Reformasi Peradilan di Indonesia

35

BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM REFORMASI PERADILAN DI INDONESIA

A. Reformasi Peradilan di Indonesia

Reformasi, barasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” berarti “kembali” dan “formasi” berarti “susunan”. Reformasi berarti pembentukkan atau penyusunan kembali. Kata “reform” diartikan sebagai; membentuk, menyusun, mempersakutukan kembali. Reformasi juga berarti; perubahan secara drastis untuk perbikan bidang sosial, politik, atau agama dalam suatu masyarakat atau negara. 56 Dengan demikian, istilah era reformasi diartikan sebagai suatu era perubahan atau penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, dan kebijakan yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dan apabila dihubungkan dengan reformasi dibidang hukum dan peradilan, maka dapat ditarik pengertian “melakukan suatu perubahan dengan penyusunan kembali terhadap suatu konsep, strategi, atau kebijakan yang berkaitan dengan hukum dan peradilan dengan berbagai aspeknya dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara”. 57 Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti pembaharuan, reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam, yang secara substansi memilki kesamaan dengan reformasi, yakni; tajdid dan islah. Tajdid mengandung arti “membangun kembali, menghidupkan kembali, menyusun kembali, atau memperbaikinya 56 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 39. 57 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 39-40. agar dapat digunakan sebagaimana yang diharapkan”. Sedangkan kata islah, diartikan dengan “perbaikan atau memperbaiki”. Kedua kata tersebut, sering dipakai secara berdampingan dengan pengertian yang sama yaitu “pembaharuan”. 58 Ada tiga dimensi atau lapisan reformasi yang secara analistis harus dibedakan. Pertama, perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi, penyimpangan artinya sesuatu yang sejak lama secara hukum dan ideologis serta sense of propriety telah dianggap tidak benar dan tidak pantas. Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa perundangan dan hukum serta kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan itu terjadi. Dan Ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan. 59 Berawal pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim MPPH yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan? Hukum jabatan para hakim. Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang kekuasaan hakim. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai. Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya Komisi Yudisial 58 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 40. 59 Taufik Abdullah, Refleksi Agenda Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, Cet. Pertama, hlm. 48. RI yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan hakim. 60 Kemunculan Komisi Yudisial RI adalah akibat langsung dari amanat reformasi 1998 untuk menegakkan supremasi hukum dan agar para hakim tidak melakukan pelanggaran atas hukum. Sekaligus agar hakim tidak menjadi aparat penguasa. Dan ini semua berangkat dari kekecewaan masa lalu, yaitu dimana kekuasaan kehakiman dikooptasi oleh kekuasaan, sehingga kebebasan hakim dalam memutus perkara terbelenggu oleh kekuasaan tersebut. Keinginan kuat untuk keluar dari belenggu kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya keinginan kuat untuk membuat Komisi Yudisial RI. 61 Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritis tentang pemisahan kekuasaan separation of pwers karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan negara dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan sekaligus untuk menjamin terlaksananya kebebasan politik politic liberty anggota masyarakat dalam negara, maka adanya jaminan kekuasaan lembaga peradilan yang independen merupakan satu elemen penting dari konsep negara hukum. Keterkaitan antara pemisahan kekuasan dengan konsep negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatif ataupun hubangan diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi. Bagi sebuah negara yang 60 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama, hlm. 3. 61 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Hukum Sebagai Pelindung Rakyat Bukan Tameng Penguasa, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2007, Cet. Pertama, hlm. 4. menerapkan paradigma hukum modern rule of law, independensi kekuasaan lembaga peradilan, merupakan fondasi dan pilar utama yang sangat penting. 62 Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen, yakni; pertama, kekuasaan lembaga peradilan disemua negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya yang dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlang sung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam haladanya sengketa yang diatur dalam hukum. 63 Pemahaman tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari aja ran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik political liberty anggota masyarakat negara. 64 Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan, terkandung tiga unsur pengertian yaitu; pertama, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah kebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan fungsi yustisial, kebebasan ini mencangkup kebebasan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Kedua, kekuasaan peradilan yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial, maka kekuasaan peradilan tertentu dimungkinkan mencampuri pelaksanaan fungsi peradilan lainnya. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan 62 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 102. 63 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 103. 64 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 105. yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum de rechtsstaat. 65 Di Era reformasi, tonggak awal kemandirian kekuasaan kehakiman ditandai dengan adanya amandemen UUD 1945, terutama pasal 24 ayat 1 yang mengharuskan kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.untuk mewujudkan prinsip kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif tersebut, maka lahirlah Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sebagai perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. 66 Poin penting yang patut dicatat dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 adalah untuk mempertegas kemandirian kekuasaan kehakiman. Maka untuk merealisasikannya ditetapkan kebijakan bahwa, segala urusan peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada satu atap dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dalam istilah populernya biasa disebut “ kebijakan satu atap one roof system. Namun, seiring perkembangan situasi dan kondisi yang terjadi di Negara Indonesia. UU No. 35 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah lagi menjadi Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 67 Dalam perspektif teoritis, kebjakan tersebut merupakan realisasi dari teori trias polit ika, yakni ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara separation of power sebagai antitesis dari kebijakan hukum sebelumnya yang menganut pembagian kekuasaan divition of power. Pemisahan kekuasaan negara secara tegas mengharuskan adanya pembagian kekuasaan yang 65 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 109. 66 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 185. 67 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 186. jelas antara cabang-cabang kekuasaan; eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sehingga antara yang satu dengan yang lain bersifat saling mengendalikan dan saling mengimbangi checks and balances. 68 Dalam hal hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka checks and balances mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk menguji UU terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan didalam pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi uji materil saja, tetapi juga pengujian prosedur uji formal. Mahkanh Konstitusi menguji UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan per-UU-di atasnya. Dalam teori hukum disebut vertical judicial review. 69 Dengan demikian untuk menerapakan checks and balances, setelah terjadi perubahan ketiga terhadap UUD 1945, penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di ere reformasi juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi yang sekarang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang terkait dengan Mahkamah Agung, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004. Ditetapkannya MK dan KY bersama MA sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, dimaksudkan untuk menjamin penegakkan hukum, pengawasan terhadap hakim, dan penerapan judicial review. 70 Keberadaan Komisi Yudisial RI dalam institusi kekuasaan kehakiman merupakan implementasi acara langsung atas tuntutan masyarkat terhadap reformasi peradilan dan 68 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 185-186. 69 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 186. 70 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, Cet. Pertama, hlm. 186-187. sekaligus menjalankan amanah reformasi. Dengan adanya Komisi Yudisial RI diharapakan hakim dapat mandiri, bebas dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan manapun. 71

B. Pembentukan Komisi Yudisial