social yang keras seperti itu mereka tetap selalu megnutamakan sosialisasi yang terbaik bagi anak baik melalui segala bentuk nasehat, hukuman maupun imbalan jika
melakukan hal yang baik, hal tersebut dikatakan agar anak-anak yang mereka bawa tetap memiliki kepribadian yang baik nantinya.
4.3.3. Profil Ibu
Profil dari setiap ibu penjual pakaian bekas di sambu memiliki perbedaan dan cirikhas masing-masing, baik profil berdasarkan tingkat pendidikan, latar belakang
keluarga, tingkat kemampuan ekonomi maupun latar belakang budaya yang kesemuanya dapat mempengaruhi bagaiamana nantinya pola asuh yang akan
diberikan kepada anak-anaknya. Dibawah ini adalah hasil temuan lapangan berupa tingkat pendidikan yang
dimiliki oleh para pedagang penjual pakaian bekas secara keseluruhan yaitu: Tabel 4.5
No Tingkat Pendidikan
Jumlah Persentase
1 SD
100 27,5
2 SMP
139 38,0
3 SMA
121 33,2
4 Diploma dan Sarjana
4 1,3
Jumlah 364
100
Sumber : Data Koperasi Pedagang Kaki Lima Terminal Sambu 2009
Universitas Sumatera Utara
Menurut hasil temuan di lapangan terdapat 10 orang informan yang dimana masing-masing memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda satu sama lain
sebagai berikut: Tabel 4.6
No Tingkat Pendidikan
Jumlah Persentase
1 SD
2 20
2 SMP
3 30
3 SMA
3 30
4 Diploma dan Sarjana
1 10
Jumlah 10
100
Sumber : Data Primer Penelitian November 2009 – Februari 2010 Menurut data yang diperoleh melalui koperasi pedagang kaki lima terminal
sambu 2009, menjelaskan bahawa para penjual pakaian bekas secara keseluruhan masih memiliki latar belakang pendidikan yang rendah ini dibuktikan tingginya
jumlah pedagang yang hanya mengecap pendidikan sebatas tingkat SD yaitu sebesar 27,5 dengan jumlah 100 orang, kemudian tingkat SMP sebesar 38,0 dengan
jumlah 139 orang dan dengan jumlah keduanya adalah 239 orang, kemudian disusul dengan tamatan SMA dan yang mengecap pendidikan D-III sampai Sarjana sebanyak
33,2 dan 1,3 , yaitu dengan jumlah 125 orang. Dimana informan yang mengecap tingkat pendidikan SD adalah ibu Mesti dan
ibu Romauli, kemudian ibu yang mengecap pendidikan sampai tingkat SMP adalah ibu Maya, ibu Tiur, ibu Mila lalu ibu yang menyelesaikan pendidikan sampai tingkat
Universitas Sumatera Utara
SMA adalah ibu Rosdiana, ibu Lenta, ibu Eva dan ibu Rosmeri dan terdapat seorang informan yang telah mencapai tingkat kuliah yaitu D-III yaitu ibu Lentawati.
Tampak bahwa tingkat pendidikan yang dikecap oleh para penjual pakaian bekas di jalan rupat sambu masih rendah, dan hal ini dapat memberikan pengaruh
terhadap proses sosialisasi yang akan diberikan terhadap anaknya yang dibawa ke dalam lingkungan sosialisasi sekunder berupa jalan rupat sambu kota medan yang
terkenal dengan kawasan yang memilki lengkungan social yang keras dan tidak memilki control social ini. Bagaiamana pengaruh latar belakang pendidikan ibu
dengan cara mereka melakukan pola asuhnya terhadap anak-anak mereka, hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa hasil wawancara dibawah ini:
Ibu Maya yang merupakan penjual pakaian bekas yang berjualan sambil membawa anak ke kawasan jalan rupat sambu dan telah mengecap pendidikan
terkahir sampai tingkat SMP mengatakan :
“…Untuk anak nantulang, orang itu nantulang carikkan guru lesnya dirumah, karena banyak mahasiswa dekat rumah jadi saya suruh
aja mereka ngajar anak saya walaupun harus mengeluarkan biaya tambahan asal nanti anak saya ini bisa jadi anak yang pintar dan
saya mengharapkan anak-anak saya ini bisa lebih dari orangtuanya nanti sehingga tidak perlu capek lagi untuk mencari uang seperti
orangtuanya…”
Hal yang senada juga disampaikan oleh ibu Romauli yang mengecap pendidikan terakhir SD ini menyatakan pendapatnya mengenai pendidikan terhadap
anaknya adalah sebagai berikut:
“…karena nantulang dulu hanya tamat SD maka nantulang merasakan bahwa pendidikan itu sangat perlu kepada anak-anak
nantulang, karena dulu nantulang hanya sekolah sampai SD krena malas untuk belajar, jadinya nantulang tidak sekolah lagi, maka
Universitas Sumatera Utara
untuk itu nantulang gak mau anak nantulang jadi kek nantulang maka anak-anak nantulang nantinya harus bisa sampai perguruan
tinggi supaya dapat menjadi orang sukses…” Ibu Lentawati yang merupakan penjual pakaian bekas yang merupakan
salah seorang informan yang mengecap pendidikan terakhir sampai tingkat D-III ini menyatakan bahwa:
“…anak bagi saya harus dapat menjadi anak yang mempunyai pendidikan tinggi, saya bekerja disini bukan untuk main-main namun
untuk dapat menyekolahkan anak saya saya nantinya sampai setinggi langit, karena walaupun saya sudah sampai D-III saja hanya bisa
bekerja seperti ini jadi anak saya nanti harus dapat memiliki pendidikan tinggi agar dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik
lagi…” Namun tidak seluruhnya ibu-ibu pedagang pakaian bekas ini memperhatikan
pendidikan anaknya Ibu Rosmeri yang menyatakan seperti berikut:
“…untuk anak, tugas nantulang hanya menyekolahkannya saja, kalau nanti dia mau diatur ya bagus, tapi kalau memang sudah
diatur tapi tetap tidak berubah ya itu terserah dia, yang penting sudah disekolahkan, karena kunci keberhasilan itu hanya ada pada
anak itu sendiri….”
