutegi Lampung.
Menurunnya fungsi Waduk Batutegi akibat keberadaan kiambang tentu akan berdampak pada kondisi usahatani di hilir, terutama lahan
(26)
persawahan yang memanfaatkan Irigasi Way Sekampung. Atas dasar permasalahan kiambang di Waduk Batutegi dan rendahnya mutu lahan usahatani di bagian hulu, maka dipandang perlu adanya solusi strategis yang tetap mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Adapun skema penyelesaian masalah usahatani di bagian hulu dan masalah gulma air di Waduk Batutegi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema penyelesaian masalah usahatani di hulu dan masalah gulma air di Waduk Batutegi
Potensi Positif Sumber bahan baku Kompos yang melimpah AKTIVITAS BUDIDAYA PERTANIAN DI HILIR KOMPOS GENANGAN WADUK BATUTEGI MASALAH GULMA AIR (KIAMBANG) 1. Mempercepat pendangkalan Waduk 2. Mengganggu sistem irigasi
3. Mengganggu produksi listrik PLTA
4. Mengganggu sistem perikanan tangkap MASYARAKAT TANI (di sekitar Waduk Batutegi) MASALAH 1. Menurunnya mutu tanah 2. Produktivitas tanaman kebun rendah AKTIVITAS
BUDIDAYA PERTANIAN
(27)
III. METODELOGI
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Airnaningan, Desa Datar Lebuay, dan Desa Batutegi, Kecamatan Airnaningan, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Penelitian ini merupakan kajian penulis dalam mendampingi Kelompok Tani Sangarus Jaya Desa Airnaningan dan Kelompok Tani Aren Lestari Desa Datar Lebuay dalam memanfaatkan kiambang di areal genangan Waduk Batutegi sebagai bahan baku kompos sejak bulan Mei 2011 hingga bulan Juni 2013.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya bak kompos dari bambu, baskom/ember, gembor/penyiram, cangkul, parang, skop, terpal, tali rafia, mesin pencacah, dan termometer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kiambang segar, kotoran ternak, dekomposer, dan air.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Pengomposan kiambang akan dilakukan dengan Metode Jepang, yaitu dengan
menggunakan bak sederhana dari bambu. Rancangan percobaan dalam penelitian ini menggunakan Percobaan Faktorial dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor perlakuan sebagai berikut:
Faktor 1: Formulasi Kompos Kiambang
K0 : Kiambang (100%) + (Aktivator 1 liter)
K1 : Kiambang (90%) + Kotoran kambing (10%) + (Aktivator 1 liter) K2 : Kiambang (70%) + Kotoran kambing (30%) + (Aktivator 1 liter)
(28)
Faktor 2: Perlakuan pencacahan
P0 : Tidak dilakukan Pencacahan
P1 : Pencacahan dilakukan secara manual P2 : Pencacahan dilakukan dengan mesin
Kombinasi pengomposan berdasarkan dua faktor tersebut di atas
diperoleh 9 kombinasi. Masing-masing kombinasi akan diulang sebanyak 3 kali ulangan. Kombinasi pengomposan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kombinasi pengomposan kiambang Formulasi
Kompos
Perlakuan
Pencacahan kiambang (P)
P0 P1 P2
K0 K0P0 K0P1 K0P2
K1 K1P0 K1P1 K1P2
K2 K2P0 K2P1 K2P2
D. Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: (1) formulasi kompos
kiambang (K0, K1, dan K2); (2) perlakuan pencacahan (P0, P1, dan P2). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah lamanya proses kematangan kompos kiambang. Indikator lamanya proses kematangan kompos
kiambang dilihat dari suhu kompos secara berkala (pengukuran suhu akan dilakukan setiap 5 hari sekali). Apabila suhu kompos sudah konstan, mengacu pada hasil pengkajian Yang (1996) di muka, maka kompos sudah dianggap matang.
E. Tahapan Penelitian
1. Pembuatan bak kompos dari bambu
Pengomposan kiambang secara manual dilakukan dengan
menggunakan bak kompos sederhana terbuat dari bambu dengan ukuran panjang 3 m, lebar 1,5 m, dan tinggi 1,5 m. Desain bak sederhana dari bambu disajikan pada Gambar 3.
(29)
2. Pengadaan bahan
Total bahan kompos dalam setiap percobaan adalah 2 ton. Kiambang diambil di Sungai Way Sangarus (hulu Waduk Batutegi) dengan
menggunakan rakit dari bambu. Kotoran kambing diadakan dari anggota Kelompok Tani Sangarus Jaya yang memelihara ternak. Bahan pembuatan kompos terdiri dari:
a) Formulasi K0P0 = 1000 kg kiambang basah (100%) tidak dilakukan pencacahan + Aktivator (1 liter)
b) Formulasi K0P1 = 1000 kg kiambang basah (100%) dilakukan pencacahan secara manual + Aktivator (1 liter)
c) Formulasi K0P2 = 1000 kg kiambang basah (100%) dilakukan pencacahan menggunakan mesin + Aktivator (1 liter)
d) Formulasi K1P0 = 900 kg kiambang basah (90%) tidak dilakukan pencacahan + 100 kg kotoran kambing (10%) + Aktivator (1 liter)
e) Formulasi K1P1 = 900 kg kiambang basah (90%) dilakukan pencacahan secara manual + 100 kg kotoran kambing (10%) + Aktivator (1 liter)
(30)
f) Formulasi K1P2 = 900 kg kiambang basah (90%) dilakukan pencacahan dengan menggunakan mesin + 100 kg kotoran kambing (10%) + Aktivator (1 liter)
g) Formulasi K2P0 = 700 kg kiambang basah (70%) tidak dilakukan pencacahan + 300 kg kotoran kambing (30%) + Aktivator (1 liter)
h) Formulasi K2P1 = 700 kg kiambang basah (70%) dilakukan pencacahan secara manual + 300 kg kotoran kambing (30%) + Aktivator (1 liter)
i) Formulasi K2P2 = 700 kg kiambang basah (70%) dilakukan pencacahan dengan mesin + 300 kg kotoran kambing (30%) + Aktivator (1 liter)
3. Tahapan proses pengolahan kiambang menjadi kompos
Tahapan pengomposan dimulai dengan melakukan pembuatan larutan dekomposer. Selanjutnya dilakukan penumpukan bahan secara
berlapis hingga tingginya minimal mencapai 1 m. Setiap lapisan disiram dengan larutan dekomposer secara merata. Ukuran lapisan bahan yang dikomposkan disajikan pada Gambar 4.
2 cm
5 cm Kiambang
Kotoran ternak Kotoran ternak
Kiambang
1,25 m
(31)
Pembalikan kompos dilakukan secara berkala setiap 7 hari sekali. Tahapan proses pengolahan kiambang menjadi kompos disajikan pada Gambar 5.
4. Pengujian kandungan hara kompos
Pengujian kandungan hara kompos hanya akan dilakukan satu kali pengujian, yakni terhadap kompos yang dihasilkan paling cepat. Pengujian kadar hara akan dilakukan di Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung.
5. Pembahasan dan penarikan kesimpulan
F. Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini hanya akan dilakukan secara deskriptif. Pengambilan Kiambang
di Sungai Way Sangarus menggunakan Rakit dari Bambu
Pengangkutan Kiambang ke Unit Pengolahan
Pencacahan Kiambang Segar Proses Fermentasi
Pengemasan
(32)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Alternatif Penanggulangan Gulma Air di Waduk Batutegi 1. Potensi kiambang menjadi bahan baku kompos
Memperhatikan Tabel 1 di muka, berdasarkan analisa terhadap 4 unsur hara makro (P, K, Mg, dan Ca) terbukti kiambang cukup mengandung unsur hara makro. Apabila dibandingkan dengan standar kualitas kompos berdasarkan BSN tahun 2004, maka kandungan hara pada kiambang terutama P dan K sudah di atas batas minimum.
Perbandingan kandungan 4 unsur hara makro pada kiambang segar dengan standar kualitas kompos berdasarkan BSN tahun 2004 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Perbandingan kadar hara kiambang segar dengan standar kualitas kompos dari BSN
Unsur Hara Satuan Kiambang Segar
Standar Kualitas Kompos dari BSN Minimum Maksimum
P-total (%) 0,570 0,100 *
K-total (%) 1,494 0,200 *
Mg-total (%) 0,012 * 0,600
Ca-Total (%) 0,038 * 25,500
Sumber: Diolah dari Laboratorium Analisis Polinela (2012) dan BSN (2004)
Keterangan: *) nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
(33)
Mencermati Tabel 5 dapat diketahui bahwa kiambang basah berpotensi dijadikan kompos yang mengandung unsur hara makro esensial yang dibutuhkan tanaman. Data kandungan beberapa unsur hara
sebagaimana disajikan pada Tabel 5 merupakan data sementara karena belum dilakukan pengujian seluruh unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan tanaman. Selain itu, data kandungan unsur hara tersebut dimungkinkan akan berubah setelah kiambang diolah menjadi kompos. Aktivitas dan formulasi pengomposan dimungkinkan akan berpengaruh terhadap kandungan hara kompos kiambang.
2. Potensi kiambang menjadi bahan baku pakan ternak
Berdasarkan hasil penelitian kadar proksimat kiambang tahun 2012 di Waduk Batutegi, diketahui bahwa kiambang berpotensi dijadikan bahan campuran pakan ternak. Hasil analisa kandungan zat-zat makanan pada kiambang dibandingkan dengan jerami padi, rumput gajah, dan kulit kopi disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kadar proksimat beberapa jenis bahan pakan ruminansia
Bahan Pakan Ruminansia
Zat-Zat Makanan (%) Abu Protein
Kasar
Lemak Kasar
Serat
Kasar BETN
Kiambang1 10,18 23,70 2,84 24,66 38,36
Jerami padi2 19,97 4,51 1,51 28,79 45,21
Rumput gajah2 10,00 4,60 2,10 38,20 45,00
Gamal2 9,7 19,10 3,0 18,0 50,2
Dedak kasar2 15,87 6,53 2,36 29,81 34,89
Kulit buah kakao2 11,63 8,01 1,28 40,08 38,49 Silase kulit kopi3 4,86 10,64 0,69 15,74 * Sumber: 1. Fachrudin, 2012; 2. Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan FP IPB, 2012; 3. Simanihuruk dan Sirait, 2010
Keterangan: *) tidak ada data pengujian
Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa pada kiambang terkandung protein kasar paling tinggi dibandingkan bahan pakan lainnya, begitu pula kadar serat kasar relatif lebih tinggi dibanding daun gamal dan silase kulit kopi. Selanjutnya, nilai BETN (Bahan Ekstrak
(34)
Tanpa Nitrogen) pada kiambang cukup tinggi dan hampir sama dengan kulit buah kakao, tetapi lebih tinggi dibandingkan dedak kasar. Dengan demikian, kiambang relatif lebih mudah dicerna dibandingkan dedak kasar dan dapat menjadi salah satu bahan campuran formula pakan ternak ruminansia. Fachrudin (2012) menyarankan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengolah kiambang menjadi formulasi pakan dan pengujiannya terhadap pertambahan bobot ternak.
