Imam Al-Mawardi dalam bukunya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan sembilan tugas kekuasaan yudikatif yaitu: 1 memutuskan atau menyelesaikan perselisihan,
pertengkaran, dan konflik. Dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara sukarela atau memaksakeduanya berdamai; 2 membebaskan orang-orang yang tidak
bersalah dari sanksi dan hukuman, serta memberikan sanksi kepada yang salah, baik dengan dari pengakuan maupun dengan dilakukannya sumpah; 3 menetapkan penguasa harta
benda orang-orang yang tidak menguasai sendi karena gila, masih kanak-kanak atau idiot; 4 mengelola harta wakaf dengan menjaga harta pokoknya, mengembangkan cabang-cabang,
menahannya dan mengalokasikan ke posnya; 5 melaksanakan wasiat-wasiat berdasarkan syarat-syarat pemberian wasiat dalam hal-
hal yang diperbolehkan syari‟at dan tidak melanggarnya; 6 menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang
sekufu‟ selevel, jika merdeka tidak mempunyai wali dan sudah memasuki usia menikah; 7 melaksanakan hudud
hukuman syar‟i kepada orang-orang yang berhak menerimanya; 8 memikirkan kemaslahatan umum diwilayah kerjanya dengan melarang semua gangguan dijalan-jalan dan
halaman-halaman rumah dan meruntuhkan bangunan-bangunan illegal; 9 mengawasi para saksi dengan pegawainya, serta memilih orang-orang yang mewakilinya.
50
D. Konsep Pengawasan Hakim dalam Peradilan Islam
Pada masa awal, kekuasaan peradilan berada sepenuhnya pada tangan Rasul. Beliau disamping sebagai kepala Negara juga berfungsi sebagai hakim tunggal. Namun, setelah
wilayah negeri Islam berkembang dan meluas ke luar Madinah, beliau memberikan mandat kepada beberapa orang sahabat untuk bertindak sebagai hakim. Rujukan yang digunakan
50
Imam Al-Mawardi, Terj. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah: Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Negara Islam, Jakarta, Darul Falah, 2000, Cet. Pertama, hlm. 132.
ketika itu adalah Al- qur‟an, Sunnah Nabi, dan Ijtihad mereka sendiri, ketika mereka tidak
menemukannya didua rujukan pertama.
51
Kemudian, setelah masa Khulafah al-Rasyidin, terutama pada masaUmar bin Khattab, tata laksana peradilan mulai diatur antara lain dengan mengadakan penjara, dan
pengangkatan sejumlah hakim serta menyusun risalah al-qadha semacam hukum acara peradilan sebagai acuan bagi hakim. Namun demikian, para hakim bekerja sendiri tanpa ada
“katib” panitera dan tanpa registrasi dan administrasi peradilan, bahkan pada awalnya mereka bersidang dirumah mereka sendiri dan kemudian pindah ke masjid, serta mereka
sendiri yang melaksanakan eksekusi keputusan pengadilannya.
52
Pada masa Umayyah peradilan terus berkembang, diantaranya adalah jabatan Qadhi yang mulai berkembang menjadi profesi tersendiri dan dilakoni oleh orang yang ahli dibidangnya.
Pada masa Bani Umayyah ini juga dilakukan pembukuan serta penulisan perkara-perkara yang diputuskan dengan merancang sistem pengawasan dan pengadilan serta prinsipnya.
Sebab pada masa Rasulullah S.A.W. Dan dan Khulafa al-Rasyidin belum ada perselisihan pendapat tentang hukum-hukum yang telah menjadi putusan. Dalam permulaan Islam
peradilan merupakan sebuah sistem yang selain mencangkup proses peradilan, juga mencangkup hal-hal atau lembaga lainnya yang saling mendukung satu sama lain.
53
Adapun bentuk “lembaga pengawasan” terhadap peradilan juga bisa ditemukan dalam sejarah peradilan di zaman Nabi Muhammad Saw. Fungsi pengawasan itu dilakukan oleh
Wahyu Allah S.W.T. terhadap Nabi Muhammad S.A.W. Rasulullah S.A.W. juga melakukan
51
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 2- 3.
52
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 3.
53
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 3- 4.
pengawasan secara evaluasi terhadap sahabat yang ditunjukkannya untuk menjalankan peradilan. Jika putusan sahabat itu salah, tentu Nabi Muhammad S.A.W. pun akan segera
mengoreksinya.
54
Karena setiap keputusan hakim tentang suatu perkara kadangkala diperdebatkan dasar hukum dan keshahihannya oleh para mujtahid yang mengetahui kasus tersebut beserta
hukum yang mungkin benar menurut pendapatnya, pada akhirnya khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu
kebanyakan bukan murni keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat dikatakan bahwa pada
awalnya Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu
akhirnya ditinggalkan. Khalifah hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya
memiliki otoritas dan independenitas yang tinggi.
55
54
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 6- 7.
55
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 3- 7.
Universitas Islam Negeri
SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA
35
BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA