13
BAB II PERADILAN DALAM ISLAM
A. Sejarah Peradilan Islam
Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan
umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan.
11
Dalam Islam peradilan disebut qadha artinya menyelesaikan, seperti firman Allah:
“Dan ingatlah, ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nimat kepadanya dan kamu juga telah memberi nimat kepadanya: Tahanlah terus
isterimu dan bertakwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya menceraikannya, Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mumin untuk mengawini isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan
adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi
”. Q.S. al-Ahjab: 37
Ada juga yang berarti menunaikan seperti firman Allah SWT :
11
Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama, hlm. 1.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung
”. Q.S. al- Jumu‟ah: 10
Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: a Lembaga hukum tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan, b Perkataan yang harus dituruti
yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukumn atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya.
Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena
hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu syariat telah ada
sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan
menetapkan sesuatu yang belum ada.
12
Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad 38 ayat 26, yaitu:
12
Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama, hlm. 2.
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan hari perhitungan .”
Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah 5 ayat 49:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah
kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan
Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik
.”
13
Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al-
Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun yang harus ditetapkan, yaitu: 1 Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk
menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu, 2 Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan
perselisihan dan memutuskan persengketaan, 3 Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat
apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki penolakan yang berupa penolakan atas
13
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 11-12.
gugatannya, 4 Al- Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, 5 Al-
Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata.
14
Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya:
“Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala .”
Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradilan, yaitu: 1 Wilayah al-Qadha, yaitu lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan
biasa, 2 Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan
perangkatnya, 3 Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus pelanggaran moral dalam rangka
amar ma‟ruf nahi munkar.
15
Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan,
kerajaan, pemerintahan.
16
Menurut Lois Ma ‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al-
malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah.
17
Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan,
14
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 13-14.
15
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 15.
16
Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Jajarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Pertama, hlm. 118.
penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya
proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa
Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif.
18
Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu Sultah Tanfiziyyah kekuasaan penyelenggara undang-undang, Sultah Qadhaaiyyah kekuasaan
kehakiman itu belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada dalam satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan
kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.
19
Peradilan telah lama dikenal sejak dari zaman purba dan dia merupakan satu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan berdiri tanpa adanya suatu peradilan.
Karena peradilan itu adalah untuk menyelesaikan segala sengketa diantara para penduduk. Peradilan itu adalah suatu tugas suci yang diakui oleh seuruh bangsa, baik mereka tergolong
bangsa-bangsa yang telah maju ataupun yang belum. Didalam peradilan itu terkandung menyuruh
ma‟ruf dan mencegah munkar. Menyampaikan hak kepada yang harus menerimanya dan menghalangi orang yang zalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan
peradilan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila
17
Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997,Cet. Pertama, hlm. 650.
18
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16567.
19
Salim Ali Al-Bahansi, wawasan Sistam Politik Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996, Cet. Pertama, hlm.53.
peradilan tidak terdapat dalam suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat yang kacau balau.
20
Kekuasaan peradilan adalah suatu kekuasaan yang mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang wajib dipatuhin oleh para hakim didalam pemerintahan Romawi, Persia
dan lain-lain. Hal-hal yang sangat dipentingkan oleh bangsa-bangsa yang telah lalu dalam menyusun peradilan, ialah kecakapan hakin dan kebaikan budi pekertinya. Karena itu mereka
tidak mengangkat seseorang untuk menjadi hakim kecuali orang yang mempunyai kemampuan yang sempurna untuk menjadi hakim serta mempunyai kepribadian yang tinggi.
Dan hakim itu dilindungi dengan berbagai aturan yang memungkinkan hakim bergerak secara bebas.
21
Bangsa Arab di zaman Jahiliyah, tidak mempunyai Sulhtahtasyri‟iyah badan legislatif
yang menyusun dan membuat Undang-undang atau aturan-aturan. Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Kepala-kepala kabilah
memutuskan hukum antara anggota kabilah dengan adat kebiasaan mereka. Adat-adat kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang
berdiam disekitar mereka, seperti bangsa Romawi, Persia dan sebagainya, atau yang berdiam bersama-sama didaerah tersebut, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
22
Perkembangan kekuasaan peradilan pada dasarnya tidak lepas dari sejarah perkembangan masyarakat dan politik Islam. Oleh karena itu sebagaimana dijelaskan Muhammad Salam
20
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua, hlm. 3.