B. Potensi Bobot Kiambang di Waduk batutegi sebagai Bahan Baku Kompos
1. Perhitungan luas areal genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang
Data dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung menyebutkan luas genangan Waduk Batutegi pada kapasitas tampung efektif (elevasi 274 m) adalah 21 km2. Berdasarkan pengamatan di permukaan
genangan Waduk Batutegi dimulai dari genangan induk hingga bagian hulu pada bulan April 2012 serta penguatan informasi pihak pengelola Waduk (Tumijo), diperkirakan tidak kurang dari 75% permukaan air genangan tertutupi kiambang. Dengan demikian total luas areal genangan yang tertutupi kiambang dihitung sebagai berikut.
Luas areal genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang
= total luas genangan x 75%
= 21 km2x (75/100) = 15,75 km2
= 15.750.000 m2
Jadi total luas genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang adalah 15.750.000 m2.
(35)
2. Perhitungan bobot kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi Untuk mengetahui total bobot kiambang dalam luas areal Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang dilakukan pengambilan sampel kiambang pada petak pengamatan berukuran luas 4 m2sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Pengamatan dilakukan di tiga titik, yaitu di Dermaga GT Waduk Batutegi dan di bagian hulu genangan (Sungai Way Sangarus dan Way Sekampung). Masing-masing titik dilakukan tiga kali pengulangan.
Rerata bobot kiambang di Waduk Batutegi yang diambil dari petak pengamatan di tiga titik pengamatan disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil perhitungan bobot kiambang di Waduk Batutegi berdasarkan lokasi pengamatan
Parameter pengukuran
Rerata bobot kiambang per m2
pada 3 lokasi pengamatan Rerata Dermaga
GT
Sungai Way Sangarus
Sungai Way Sekampung
... Kg ... Bobobt kiambang
segar*
11,133 6,700 21,300 13,044
Bobot kiambang kering**
0,531 0,320 1,017 0,623
Keterangan: *) Kiambang baru diangkat dari petak pengamatan dan ditiriskan selama 30 menit
**) Konversi bobot kiambang setelah dilakukan penjemuran sampai bobotnya tetap
(36)
Berdasarkan Tabel 7 diketahui rerata bobot kering kiambang dalam luasan 1 m2adalah 0,623 kg. Hasil pengamatan ini mengandung arti bahwa kadar air pada kiambang basah mencapai 95,224%.
Perhitungan total bobot kering kiambang yang menutupi genangan Waduk Batutegi adalah sebagai berikut:
Total bobot kering kiambang
= Rerata bobot kering kiambang dalam luasan 1 m2x luas genangan yang tertutupi kiambang
= 0,623 kg/m2x 15.750.000 m2 = 9.812.250 kg
= 9.812,25 ton
Jadi total bobot kering kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi setiap tahun sebanyak 9.812,25 ton. Dengan demikian, potensi kiambang di Waduk Batutegi yang dapat diproduksi menjadi kompos cukup besar. Secara matematis, apabila kadar air kompos yang diproduksi maksimal 20%, maka dengan bahan baku kiambang kering 9.812,25 ton akan menghasilkan kompos kiambang murni mencapai 12.265,312 ton. Apabila diasumsikan kebutuhan kompos lahan kebun atau sawah adalah 5 ton/ha/tahun, maka kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi dapat mencukupi kebutuhan kompos bagi lahan kebun atau sawah seluas 2453 ha/tahun.
