Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

(1)

PERBANDINGAN KETEPATAN ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI 

SPUTUM

 

INDUKSI

  

NaCl

 

3%

  

DENGAN

 

SITOLOGI

 

SPUTUM

 

POST

BRONKOSKOPI  SECARA FIKSASI SACCOMANNO  DALAM 

MEMBANTU PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER PARU 

 

TESIS 

Diajukan untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Spesialisasi di Departemen Pulmonologi  dan Ilmu Kedokteran Respirasi 

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan

  

 

       IRENA  LOLU  PUTRIYA  SINAGA 

         

         

PROGRAM

 

PENDIDIKAN

 

DOKTER

 

SPESIALIS

 

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI 

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS. HAJI ADAM MALIK 

MEDAN 

2011

 


(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Nama : Irena Lolu Putriya Sinaga

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/RS. Haji Adam Malik Medan Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K)

NIP. 19581202 199103 1 001

Pembimbing II Pembimbing III Pembimbing IV

Dr. Noni N.Soeroso, SpP Dr.Sumondang Pardede, Sp.PA Dr. Arlinda S.Wahyuni,M.Kes NIP.19781120200501 2002 NIP.19550329 198303 2 002 NIP.19690609 199903 2 001 Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen

Departemen Pulmonologi & Departemen Pulmonologi & Pulmonologi &Ilmu Ilmu Kedokteran Respirasi Ilmu Kedokteran Respirasi Kedokteran Respirasi

Prof. Dr.Tamsil S, SpP (K) Dr. Amira P.Tarigan, SpP Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,SpP(K) NIP.19521101198003 1 001 NIP. 196911071999032 002 NIP. 19440715 197402 1 001


(3)

TESIS

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/ RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

MEDAN

__________________________________________________________________  Judul Penelitian : PERBANDINGAN KETEPATAN

ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI SPUTUM INDUKSI NaCl 3% DENGAN SITOLOGI SPUTUM

POST-BRONKOSKOPI SECARA FIKSASI SACCOMANNO DALAM MEMBANTU PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

 Nama Peneliti : Irena Lolu Putriya Sinaga  NIP : -

 Pangkat/Golongan : -

 Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara  Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

 Jangka Waktu : 5 Bulan (lima bulan)

 Lokasi Penelitian : RSUP Haji Adam Malik Medan  Pembimbing : 1. Dr. Pantas Hasibuan, Sp.P (K) 2. Dr. Noni N. Soeroso, Sp.P

3. Dr. Sumondang Pardede, Sp.PA 4. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes


(4)

DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN……… LEMBAR TESIS………... PERNYATAAN ………. KATA PENGANTAR………. DAFTAR ISI……….... DAFTAR SINGKATAN………. DAFTAR TABEL……….. . DAFTAR GAMBAR……….. BAB 1 PENDAHULUAN………..

1.1. Latar Belakang ……….

1.2. Perumusan Masalah ………..

1.3. Hipotesis ………...

1.4. Tujuan Penelitian ………..

1.4.1. Tujuan Umum ………

1.4.2. Tujuan Khusus ………

1.5. Manfaat Penelitian ………..

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………... 2.1. Definisi Kanker Paru ………... 2.2. Epidemiologi Kanker Paru ………. 2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru ………. 2.4. Diagnosis Kanker Paru ……… 2.4.1. Manifestasi Klinis ………..

2.4.2. Pemeriksaan Fisik ………..

2.4.3. Pemeriksaan Radiologi ………..

2.4.3.1. Foto Toraks ………...

2.4.3.2. CT scan Toraks ………

2.4.3.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) Scan ……….

iii iv ix xii xiii xiv 1 1 6 7 7 7 7 8 9 9 9 10 11 11 16 16 16 18 18 i ii


(5)

2.4.3.4. PET (Positron Emission Tomography) Scan………

2.4.4. Sitologi Sputum ………...

2.4.5. Bronkoskopi ………

2.5. Klasifikasi Kanker Paru ………. 2.6. Sitologi Kanker Paru ……….. 2.6.1. Karsinoma Sel Skuamosa ……… 2.6.2. Adenokarsinoma ………. 2.6.3. Karsinoma Sel Besar ………... 2.6.4. Karsinoma Sel Kecil ………...

BAB 3 BAHAN DAN METODA ………. 3.1. Rancangan Penelitian ………... 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 3.3. Subjek Penelitian ………..

3.3.1. Populasi ………...

3.3.2. Sampel ……….

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ………

3.4.1. Kriteria Inklusi……….

3.4.2. Kriteria Eksklusi………..

3.5. Teknik Pengambilan Sampel ……… 3.6. Jumlah Sampel ………. 3.7. Kerangka Konsep……….. 3.8. Definisi Operasional ………. 3.9. Kerangka Operasional……… 3.10. Cara Kerja ………... 3.11. Pengukuran dan Analisis Data ……… 3.12. Jadwal Penelitian ……… 3.13. Biaya Penelitian ……….

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 4.1. Hasil Penelitian ……….

31  39  41  41  42  44  46    48  48  48  48  48  49  49  49  49  50  50  52  53  57  58  59  61  62    63  63  18  19 


(6)

4.2. Pembahasan ……….

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ……… 5.1. Kesimpulan ……….. 5.2. Saran ………

DAFTAR PUSTAKA ………..

77  77  78 

 

79 

 

70 

 


(7)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotrophic hormone

ADH : Anti Diuretic Hormone

BAL : Broncho Alveolar Lavage

BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur CT Scan : Computerized Tomographic Scans FNAB : Fine Needle Aspirasion Biopsy FOB : Fiber Optic Bronchoscopy

HPOA : Hypertrophic Pulmonary Osteo-Arthropathy IASLC : International Association for The Study of Lung

Cancer

IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu KGB : Kelenjar Getah Bening

KPKBSK : Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil KPKSK : Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil MRI : Magnetic Resonance Imaging Scans NSCLC : Non Small Cell Lung Carcinoma OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PA : Postero Anterior

PET : Positron Emission Tomography Scans SCLC : Small Cell Lung Carcinoma

TBNA : Trans Bronchial Needle Aspiration

TNM : Tumor-Nodus-Metastasis


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik……….. Tabel 2. Gambaran Foto Toraks Berdasarkan Tipe Histologi

Kanker Paru ………. Tabel 3. Karakteristik pasien berdasarkan umur dan jenis kelamin…… Tabel 4. Distribusi kasus sesuai letak tumor dan pemeriksaan

sitologi sputum induksi NaCl 3%...

17 64

65

66

67

68  

69 

    14

Tabel 5. Distribusi kasus berdasarkan letak tumor dan pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi………. Tabel 6. Distribusi kasus berdasarkan letak tumor dan pemeriksaan

sitologi BAL dan/atau brushing………. Tabel 7. Tabel 2 x 2 yang menunjukkan hasil sitologi sputum induksi

NaCl 3% dan sitologi BAL dan/atau brushing……….. Tabel 8. Tabel 2 x 2 yang menunjukkan hasil sitologi sputum post

bronkoskopi dan/atau brushing……….


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sitologi Sputum ……… Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)……….. Gambar 3. Percabangan Bronkus yang Dapat Dilihat Bronkoskopi

padaPosisi Pasien Telentang (Supine)……… Gambar 4. Perubahan Inflamasi pada Bronkitis Kronis ………….……….. Gambar 5. Sitologi Karsinoma Sel Skuamosa……….…….. Gambar 6. Sitologi Adenokarsinoma………. Gambar 7. Sitologi Karsinoma Sel Besar (pewarnaan Papanicolaou)……... Gambar 8. Kelompok sel dengan sitoplasma yang sedikit, nuclear

molding, dan kromatin bergranular halus, nukleolus tidak ada, formasi rosette yang baru jadi ………..

36 37 42 44 46

47         32 26


(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Perbandingan Ketepatan Antara Pemeriksaan Sitologi Sputum Induksi NaCl 3% Dengan Sitologi Sputum Post Bronkoskopi Secara Fiksasi Saccomanno Dalam Membantu Penegakan Diagnosis Kanker Paru” yang merupakan persyaratan akhir pendidikan spesialisasi di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan.

Adapun keberhasilan saya dalam menyelesaikan penelitian ini tidaklah terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik semua supervisor saya, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU, tenaga paramedis dan non medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP (K) sebagai Ketua Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, yang dengan penuh kesabaran dan tiada henti-hentinya memberikan bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa menanamkan disiplin, ketelitian, dan perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak ilmiah, yang sangat berguna bagi saya untuk masa yang akan datang. Begitu juga karena telah membantu saya dalam melakukan pemeriksaan bronkoskopi terhadap pasien-pasien tumor paru yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K) sebagai Sekretaris Bagian Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan Pembimbing I penulis, yang penuh kesabaran dan kebaikan memberikan bimbingan dan masukan selama saya menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis ini dan mengerjakan penelitian ini sampai selesai.

