Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan

64

BAB IV ANALISA HUKUM ISLAM TENTANG PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM

REFORMASI PERADILAN

A. Analisa Hukum Islam Terhadap Reformasi Peradilan

Secara sederhana hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku mengikat u ntuk seluruh anggotanya.” Bila dikaitkan definisi ini dengan Islam atau Syara‟, maka hukum Islam berarti; seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat semua orang ber agama Islam.” Kata “seperangkat peraturan” menjelaskan, hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan secara terperinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat baik di dunia maupun di akhirat. Kata yang “berdasarkan wahyu dan sunnah Rosul” menjelaskan bahwa peraturan itu digali dari wahyu Allah dan sunnah Rosul; atau yang populer disebut dengan Syari‟at. Kata tentang tingkah laku manusia mukallaf mengandung arti bahwa hukum Islam itu hanya mengatur tingkah laku lahir manusia yang dikenai hukum. 123 Reformasi, bar asal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi” berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform” diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi ialah melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan 123 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Ciputat Press, 2005, Cet. Pertama, hlm. 41. hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. 124 Sedangkan kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan imbuhan “an”. Kata “peradilan” terjemahan dari “qadha”, yang berarti “memutuskan”, “menyelesaikan”. Dan umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan dengan pengadilan. Kata “Peradilan” menurut istilah ahli figh adalah sebagai berikut: a Lembaga hukum tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan, b Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah hukum atau menerangkan hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Jadi peradilan ialah suatu lembaga atau tempat untuk mencari keadilan. 125 Dari pengertian tersebut membawa kita pada kesimpulan bahwa tugas peradilan berarti menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan suatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dan dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan dalam hal ini kalau hendak dibedakan dengan hukum umum, dimana hukum Islam itu syariat telah ada sebelum manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada. Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah ada itu dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. 126 Mengingat reformasi selalu dikaitkan dengan masalah hukum, maka reformasi sesungguhnya bisa diartikan sebagai sebuah proses perubahan tatanan hukum, dalam hal ini adalah konstitusi untuk menuju pada tatanan dan kehidupan hukum masyarakat yang lebih 124 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 39-40. 125 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama, hlm. 2. 126 Basiq Djalil, Peradilan Islam, Jakarta: UIN Syarifhidayatullah, 2007, Cet. Pertama, hlm. 1-2. baik, sejahtera, adil, dan makmur. Keadilan yang dimaksud bukan saja dalam struktur tatanan konstitusinya, akan tetapi keadilan dalam keseluruhan untuk masyarakat. Ini sesuai dengan Al- Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90 dan Surat An-Nisa‟ ayat 58. 127 Di dalam Al- Qur‟an Surat An-Nahl ayat: 90, telah dijelaskan supaya kita berbuat adil. Diantara Firman Allahdalam Surat An-Nahl ayat 90 yaitu: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Dan dalam Surat An- Nisa‟ ayat 58 juga disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik- baiknya kepadamu. S esungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 128 Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah 127 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 45. 128 Mohammad Zuhri, Tarjamah Tarikh Al- Tasyri’ Al-Islami, Semarang: Darul Ikhya Indonesia, 1980, Cet. Pertama, hlm. 54. kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan fungsi yustisial, kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum de rechtsstaat. 129 Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat 1 yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 130 Pada dasarnya kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, sebagaimana pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 disebutkan juga bahwa “segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluarkekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, namun demikian rumusan diatas telah menyatakan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan hanya diperbolehkan jika Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakannya. 131 129 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 109. 130 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 185. 