C. Pengaruh Penambahan Kotoran Ternak dan Perlakuan
Pencacahan Terhadap Lamanya Proses Pengomposan Kiambang
Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses
pengomposan dilihat dari perbedaan formulasi kompos, yakni formulasi K0P0, K1P0, K2P0. Selanjutnya, pengaruh perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan dilihat dari formulasi K0P1 dan K0P2. Sementara itu, untuk melihat pengaruh kedua variabel tersebut (penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan) terhadap
(37)
lamanya proses pengomposan dilihat dari formulasi K1P1, K1P2, K2P1, dan K2P2. Hasil pengamatan suhu pada proses fermentasi berdasarkan formulasi dan perlakuan pencacahan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengamatan suhu pada proses fermentasi kiambang
FORMU-LASI KOMPOS
Suhu Kompos (oC) Berdasarkan Hari
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K0P0 43,33 40,33 36 35 33,33 33 32 31,67 31,33 30,33 30,33 30 K0P1 45,33 41,33 37,67 34,33 33,33 33 32 31,67 31,33 30,67 30,33 29,67 K0P2 45,67 41,67 37,33 34,67 33 32,33 31,67 31,33 30 29,33 28,33 28 K1P0 45,67 43 37,33 34,67 33 32,33 31,33 31 30,33 29,67 29,33 28,67 K1P1 46,33 43 37 33,67 32,67 32 31,33 30,33 29,67 28,67 27,33 27 K1P2 47 40,33 34 30,67 28 27 27 27 27 27 27 27 K2P0 47,33 40,33 34,67 31,33 30,33 29 28,67 28 27,33 27 27 27 K2P1 47,67 38 31,33 29,33 27 27 27 27 27 27 27 27 K2P2 48,67 32 28,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67
1. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan
Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K1P0, dan K2P0 disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan kiambang
Lama proses pengomposan (hari)
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K0P0 K1P0 K2P0 S u h u o C
(38)
Mencermati Gambar 7, terlihat jelas ada perbedaan lamanya proses pengomposan antar formulasi. Formulasi K2P0 mencapai kestabilan suhu (27oC) pada hari ke-50, sedangkan formulasi K1P0 mencapai kestabilan suhu (28,67 oC) pada hari ke-60. Sementara itu, formulasi
K0P0 (kontrol) pada hari ke-60 suhunya masih relatif lebih tinggi (30oC). Perbedaan komposisi kompos formulasi K1P0 dengan K2P0, yakni pada persentase penambahan kotoran ternak. Formulasi K2P0 ditambahkan 30% kotoran ternak, sedangkan formulasi K1P0 hanya sebanyak 10%.
Sejalan dengan pendapat Setyorini et al. (2006) di muka, bahwa prinsip kegiatan pengomposan adalah menurunkan rasio C/N. Proses
pengomposan akan berlangsung optimal apabila kadar C/N bahan baku mendekati 30. Tabel 3 menunjukkan rasio C/N kiambang adalah 36,93 (>30). Dengan demikian, untuk mempercepat proses pengomposan kiambang perlu dilakukan penurunan rasio C/N. Penambahan kotoran kambing yang memiliki rasio C/N 21,12, lebih rendah dibandingkan kiambang, sebagaimana dikemukakan Isrori dan N.Yuliarti (2009) akan menurunkan rasio C/N bahan kompos dan pengomposan akan
berlangsung lebih cepat. Kondisi ini dapat terlihat jelas pada Gambar 7 bahwa formulasi K0P0, yang merupakan kontrol dalam penelitian
mengalami proses pengomposan yang lebih lama. Pada hari ke-60 diketahui suhu rata-rata pada formulasi kontrol masih mencapai 30oC. Semakin banyak persentase penambahan kotoran kambing pada proses pengomposan kiambang terbukti dapat mempercepat proses pengomposan.
(39)
2. Pengaruh perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang
Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K0P1, dan K0P2 disajikan pada Gambar 8.
Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa perlakuan pencacahan pada formulasi K0 (kiambang 100%) hanya berpengaruh pada perlakuan P2 (pencacahan dengan mesin). Namun demikian, pengaruh pencacahan yang tidak diikuti dengan penambahan kotoran ternak terbukti tidak mempercepat proses pengomposan. Pada perlakuan P2 terhadap kiambang (K0) kompos mengalami kestabilan suhu baru pada hari ke 55. Apabila dibandingkan dengan perlakuan penambahan kotoran ternak pada Gambar 7, formulasi 70% kiambang dan 30% kotoran ternak (K2) tanpa melakukan pencacahan kiambang (P0), tampak kompos mengalami kestabilan suhu pada hari ke-50. Dengan demikian, penambahan kotoran ternak dalam proses pengomposan kiambang lebih berpengaruh dibandingkan perlakuan pencacahan saja tanpa menambahkan kotoran ternak. Kondisi ini dapat dipahami
berdasarkan uraian di muka, bahwa menurut Isrori dan N. Yuliarti Gambar 8. Pengaruh pencacahan terhadap lamanya
proses pengomposan kiambang
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K0P0 K0P1 K0P2
Lama proses pengomposan (hari)
S
u
h
u
(40)
bahwa penambahan kotoran ternak akan menurunkan rasio C/N bahan dan akan mempercepat kematangan kompos.
3. Pengaruh penambahan kotoran ternak dan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang
Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K1P1, K1P2, K2P1, dan K2P2 disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa ada pengaruh signifikan terhadap kombinasi penambahan kotoran kambing (K1 dan K2) dengan perlakuan pencacahan menggunakan mesin (P2) terhadap lamanya proses
pengomposan. Penambahan kotoran kambing 30% (K2) dengan
perlakuan pencacahan kiambang menggunakan mesin (P2) merupakan kombinasi yang membutuhkan waktu lebih sedikit untuk mencapai kestabilan suhu (20 hari). Formulasi K2 dengan perlakuan pencacahan secara manual (P1) membutuhkan waktu fermentasi 5 hari lebih lama dibandingkan kombinasi K2P2. Selanjutnya, kombinasi K1P2 mengalami kestabilan suhu 10 hari lebih lama dibandingkan K2P2.