Dr. H. Zainuddin Amir, SpP (K) sebagai Ketua TKP PPDS FK USU dan sebagai supervisor saya, yang selama ini tidak jemu-jemunya menanamkan


(11)

disiplin, ketelitian, pola berpikir, dan wawasan ilmiah, serta bimbingan kepada saya, yang sangat berguna untuk menyempurnakan tugas penelitian ini.

Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP (K) sebagai Koordinator Penelitian Ilmiah di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU dan Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Sumatera Utara yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, pengarahan, dan masukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan penelitian ini.

Dr. Amira Permatasari Tarigan, SpP sebagai Ketua Program Studi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan dukungan moral, semangat, motivasi, bimbingan, dan masukan kepada saya selama menjalani pendidikan spesialisasi dan menyelesaikan penelitian ini sampai selesai.

Dr. Noni Novisari Soeroso, SpP sebagai Sekretaris Program Studi Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi dan Pembimbing II saya, yang telah membimbing, menolong, memberikan masukan, motivasi, didikan, dan bantuan kepada saya untuk mengerjakan penelitian ini dari awal sampai akhir, termasuk dalam pengerjaan tindakan bronkoskopi terhadap pasien-pasien tumor paru yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada supervisor saya Dr. Hilaluddin Sembiring, SpP (K), DTM&H, Prof. Dr. R.S. Parhusip, SpP (K), (alm) Dr. Sumarli, SpP (K), (alm) Dr. Sugito, SpP (K), dan Dr. Usman, SpP, yang telah banyak memberikan bimbingan, nasihat, ilmu pengetahuan dan pengalaman klinis beliau selama mengabdi pada Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU yang sangat berguna bagi saya selama menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Dr. Widirahardjo, SpP (K), Dr.PS. Pandia, SpP (K), Dr. Fajrinur Syarani, SpP (K), Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Bintang YM. Sinaga, SpP, Dr. Setia Putra Tarigan, SpP, Dr. Ucok Martin, SpP, dan Dr. Netty Y. Damanik, SpP, yang juga telah memberikan bantuan, bimbingan,


(12)

masukan, dan pengarahan selama saya menjalani pendidikan dan mengerjakan penelitian ini sampai selesai.

Dr. Sumondang Pardede, SpPA sebagai Kepala Instalasi Bagian/SMF Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan dan pembimbing tesis saya dari bagian Patologi Anatomi, yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, bantuan, masukan, motivasi, dan pengertian di bidang sitologi sputum, serta membantu penyelesaian hasil penelitian ini sampai akhirnya penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.

Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes sebagai pembimbing statistik saya, yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan, serta pengetahuan di bidang statistika kepada saya dalam menyelesaikan dan mengolah hasil yang didapat dalam penelitian ini.

Izinkanlah saya mengucapkan rasa terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para teman sejawat saya residen paru yang terkasih di Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang IDT/bronkoskopi, ruang rawat inap Rindu A3 Paru, analis dan pegawai di Instalasi Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan, perawat RS. Tentara Kesdam I/BB Tk. II dan RS. Tembakau Deli Medan, yang telah bekerjasama dan membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini.

Dengan rasa hormat, kasih saying, dan ucapan terima kasih yang tiak terbalas saya sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta yaitu ayahanda Kol (Purn). Dr. Jarudi Sinaga, SpP dan ibunda Selli Deliana Herawati Purba, yang dengan sabar membesarkan, mendidik, memotivasi, mendukung, dan setia mendoakan saya selama saya menjalani masa pendidikan spesisalisasi ini sampai sekarang. Demikian juga kepada mertua saya (alm) Drs. B.T. Manurung dan ibu mertua saya K.R. Sitorus, yang telah setia berdoa dan memberikan motivasi,


(13)

dukungan, semangat, bantuan kepada saya selama saya menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Demikian juga dengan rasa hormat, cinta kasih, dan terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada suami saya yang tercinta, dr. Edward Sugito Manurung, karena telah setia menemani, membantu, mendorong, dan mendoakan saya selama saya menjalani pendidikan ini sampai akhirnya menyelesaikan tugas penelitian ini. Begitu juga saya ucapkan rasa terima kasih yang tidak terbalas kepada saudara kandung saya yaitu abang saya Jove Meldi Priyatama, S.T., M.Sc., dan ketiga adik-adik saya Irani Ruth Julita Sinaga, S.T., Penta Josua Putra Sinaga, S.T., dan Anggian Heksa Efraim, S.Psi., yang juga telah memberikan dorongan dan semangat, doa, dan bantuannya kepada saya selama ini sampai akhirnya dapat menyelesaikan tugas pendidikan ini dengan maksimal.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan yang saya perbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan pembinaan kepribadian yang saya dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, September 2011

Penulis


(14)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN KETEPATAN ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI SPUTUM INDUKSI NaCl 3% DENGAN SITOLOGI SPUTUM POST

BRONKOSKOPI SECARA FIKSASI SACCOMANNO DALAM MEMBANTU PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

Peneliti


(15)

Telah diuji pada :

Tanggal 15 September 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P

Sekretaris : Dr. Noni Novisari Soeroso, Sp.P

Anggota Penguji : - Prof. Dr. Luhur Soeroso, Sp.P (K)

- Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

- Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM & H, Sp.P (K) - Dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K)

- Dr. Pandiaman Pandia, Sp.P (K) - Dr. Bintang YM. Sinaga, Sp.P


(16)

ABSTRAK

Tujuan : Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Metode : Studi analitik, yang dilakukan secara observasional, dengan pendekatan cross-sectional yang bersifat uji diagnostik.

Hasil : Penderita rawat inap yang dicurigai menderita kanker paru dalam penelitian ini adalah sebanyak 55 orang dengan proporsi pasien laki-laki sebesar 80.0% dan perempuan sebesar 20.0%. Kasus paling banyak ditemukan pada pasien dengan kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebesar 60.0%, baik laki-laki maupun perempuan, dengan umur yang paling tua adalah 81 tahun dan yang paling muda adalah 38 tahun. Secara radiologi kasus tumor letak sentral adalah sebesar 61.8% dan tumor letak perifer sebesar 38.2%. Jumlah kasus yang menunjukkan hasil sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dimana tumor letak sentral sebesar 36.4% dan tumor letak perifer sebesar 10.9% dengan jenis karsinoma sel skuamosa paling banyak (36.4%) dan karsinoma sel kecil (10.9%). Sedangkan proporsi sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dengan kasus tumor sentral 34.5% (jenis karsinoma sel skuamosa 23.6%, karsinoma sel kecil 9.1%, adenokarsinoma 1.8%) dan tumor letak perifer sebesar 12.7% (jenis karsinoma sel skuamosa). Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno adalah 42.8%. Ketepatan (sensitivitas)


(17)

pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno adalah 44.1%.

Kesimpulan : Ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno tidak berbeda secara signifikan dengan ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum post bronkoskopi.

Kata Kunci : sitologi sputum induksi NaCl 3%, sputum post bronkoskopi, kanker paru


(18)

ABSTRAK

Tujuan : Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Metode : Studi analitik, yang dilakukan secara observasional, dengan pendekatan cross-sectional yang bersifat uji diagnostik.

Hasil : Penderita rawat inap yang dicurigai menderita kanker paru dalam penelitian ini adalah sebanyak 55 orang dengan proporsi pasien laki-laki sebesar 80.0% dan perempuan sebesar 20.0%. Kasus paling banyak ditemukan pada pasien dengan kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebesar 60.0%, baik laki-laki maupun perempuan, dengan umur yang paling tua adalah 81 tahun dan yang paling muda adalah 38 tahun. Secara radiologi kasus tumor letak sentral adalah sebesar 61.8% dan tumor letak perifer sebesar 38.2%. Jumlah kasus yang menunjukkan hasil sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dimana tumor letak sentral sebesar 36.4% dan tumor letak perifer sebesar 10.9% dengan jenis karsinoma sel skuamosa paling banyak (36.4%) dan karsinoma sel kecil (10.9%). Sedangkan proporsi sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dengan kasus tumor sentral 34.5% (jenis karsinoma sel skuamosa 23.6%, karsinoma sel kecil 9.1%, adenokarsinoma 1.8%) dan tumor letak perifer sebesar 12.7% (jenis karsinoma sel skuamosa). Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno adalah 42.8%. Ketepatan (sensitivitas)


(19)

pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno adalah 44.1%.

Kesimpulan : Ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno tidak berbeda secara signifikan dengan ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum post bronkoskopi.

