Para wanita menyatakan bahwa mereka merasa lebih baik dan lebih kuat setelah mobilisasi awal. Komplikasi kandung kencing dan konstipasi kurang
sering terjadi. Yang penting, mobilisasi dini juga menurunkan banyak frekuensi trombosis dan emboli paru pada masa nifas. Mobilisasi dini tentu tidak
dibenarkan pada ibu postpartum dengan penyulit, misalnya anemia, penyakit jantung, penyakit paru–paru, demam, dan sebagainya. Penambahan kegiatan
dengan early ambulation harus berangsur–angsur, jadi bukan maksudnya ibu segera setelah bangun dibenarkan mencuci, memasak, dan sebagainya Yeyeh,
2011.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Mobilisasi Dini
1. Faktor fisiologis
a. Suhu Tubuh
Menurut Ambarwati 2009, suhu ibu kembali normal dari suhu yang sedikit meningkat selama periode pascasalin dan stabil dalam 24 jam pertama
pascasalin. Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,2 C dalam satu hari 24
jam. Dapat naik ≤ 0,5
C dari keadaan normal menjadi sekitar 37,5 C – 38
C namun tidak akan melebihi 38
C. Hal ini sebagai akibat kerja keras waktu melahirkan, kehilangan cairan dan kelelahan. Sesudah 2 jam pertama melahirkan
umumnya suhu badan akan kembali normal. b.
Perdarahan Perdarahan pascasalin paling sering diartikan sebagai keadaan kehilangan
darah lebih dari 500 ml selama 24 jam pertama sesudah kelahiran bayi. Perdarahan pascasalin adalah merupakan penyebab penting kehilangan darah
serius yang paling sering dijumpai di bagian obstetrik. Penilaian resiko pada saat
Universitas Sumatera Utara
antenatal tidak dapat memperkirakan akan terjadinya perdarahan pascasalin. Penanganan aktif kala III sebaiknya dilakukan pada semua wanita yang bersalin
karena hal ini dapat menurunan insiden perdarahan pascasalin akibat atonia uteri. Semua ibu pascasalin harus dipantau dengan ketat untuk mendiagnosis perdarahan
fase persalinan. Atonia uteri merupakan sebagian besar penyebab terjadinya perdarahan pascasalin. Ada beberapa keadaan yang menjadi predisposisi
terjadinya atoni uteri, yaitu distensi dinding rahim yang berlebihan kehamilan ganda, polihidramnion atau makrosomia janin, pemanjangan masa persalinan dan
grandemultiparitas Saleha Marmi, 2012. c.
Tingkat Nyeri Menurut Kozier dan Erb dalam Tamsuri, 2007, nyeri adalah sensasi
ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman dan fantasi luka. Mengacu pada teori dari
Asosiasi Nyeri Internasional, pemahaman tentang nyeri menitikberatkan bahwa nyeri adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan nyeri
menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa fisik. Intensitas nyeri juga merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan
oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda. 1
Pengukuran intensitas nyeri Menurut Perry dan Potter 2005, nyeri tidak dapat diukur secara objektif
seperti dengan menggunakan sinar- X atau pemeriksaan darah. Tipe nyeri yang muncul dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang hanya
bisa mengkaji nyeri dengan mengacu pada ucapan dan perilaku klien. Klien
Universitas Sumatera Utara
kadang-kadang diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya tersebut sebagai nyeri ringan, nyeri sedang, atau nyeri berat. Bagaimanapun makna dari
istilah tersebut berbeda. Tipe nyeri berbeda pada setiap waktu. Gambaran skala nyeri merupakan makna yang lebih objektif yang dapat diukur. Gambaran skala
nyeri tidak hanya berguna dalam mengkaji beratnya nyeri, tetapi juga dapat mengevaluasi perubahan kondisi klien.
Intensitas nyeri mengacu kepada kehebatan nyeri itu sendiri, untuk menentukan derajat nyeri, dapat menanyakan klien tentang nyeri yang dirasakan,
skala penilaian numerik lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10 skala
paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri. Intensitas nyeri dapat dilihat sebagai berikut :
1 Skala intensitas nyeri deskriptif
2 Skala identitas nyeri numerik
: Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik
Universitas Sumatera Utara
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat terkontrol: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat tidak terkontrol : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
D. Waktu Pelaksanaan Mobilisasi