21
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua, hlm. 4.
22
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua, hlm. 4-5.
Madkur Guru Besar Hukum Islam, Universitas Cairo para ahli, membagi sejarah peradilan Islam kedalam beberapa masa dengan cirri-ciri atau tandanya masing-masing.
23
Setelah Nabi Muhammad S.A.W diangkat menjadi Rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun.
Kondisi umat Islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbeda dengan Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat Islam semakin banyak, sementara
Rasulullah S.A.W dijadikan sebagai pemimpin oleh masyarakat Madinah baik umat Islam maupun non-Islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan
agama dan tuntutan syari‟ah.
24
Masa Rasulullah S.A.W. Kedudukan Rasulullah S.A.W, disamping sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, juga menangani langsung urusan yang berkaitan dengan kekuasaan
yudikatif; artinya, kekuasaan peradilan belum dipisahkan dari kekuasaan Nabi S.A.W sebagai pelaksana perundang-undangan. Segala urusan yang menjadi kewenangan as-Sulthah
al-Qadhaiyyah semuanya tertumpu ditangan penguasa. Setelah wilayah kekuasaan Islam semakin luas, penanganan kekuasaan ini dibantu oleh beberapa orang sahabat yang dikirim
ke beberapa daerah untuk bertindak sebagai penguasa sekaligus sebagai pemegang kekuasaan dalam bidang peradilan. Disamping itu, ada diantara sahabat yang diperbantukan oleh
Rasulullah S.A.W untuk menangani tugas-tugas peradilan ini yang ditempatkan dipusat pemerintahan, seperti Umur bin Khatab w.23H644M, atau yang diutus kedaerah atas nama
Rasulullah S.A.W, seperti Ali bin Abi Thalib w. 40H661M dan Mu‟as bin Jabal
23
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16568.
24
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 37.
w.18H639M ke Yaman. Sumber hukum bagi peradilan pada masa ini hanya Al- Qur‟an
dan Hadits Nabi S.A.W.
25
Setelah Nabi Muhammad S.A.W. Sahabat, sebagai generasi Islam pertama, meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad S.A.W. merupakan
peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebalum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusa memilih pengggantinya sebagai pemimpin Negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang
terpilih menjadi pemimpin umat Islam. Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khatab, Umar bin Khatab digantikan oleh Utsman bin Affan, dan Utsman bin Affan digantikan dengan Ali
bin Abi Thalib. Empat pemimpin umat tersebut dikenal sebagai Khulafah al-Rasyidun para pemimpin yang diridhai.
26
Abu Bakar adalah ahli hukum yang tinggi mutunya. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634M. Sebelum masuk Islam, ia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani, ikut aktif
mengembangkan dan menyiarkan Islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang terkemuka banyak orang memeluk agama Islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan
Islam ternama. Dan karenahubungnnya yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad Saw., beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa Islam lebih dari yang lainnya. Karena
itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali.
27
Di masa Abu Bakar tidak tampak ada suatu perubahan dalam lapangan peradilan ini, karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad, sepeninggal
25
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16568.
26
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 57.
27
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 59.
Rasulullah S.A.W., dan kaum pembangkang menunaikan zakat dan urusan-urusan politik dan pemerintahan lainnya disamping belum melusnya wilayah kekuasaan Islam pada masa itu.
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi Muhammad S.A.W., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum diantara umat Islam di Madinah. Sedangkan para
Gubernurnya memutuskan hukum diantara manusia didaerah masing-masing diluar Madinah. Adapun sumber hukum pada Abu Bakar adalah Al-
Qur‟an, Sunnah, dan Ijtihad seteh pengkajian dan musyawarah dengan para sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa
pemerintahan Abu Bakar ada tiga kekuatan, 1 Quwwat al- Syari‟ah legislatif, 2 Quwwat
al-Qadhaiyyah yudikatif didalamnya masuk peradilan dan 3, Quwwat al-Tanfiziyyah eksekutif.
28
Di masa pemerintahan Umar bin Khatab, daerah Islam telah luas, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi, telah berbagai corak
ragamnya dan pergaulan orang-orang Arab dengan orang lain pun sudah sangat erat. Karena itu Khalifah Umar tidak dapat menyelesaikan sendiri perkara-perkara yang diajukan
kepadanya. Maka Umar mengangkat beberapa orang hakim untuk menyelesaikan perkara, dan mereka pun digelari hakim qadhi. Kh
alifah Umar mengangkat Abu Darda‟ untuk menjadi hakim di Madinah, Syuraih di Basrah, Abu Musa Al-
Asy‟ari di Kufah, Utsman Ibn Qais Ibn Abil „Ash di Mesir, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Umar lah
yang mula-mula memisahkan kekuasaan yudikatif dan eksekutif.
29
Pemerintahan Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pada masa masing-masing dalam bidang kekuasaan yudikatif ini, meneruskan kebijakan yang telah ditetapkan oleh
28
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 59-60.
29
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. Kedua, hlm. 15-16.
Umar sebagai khalifah pendahulunya. Sumber hukum lembaga peradilan pada masa ini adalah Al-
Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.
30
Masa Daulah Umayyah, kekuasaan yudiklatif mengalami kemajuan lagi, khususnya dalam bidang administrasi peradilan dan proses berperkara yang menyangkut hukum acara
atau hokum formil, yang sebelumnya belum diterbitkan. Pada masa ini diadakan pencatatan terhadap putusan pengadilan sebagai dokumen resmi pemerintah. Meskipun situasi politik
pada masa ini baru saja mengalami perubahan dari system demokrasi kesistem monarki, pemegang kekuasaan yudikatif dalam menyelesaikan urusannya tidak terpengaruh oleh
kecenderungan-kecenderungan pribadi politik khalifah. Bahkan khalifah dalam ini menegaskan melalui ancaman pemecatan bagi yang menyelenggarakan tugasnya agar
kekuasaan yudikatif melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Sumber hukum untuk masa ini pun adalah Al-
Qur‟an, Hadits, dan Ijtihad.
31
Masa Daulah Bani Abbasiyah, disamping terus meningkatkan pembinaan yang berkaitan dengan administrasi kelembagaannya, khalifah juga membentuk lembaga-lembaga yang
mendukung dan memiliki kewenangan khusus yang juga berkaitan dengan kekuasaan yudikatif ini. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan tetapi sudah mulai
hukum materil yang akan disusun oleh hakim sebagai dasar pengambilan keputusan. Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-
Muwatha‟ karya Imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak dengan alasan masih banyak Hadits Rasulullah S.A.W., yang tersebar
diberbagai kota. Kemudian atas ulum Ibnu al- Muqaffa‟ kepada Khalifah al-Mansur agar
menyusun pedoman trentang penerapan hukum materil, sehingga perbedaan pendapat dapat
30
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16568.
31
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16569.
dihindari, akhirnya disusunlah Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan oleh hakim dalam memutus perkara.
32
Selain itu, di zaman dinasti Abbasiyah, kekuasaan yudikatif sulthah qadhaaiyyah semakin lengkap.perkembangan mencapai puncak kesempurnaan pada masa pemerintahan
Harun al-Rasyid 170- 193, saat dia mengangkat Ya‟qub bin Ibrahim al-Anshari yang lebih
terkenal dengan Abu Yusuf, sebagai kepala dari seluruh kepala hakim, yang dinamakan qaadhii qudhaah Hakim Agung. Diantara tugas pentingnya adalah menangani perkara-
perkara diperadilan umum dan diiwaan al-madzaalim. Kewenangan lainnya adalah, mengangkat hakim-hakim yang akan ditetapkan diseluruh provinsi.