Kata Kunci : sitologi sputum induksi NaCl 3%, sputum post bronkoskopi, kanker paru


(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker paru merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).1,2 Diperkirakan sekitar 1.2 juta kasus baru kanker paru dan 1.1 juta kematian akibat kanker paru terjadi pada tahun 2000, dengan perbandingan rasio terjadinya antara laki-laki : perempuan sekitar 2.7.2 Sedangkan pada tahun 2007, secara global diperkirakan sekitar 1.5 juta kasus baru kanker paru.3 Kanker paru menjadi penyebab paling sering dari kasus kematian akibat kanker pada laki-laki di Amerika Utara dan hampir di semua negara-negara Eropa Timur maupun Eropa Barat, dan semakin sering menjadi penyebab kematian di negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, meskipun data-data yang berkualitas tinggi untuk perbandingan belum tersedia dari kebanyakan populasi tersebut.1

Selama berabad-abad, telah diketahui bahwa sel-sel keganasan dapat ditemukan pada sekresi bronkus pasien kanker paru. Sitologi merupakan salah satu pendekatan penting selain pemeriksaan histologi dan sering menjadi metode diagnosis yang baik. Apabila sitologi sputum yang dibatukkan (ekspektorasi) normal, maka diagnosis keganasan masih mungkin


(21)

ditegakkan dari bahan yang diambil selama tindakan bronkoskopi serat lentur (fiberoptic bronchoscopy) yaitu dari sitologi sikatan bronkus (bronchial brushing), bilasan bronkus (bronchial washing), ataupun dari sputum post-bronkoskopi.4 Pasien dengan sitologi sputum mencurigakan (atipik berat atau sel keganasan) sebaiknya dilakukan tindakan bronkoskopi serat lentur dan pemeriksaan radiologi lainnya. Menurut European Respiratory Journal 2003 sitologi sputum terutama dapat mendeteksi karsinoma skuamosa di saluran nafas sentral. Sitologi sputum positif untuk adenokarsinoma stadium

≥ IIIA pada 82.4% kasus. Dibandingkan dengan CT scan toraks, kekerapan “false-positive” sitologi sputum untuk deteksi dini karsinoma skuamosa sangat rendah.5

Sitologi sputum memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral (71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%).6 Pada penelitian Siagian (2002) yang dilakukan pada 38 orang pasien yang dirawat atau berobat jalan di Bagian/SMF Paru RS. Haji Adam Malik, didapatkan sensitifitas sitologi sputum sebesar 26.3% (10 orang), dengan jenis skuamosa sebanyak 80% dan adenokarsinoma sebanyak 20%.7

Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum, kepositifan sitologi sputum dapat ditingkatkan. Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Sputum induksi


(22)

mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing) tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8

Sedangkan pengumpulan sputum post-bronkoskopi memerlukan kerjasama yang baik dari pasien ditambah dengan bantuan dari perawat dan personil laboratorium. Sputum post-bronkoskopi diekspektorasikan dalam 24 jam setelah bronkoskopi.4

Diagnosis kanker paru dengan sputum induksi dapat menjadi alternatif dari pemeriksaan bronkoskopi. Dari penelitian Khajotia (2009), 25 pasien dari kelompok sputum induksi didiagnosis menderita kanker paru primer; sputum induksi positif ditemukan sel-sel keganasan terdapat pada 21 orang (84%), sedangkan bronkoskopi positif pada 23 orang (92%) (tidak berbeda secara signifikan). Sebagai perbandingan, dari sputum spontan didapatkan positif pada 15 dari 29 orang (52%) yang didiagnosis menderita kanker paru primer, sedangkan bronkoskopi positif pada 28 (97%) (p<0.001).9

Dari penelitian Astowo (1994) pada 50 orang (44 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang dilakukan teknik pengumpulan sputum spontan (langsung dibatukkan) dan sputum induksi inhalasi NaCl 3% di UPF Paru RS. Persahabatan Jakarta, didapatkan hasil kepositifan sitologi sputum spontan sebanyak 16% dan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3% sebanyak 26%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0.05) dan tidak didapati komplikasi inhalasi NaCl 3% dalam penelitian ini.10


(23)

Dari penelitian Rizzo dkk. (1990) yang melibatkan 249 orang yang diambil secara consecutive sampling, didapatkan hasil bahwa lebih banyak sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan fiksasi Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan fiksasi Saccomanno.11

Penelitian Salman (2002) melibatkan 93 orang yang memenuhi kriteria inklusi (78 orang laki-laki dan 15 orang perempuan). Penelitian ini membandingkan kepositifan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% yang tidak difiksasi (teknik langsung) dengan sitologi sputum induksi NaCl 3% yang difiksasi dengan Saccomanno, dan didapatkan hasil peningkatan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno (18.3%) dibandingkan dengan teknik langsung (4.3%) dalam menegakkan diagnosis kanker paru di RS. Persahabatan Jakarta. Penelitian ini menggunakan pemeriksaan bronkoskopi (bilasan, sikatan, biopsi aspirasi jarum maupun biopsi), trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal lung biopsy (TTLB), biopsi jarum halus kelenjar getah bening, sitologi cairan pleura, dan biopsi pleura sebagai baku emas (gold standard) penelitiannya.12

Penelitian Purnomo (2009-2010) yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta melibatkan 57 orang yang memenuhi kriteria inklusi (40 orang laki-laki dan 17 orang perempuan) dan menggunakan trans thoracal needle aspiration (TTNA), sikatan bronkus, aspirasi jarum halus kelenjar


(24)

getah bening, dan sitologi cairan pleura sebagai baku emas. Didapatkan hasil sensitivitas yang lebih tinggi (10.5%) pada sitologi sputum induksi NaCl 3% tiga hari berturut-turut dengan fiksasi Saccomanno dibandingkan dengan sensitivitas 3.5% pada sitologi sputum induksi NaCl 3% satu kali dengan fiksasi alkohol. Sedangkan bilasan bronkus dengan fiksasi alkohol memiliki sensitivitas sebesar 24.6%.13

Blocking dkk. telah menunjukkan bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14

Sedangkan pemeriksaan sitologi post-bronkoskopi pernah dilaporkan dalam enam buah penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Kvale dkk. (1976) menunjukkan sensitivitas dari sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 14%, penelitian Chopra dkk. (1977) 48%, penelitian Chandhary dkk. (1978) 51%, penelitian Mori dkk. (1989) 21%, penelitian de Gracia dkk. (1993) 30%, dan penelitian Wongsurakiat dkk. (1998) menunjukkan sensitivitas 8%. Dari kumpulan penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas sitologi sputum post-bronkoskopi berkisar antara 8-51%, dengan nilai rata-rata 35% (Schreiber dan McCrory, 2003).6

Dari penelitian Cok dkk. (2006) di Turki, didapatkan sensitivitas sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 33%, sedangkan dari sitologi BAL (34.7%), sikatan bronkus/brushing (50.8%), TBNA (43.4%), biopsi aspirasi (43.9%), dan biopsi mukosa (71.1%). Biopsi mukosa, sikatan bronkus, dan


(25)

biopsi aspirasi menunjukkan cakupan diagnostik yang lebih tinggi pada kanker paru sentral atau tumor endobronkial.Ditemukan diagnosis pasti pada 11 orang pasien dengan sputum post-bronkoskopi, dan pada 10 orang tidak ditemukan lesi endobronkial.15

Penelitian Funahashi, dkk. (1979) melibatkan 273 orang pasien yang dilakukan tindakan bronkoskopi dan dipantau selama 27 bulan, didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi) menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi).16

Namun pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976) yang meneliti tindakan bronkoskopi fleksibel pada 228 pasien untuk menentukan jenis spesimen mana yang memberikan nilai diagnostik terbanyak, didapatkan sitologi sputum post-bronkoskopi positif pada 40% kasus, kombinasi sikatan bronkus dan biopsi (65%), dan yang paling akurat adalah kombinasi sikatan bronkus dengan biopsi bronkus (79%).17

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil uraian dan latar belakang tersebut, peneliti ingin meneliti apakah pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% berbeda


(26)

dengan pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

1.3. Hipotesis

Pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% berbeda dengan pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru. 1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk memperoleh gambaran karakteristik (umur dan jenis kelamin) pasien yang dicurigai menderita kanker paru yang termasuk dalam criteria inklusi penelitian yang dirawat di beberapa rumah sakit di Medan (RS. Adam Malik, RS. Tembakau Deli, dan RS. Tentara Putri Hijau Kesdam Tk.II/BB).

2. Untuk mengetahui distribusi kasus kanker paru yang sesuai dengan gambaran radiologi (foto toraks, CT scan toraks) dan pemeriksaan patologi anatomi pada penderita kanker paru yang dirawat di beberapa rumah sakit tersebut.


(27)

3. Untuk mengetahui ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno.

4. Untuk mengetahui ketepatan sitologi sputum post-bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno.

1.5. Manfaat Penelitian

Pemeriksaan sitologi sputum yang diinduksi dengan NaCl 3% dan difiksasi dengan larutan Saccomanno belum lazim dilakukan di rumah sakit-rumah sakit di Medan, sehingga kalau penelitian ini berhasil diharapkan teknik ini dapat menjadi salah satu pemeriksaan diagnostik non invasif yang dapat diandalkan untuk membantu penegakan diagnosis kanker paru, terutama di daerah-daerah perifer.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kanker Paru

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yaitu tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic

carcinoma).18

2.2. Epidemiologi Kanker Paru

Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering, berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena 1 dari 13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun 2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang meninggal karena kanker.19 American Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai berikut :20

- Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosa (116.750 orang laki-laki dan 105.770 orang perempuan).