Gambar 9. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
K0P0 K1P1 K1P2 K2P1 K2P2
Lama proses pengomposan (hari)
S
u
h
u
(41)
Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa proses
pengomposan kiambang yang membutuhkan waktu lebih sedikit (<30 hari) mengalami kestabilan suhu (kematangan kompos) yaitu penambahan kotoran ternak 30% dengan perlakuan pencacahan kiambang baik secara manual maupun menggunakan mesin. Untuk melihat lebih jelas
perbedaan lamanya proses pengomposan kiambang berdasarkan
penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 10.
D. Mutu Kompos Kiambang
Mutu kompos kiambang akan dilihat dari kandungan unsur hara dan rasio C/N. Sebagaimana telah ditetapkan di muka, bahwa pengujian mutu kompos kiambang hanya akan dilakukan pada formulasi kompos dengan perlakuan yang paling cepat mencapai kestabilan suhu. Berdasarkan pembahasan sebelumnya diketahui bahwa formulasi K2 dan perlakuan P2 adalah komposisi yang paling cepat mencapai kestabilan suhu, yakni pada hari ke-20. Pengujian kandungan unsur-hara pada kompos
Lamanya proses pengomposan (hari)
0 10 20 30 40 50 60 70 80
K0P0 K0P1 K0P2 K1P0 K1P1 K1P2 K2P0 K2P1 K2P2 K o m b in a si fo rm u la si d a n p e rl a ku a n p e n ca ca h a n
Gambar 10. Lamanya proses pengomposan pada semua kombinasi formulasi dan perlakuan
(42)
kiambang (formulasi K2P2) dilakukan di Laboratorium Analisis Polinela dengan hasil disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kandungan unsur hara pada kompos kiambang No Parameter
Pengujian
Satuan Hasil Analisis
Metode
1 Nitrogen (N) % 1,866 Kjedahl
2 Karbon (C) % 12,642 Walkley – Black
3 Fhosfor (P) % 2,659 Spektrofotometri
4 Kalium (K) % 0,815 Flamefotometri
5 Magnesium (Mg) % 0,009 Volumetri
6 Kalsium (Ca) % 0,019 Volumetri
7 Sulfur (S) % 1,322 Spektrofotometri
8 Besi (Fe) % 0,002 Spektrofotometri
9 Tembaga (Cu) mg/kg 0,918 AAS
10 Zink (Zn) mg/kg 2,172 Spektrofotometri
11 Mangan (Mn) mg/kg 0,198 AAS
12 Boron (B) mg/kg Ttd Spektrofotometri
13 Molibdenum (Mo) mg/kg Ttd Spektrofotometri
14 Klorida (Cl) mg/kg 4,532 Volumetri
Sumber: diolah dari Laboratorium Analisa Polinela, 2013 Keterangan: ttd = tidak terdeteksi
Berdasarkan Tabel 9 diketahui dalam kompos kiambang dengan formulasi K2 terkandung 6 unsur hara makro dan 5 unsur hara mikro yang esensial dibutuhkan tanaman. Perbandingan kandungan unsur hara kompos kiambang terhadap baku mutu kompos BSN tahun 2004 disajikan pada Tabel 10.
(43)
Tabel 10. Perbandingan kandungan unsur hara kompos kiambang dengan baku mutu kompos BSN tahun 2004
Unsur Hara Satuan Kompos Kiambang
Standar Mutu Kompos dari BSN
Minimum Maksimum
C % 12,642 9,80 32
N % 1,866 0,40 *
C/N-rasio 6,775 10 20
P % 2,659 0,100 *
K % 0,815 0,200 *
Mg % 0,009 * 0,600
Ca % 0,019 * 25,500
Fe % 0,002 * 2,0
Mn mg/kg 0,198 * 100
Cu mg/kg 0,918 * 100
Zn mg/kg 2,172 * 500
Sumber: Diolah dari Laboratorium Analisis Polinela (2013) dan BSN (2004)
Berdasarkan BSN (2004) kompos yang bermutu apabila rasio C/N mendekati rasio C/N tanah (10–20). Mencermati Tabel 10, rasio C/N kompos kiambang lebih rendah dari standar kualitas kompos yang dikeluarkan BSN. Menurut Setyorini et al. (2006) apabila rasio C/N kompos tinggi (>30) kompos dinyatakan belum matang. Penggunaan kompos yang belum matang di lahan usahatani menyebabkan
dekomposisi yang lambat dan menghambat pertumbuhan tanaman karena kekurangan nitrogen tersedia. Sementara itu, rasio C/N yang terlalu
rendah (<15) mengakibatkan nitrat-N yang dapat mengurangi mutu tanaman pertanian. Dengan demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai formulasi pengomposan yang tepat agar rasio C/N kompos kiambang sesuai dengan standar (10–20).