131 Taufiqurrohman Syahuri, Penguatan Fungsi dan Tugas Konstitusional Komisi Yudisial, Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi, 2009, Cet. Pertama, hlm.6. Regulasi kekuasaan kehakiman pada era reformasi ada beberapa tahap, antara lain; 1 lahir ketetapan MPR RI Nomor XIMPR1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ketetapan itu menjadi dasar yuridis bagi penyelenggaraan negara agar menjalankan prinsip tata kelola yang baik. 2 UU No. 14 Tahun 1970 dalam perkembangannya mengalami perubahan menjadi UU No.35 Tahun 1999. UU tersebut lahir setelah berakhirnya masa pemerintahan orde baru. 3 Era kekuasaan kehakiman dibawah kontrol penuh dari aspek organisasi, finansial, dan administratif oleh Mahkamah Agung atau kekuasaan kehakiman di satu atap. Masa ini disebut one roof of justice system. 4pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dengan eksekutif dari sistem satu atap yang melahirkan konsep independensi kekuasaan kehakiman. 5 sepuluh tahun kemudian lahirlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang memperkuat independensi kekuasaan kehakiman, 6 dalam UU tersebut lahirjuga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. 7 Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, sedangkan Komisi Yudisial menjadi pengawas kekuasaan kehakiman dan menyelenggarakan seleksi calon hakim agung. 132 Dalam sejarah ketatanegaraan Islam, ketiga badan kekuasaan Negara yaitu: Sultah Tanfiziyyah kekuasaan penyelenggara Undang-undang, Sultah Tas yri‟iyyahh kekuasaan pembuatUndang- undang, Sultah Qadhaa‟iyyah kekuasaan kehakiman, itu belum di pisashkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berad pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan Negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri. 133 132 Bulletin Komisi Yudisial, Menyongsong Sistem Kamar di Mahkamah Agung, Tanggal 05 April-Mei 2011. 133 Salim Ali Al-Bahansi, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta:Pustaka Al- Kautsar, 1996, Cet. Pertama, hlm. 53. Peradilan memiliki dasar hukum yang bersumber dari firman Allah SWT. Surat Shad 38 ayat 26, yaitu: “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari p erhitungan.” 134 Firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah 5 ayat 49: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang telah diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang- orang yang fasik.” 135 Dari kedua dalil di atas jelaslah bahwa sebenarnya peradilan merupakan kebutuhan yang telah ditetapkan dasar hukumnya melalui al- Qur‟an. Dalam peradilan terdapat rukun-rukun 134 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 11-12. 135 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 12-13. yang harus ditetapkan, yaitu: 1 Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa untuk menyelesaikan dakwaan-dakwaan, karena penguasa tidak mampu melaksanakan sendiri semua tugas itu, 2 Hukum, yaitu suatu keputusan produk qadhi, untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan, 3 Al-Mahkum bih, yaitu hak, kalau pada qadha al-ilzam, yaitu penetapan qadhi atas tergugat, dengan memenuhi tuntutan penggugat apa yang menjadi haknya, sedangkan qadha al-tarki penolakan yang berupa penolakan atas gugatannya, 4 Al- Mahkum „alaih, yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya, 5 Al- Mahkum lah, yaitu penggugat suatu hak yang merupakan hak manusia semata-mata. 136 Kemudian selain dalil yang diatas, ada hadits pula yang menjadi dasar bagi keharusan adanya qadha, bahkan menunjukkan kepada kepentingan banyak, diantaranya: “Apabila seseorang hakim berijtihad dan tepat ijtihadnya, maka dia memperoleh dua pahala. Dan apabila dia berijtihad tetapi ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala.” HR. Bukhari Muslim Kata hakim dalam hadis di atas mengandung pengertian orang berhak mengadili perkara, dan dalam hadis lain diungkapkan dengan kata qadhi yang artinya hakim atau qadhi. Atas dasar ayat-ayat dan hadis di atas, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa mengadakan dan menjalankan lembaga al- Qadha‟ itu hukumnya wajib kifayah kewajiban kolektif umat Islam. Eksistensi lembaga peradilan Islam didukung dengan akal. Sebab, ia harus ada untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang yang teraniaya dan untuk menghilangkan berbagai sengketa yang timbul dalam masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan Islam, orang 136 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 13. yang pertama kali menjabat hakim di Negara Islam adalah Rasulullah SAW, dan beliau menjalankan fungsi tersebut selaras dengan hukum Tuhan. 