(29)

- Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus kematian karena kanker.

Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan merokok yang bervariasi di seluruh dunia.19

Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan. Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah seluruh penderita rawat jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap.18

2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru

Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola dari insidensi kanker paru baik pada laki-laki maupun perempuan


(30)

berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda.21

Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.19

2.4. Diagnosis Kanker Paru

2.4.1. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.22

Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi :19,22

2.4.1.1. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)

Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi sputum. Produksi sputum yang berlebih merupakan suatu gejala karsinoma sel


(31)

bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma). Hemoptisis (batuk darah) merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri dada juga umum terjadi dan bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas (dyspnea) dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor dapat ditemukan bila trakea sudah terlibat.

2.4.1.2. Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal

Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler. Tumor lobus atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau menyebabkan kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu nyeri kepala, wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil tangan. Tumor di sebelah kiri dapat mengkompresi nervus laringeus rekurens


(32)

yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan suara serak dan paralisis pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar mediastinum yang membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan akhirnya disfagia.

2.4.1.3. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis

Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor, melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri. Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea (galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone (ACTH), antidiuretic hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker paru, namun hanya sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing finger) dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan dengan kanker paru.


(33)

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik19

Sering terjadi Jarang terjadi

Secara umum

Anoreksia

Kaheksia

Penurunan berat badan

Jari tabuh HPOA Demam Endokarditis marantik Endokrin Hiperkalsemia SIADH Hematologi Anemia Polisitemia Jaringan ikat/vaskulitis Dermatomiositis/polimiositis

Systemic Lupus Erythematosus

Kulit Acanthosis nigricans Iktiosis didapat Keratoderma palmoplantar didapat Dermatomiositis Eritema annulare Dermatitis eksfoliatif Pemfigus Pruritis Hiperkalsitonemia Hipoglikemia Hipofosfatemia Asidosis laktat Hematologi Amiloidosis Eosinofilia Lekositosis Reaksi lekoeritroblastik Polisitemia Trombositopenia


(34)

Neurologi

Sindroma miastenia Lam

bert-Eaton

Neuropati perifer

Endokrin

Akromegali

Sindroma karsinoid

Sindroma Cushing

Ginekomastia

Neurologi

Neuropati otonomik

Degenerasi serebelar

Ensefalitis limbic

Mielinosis pontin

Retinopati

Ginjal

Glomerulonefritis

Tubulointerstitial

2.4.1.4. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis

Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan sebelumnya) sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker paru umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan kulit. Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local. Metastasis ke tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung melibatkan tulang iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke otak, maka akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti confusion, perubahan kepribadian, dan kejang. Kelenjar getah bening supraklavikular dan servikal


(35)

anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin dalam mengevaluasi pasien kanker paru.

2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu penyakit. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil yang informatif. Pada pasien kanker paru dapat ditemukan demam, kelainan suara pernafasan pada paru, pembesaran pada kelenjar getah bening, pembesaran hepar, pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, atau pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan otot regional atau umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit menghitam, atau bibir dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang mengindikasikan tumor primer ke organ lain.22

2.4.3. Pemeriksaan Radiologi

2.4.3.1. Foto toraks

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. Pada foto toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.22


(36)

Pemberian OAT pada penderita golongan risiko tinggi yang tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menimbulkan pemikiran kemungkinan kanker paru dan melakukan pemeriksaan penunjang lain sehingga kanker paru dapat disingkirkan. Pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor di balik pneumonia tersebut.18

Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru.2

Gambaran radiologi

Karsinoma sel skuamosa

Adenokar sinoma

Karsinoma sel kecil

Karsinoma sel besar

Nodul ≤4 cm 14% 46% 21% 18%

Lokasi perifer 29% 65% 26% 61%

Lokasi sentral 64% 5% 74% 42%

Massa

hilar/perihilar 40% 17% 78% 32%

Kavitas 5% 3% 0% 4%

Keterlibatan pleura/dinding

dada

3% 14% 5% 2%

Adenopati hilar 38% 19% 61% 32%

Adenopati


(37)

2.4.3.2. CT scan toraks

CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat dilihat dengan foto toraks, dapat menentukan ukuran, bentuk, dan lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening regional.22 Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi ada/tidak adanya pembesaran KGB adrenal.18

2.4.3.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging Scans)

MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi area yang sulit diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti diafragma atau bagian apeks paru (untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke vertebra).22

2.4.3.4. PET scan (Positron Emission Tomography)

PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul glukosa yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam tubuh kemudian


(38)

scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa daripada sel yang normal karena sel-sel kanker bertumbuh dan bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan dengan sel kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor metastasis tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.22

PET scan tidak rutin digunakan sebagai tes diagnostik lini pertama untuk kanker paru, kadang digunakan setelah foto toraks atau CT scan toraks untuk membedakan antara tumor jinak dan ganas. PET scan khusus digunakan untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional dan metastasis jauh. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi yang lain dari kanker yang juga dapat menyebabkan gambaran positif PET scan. Gambaran PET scan sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan dikorelasikan dengan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.22

2.4.4. Sitologi Sputum

Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan pula berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem bronkopulmoner yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses patologis yang mendasarinya. Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau sel darah merah dari


(39)

saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa orofaring atau sisa-sisa makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan komponen utama dari sputum (90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum adalah karakteristik fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.23

Analisa sputum dapat melengkapi pemeriksaan CT scan toraks, oleh karena sel-sel tumor yang terletak di saluran nafas sentral akan ber-eksfoliatif ke dalam sputum lebih banyak dibandingkan sel-sel tumor yang berada di perifer.24 Dasar dari gambaran sitologi sel-sel epitel bronkus mengalami eksfoliatif ke dalam sputum dapat memprediksikan risiko terjadinya kanker paru yaitu dari pemikiran bahwa perubahan sitologi sel epitel bronkus karena sel-sel mengalami progresi melalui tahapan-tahapan dari inflamasi menjadi kanker paru. Dasar ini dibuktikan dengan sering ditemukannya gambaran metaplasia skuamosa bronkus dan sel-sel atipik pada kanker paru yang invasif, dan penemuan dari beberapa kasus bahwa pasien-pasien dengan sitologi sputum yang jelek atau atipik sedang memiliki risiko yang tinggi untuk menderita kanker paru.25

Pemeriksaan sitologi sputum saat ini menjadi satu-satunya metode non invasif yang dapat mendeteksi kanker paru dan lesi-lesi pre-keganasan secara


(40)

dini. Walaupun spesifitas sitologi sputum konvensional sangat tinggi (98%), namun sensitivitasnya sangat rendah.24 Sitologi sputum memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral (71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%).6,14 Jenis sel tumor, lokasi, dan ukuran tumor mempengaruhi sensitivitas sitologi sputum. Cakupan diagnostik paling tinggi pada karsinoma skuamosa dan karsinoma sel kecil, tetapi paling rendah pada adenokarsinoma. Tumor yang lokasinya di sentral atau berada di lobus bawah dan berdiameter >2 cm memiliki cakupan yang lebih tinggi. Sitologi sputum memiliki akurasi 50-80% tergantung dari derajat diferensiasi sel-sel tumor. Tumor berdiferensiasi buruk akan lebih sulit untuk menentukan subtipe-nya. Pada pasien-pasien dengan tumor perifer yang berukuran kecil yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks, hanya sekitar 4-11% kasus yang dapat dideteksi dengan sitologi sputum saja, dan 7-15% kasus dapat terdeteksi dengan kedua modalitas tersebut.24,26 Pemeriksaan sitologi sputum sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan sampel sputum yang adekuat, yang mencakup elemen-elemen seluler saluran nafas bawah. Akurasi diagnostik dari sitologi sputum, bagaimanapun, tergantung dari pengambilan sampel (minimal 3 sampel) dan teknik pengumpulan sputum, serta lokasi (sentral atau perifer) dan ukuran tumor. Blocking dkk. telah menunjukkan bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14 Cara yang paling mudah adalah dengan cara batuk spontan di pagi hari, dengan mengumpulkan tiga buah sampel sputum sekuensial I selama 3 hari dan 3 buah sampel sputum


(41)

sekuensial II selama 3 hari, untuk mendapatkan sputum yang sama adekuat dengan sputum induksi NaCl 3%. Sampel sputum sekuensial II dapat mencakup lebih banyak kelainan dibandingkan dengan sekuensial I, oleh karena pasien sudah belajar membatukkan. Pada pasien-pasien yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan, induksi dengan NaCl 3% dapat lebih efektif. Perkusi dan vibrasi dada juga dapat meningkatkan cakupan diagnostik sputum.25,27 Sputum pertama di pagi hari atau sputum setelah/post bronkoskopi cenderung memiliki cakupan diagnostik yang lebih tinggi. Cakupan diagnostik dari hanya satu sampel sputum berkisar 40%, namun dengan pengumpulan yang berulang dapat mencapai >80% dari 4 sampel sputum. Bila ditangani oleh tenaga yang terampil, maka kekerapan terjadinya “false-postive” tidak melebihi dari 1%.26

Terdapat dua metode untuk mengumpulkan/fiksasi sputum untuk pemeriksaan sitologi sputum, yaitu teknik pick-and-smear (sputum langsung/segar) dan teknik Saccomanno (blended). Teknik pick-and-smear merupakan metode yang cepat, sederhana, dan murah untuk mengumpulkan sputum, dimana sputum yang segar diperiksakan fragmen-fragmen jaringannya, darah, atau keduanya. Apusan dibuat dengan segera dan difiksasi dalam etanol 95%. Modifikasi dari metode ini adalah teknik fiksasi Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dalam larutan etanol 50% dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Sputum yang terkumpul kemudian dihomogenisasi dalam blender dan dikonsentrasikan dengan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang.