Apabila ditinjau dari ketersediaan unsur hara, kompos kiambang cukup mengandung unsur hara makro dan mikro. Kompos kiambang
(44)
mengandung 6 unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan 5 unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, Mn, dan Cl). Berdasarkan Tabel 10, kandungan unsur hara makro pada kompos kiambang (N, P, dan K) cukup tersedia, sedangkan unsur S pada kompos kiambang tidak dapat dibandingkan dengan baku mutu kompos BSN tahun 2004 karena tidak tersedia data pembandingnya. Namun, kandungan unsur S pada kompos kiambang jauh lebih tinggi dibandingkan unsur Ca dan Mg (<0,1 %). Mengacu pada pendapat Agustina (2004) bahwa unsur hara makro yang esensial
dibutuhkan tanaman ada 6 unsur dan ke-6 unsur tersebut ada pada kompos kiambang. Dengan demikian, ditinjau dari kandungan unsur hara makro kompos kiambang layak digunakan untuk memperbaiki sifat kimia tanah.
Unsur hara mikro yang terdapat pada kompos kiambang hanya 5 unsur (Fe, Cu, Mn, Cl, dan Zn). Hasil pengujian di Laboratorium Analisis Polinela menunjukkan bahwa pada kompos kiambang tidak terdeteksi unsur Mo dan B. Kandungan unsur hara mikro kompos kiambang dibandingkan dengan baku mutu kompos BSN masih relatif rendah (<10 mg/kg). Oleh karena itu, mengingat ketersediaan unsur hara merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan tanaman, maka
formulasi kompos kiambang harus ditambahkan lagi bahan-bahan lain yang mengandung cukup unsur hara makro (terutama Ca dan Mg), serta unsur hara mikro (terutama Mo dan B). Semakin banyak variasi
pemanfaatan bahan yang melimpah di lingkungan petani (jerami padi, kulit buah kopi, dan kulit buah kakao) diharapkan mutu kompos kiambang akan semakin baik. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan
menambahkan variasi bahan yang lebih banyak agar diperoleh formulasi kompos kiambang yang paling baik dan memenuhi semua kriteria baku mutu kompos BSN tahun 2014.
(45)
Erdiansyah (2013) melaporkan, hasil kaji terap skala terbatas di pekarangan, penambahan kompos kiambang terhadap pertumbuhan tanaman tomat di polybag (Gambar 26 dan 27, lampiran 4) menunjukkan bahwa ada perbedaan pertumbuhan yang signifikan antara tanaman yang tidak diberi kompos kiambang dengan tanaman yang diberi kompos kiambang. Begitupula apabila dibandingkan dengan penambahan POG (Pupuk Organik Granul), dengan dosis aplikasi sama menunjukkan perbedaan. Tanaman yang diberi kompos kiambang pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pemberian POG. Indikator pertumbuhan ini dilihat dari tinggi tanaman dan panjang tangkai daun. Pada umur 30 hari setelah tanam, rata-rata tinggi tanaman tomat yang media tanamnya diberi kompos kiambang (1kg) mencapai 94,68 cm (rerata panjang tangkai daun 38,58 cm), sedangkan tanaman tomat yang media tanamnya diberi POG (1kg) hanya mencapai 74,60 cm (rerata panjang tangkai daun 33,96 cm). Sementara itu, tanaman tomat yang medianya tidak ditambahkan kompos (kontrol) pada umur yang sama (30 hari) tingginya hanya
mencapai 70,20 cm (rerata panjang tangkai daun 29,2 cm). Berasarkan pengkajian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan kompos kiambang mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang memacu baiknya pertumbuhan tanaman. Sebagaimana dikemukakan Setyorini et al. (2006) bahwa penambahan bahan organik ke lahan usahatani akan meningkatkan kegemburan dan kesuburan lahan. Hanafiah et al. (2005) di muka menambahkan bahwa bahan organik di dalam tanah akan mendukung kehidupan organisme tanah yang setiap aktivitasnya akan meningkatkan mutu tanah.
(46)
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahansan di muka dapat disimpulkan beberapa hal, sebagai berikut:
1) Alternatif solusi pengendalian gulma air di Waduk Batutegi Lampung dapat dilakuakan dengan menggiatkan kelompok tani untuk
memanfaatan kiambang sebagai bahan dasar kompos yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Selain itu,
berdasarkan analisa kadar proksimat, kiambang berpotensi dijadikan bahan campuran pakan ternak ruminansia.
2) Potensi bahan kering kiambang yang ada di areal genangan Waduk Batutegi mencapai 9.812,25 ton/tahun. Kompos yang dapat diproduksi dengan bahan kiambang murni (kadar air kompos 20%) mencapai 12.265,312 ton dapat memenuhi kebutuhan pupuk organik pada lahan kebun atau persawahan seluas 2453 ha/tahun (dengan asumsi
kebutuhan kompos 5 ton/ha/tahun).
3) Kombinasi penambahan kotoran ternak sebanyak 30% dari total bahan dan perlakuan pencacahan (baik secara manual maupun menggunakan mesin) terbukti dapat mempercepat proses pengomposan kiambang (<30 hari).
4) Rasio C/N kompos kiambang (6,775) lebih rendah dari batas minimum baku mutu kompos BSN tahun 2004 (10). Kandungan unsur hara makro (Ca dan Mg) sangat rendah (<0,1%) jauh di bawah batas maksimum baku mutu kompos BSN. Unsur hara mikro yang
(47)
dan Cl), sedangkan B dan Mo tidak terdeteksi. Untuk meningkatkan mutu kompos kiambang, perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan memperkaya variasi bahan-bahan lain yang cukup mengandung unsur hara dan banyak tersedia di lingkungan petani (seperti jerami padi, sekam kopi, dan kulit buah kakao).