33
Perkembangan lainnya menyangkut kekuasaan kehakiman periode keempat ini, terjadi terutama pada masa pemerintahan Sultan az-Zahir Biibars 665H1267M, dimana ia
membentuk sistem peradilan yang menggabungkan empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazh
ab Syafi‟I mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yudiksinya, juga diserahi
tanggung jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, perwakafan, dan menangani masalah Baitul Mall. Sedangkan Hakim Agung yang lainnya, mengurusi peradilan dan fatwa
bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya.
34
Dengan demikian pada masa tersebut, HakimAgung tidak hanya memilikitugas memutus perkara pada tingkat kasasi, akan tetapi juga memiliki tugas-tugas lain diluar yuridiksinya.
32
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 152.
33
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 152.
34
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 152.
Bahkan menurut Carl F. Petry, semua Hakim Agung pada masa tersebut memegang tiga jabatan sekaligus. Termasuk untuk jabatan hakim ditingkat yang lebih rendah, dapat
memegang seluruh jabatan administrasi, tak terkecuali dilingkungan militer. Meskipun demikia
n, kedudukan dan kewenangannya kuat, ia berpegang teguh pada syari‟at tanpa dapat dipengaruhi oleh siapapun.
35
Masa khalifah Turki Usmani dan masa sesudahnya. Kekuasaan yudikatif mengalami banyak perubahan, khususnya setelah masa Tanzimat. Pada masa ini, disamping lembaga
peradilan yang khusus mengadili orang-orang Islam, juga didirikan lembaga peradilan yang khusus menangani orang-orang non-Muslim kafir zimi: kafir yang dilindungi dan orang-
orang asing yang tinggal di wilayah kekuasaannya, yang sumber hukumnya adalah agama masing-masing dan undang-undang asing. Pemerintah menetapkan mazhab Hanafi sebagai
mazhab resminya. Oleh karena itu, hakim utama diangkat dari mazhab ini. Sumber hukum setelah masa Tanzimat ini kebanyakan diambil dari hukum Eropa, kecuali dalam masa
keperdataan. Keadaan ini mempengaruhi negara-negara Islam lainnya, khususnya negara- negara yang cukup terbuka terhadap pembaruan dalam bidang hukum dan peradilan seperti
Mesir, Suriah, dan Tunisia.sumber hukumlembaga peradilan pada masa ini sudah berubah dan beragam sesuai dengan beragamnya jenis lembaga peradilan dimasa itu.
36
Peradilan pada Arab Saudi, al- Qur‟an merupakan Undang-undang Dasar Negara dan
Syari‟ah sebagai hukum dasar yang dilaksanakan oleh Mahkamah-mahkamah Syari‟ah sebagai hukum dan Ulama sebagai hakim dan penesehat-penasehat hukumnya. Kepala
negara adalah Raja yang dipilih oleh dan dari keluarga besar Saudi. Terbentuknya peradilan
35
Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 152.
36
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 1658.
Arab Saudi dengan berlakunya Syari‟at Islam adalah tidak lepas dari jasa Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-
Saud yang membai‟at wilayah-wilayah.
37
Kemudian pada abad ke-7 M, Islam telah masauk Indonesia dan telah dianut oleh sebagian orang Indonesia. Penerapan hukum Islam bukan hanya pada pelaksanaan ibadah-
ibadah tertentu melainkan juga diterapkan pula dalam masalah-masalah muamalat, munakahat, dan uqubat jinayahhudud.
38
Dalam pengkajian Peradilan Islam di Indonesia, dan peradilan pada umumnya, dikenal berbagai istilah khusus yang menjadi lambang dari suatu konsep, diantaranya Peradilan
Agama, Peradilan Agama Islam, Peradilan Islam, Islamic Judiciary, Badan Kehakiman, Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Agama Islam, Pengadilan Agama, Mahkamah
Syari‟ah, Kerapatan Qadhi, Pengadilan Agama Islam, dan Islamic Court. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga dikenal beberapa istilah, diantaranya Priesterraad,
Penghoeloe gerech, Godsdientige rechtspraak, Rechtspraak, Raad agama, dan Sooryoo hooin. Selain itu, terdapat juga istilah lain yang berhubungan dengan istilah-istilah itu, baik
yang bermakna sejenis maupun yang berhubungan dengannya dan menjadi penjelas posisi dari setiap istilah itu.