(42)

Beberapa sediaan apus (smears) dapat dibuat dari material seluler yang telah dikonsentrasikan (sedimen), dengan menggunakan dua buah kaca objek, dikeringkan di udara ruangan selama minimal 1 jam, kemudian diwarnai dengan teknik Papanicolaou. Larutan fiksasi Saccomanno yang mengandung carbowax lebih efektif/superior dibandingkan dengan hanya menggunakan etanol saja. Keuntungan dari teknik fiksasi Saccomanno ini adalah pengumpulan sampel sputum yang homogen, pengawetan sel-sel yang lama, dan preparasi sel yang tipis (thin-layer cell preparation). Sedangkan kekurangannya adalah pemecahan agregat-agregat sel dan fragmen-fragmen jaringan sewaktu homogenisasi, serta membutuhkan tenaga laboran yang terampil.25,27,28

Pada penelitian Rizzo dkk., lebih banyak sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan teknik fiksasi Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan teknik Saccomanno.11

Kategori diagnostik untuk pemeriksaan sitologi meliputi :28

a. Tidak dapat didiagnosis (non-diagnostic specimens)

Bila pada spesimen tidak terdapat materi seluler, hanya ditemukan adanya sel-sel darah atau artefak-artefak sewaktu preservasi. Termasuk dalam kategori ini adalah specimen yang terdiri dari elemen-elemen seluler jinak


(43)

(epitel, makrofag, sel-sel inflamasi). Dalam hal ini harus dikemukakan alasan kenapa dimasukkan ke dalam kategori ini.

b. Lesi jinak spesifik (specific benign lesions)

Kategori ini meliputi semua neoplasma jinak, proses inflamasi, dan apusan pada proses infeksi (jamur, mycobacterium, dan bakteri), serta harus dideskripsikan secara spesifik, seperti jinak-hamartoma, jinak-inflamasi granuloma yang sesuai dengan tuberculosis, dan lain sebagainya.

c. Atipikal, kemungkinan jinak (atypical cells present, probably benign)

Kategori ini digunakan bila ditemukan komponen epitel atau mesenkim dengan inti atipik (nuclear atypia) sebagai perubahan yang reaktif atau reparatif (reparative). Diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi membutuhkan korelasi patologi klinik dan pemeriksaan tambahan bila ada indikasi secara klinis.

d. Atipikal, curiga keganasan (atypical, suspicious malignancy)

Kategori ini meliputi specimen yang menunjukkan gambaran atipik yang diyakini berisiko tinggi terjadinya keganasan (sel-sel sangat abnormal).

e. Keganasan (malignancy)

Kategori ini dibuat bila ditemukan adanya diagnosis definitif keganasan, disertai dengan jenis histologi karsinoma. Harus dideskripsikan apakah


(44)

keganasan berasal dari epital atau non-epitel, dan bila berasal dari epitel, harus dijabarkan lebih lanjut apakah sel kecil (small cell) atau bukan sel kecil (non small cell) ataukah metastasis. Oleh karena itu sangat dibutuhkan korelasi dengan klinis.

Sitologi sputum telah dipublikasikan sebagai metode untuk mengetahui risiko terjadinya kanker paru. Saccomanno dkk. melaporkan progresi dari perubahan sitologi sampai menjadi karsinoma pada populasi risiko tinggi di Colorado Barat. Perubahan morfologi sitologi ini dapat mendeteksi dini kanker paru dan perubahan lesi-lesi pre-keganasan dapat terdeteksi beberapa tahun sebelum diagnosis kanker paru ditegakkan secara klinis.6,18 Telah dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa atipik berat akan berisiko 45% berkembang menjadi kanker paru dalam 2 tahun. Pada penelitian Johns Hopkins dalam National Cancer Institute Cooperative Early Lung Cancer Detection Project, dinyatakan bahwa atipik sedang juga berisiko berkembang menjadi kanker paru. Sebanyak 40% pasien dengan atipik sedang berkembang menjadi kanker paru dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan 3% pasien non atipik.27


(45)

Gambar 1A Gambar 1B

Gambar 1. Sitologi sputum27

Keterangan :

1A. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus yang normal pada sputum, dengan inti yang eksentrik dan sitoplasma apical yang banyak.

1B. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus pada sputum dengan atipik sedang, sel eosinofilik dengan rasio inti : sitoplasma besar, membran inti ireguler, dan nukleolus yang berbeda.

Induksi sputum

Sputum yang didapatkan menggambarkan bagian bronkus. Sputum berisi hasil sekresi dari sel-sel epitel dan submukosa pernafasan. Dengan induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas bawah. Induksi


(46)

sputum juga mengandung saliva, transudat, dan larutan sodium klorid. Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Induksi sputum dapat menstimulasi batuk yang lebih produktif.23 Sputum induksi mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing) tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8

Belum ada metode standar untuk induksi sputum. Prinsip yang ada pada berbagai metode ialah :8

1. Pengobatan awal dengan bronkodilator (salbutamol) kerja singkat 2. Monitoring faal paru

3. Nebulisasi dengan nebulizer ultrasonik/jet nebulizer 4. Konsentrasi cairan saline umumnya 3%, 4%, atau 5%.

Efek samping dari nebulisasi jarang terjadi, umumnya berupa pusing (dizziness) karena hiperventilasi atau mual (nausea) karena larutan saline hipertoniknya.29 Selain itu dapat terjadi juga bronkospasme terutama pada pasien-pasien dengan riwayat asma, dapat dicegah dengan pemberian bronkodilator (salbutamol 2.5 mg) sebelum pemberian cairan saline. Pemberian saline hipertonik lebih efektif dibandingkan saline normal dalam hal menginduksi pengeluaran sputum. Tidak ada perbedaan hasil komposisi sel akibat perbedaan konsentrasi saline. Penggunaan nebulizer ultrasonik lebih berhasil dibandingkan dengan nebulizer jet.8,27 Menurut Marek dkk. induksi


(47)

sputum dapat dilakukan dengan inhalasi NaCl 3% selama 20 menit (disertai dengan 2.5 mg Salbutamol dalam 20 ml NaCl 3%).30

Pada kondisi normal, sel-sel epitel yang melapisi pohon trakeobronkial berdampingan (koheren) dengan ketat dan tidak dapat dieksfoliasikan dengan mudah ke dalam sputum. Oleh karena itu, pertanda yang paling baik dari batuk yang dalam (sputum adekuat) adalah adanya fagosit alveolar. Sebaliknya, air liur (saliva) ditandai oleh adanya sel-sel skuamosa superfisial dari mukosa mulut, sering dengan partikel-partikel makanan dan debris-debris seluler dan aselular. Kadang air liur pasti menyertai/bercampur dengan sputum; seorang ahli harus dapat mengidentifikasi dan memisahkan sputum dari air liur sebelum pemrosesan.29

Sputum Post Bronkoskopi

Ada beberapa teknik diagnostik yang biasanya dilakukan pada tindakan bronkoskopi, terutama bronkoskopi serat optik lentur/fleksibel, yaitu

washing, sikatan bronkus/brushing, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi

bronkus, dan juga sitologi sputum post bronkoskopi. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan sputum post bronkoskopi merupakan diagnostik yang valid.31

Pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976), tindakan bronkoskopi dilakukan pada 228 orang pasien. Penelitian bersifat prospektif untuk menentukan teknik pengambilan spesimen yang mana yang memberikan


