Potensi Bobot Kiambang di Waduk batutegi sebagai Bahan Baku Kompos

33 Tanpa Nitrogen pada kiambang cukup tinggi dan hampir sama dengan kulit buah kakao, tetapi lebih tinggi dibandingkan dedak kasar. Dengan demikian, kiambang relatif lebih mudah dicerna dibandingkan dedak kasar dan dapat menjadi salah satu bahan campuran formula pakan ternak ruminansia. Fachrudin 2012 menyarankan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengolah kiambang menjadi formulasi pakan dan pengujiannya terhadap pertambahan bobot ternak.

B. Potensi Bobot Kiambang di Waduk batutegi sebagai Bahan Baku Kompos

1. Perhitungan luas areal genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang Data dari Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Sekampung menyebutkan luas genangan Waduk Batutegi pada kapasitas tampung efektif elevasi 274 m adalah 21 km 2 . Berdasarkan pengamatan di permukaan genangan Waduk Batutegi dimulai dari genangan induk hingga bagian hulu pada bulan April 2012 serta penguatan informasi pihak pengelola Waduk Tumijo, diperkirakan tidak kurang dari 75 permukaan air genangan tertutupi kiambang. Dengan demikian total luas areal genangan yang tertutupi kiambang dihitung sebagai berikut. Luas areal genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang = total luas genangan x 75 = 21 km 2 x 75100 = 15,75 km 2 = 15.750.000 m 2 Jadi total luas genangan Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang adalah 15.750.000 m 2 . 34 2. Perhitungan bobot kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi Untuk mengetahui total bobot kiambang dalam luas areal Waduk Batutegi yang tertutupi kiambang dilakukan pengambilan sampel kiambang pada petak pengamatan berukuran luas 4 m 2 sebagaimana disajikan pada Gambar 6. Pengamatan dilakukan di tiga titik, yaitu di Dermaga GT Waduk Batutegi dan di bagian hulu genangan Sungai Way Sangarus dan Way Sekampung. Masing-masing titik dilakukan tiga kali pengulangan. Rerata bobot kiambang di Waduk Batutegi yang diambil dari petak pengamatan di tiga titik pengamatan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil perhitungan bobot kiambang di Waduk Batutegi berdasarkan lokasi pengamatan Parameter pengukuran Rerata bobot kiambang per m 2 pada 3 lokasi pengamatan Rerata Dermaga GT Sungai Way Sangarus Sungai Way Sekampung .................................. Kg ................................. Bobobt kiambang segar 11,133 6,700 21,300 13,044 Bobot kiambang kering 0,531 0,320 1,017 0,623 Keterangan: Kiambang baru diangkat dari petak pengamatan dan ditiriskan selama 30 menit Konversi bobot kiambang setelah dilakukan penjemuran sampai bobotnya tetap Gambar 6. Petak pengamatan 35 Berdasarkan Tabel 7 diketahui rerata bobot kering kiambang dalam luasan 1 m 2 adalah 0,623 kg. Hasil pengamatan ini mengandung arti bahwa kadar air pada kiambang basah mencapai 95,224. Perhitungan total bobot kering kiambang yang menutupi genangan Waduk Batutegi adalah sebagai berikut: Total bobot kering kiambang = Rerata bobot kering kiambang dalam luasan 1 m 2 x luas genangan yang tertutupi kiambang = 0,623 kgm 2 x 15.750.000 m 2 = 9.812.250 kg = 9.812,25 ton Jadi total bobot kering kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi setiap tahun sebanyak 9.812,25 ton. Dengan demikian, potensi kiambang di Waduk Batutegi yang dapat diproduksi menjadi kompos cukup besar. Secara matematis, apabila kadar air kompos yang diproduksi maksimal 20, maka dengan bahan baku kiambang kering 9.812,25 ton akan menghasilkan kompos kiambang murni mencapai 12.265,312 ton. Apabila diasumsikan kebutuhan kompos lahan kebun atau sawah adalah 5 tonhatahun, maka kiambang yang tersedia di Waduk Batutegi dapat mencukupi kebutuhan kompos bagi lahan kebun atau sawah seluas 2453 hatahun. C. Pengaruh Penambahan Kotoran Ternak dan Perlakuan Pencacahan Terhadap Lamanya Proses Pengomposan Kiambang Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan dilihat dari perbedaan formulasi kompos, yakni formulasi K0P0, K1P0, K2P0. Selanjutnya, pengaruh perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan dilihat dari formulasi K0P1 dan K0P2. Sementara itu, untuk melihat pengaruh kedua variabel tersebut penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan terhadap 36 lamanya proses pengomposan dilihat dari formulasi K1P1, K1P2, K2P1, dan K2P2. Hasil pengamatan suhu pada proses fermentasi berdasarkan formulasi dan perlakuan pencacahan disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil pengamatan suhu pada proses fermentasi kiambang FORMU- LASI KOMPOS Suhu Kompos o C Berdasarkan Hari 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 K0P0 43,33 40,33 36 35 33,33 33 32 31,67 31,33 30,33 30,33 30 K0P1 45,33 41,33 37,67 34,33 33,33 33 32 31,67 31,33 30,67 30,33 29,67 K0P2 45,67 41,67 37,33 34,67 33 32,33 31,67 31,33 30 29,33 28,33 28 K1P0 45,67 43 37,33 34,67 33 32,33 31,33 31 30,33 29,67 29,33 28,67 K1P1 46,33 43 37 33,67 32,67 32 31,33 30,33 29,67 28,67 27,33 27 K1P2 47 40,33 34 30,67 28 27 27 27 27 27 27 27 K2P0 47,33 40,33 34,67 31,33 30,33 29 28,67 28 27,33 27 27 27 K2P1 47,67 38 31,33 29,33 27 27 27 27 27 27 27 27 K2P2 48,67 32 28,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 26,67 1. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K1P0, dan K2P0 disajikan pada Gambar 7. Gambar 7. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan kiambang Lama proses pengomposan hari 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 K0P0 K1P0 K2P0 S u h u o C 37 Mencermati Gambar 7, terlihat jelas ada perbedaan lamanya proses pengomposan antar formulasi. Formulasi K2P0 mencapai kestabilan suhu 27 o C pada hari ke-50, sedangkan formulasi K1P0 mencapai kestabilan suhu 28,67 o C pada hari ke-60. Sementara itu, formulasi K0P0 kontrol pada hari ke-60 suhunya masih relatif lebih tinggi 30 o C. Perbedaan komposisi kompos formulasi K1P0 dengan K2P0, yakni pada persentase penambahan kotoran ternak. Formulasi K2P0 ditambahkan 30 kotoran ternak, sedangkan formulasi K1P0 hanya sebanyak 10. Sejalan dengan pendapat Setyorini et al. 2006 di muka, bahwa prinsip kegiatan pengomposan adalah menurunkan rasio CN. Proses pengomposan akan berlangsung optimal apabila kadar CN bahan baku mendekati 30. Tabel 3 menunjukkan rasio CN kiambang adalah 36,93 30. Dengan demikian, untuk mempercepat proses pengomposan kiambang perlu dilakukan penurunan rasio CN. Penambahan kotoran kambing yang memiliki rasio CN 21,12, lebih rendah dibandingkan kiambang, sebagaimana dikemukakan Isrori dan N.Yuliarti 2009 akan menurunkan rasio CN bahan kompos dan pengomposan akan berlangsung lebih cepat. Kondisi ini dapat terlihat jelas pada Gambar 7 bahwa formulasi K0P0, yang merupakan kontrol dalam penelitian mengalami proses pengomposan yang lebih lama. Pada hari ke-60 diketahui suhu rata-rata pada formulasi kontrol masih mencapai 30 o C. Semakin banyak persentase penambahan kotoran kambing pada proses pengomposan kiambang terbukti dapat mempercepat proses pengomposan. 38 2. Pengaruh perlakuan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K0P1, dan K0P2 disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 diketahui bahwa perlakuan pencacahan pada formulasi K0 kiambang 100 hanya berpengaruh pada perlakuan P2 pencacahan dengan mesin. Namun demikian, pengaruh pencacahan yang tidak diikuti dengan penambahan kotoran ternak terbukti tidak mempercepat proses pengomposan. Pada perlakuan P2 terhadap kiambang K0 kompos mengalami kestabilan suhu baru pada hari ke 55. Apabila dibandingkan dengan perlakuan penambahan kotoran ternak pada Gambar 7, formulasi 70 kiambang dan 30 kotoran ternak K2 tanpa melakukan pencacahan kiambang P0, tampak kompos mengalami kestabilan suhu pada hari ke-50. Dengan demikian, penambahan kotoran ternak dalam proses pengomposan kiambang lebih berpengaruh dibandingkan perlakuan pencacahan saja tanpa menambahkan kotoran ternak. Kondisi ini dapat dipahami berdasarkan uraian di muka, bahwa menurut Isrori dan N. Yuliarti Gambar 8. Pengaruh pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 K0P0 K0P1 K0P2 Lama proses pengomposan hari S u h u o C 39 bahwa penambahan kotoran ternak akan menurunkan rasio CN bahan dan akan mempercepat kematangan kompos. 3. Pengaruh penambahan kotoran ternak dan pencacahan terhadap lamanya proses pengomposan kiambang Hasil pengamatan pengomposan formulasi K0P0, K1P1, K1P2, K2P1, dan K2P2 disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 memperlihatkan bahwa ada pengaruh signifikan terhadap kombinasi penambahan kotoran kambing K1 dan K2 dengan perlakuan pencacahan menggunakan mesin P2 terhadap lamanya proses pengomposan. Penambahan kotoran kambing 30 K2 dengan perlakuan pencacahan kiambang menggunakan mesin P2 merupakan kombinasi yang membutuhkan waktu lebih sedikit untuk mencapai kestabilan suhu 20 hari. Formulasi K2 dengan perlakuan pencacahan secara manual P1 membutuhkan waktu fermentasi 5 hari lebih lama dibandingkan kombinasi K2P2. Selanjutnya, kombinasi K1P2 mengalami kestabilan suhu 10 hari lebih lama dibandingkan K2P2. Gambar 9. Pengaruh penambahan kotoran ternak terhadap lamanya proses pengomposan 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 K0P0 K1P1 K1P2 K2P1 K2P2 Lama proses pengomposan hari S u h u o C 40 Berdasarkan hasil pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa proses pengomposan kiambang yang membutuhkan waktu lebih sedikit 30 hari mengalami kestabilan suhu kematangan kompos yaitu penambahan kotoran ternak 30 dengan perlakuan pencacahan kiambang baik secara manual maupun menggunakan mesin. Untuk melihat lebih jelas perbedaan lamanya proses pengomposan kiambang berdasarkan penambahan kotoran ternak dan perlakuan pencacahan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 10.

D. Mutu Kompos Kiambang