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diusulkan saran-saran berikut: 1) Untuk meningkatkan efektifitas pengendalian kiambang di Waduk
Batutegi dengan mengolahnya menjadi kompos perlu diberdayakan semua kelompok tani yang ada di sekitar genangan Waduk Batutegi.
2) Pihak pengelola Waduk Batutegi dapat memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok tani yang sudah berupaya melakukan pengolahan kiambang menjadi kompos agar volume produksinya dapat meningkat sebagaimana telah dilakukan PT. PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bandar Lampung yang telah memfasilitasi berdirinya Unit Pengolahan Kiambang di Pekon Airnaningan yang dikelola Kelompok Tani
Sangarus Jaya.
3) Kepada para penyuluh dan petani di wilayah Kecamatan Airnaningan Perlu melakukan kaji terap terhadap kompos kiambang baik untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, maupun tanaman perkebunan secara lebih komprehensif sehingga dapat diketahui dampak
penambahan kompos kiambang terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
(48)
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, L. 2004. Dasar Nutrisi Tanaman. Rineka Cipta. Jakarta. Anonim. (2014). Jenis-jenis Kiambang.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kiambang, diakses tanggal 8 Februari 2014).
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. SNI 19-7030-2004.
Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung. 2006. Profil Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung. Lampung.
Cahaya TS, A., dan D. A. Nugroho. 2008. Pembuatan Kompos dengan menggunakan limbah padat organik (sampah sayur dan ampas tebu). Universitas iponegoro. Semarang.
(http://www.academia.edu/3374556/pembuatan_kompos_dengan_me nggunakan_limbah_padat_organik.pdf, diakses tanggal 8 Februari 2014)
Dirjen Perkebunan. 2006. Pemanfaatan Limbah Perkebunan.
(http://ditjenbun.pertanian.go.id/perbenpro/images/stories/Pdf/pedoma nlimbahbuku-nop.pdf, diakses tanggal 8 Februari 2014).
Divakaran, O., M. Arunachalam, dan N.B. Nair. 1980. Growth rates of Salvinia molesta Mitchell with special reference to salinity.
Proceedings of Indian Academy of Science, Plant Science, 89:161-168. Dalam: Farida 2011.
(http://farida-berbagipengetahuan.blogspot.com.html, diakses tanggal 21 Februari 2014).
Djaja, W. 2008. Langka Jitu Membuat Kompos dari Kotoran Ternak dan Sampah Kota. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Erdiansyah. 2013. Pengaruh Penambahan Pupuk Organik Sangarus (POS) dan POG terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat di
Pekarangan. Laporan Kaji Terap Skala Terbatas. BP3K Kecamatan Airnaningan. Tanggamus
(49)
Filliazati, M., I. Apriani, dan T.A. Zahara. 2013. Pengolahan Limbah Cair Domestik dengan Biofilter Aerob Menggunakan Media Bioball dan Tanaman Kiambang. Universitas Tanjungpura. Pontianak.
(http://www.academia.edu/6531621/pengolahan_limbah_cair_domesti k.pdf, diakses tanggal 8 Februari 2014).
Fachrudin, R. 2012. Evaluasi Kandungan Zat-Zat Makanan Kiambang (Salvinia molesta) di Waduk Batutegi Kecamatan Airnaningan Kabupaten Tanggamus. Universitas Lampung. Lampung.
Gaur, A.C. 1980. Rapid Composting. In Compost Technology. Project Field Document No. 13. Food ang Agriculture Organization of The United Nations. Dalam: Kompos. Setyorini et al. (2006).
Hadisuwito, S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Hanafiah, K. A., A. Napoleon, dan N. Ghofar. 2005. Biologi Tanah, Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Isrori dan N. Yuliarti. 2009. Kompos, Cara Mudah, Murah, dan Cepat Menghasilkan Kompos. Andi. Yogyakarta.
Loveless, A.R. 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik. Edisi ke-2. Gramedia. Jakarta.
Nataraja, K. 2008. Feasibility Of Using Salvinia molesta (D. S. Mitchell) For Composting, Vermicomposting, and Biogas Generation. Dharwad University of Agricultural Sciences. Dharwad.
(http://www.google.com/url?q=http://etd.uasd.edu/ft/th9730.pdf, diakses tanggal 21 Februari 2014).
Saraswati, R. dan Sumarno. 2008. Pemanfaatan Mikroba Penyubur Tanah sebagai Komponen Teknologi Pertanian. Dalam: Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 - 2008.
(http://www.google.com/search?client=firefox-
a&rls=org.mozilla%3Aen-US%3Aofficial&channel=jenis-jenis+spesies+mikroba+yang+berperan++dala+proses+pengomposan .pdf, diakses tanggal 8 Februari 2014).
Setyorini, D.R. Saraswati, dan E.K. Anwar. 2006. Kompos. Dalam: Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Editor Simanungkalit, R.D.M.et al. 2006.
(50)
Simanihuruk, K., dan J. Sirait. 2010. Silase Kulit Buah Kopi Sebagai Pakan Dasar pada Kambing Boerka Sedang Tumbuh. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veternier 2010. Sumatera Utara.