(48)

cakupan diagnostik paling besar dalam mendiagnosis kanker paru, apakah sputum post bronkoskopi masih menjadi metode yang paling akurat, seperti waktu hanya bronkoskopi kaku (rigid bronchoscopy) yang tersedia. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dilakukan dari sikatan bronkus (brushing), biopsi bronkus, sikatan bronkus dalam larutan saline, cucian bronkus (washing), dan tiga buah sampel sputum post bronkoskopi selama 16-20 jam setelah tindakan post bronkoskopi. Sikatan bronkus dan biopsi bronkus memiliki cakupan diagnostik yang tinggi (65%), sedangkan sputum post bronkoskopi kurang (40%). Kombinasi sikatan bronkus dan biopsi bronkus memberikan akurasi yang paling optimal (79%). Sedangkan kombinasi washing dan sputum post bronkoskopi tidak meningkatkan cakupan diagnostik yang bermakna. Namun ada peneliti-peneliti lainnya yang memikirkan bahaya terjadinya hipoksemia oleh karena instilasi larutan saline ke dalam saluran napas pada saat bronkoskopi. Spesimen sputum post bronkoskopi dapat menempati peranan tersendiri. Walaupun pasien yang koperatif dapat melakukannya sendiri di rumah atau rumah sakit, tetapi tanggung jawab tersebut tetap berada pada tenaga paramedis.17

Penelitian Funahashi dkk. (1979) melakukan tindakan bronkoskopi pada 273 orang pasien untuk menentukan juga peranan aspirasi bronkus dan sputum post bronkoskopi (setelah prosedur, dalam 4 jam setelah prosedur, dan 24 jam setelah prosedur) dalam penegakan diagnosis kanker paru. Didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil


(49)

positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi) menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi). Sedangkan kombinasi biopsi forseps dan sikatan bronkus memiliki cakupan sebesar 97% (61 orang positif dari 63 orang pasien dengan tumor yang terlihat secara bronkoskopi).16

Larutan Fiksasi Saccomanno

Saccomanno merupakan larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 50% dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Etanol dapat diencerkan dari cairan etanol 96% dengan perbandingan 26 ml etanol 96% ditambah dengan 24 ml akuades. Polietilen glikol (PEG) atau yang disebut juga dengan carbowax/carbowax sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E. PEG adalah produk polimerasi dari etilen oksida atau produk kondensasi dari etilen glikol. Pemilihan kondisi reaksinya diperoleh produk dengan tingkat polimerasi yang berbeda, yang dinyatakan dengan berat molekul rata-rata. Dalam penelitian ini yang dipakai sebagai campuran Saccomanno adalah PEG 400, yang memiliki rumus kimia :

H-(O-CH2-CH2)nOH dengan n = 8.2 dan 9.1

PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik, larut dalam air, etanol 95%, aseton, dan hidrokarbon aromatik. PEG bersifat bakterisida, penyimpanannya selama


(50)

beberapa bulan tidak perlu mengkhawatirkan adanya pencemaran bakteri, oleh karena itu tidak diperlukan pengawetan sediaan.32

2.4.5. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan visualisasi trakea dan bronkus, melalui bronkoskop, yang berfungsi dalam prosedur diagnostik dan terapi penyakit paru.33 Bronkoskopi dengan tujuan diagnostik dapat diandalkan untuk mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya massa intra bronkus atau perubahan mukosa saluran nafas, seperti terlihat kelainan mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltratif, mudah berdarah. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus.Tampakan yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.18

Jenis Bronkoskopi

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel.33


(51)

Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel

Bronkoskopi ini mulai diperkenalkan oleh Shigeta Ikedo pada International Congress on Diseases of The Chest ke-9 di Kopenhagen tahun 1966.33 Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy (FOB), atau Flexible Bronchoscopy (FB) umumnya digunakan untuk diagnostik invasif dan tindakan terapeutik.33,34

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL).34

Indikasi BSOL/FB baik untuk diagnostik antara lain adalah hemoptisis/batuk darah, adanya wheezing/stridor, infiltrat paru yang tidak diketahui etiologinya, kolaps paru yang tidak diketahui penyebabnya, curiga karsinoma paru, massa mediastinal/hilus, trauma dada/ruptur saluran nafas sentral, dan lain-lain. Sedangkan kontraindikasinya adalah :35


(52)

a. Kontraindikasi absolut (hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi, pasien inkooperatif, kurangnya keterampilan operator maupun fasilitas/peralatan, unstable angina, aritmia yang tidak terkontrol).

b. Kontraindikasi relatif (hiperkarbia yang berat, asma yang tidak terkontrol, koagulopati yang tidak terkoreksi, unstable cervical spine, membutuhkan pengambilan spesimen dalam jumlah banyak, debilitas, usia lanjut, malnutrisi).

Pengambilan Spesimen

Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosa. Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti :35

1. Cucian bronkus (bronchial washing)

Manfaat cucian bronkus ini kebanyakan adalah untuk diagnosis penyakit saluran napas termasuk tumor paru primer ataupun sekunder dan infeksi jamur atau mikobakterium. Cucian bronkus merupakan pengambilan spesimen yang paling mudah tetapi memiliki cakupan diagnostik yang paling kecil dalam tindakan bronkoskopi (sensitivitas 27-90%), dengan cakupan yang paling besar untuk lesi-lesi sentral.

2. Sikatan bronkus (bronchial brushing)

Pertama kali diperkenalkan tahun 1973 dan menunjukkan cakupan diagnostik yang cukup tinggi pada kebanyakan kasus kanker paru.


(53)

Umumnya sikatan bronkus ini positif pada 72% kasus kanker paru sentral dan 45% kasus kanker paru perifer, tetapi bila dikombinasikan dengan biopsi endobronkial lesi sentral akan mencakup 79-96% kasus. Biasanya sikatan bronkus dilakukan setelah semua spesimen diambil untuk mencegah terjadinya perdarahan atau distorsi sel yang akan mengaburkan interpretasi sewaktu tindakan bronkoskopi.

3. Protected Specimen Brush

Pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Wimberley dkk. sebagai suatu teknik pengambilan untuk mendapatkan diagnosis yang akurat pada pasien-pasien pneumonia. Pada kasus VAP (Ventilator-associated pneumonia), sensitivitasnya berkisar antara 58-86% dan spesifisitasnya 71-100%. Namun sekarang, teknik ini kurang dipopulerkan lagi.

4. Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Teknik ini merupakan prosedur standar diagnostik pada semua pasien yang dicurigai mengalami kelainan paru difus (infeksi, non infeksi, imunologik, atau keganasan). BAL mencakup komponen seluler maupun non seluler dari lapisan cairan alveolus dan permukaan epitel saluran napas bawah, mewakili proses inflamasi dan status imun dari saluran napas bawah dan alveoli. BAL dianjurkan bila ada kemungkinan terjadinya perdarahan saat dilakukannya sikatan bronkus, biopsi transbronkial, aspirasi jarum transbronkial, ataupun bila tidak ada fasilitas fluoroskopi. BAL juga dapat mendiagnosis kanker paru primer perifer


(54)

dengan cakupan diagnostik sekitar 33-69%, bronkoalveolar carcinoma, maupun lymphangitic carcinomatosis.

5. Biopsi endobronkial

Teknik ini sangat penting dan sederhana untuk mendiagnosis kanker paru, dilakukan pada lesi-lesi yang jelas terlihat selama bronkoskopi. Biopsi endobronkial memiliki cakupan diagnostik berkisar antara 51-97%. Tiga sampel biopsi yang diambil dari lesi endobronkial akan memberikan cakupan sebesar 97%, tetapi bisa menunjukkan hasil yang negatif palsu bila terdapat nekrosis perifer.

6. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA merupakan teknik yang sensitif, akurat, aman, dan efektif secara finansial untuk diagnosis maupun penentuan stadium kanker paru. Pada beberapa kasus juga dapat digunakan untuk lesi-lesi benign (jinak). Prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut dari TBNA. Sindroma vena kava superior (SVKS) merupakan kontraindikasi relatif TBNA oleh karena dapat menyebabkan risiko perdarahan. Penegakan diagnosis dan staging karsinoma bronkogenik dapat menggunakan jarum sitologi ukuran 21-22 gauge, tetapi untuk lesi jinak dan limfoma menggunakan jarum yang lebih besar (19-gauge). Pada kanker paru TBNA memiliki sensitivitas 60-90%, spesifisitas 98-100%, dan akurasi 60-90%. Sedangkan untuk mediastinal staging TBNA memiliki sensitivitas 50%, spesifisitas 96%, dan akurasi 78%. TBNA juga aman dipakai pada pasien-pasien yang menggunakan ventilasi mekanik.


(55)

7. Biopsi transbronkial

Teknik ini menggunakan forseps yang fleksibel yang diposisikan ke lesi-lesi perifer (parenkim paru) melalui bronkoskop fleksibel. Pada beberapa keadaan teknik ini dapat menggantikan biopsi paru terbuka (open lung biopsy). Teknik ini memiliki sensitivitas berkisar antara 38-79% (rata-rata 52%) tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Biasanya dibuat 6-10 sampel dengan menggunakan tuntunan fluoroskopi. Bila dilakukan bersamaan dengan sikatan bronkus dan aspirasi jarum transbronkial (TBNA) maka akan meningkatkan cakupan diagnostik untuk kanker paru yang perifer.

Penilaian visualisasi saluran trakeobronkial (tracheobronchial system) :36 1. Normal

Gambar 3. Percabangan bronkus yang dapat dilihat bronkoskopis pada posisi pasien telentang (supine).36


(56)

2. Perubahan inflamasi

Inflamasi dapat bersifat generalisata (generalized) seperti pada bronkitis kronis, atau terlokalisasi (localized) misalnya inflamasi di sekitar benda asing (corpus alineum). Dapat juga bersifat akut (pneumonia segmental) atau kronis (tuberkulosis). Perubahan inflamasi meliputi :

a. Mukosa hiperemis dan vaskuler bertambah (merah gelap atau beefy-red). Mukosa bronkus yang normal berwarna merah muda kepucatan (palepink) atau peach-coloured.

Gambar 4. Perubahan inflamasi pada bronkitis kronis.36

b. Pembengkakan (swelling)

Pada inflamasi yang ringan, sudut karina dapat sedikit tumpul atau kabur, atau hilangnya kontur kartilago bronkus. Sedangkan pada inflamasi yang berat, bronkus dapat menyempit.


(57)

c. Sekresi

Mukosa yang normal hanya memproduksi sedikit mukus yang jernih untuk tujuan pembersihan. Pada inflamasi, sekresi dapat menjadi kental, misalnya mukoid berlebihan (bronkitis kronis), mukus kental dan tebal, membentuk plug (asma), secret purulen (infeksi berat, bronkitis purulen).

d. Perubahan lokal (localized changes)

Reaksi lokal mendukung pada kemungkinan adanya pneumonia, abses paru, tuberkulosis, inhalasi benda asing, bronkiektasis, kanker paru, dan lain-lain.

e. Perubahan lainnya (associated changes)

Terutama dapat terlihat pada pasien-pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), yang meliputi atrofi submukosa, hipertrofi dinding membran bronkiolus-bronkiolus kecil.

f. Tuberkulosis

Dapat terlihat inflamasi endobronkial atau distorsi lumen trakea/bronkus oleh karena limfadenopati ekstrabronkial.


(58)

g. Tumor paru

Secara bronkoskopi, tumor paru dapat terlihat dalam tiga bentuk utama :

- Distorsi dari bronkus karena tekanan dari luar pada pohon bronkus; limfadenopati sekunder mengakibatkan karina melebar, dinding trakea/bronkus utama menonjol.

- Keterlibatan dinding bronkus dengan distorsi lokal atau ulserasi mukosa. - Pertumbuhan intralumen bisa berasal dari tumor itu sendiri, perluasan dari

massa tumor, atau rupturnya kelenjar getah bening ke dinding bronkus. Pertumbuhan intralumen dapat terjadi sebagian atau total menutupi lumen bronkus.

Karakteristik bronkoskopi :

- Tampak massa berlobus-lobus atau nekrotik dan berwarna putih/krem, bercak-bercak darah dan pelebaran pembuluh darah di permukaan mukosa bronkus.

2.5. Klasifikasi Kanker Paru

Klasifikasi kanker paru secara histologi dibagi menjadi 4 jenis untuk kebutuhan klinis, yaitu :18

1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid) 2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)


(59)

3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)

4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)

Dalam 1554 data-data yang dikombinasikan dari penelitian-penelitian di Cancer Incidence in Five Continents, dinyatakan bahwa karsinoma sel kecil berkisar 20% dari seluruh kasus dan karsinoma sel besar/undifferentiated sekitar 9%. Namun tipe histologi lainnya berbeda berdasarkan jenis kelamin, yaitu: karsinoma sel skuamosa sekitar 44% dari seluruh kasus kanker paru pada laki-laki dan 25% pada perempuan, sedangkan adenokarsinoma sekitar 28% pada laki-laki dan 42% pada perempuan.2

Karsinoma sel skuamosa merupakan tipe histologi kanker paru yang paling sering pada laki-laki. Insidensinya pada laki-laki menurun sejak awal tahun 1980-an, berbeda dengan adenokarsinoma, insidensinya semakin meningkat sampai tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an adenokarsinoma menjadi tipe histologi kanker paru yang paling banyak pada laki-laki di Amerika Serikat. Di negara-negara barat lainnya, karsinoma sel skuamosa masih menjadi tipe yang paling banyak pada laki-laki. Pada perempuan, adenokarsinoma menjadi tipe yang paling sering (± 1/3 kasus), demikian juga insidensinya semakin meningkat.21 Adenokarsinoma terutama banyak ditemukan pada perempuan-perempuan Asia (72% dari kasus kanker di Jepang, 65% di Korea, 61% di Cina Singapura).2 Perbedaan tipe histologi tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebiasaan merokok secara epidemi.2,21


(60)

2.6. Sitologi Kanker Paru

2.6.1. Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa adalah suatu tumor epitel ganas yang menunjukkan keratinisasi skuamosa dan keratinisasi intraselular dengan/tanpa intercellular bridges, yang berasal dari epitel bronkus. Sinonimnya adalah karsinoma epidermoid. Pada umumnya karsinoma sel skuamosa ini berada sentral di bronkus utama, bronkus lobar atau segmental. Tidak jarang karsinoma sel skuamosa memiliki kavitas.2,24

Manifestasi sitologi dari karsinoma sel skuamosa bergantung pada derajat diferensiasi histologi dan jenis sampelnya. Pada latar belakang nekrosis dan debris seluler, sel tumor yang besar menunjukkan inti (nukleus) hiperkromatik yang ireguler dan terletak di tengah, dengan satu atau lebih anak inti (nukleolus) dan sitoplasma yang sedikit. Sel tumor biasanya terisolasi dan dapat menunjukkan bentuk bizarre, seperti bentuk spindle dan tadpole. Sel-sel tampak dalam bentuk agregat yang kohesif, biasanya bentuk datar dengan nukleus yang panjang atau spindel. Pada karsinoma sel skuamosa yang berdiferensiasi baik, sitoplasma yang berkeratin tampak seperti robin’s egg blue pada pewarnaan Romanowsky, sedangkan dengan pewarnaan Papanicolaou, tampak berwarna orange atau kuning. Pada sampel yang eksfoliatif, lebih dominan sel-sel berasal dari permukaan tumor dan tampak sebagai sel yang mengalami keratinisasi sitoplasma prominen dan nukleus piknotik yang gelap. Sebaliknya, pada sikatan bronkus, sel-sel berasal dari


(61)

lapisan yang lebih dalam, menunjukkan jauh lebih banyak agregat yang kohesif.2

Gambar 5A Gambar 5B Gambar 5C

Gambar 5. Sitologi karsinoma sel skuamosa.2

5A. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi (pewarnaan Papanicolaou).

5B. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (pewarnaan Papanicolaou).

5C. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (aspirasi jarum halus, pewarnaan Papanicolaou).

2.6.2. Adenokarsinoma

Adenokarsinoma adalah suatu tumor epitel ganas dengan diferensiasi glandular atau produksi mukus, menunjukkan bentuk pertumbuhan asinar, papiler, bronkioloalveolar, atau solid dengan mukus, atau campuran dari bentuk-bentuk tersebut. Adenokarsinoma biasanya berada di perifer.2,15

Klasifikasi WHO membagi tumor ini menjadi tipe asinar atau papilar, walaupun dalam prakteknya kedua tipe ini bisa didapatkan bersamaan dalam


(62)

satu tumor. Keduanya cenderung memproduksi mukus. Klasifikasi WHO juga meliputi karsinoma bronkioloalveolar (juga dikenal sebagai karsinoma sel alveolar) sebagai tipe adenokarsinoma. Penelitian dengan mikroskop elektronik menunjukkan bahwa tumor ini berasal dari sel epitel pada atau lebih distal dari bronkiolus terminalis. Secara inspeksi, batas tumor tampak kurang tegas dibandingkan dengan jenis lainnya, sering tampak sebagai nodul pulmoner multipel atau sebagai konsolidasi pneumonia perifer. Sel tumor sering mengalami eksfoliasi dan dapat dideteksi pada sputum.24

Diagnosis adenokarsinoma secara sitologi berdasarkan gabungan sitomorfologi sel secara individual dan tampilan kelompok-kelompok sel. Sel adenokarsinoma bisa sendiri atau tersusun dalam morula tiga dimensi, asinus, pseudopapila, papilla sejati dengan inti fibrovaskular, dengan/tanpa potongan sel. Batas kelompok sel tegas dan khas. Volume sitoplasma bervariasi tetapi biasanya relatif sedikit. Biasanya khas bersifat sianofilik dan lebih translusen dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa. Pada umumnya sitoplasma bersifat homogen atau granular dan sebagian bersifat ‘foamy’ oleh karena adanya vakuola-vakuola kecil. Vakuola besar, tunggal, yang berisi mukus banyak ditemukan, dan pada beberapa kasus, dapat meregangkan sitoplasma dan menekan nukleus ke satu arah, membentuk yang disebut signet-ring cell. Nukleus biasanya tunggal, eksentrik, berbentuk bulat sampai oval dengan kontur yang relatif halus dan sedikit ireguler. Kromatin cenderung bergranular halus dan tersebar pada tumor yang berdiferensiasi baik tetapi terdistribusi kasar dan ireguler atau hiperkromatik pada tumor yang berdiferensiasi buruk.