Pada dasarnya Ibu penjual pakaian bekas yang membawa anaknya untuk berjualan sangatlah memperhatikan dan mengutamakan pendidikan anak-anak
mereka semua ini dilakukan dengan alasan bahwa mereka tidak mau jika anaknya nanti akan susah layaknya mereka sekarang, karena mereka sangat
mengharapkan bahwa anak-anak mereka akan menjadi anak-anak yang berhasil, mereka menyatakan bahwa mereka bekerja keras seperti sekarang adalah untuk
masa depan anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
Dari hasil temuan semua diatas tampak bahwa profil ibu yang memilki pendidikan yang berbeda-beda tetap memiliki perilaku yang mementingkan
pendidikan bagi anak-anak mereka, walaupun selalu berinteraksi ditengah lingkungan social yang keras namun selalu mengutamakan masa depan anaknya karena adanya
anggapan bagi para ibu ini bahwa anak adalah harta kekayaan yang terbesar bagi mereka, dimana tampak bahwa profil ibu yang kuat sangat mempengaruhi
kepribadian anak, karena ternyata ibu penjual pakaian bekas ini tidak terlena dengan keadaan lingkungan yang keras dan tidak memiliki control social, ibu penjual pakaian
bekas tetap mengutamakan pendidikan anak. Selain latar belakang pendidikan yang berbeda-beda, faktor lain yang dapat
memberikan pengaruh terhadap warna kepribadian anak adalah latar belakang budaya, ibu penjual pakaian bekas yang berjualan di jalan rupat sambu terdiri dari
berbagai suku bangsa seperti menurut data dibawah ini: Table 4.7
No Etnis
Jumlah Persentase
1 Batak toba
330 90,7
2 Batak karo
26 7,1
5 Etnis lain
5 2,2
Jumlah 364
100
Sumber : Data Koperasi Pedagang Kaki Lima terminal Sambu 2009 Menurut hasil temuan diatas, menerangkan bahwa mayoritas penjual pakaian
bekas yang berjualan di jalan rupat sambu adalah masyarakat yang beretnis suku
Universitas Sumatera Utara
bangsa batak, yaitu batak toba sebanyak 90,7 dengan jumlah 330 orang dan suku bangsa batak karo sebesar 7,1 dengan jumlah 26 orang dan etnis lain seperti suku
bangsa jawa, padang sebesar 2,2 dengan jumlah 5 orang. Menurut hasil temuan di lapangan terdapat 10 orang informan yang dimana
masing-masing memiliki latar belakang budaya sebagai berikut: Tabel 4.8
No Etnis
Jumlah Persentase
1 Batak toba
9 90
2 Batak karo
1 10
Jumlah 10
100
Sumber : Data Primer Penelitian November 2009 – Februari 2010 Menurut hasil temuan diatas, hampir seluruhnya memiliki suku bangsa batak
toba, berdasarkan hal tersebut latar belakang budaya dapat memberikan pengaruh terhadap pola asuh yang diberikan oleh ibu kepada anak, hal tersebut dapat dilihat
melalui beberapa hasil wawancara dibawah ini: Ibu Lentawati yang merupakan suku bangsa batak toba ini menyatakan:
“…anak merupakan harta kekayaan bagi kami dek, jadi kalau bahasa bataknya adalah anakoki do hamoraon di au jadi walaupun di
tengah kondisi lingkungan sambu yang terkenal keras dan mengerikan, tentunya anak harus dapat kita lindungi dengan baik…”
Hal senada seperti yang diungkapkan oleh ibu Rosdiana purba yang menyatakan bahwa:
“…saya bekerja keras seperti sekarang ini di sambu ini bukan ingin membuat anak menjadi anak yang bandal karena pengaruh dari
Universitas Sumatera Utara
lingkungan sambu ini, tapi saya berjualan disini membawa anak karena memang tidak ada yang menjaganya dirumah, tapi bukan
karena dia ikut dia tidak dijaga disini, tapi anak saya adalah yang utama anak bag kami orang batak adalah kekayaan makanya dia
yang paling utama, jangan karena jualan disini anak saya yang menjadi korban, karena saya jualan disini juga untuk anaknya…”
Dari kedua faktor tersebut yakni latar belakang pendidikan ibu maupun latar
belakang budaya sangat mempengaruhi ibu untuk tetap memberikan perhatian dan memberi perlindungan kepada anak-anak mereka, tampak ibu yang tetap tidak
menjadi terpengaruh oleh lingkungan sambu, para ibu ini tetap selalu memperhatikan dan memberi perhatian terhadap anak, dapat disimpulkan bahwa Suku bangsa batak
toba meletakan nilai pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Untuk pendidikan, keluarga suku bangsa batak toba satu dan lainnya sangat
berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknnya. Hal ini dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba, bahwa jalan
menuju tercapainya. Kekayaan hamoraon dan kehormatan hasangapon adalah melalui pendidikan. Namun diantara nilai-nilai tersebut, anak hagabeon merupakan
nilai yang paling penting. Dalam nilai gäbe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan.
4.3.4. Seperangkat Peran Yang Dilakukan Ibu Penjual Pakaian Bekas