137 Lembaga peradilan pada masa khulafa al-Rasyidin juga mengikuti prinsip peradilan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Baru pada zaman kekhalifahan bani Abbasiyah, dibentuk dewan Madzalim Wilayah al-Mazhalim dewan pemeriksa pelanggaran dan selanjutnya dibentuk dewan hisbah kekuasaan al-Muhtasib. Di dalam perkembangannya, lembaga peradilan tersebut meliputi Wilayah al- Qadha‟, Wilayah al- Mazhalim dan Wilayah al-Hisbah. Wilayah al- Qadha‟ adalah lembaga peradilan untuk memutuskan perkara-perkara awam sesama warganya, baik perdata maupun pidana. Firman Allah S.W.T. dalam Surat an- Nisa‟ 4 ayat 65: “Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” 138 Menurut ulama fikih wewenang lembaga al- Qadha‟ adalah terdiri atas; 1 Menyelesaikan setiap perkara yang masuk, baik dengan cara baik maupun dengan menetapkan ketentuan hukum dalam al- Qur‟an. 2 Menghentikan segala bentuk kedzaliman di tengah masyarakat. 3 Melaksanakan hudud jarimah dan menegakkan hak-hak Allah. 137 http:id.shvoong.comlaw-and-politicsadministrative-law2172042-pemerintahan- islamixzz1Tf7CNVbA , jam 11.00, tgl 01 08 2011. 138 http:id.shvoong.comlaw-and-politicsadministrative-law2172042-pemerintahan- islamixzz1Tf7CNVbA , jam 11.00, tgl 01 08 2011. 4 Memeriksa segala perkara yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap nyawa dan anggota tubuh manusia. 5 Melindungi hak-hak anak yatim dan orang-orang yang cacat mental. 6 Mengawasi dan memelihara harta wakaf. 7 Melaksanakan berbagai wasiat. 8 Bertindak sebagai wali nikah. 9 Mengawasi dan melindungi berbagai kepentingan dan kewajiban hukum. 10 Melaksanakan dan mengajak berbuat amar ma‟ruf nahi munkar. 139 Dalam fiqih Islam ada tiga bentuk wilayah peradialn, yaitu: 1 Wilayah al-Qadha, yaitu lembaga peradilan dengan kekuasaan menyelesaikan berbagai kasus, disebut juga peradilan biasa, 2 Wilayah al-Mazalim, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus penganiayaan pengusa terhadap rakyat dan penyalahgunaan wewenang oleh penguasa dan perangkatnya, 3 Wilayah al-Hisbah, yaitu lembaga peradilan yang menangani berbagai kasus pelanggaran moral dalam rangka amar ma‟ruf nahi munkar. 140 Kemudian kata sulthanah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus al-Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan. 141 Menurut Lois Ma‟luf dalam kamusnya Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A‟lam berarti al- malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintah. 142 Sedangkan Al-qadhaiyyah berarti putusan, penyesaian perselisihan, atau peradilan. Kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan dan kehakiman. Secara terminology, berarti kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai pelaksanaannya serta mengadili 139 http:id.shvoong.comlaw-and-politicsadministrative-law2172042-pemerintahan- islamixzz1Tf7CNVbA , jam 11.00, tgl 01 08 2011. 140 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. Pertama, hlm. 15. 141 Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi Mahkamah Konstitusi, Jajarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Pertama, hlm. 118. 142 Ahmad Warsono Munawir, kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, Cet. Pertama, hlm. 650. perkara perselisihan, baik yang menyangkutperkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini dikenal dengan nama kekuasaan yudikatif. 143 Sebagai seorang Qādli pemegang otoritas jurisdiksi Nabi SAW telah menjalankan perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi langsung dari aturan- aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al- Mā‟idah: 38. Firman Allah S.W.T. QS. Al-Mā‟idah Ayat 38, antara lain: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 144 Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad beliau dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri 143 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Cet. Pertama, hlm. 16567. 144 http:bionet82.blogspot.com201010sejarah-peradilan-di-zaman-nabi.html , jam 23.02, tgl 25 07 2011. ketika memberikan putusan kepada dua orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”. Islam sangat fleksibel dalam masalah yang berkaitan dengan pemerintahan, yaitu bahwa sebuah Negara Islam dapat memilih untuk menjalankan urusan domestiknya seperti urusan luar yang mana tidak harus mengadopsi desaindari pemerintah secara mutlak. Hal ini memungkinkan bagi setiap masyarakat Islam untuk memilih tipe pemerintahan yang cocok dengan tuntutan mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa penguasa Islam mendapat kemerdekaan penuhuntuk menjalankan pemerintahan seperti mereka inginkan. Islam sudah memberikan detailprinsip-prinsip fundamental untuk urusan pemerintahan dalam sebuah Negara. Hal tersebut tidak berkaitan dengan bentuk pemerintahan seperti apa yang digunakan oleh suatu Negara, tapi hanya menuntutagar urusan-urusan dalam Negara Islam harus diatur berdasarkan prinsip fundamental yang berasal dari ajaran al- Qur‟an dan Sunnah , dan penguasa Islam yang ada di Negara itu tidak boleh mengacuhkan aturan-aturan tersebut dalam hal apapun. 