lingkungan sambu ini, tapi saya berjualan disini membawa anak karena memang tidak ada yang menjaganya dirumah, tapi bukan
karena dia ikut dia tidak dijaga disini, tapi anak saya adalah yang utama anak bag kami orang batak adalah kekayaan makanya dia
yang paling utama, jangan karena jualan disini anak saya yang menjadi korban, karena saya jualan disini juga untuk anaknya…”
Dari kedua faktor tersebut yakni latar belakang pendidikan ibu maupun latar
belakang budaya sangat mempengaruhi ibu untuk tetap memberikan perhatian dan memberi perlindungan kepada anak-anak mereka, tampak ibu yang tetap tidak
menjadi terpengaruh oleh lingkungan sambu, para ibu ini tetap selalu memperhatikan dan memberi perhatian terhadap anak, dapat disimpulkan bahwa Suku bangsa batak
toba meletakan nilai pendidikan sebagai hal yang utama dalam kehidupan mereka. Untuk pendidikan, keluarga suku bangsa batak toba satu dan lainnya sangat
berkompetisi dalam menyekolahkan anak-anaknnya. Hal ini dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba, bahwa jalan
menuju tercapainya. Kekayaan hamoraon dan kehormatan hasangapon adalah melalui pendidikan. Namun diantara nilai-nilai tersebut, anak hagabeon merupakan
nilai yang paling penting. Dalam nilai gäbe, juga tercakup unsur-unsur kaya dan kehormatan.
4.3.4. Seperangkat Peran Yang Dilakukan Ibu Penjual Pakaian Bekas
Berdasarkan hasil temuan lapangan yang didapat, Para Penjual pakaian bekas Sambu mayoritas adalah kaum perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dalam table
berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.9 No
Jenis Kelamin Jumlah
Persentase 1
Laki – Laki 100
27,5 2
Perempuan 264
72,5
Jumlah 364
100
Sumber : Data Koperasi Pedagang Kaki Lima terminal Sambu 2009 Para perempuan yang telah menjadi ibu ini bekerja sebagai penjual pakaian
bekas di jalan rupat sambu dan mereka dikenal dengan sebutan Inang-Inang Sambu, selain bekerja sebagai penjual pakaian bekas para perempuan ini juga melakukan
seperangkat peran yakni menjaga anak di tengah lingkungan sosial yang terkenal kurang memiliki kontrol sosial yang baik dan juga terdapatnya banyak preman yang
menganggu ketentraman para pedagang dan masyarakat. Para pedagang yang menjadi informan mengatakan bahwa mereka tidak
merasa beban jika mereka harus bekerja sambil menjaga anak di tengah lingkungan sambu yang terkenal keras, Ibu Maya menuturkan bahwa menjaga anak sambil
berjualan bukanlah hal yang berat baginya karena sejak kecil sudah terbiasa dengan hidup susah, hal tersebut dinyatakan dalam penuturannya sebagai berikut:
“…kalau beban ya enggak lah dek karena udah terbiasa sejak kecil hidup keras, apalagi dalam hal menjaga anak tentu hal tersebut
yang paling diutamakan karena bagi orang batak ada semboyan yaitu anakoki do hamoraon dia au anakku adalah kekayaanku …”
Tidak berbeda dengan dengan pernyataan dari Ibu Tiur sebagai berikut:
“...memang merasa berat kalau harus menjaga anak sambil berjualan di sambu ini, namun untuk mencari uang maka saya
Universitas Sumatera Utara
harus dapat melakukannya dan karena sudah biasa maka saya sudah bisa mengontrol semua dengan baik...”
Dari hasil temuan diatas tampak bahwa para penjual pakaian bekas menyatakan tidak merasakan beban yang berarti jika harus melakukan seperangkat
peran yakni berjualan sambil menjaga anak, hal tersebut diakui karena para ibu ini mengaggap bahwa semua itu dilakukan demi anak-anak mereka dan memang para ibu
sudah terbiasa untuk hidup keras. Ibu-Ibu yang berjualan di sambu harus berperilaku untuk menjaga ataupun
mengasuh anak karena itu merupakan tuntutan dari statusnya sebagai seorang Ibu, walaupun sudah berkerja untuk mencari nafkah sebagai penjual pakaian .Perilaku
yang ditunjukkan oleh ibu penjual pakaian bekas ini menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh
budaya, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntut kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari Robert Linton 1936.
4.1.5. Pola Pengasuhan Anak Di Kawasan Jalan Rupat Sambu