39
Peradilan Islam mengalami perkembangan pasang surut, sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di berbagai kawasan dan negara. Sedangkan masyarakat Islam basis utama
dalam melakukan artikulasi dan perumusan hukum diberbagai kawasan dan negara tersebut.
37
Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama, hlm. 83-84.
38
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 190.
39
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama, hlm. 35.
Peradilan Islam pada masa Rosulullah S.A.W. bersifat sederhana, baik dalam pengorganisasiannya maupun prosedurnya.
40
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia dapat dideskripsikan sebagaimana dikemukakan oleh Lev 1972: ix dalam kata pengantar bukunya, Islamic Court
in Indonesia . “Peradilan di Indonesia yang kelihatannya ganjil, tidak hanya mampu bertahan
hidup, tetapi dalam berbagai hal mengalami perkembangan yang semakin kuat. Sedangkan di negeri-negeri Islam lainnya, pranata-pranata hukum keagamaan banyak yang dihapus dan
dibatasi”. Perkembangan itu lebih nyata selama dua puluh tahun terakhir, terutama sejak disahkan
dan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Kemudian menyusul Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
41
Ada empat aspek yang berkenaan dengan perkembangan Peradilan Islam di Indonesia. Pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tatanan hukum dan peradilan
nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan peradilan, yang mencangkup hirarki dan struktur organisasi pengdilan, termasuk komponen manusia didalamnya. Ketiga, berkenaan
dengan kekuasaan pengadilan, baik kekuasaan mutlak maupun kekuasaan relatif. Keempat,
40
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama, hlm. 42.
41
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama, hlm. 43.
berkenaan dengan hukum acara yang dijadilkan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, pemutusan, dan penyelesaian perkara.
42
Islam adalah kehakiman, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al-Imam Syahid Hasan Al-Banna, maksudnya adalah bahwa salah satu dari manhaj Islam ialah mengatur
antara sesama manusia, karena manusia sangat memerlukan seorang hakim yang dapat mengatur dan menyelesaikan perselisihan mereka serta dapat mengembalikan hak kepada
pemiliknya. Kesimpulan dalam masalah kehakiman ini dapatlah kita katakana bahwa Islam telah
menganggap masalah kehakiman sebagai fardhu, karena itulah kita lihat bahwa Rasulullah saw mengangkat para hakim untuk bertugas di tempat-tempat yang jauh dari Madinah. Dan
hakim muslim ini disyaratkan mempunyai pengetahuan yang luas terutama tentang hukum- hukum Islam. Atas dasar ini pula kita lihat bahwa salah satu dari syarat kelayakan seseorang
hakim ialah kemampuannya untuk melakukan ijtihad, karena tugas mengatur adalah termasuk dalam pengertian wilayah dan sultan. Orang kafir tidak layak dan tidak berhak
menjadi wali atau hakim atas orang Islam. Karena Allah SWT berfirman:
42
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1977, Cet. Pertama, hlm. 123.
Artinya: “yaitu orang-orang yang menunggu-nunggu peristiwa yang akan terjadi pada dirimu hai orang-orang mumin. Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah
mereka berkata : Bukankah kami turut berperang beserta kamu ? Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan kemenangan mereka berkata : Bukankah kami turut
memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mumin ? Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.
Seorang hakim yang Muslim mesti mengatur hukum dan permasalahannya menurut hukum-hukum Islam dan haram hukumnya menggunakan hukum-hukum yang lain. Terutama
pada saat mengatur undang-undang Islam, sebagaimana juga harus memiliki kehati-hatian dan teliti, dan berusaha semampunya untuk melaksanakan dan menerapkan keadilan. Karena
seandainya yang dilakukan adalah betul dan tepat maka baginya dua ganjaran, namun jika seandainya beliau keliru atau tersalah maka tetap akan balasan beliau diberikan satu
ganjaran.
43
B. Fungsi Peradilan dalam Islam