(http://www.google.com/url?q=http://lolitkambing.litbang.deptan.go.id/i nd/images/stories/pdf/pro10-82_kiston_simanihuruk.pdf, diakses tanggal 25 Februari 2014.
SQI. 2001. Guidelines for Soil Quality Assesment in Conservation Planning. Soil Quality Institute. Natural Resources Conservation
Service. USDA.Dalam: Partoyo (2005) Analisis Indeks Kualitas Tanah Pertanian di Lahan Pasir Pantai Samas Yogyakarta. Dalam: Ilmu Pertanian Vol. 12 No.2. 140–15.
(http://agrisci.ugm.ac.id/vol12_2/6.140-151.Indeks%20Kualitas%20Tanah.pdf, diakses tanggal 10 Februari 2014).
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik, Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisus. Yogyakarta.
Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB. 2012. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. CV Nutri Sejahtera. (http://anuragaja.staff.ipb.ac.id/files/2012/04/Buku-PBMT.pdf, diakses tanggal 5 Maret 2014).
USDA.2012. Klasifikasi kiambang.
(http://plants.usda.gov/classification/output_report.cgi?5, diakses tanggal 8 Februari 2014).
Whiteman, J. B. 1991. Aquatic Botany. Washington Cambridge university.
Dalam: Farida 2011.
(http://farida-berbagipengetahuan.blogspot.com/2011_04_01_archive.html, diakses tanggal 5 Maret 2014).
(51)
Lampiran 1.Peta Irigasi Way Sekampung
(52)
Lampiran 2.Standar mutu kompos
Tabel 11. Standar mutu kompos
No Parameter Pengujian Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % * 50
2 Temperatur oC Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 *
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 *
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10 *
13 C/N-rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,2 *
Unsur mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
25 Kalsium (Ca) % * 25,50
26 Magnesium (Mg) % * 0,60
27 Besi (Fe) % * 2,00
28 Aluminium (Al) % * 2,20
29 Mangan (Mn) % * 0,10
Bakteri
30 Fecal coli MPN/gr 1000
31 Salmonellasp. MPN/4 gr 3
Keterangan: *) nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
(53)
Lampiran 3.Jenis-jenis kiambang
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kiambang (gambar 12, 13, dan 14) Gambar 14. Pistia stratiotes
Gambar 12.Salvinia minima Gambar 13. Salvinia natans
(54)
Lampiran 4.Dokumentasi penelitian
Gambar 16. Kiambang di areal genangan Waduk Batutegi
Gambar 17. Pembuangan kiambang melaluai saluran
Gambar 18. Kiambang yang mengendap di dasar areal genangan berpotensi
menyebabkan pendangkalan
Gambar 19. Pengambilan kiambang di areal genangan Waduk Batutegi
(55)
Gambar 20. Pencacahan kiambang secara manual
Gambar 21. Pencacahan kiambang menggunakan mesin
Gambar 22. Proses pengomposan kiambang
Gambar 23. Pengomposan kiambang di bak pengomposan
(56)
Gambar 24. Kompos kiambang hampir matang
Gambar 25. Penghitungan bobot kering kiambang
Gambar 26. Kaji terap penerapan kompos kiambang skala terbatas pada tanaman tomat
Gambar 27. Perbedaan
pertumbuhan tanaman tomat (A2 = Tanah + kompos Kiambang 1kg; B2 = Tanah + POG 1 kg; C2 Tanah tanpa kompos (kontrol)
(1)
Lampiran 1.Peta Irigasi Way Sekampung
(2)
Lampiran 2.Standar mutu kompos
Tabel 11. Standar mutu kompos
No Parameter Pengujian Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % * 50
2 Temperatur oC Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25
6 Kemampuan ikat air % 58 *
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40 *
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10 *
13 C/N-rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,2 *
Unsur mikro
15 Arsen mg/kg * 13
16 Kadmium (Cd) mg/kg * 3
17 Kobal (Co) mg/kg * 34
18 Kromium (Cr) mg/kg * 210
19 Tembaga (Cu) mg/kg * 100
20 Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21 Nikel (Ni) mg/kg * 62
22 Timbal (Pb) mg/kg * 150
23 Selenium (Se) mg/kg * 2
24 Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
25 Kalsium (Ca) % * 25,50
26 Magnesium (Mg) % * 0,60
(3)
Lampiran 3.Jenis-jenis kiambang
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kiambang (gambar 12, 13, dan 14) Gambar 14. Pistia stratiotes
Gambar 12.Salvinia minima Gambar 13. Salvinia natans
(4)
Lampiran 4.Dokumentasi penelitian
Gambar 16. Kiambang di areal genangan Waduk Batutegi
Gambar 17. Pembuangan kiambang melaluai saluran
(5)
Gambar 20. Pencacahan kiambang secara manual
Gambar 21. Pencacahan kiambang menggunakan mesin
Gambar 22. Proses pengomposan kiambang
Gambar 23. Pengomposan kiambang di bak pengomposan
(6)
Gambar 24. Kompos kiambang hampir matang
Gambar 25. Penghitungan bobot kering kiambang
Gambar 26. Kaji terap penerapan kompos kiambang skala terbatas
Gambar 27. Perbedaan