145 Salah satu dari prinsip fundamental tersebut adalah bahwa seorang penguasa berkawajiban untuk mendirikan sebuah sistem yang dapat menegakkan keadilan diantara rakyatnyadalam suatu Negara. Seorang penguasa Islam bertanggung jawab terhadap Allah S.W.T. dan juga rakyatnya untuk mendirikan sebuah aturan peradilan untuk menegakkan 145 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 57. keadilan. Meskipun begitu Islam tidak menuntut bahwa pemerintahan harus dibagi menjadi bagian-bagian berbeda, seperti eksekutif, yudikatif, dan legislatif sebagaimana yang ditemukan dalam system pemerintahan modern. Yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin adalah menyediakan lembaga peradilan agar rakyatnya tidak mendapat tekanan dalam hal apapun dan dari siapapun dalam menjalankan kehidupan mereka. 146 Tujuan utama dalam mendirikan pemerintahan Islam adalah penegakkan keadilan baik dari peradilan yang terpisah dari pihak eksekutif maupun sebaliknya. Dengan kata lain, pemerintahan Islam boleh jika penegakkan keadilan ditangani secara kombinasi kekuasaan, serti eksekutif dan yudikatif yang ditangani satu bagian sebagaimana pada periode awal pemerintahan Islam dahulu. Pemisahan badan peradilan dari eksekutif tidak menjamin tegaknya keadilan bagi masyarakat kalau piahak luar selalu ikut campur dalam urusan peradilan, olehkarenaitu yang penting dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan yang sebenarnya. 147 Berdasarkan aturan hukum Islam seorang hakim harus mendapatkan kebebasan penuh dalam membuat putusan, baik dalam system peradilan Islam yang tidak memisahkan antara yudikatif denga eksekutif maupun yang memisahkan system pemerintahan berdasarkan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Jika prinsip independensi dalam peradilan tidak ditetapkan, maka hak-hak orang tertindastidak dapat diperolehnya dan tidak ada yang mendengar keluhan mereka. Hal ini tidak mungkin terlaksana kecuali jika hakim 146 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 57-58. 147 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 58. mendapatkan kebebasan penuh untuk memutuskan dan memberikan hukuman kepada pihak yang salah berdasarkan pemikiran dan pendapat mereka sendiri. 148 Selama masa pemerintahan Nabi Muhammad S.A.W. tidak ada konsep pemisahan badan peradilan dengan eksekutif dalam suatu Negara. Kedua kekuasaan tersebut berada dalam badan eksekutif. Nabi Muhammad S.A.W. tidak hanya kepala Negara di Madinah tapi juga bertindak sebagai hakim. Demikian juga pada saat pemerintahan para khalifah, kedua kekuasaan yaitu yudikatif dan eksekutif berada dalam satu badan, dibawah tanggung jawab khalifah. Alasan dari hal tersebut adalah karena penguasa pada saat itu sangat dipercaya dan tidak ada hal yang dapat mempengaruhi mereka. Lebih lagi, hakim pada masa itu sangat independen dan tidak dapat dipengaruhi bahkan oleh khalifah sekalipun. 149 Para hakim dalam masa awal pemerintahan Islam terkenal sangat independen. Mereka selalu memperlakuan setiap pihak yang beperkara dengan persamaan hak yang absolutdi muka sidang pengadilan. Para hakim tersebut melakukannya tanpa rasa takut meskipun yang diadili itu seorang pejabat atau seorang raja melawan rakyat biasa. Literature sejarah Islam penuh dengan kejadian-kejadian yang menunjukkan derajat independensi yang dimilikioleh hakim-hakim Islam dalam menjalankan fungsi peradilan mereka. 150 Sejarah Islam telah membuktikan bahwa hakim Islam selalu mendapatkan kebebasan dan otonomi secarah penuh. Pemerintah Islam dalam member otonomi tidak adanya tekanan dari siapapun sehingga mereka dalam memutus suatu perkara tidak pernah merasa takut meskipun yang diadili adalah penguasa mereka. Salah satu contoh independensi hakim dalam 148 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 58. 149 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 58. 150 Abdul Manan, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Cet. Pertama, hlm. 59. peradilan Islam adlah sebagai berikut: “suatu ketika istana kerajaan diperluas oleh beberapa orang pemerintahan dan melanggar batas tanah milik seorang anak yatim piatu yang berdekatan dengan istana khalifah al- Mu‟tasim. Anak tersebut memperkarakan hal tersebut itu ke pengadilan al-Meriyah. Hakim memutuskan untuk menyuruh petugas pemerintahan menghentikan pembangunan istana khalifah sampai ganti rugi kepada anak yatim piatu tersebut dipenuhi. 151 Independensi peradilan sangat dibutuhkan, karena hal ini merupakan salah satu syarat penting dalam menegakkan keadilan sehingga hakim harus benar-benar bebas untuk membuat putusan berdasarkan pemehaman dan pemikiran mereka sendiri. Sehubungan dengan adanya pemisahan badan eksekutif dan yudikatif seperti sekarang ini. Keadaan ini memang sangat dibutuhkan, karena penguasa dimasa sekarang tidak sejujur penguasa pada masa awal pemerintahan Islam. Oleh karenanya, perlu lembaga eksekutif dan yukatif dipisahkan agar adanya Chechk and Balance dalam menjalankan roda pemerintahan Negara. Memisahkan peradilan dari lembaga eksekutif dengan yudikatif akan menimbulkan kebaikan sebab akan adanya saling control dalam menjalankan kekuasaan Negara. 152

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Komisi Yudisial