(63)

Pada kebanyakan tumor, nukleolus prominen dan secara khas bersifat tunggal, makronukleolus, bervariasi mulai dari halus sampai bulat ireguler.2

Gambar 6A Gambar 6B Gambar 6C

Gambar 6. Sitologi adenokarsinoma.2

6A. Tiga dimensi, kelompok besar sel-sel ganas, dengan struktur nukleus yang tidak jelas, nukleolus, dan sitoplasma yang bervakuola halus (pewarnaan Papanicolaou).

6B. Kelompok kohesif 3-dimensi dengan bentuk papilar (pewarnaan Papanicolaou).

6C. Kelompok sel-sel ganas dengan batas sitoplasma yang kurang jelas, tetapi menunjukkan vakuolisasi (pewarnaan Papanicolaou).

2.6.3. Karsinoma sel besar

Karsinoma sel besar adalah kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang tidak berdiferensiasi, yang tidak menunjukkan gambaran karsinoma sel kecil dan glandular atau diferensiasi skuamosa.2 Jenis tumor ini berkisar 15% dari kanker paru, heterogen, dan banyak peneliti menganggap karsinoma ini


(64)

disebut karsinoma anaplastik sel besar dan karsinoma sel besar tidak berdiferensiasi. Sebelum deskripsi istilah karsinoma neuroendokrin sel besar seperti tumor neuroendokrin sel besar, karsinoma neuroendokrin dengan diferensiasi sedang, tumor paru endokrin atipikal, dan karsinoma paru sel besar dengan diferensiasi neuroendokrin digunakan untuk tumor-tumor yang sekarang kita sebut sebagai karsinoma sel besar dengan diferensiasi neuroendokrin. Karsinoma sel besar dengan diferensiasi neuroendokrin dideskripsikan pada tahun 1991; karsinoma basaloid dipublikasikan pada tahun 1992, dan keduanya dikenal sebagai jenis yang jarang dalam klasifikasi WHO tahun 1999.2

Umumnya karsinoma sel besar tidak memiliki penampakan sitologi yang spesifik. Gambaran sitologi menunjukkan agregasi seluler; sel-sel jarang tersebar. Batas sel tidak jelas sehingga sinsitium sel tidak teratur. Nukleus bervariasi mulai dari bulat sampai bentuk yang sangat tidak teratur dengan kromatin inti yang ireguler. Nukleolus umumnya prominen. Sitoplasma basofilik, biasanya rasio inti: sitoplasma besar. Karsinoma sel besar dengan diferensiasi neuroendokrin menunjukkan gambaran neuroendokrin (inti palisade dan molding), tetapi dapat dibedakan dari karsinoma sel kecil dengan adanya nukleolus yang prominen dan nukleus lebih besar 3x dari diameter limfosit kecil. Karsinoma basaloid pada sediaan apusan terdiri dari sel tumor dan agregasi kohesif. Sel tumor bentuk spindel memiliki nukleus besar soliter dengan nukleolus yang besar, bercampur dengan sejumlah limfosit kecil.


(1)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Penderita rawat inap yang dicurigai menderita kanker paru dalam penelitian ini adalah sebanyak 55 orang dengan proporsi pasien laki-laki sebesar 80.0% dan perempuan sebesar 20.0%. Kasus paling banyak ditemukan pada pasien dengan kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebesar 60.0%, baik laki-laki maupun perempuan, dengan umur yang paling tua adalah 81 tahun dan yang paling muda adalah 38 tahun.

2. Dalam penelitian ini diketahui bahwa secara radiologi kasus tumor letak sentral adalah sebesar 61.8% dan tumor letak perifer sebesar 38.2%. Dari 55 orang yang diteliti didapatkan bahwa jumlah kasus yang menunjukkan hasil sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dimana tumor letak sentral sebesar 36.4% dan tumor letak perifer sebesar 10.9% dengan jenis karsinoma sel skuamosa paling banyak (36.4%) dan karsinoma sel kecil (10.9%). Sedangkan proporsi sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dengan kasus tumor sentral 34.5% (jenis karsinoma sel skuamosa 23.6%, karsinoma sel kecil 9.1%, adenokarsinoma 1.8%) dan tumor letak perifer sebesar 12.7% (jenis karsinoma sel skuamosa).


(2)

3. Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno adalah 42.8%.

4. Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno adalah 44.1%.

5. Ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno tidak berbeda secara signifikan dengan ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum post bronkoskopi.

5.2. Saran

Walaupun ketepatan sitologi sputum induksi NaCl 3% secara fiksasi Saccomanno hampir sama (tidak berbeda bermakna secara statistik) dengan sitologi sputum post bronkoskopi, namun hal ini berarti bahwa untuk menegakkan diagnosis kanker paru diperlukan pemeriksaan multimodalitas, dimana sitologi sputum induksi NaCl 3% secara fiksasi Saccomanno juga dapat dipertimbangkan sebelum tindakan diagnostik lainnya dilakukan seperti halnya bronkoskopi dan sitologi sputum post bronkoskopi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lanjutan dengan persiapan yang lebih baik dan jumlah sampel yang lebih banyak lagi, atau mungkin dengan kriteria inklusi yang homogen yaitu tumor paru letak sentral untuk mendapatkan ketepatan (sensitivitas) yang lebih tinggi dan lebih bermakna secara statistik.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Boyle P, Gandini S, Gray N. Epidemiology of lung cancer: a century of great success and ignominious failure. In: Hansen H, editor. Textbook of lung cancer. United Kingdom: Informa UK Ltd; 2008.p.9-10.

2. Travis WD, Brambila E, Hermelink KM, Harm CC, editors. WHO Classification of tumours. Pathology and genetics of tumours of the lung, pleura, thymus and heart. Lyon France: International Agency for Research On Cancer Press.

3. Huq Syed. Lung cancer, non-small cell. Division of hematology-oncology, Department of Internal Medicine, University of Missouri-Columbia School of Medicine, Ellis Fischel Cancer Center. 2010. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/279960-overview. Accessed on March 30th, 2011.

4. Solomon DA, Solliday NH, Gracey DR. Cytology in fiberoptic bronchoscopy. Comparison of Bronchial Brushing, Washing and Post-Bronchoscopy Sputum. CHEST Journal. 1974; 65. Available from: http://chestjournal.chestpubs.org/site/misc/reprints.xhtml. Accessed on August 13th, 2010.

5. Sutedja G. New techniques for early detection of lung cancer. European Respiratory Journal. 2003; 21. Available from: http://erj.ersjournals.com/content/21/39_suppl/57s.full.pdf. Accessed on August 13th, 2010.

6. Schreiber G, McCrory DC. Performance characteristics of different modalities for diagnosis of suspected lung cancer. CHEST. 2003; 123. 7. Siagian P. Peranan sitologi sputum pada diagnosis awal kanker paru

dengan kelainan foto toraks (tesis). Medan: Departemen Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2002. h.26-7. 8. Surjanto E, Martika NT. Induksi sputum pada asma. Bagian Pulmonologi

dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/SMF Paru RSUD Dr. Moewardi,

Surakarta. Available from: http://www.jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/INDUKSI SPUTUM

PADA ASMA_dr. Eddy S. revdoc.pdf. Accessed on February 12th, 2011. 9. Khajotia. Induced sputum and cytological diagnosis of lung cancer. The

Lancet. Volume 338. Available from: http://www.linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/014067369191839M.


(4)

10.Astowo P. Perbandingan kepositifan pemeriksaan sitologi sputum dengan cara langsung dan setelah perangsangan dengan inhalasi NaCl 3% untuk diagnosis kanker paru (tesis). Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994.

11.Rizzo T, Schumann GB, Riding JM. Comparison of the pick-and-smear and saccomanno methods for sputum cytologic analysis. Acta Cytology. 1990.

12.Salman TM. Perbandingan kepositifan pemeriksaan sitologi sputum setelah inhalasi NaCl 3% cara langsung dengan cara modifikasi saccomanno untuk diagnosis kanker paru (tesis). Jakarta: Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. h.14,39. 13.Purnomo J. Perbandingan pemeriksaan sitologi sputum inhalasi NaCl 3%

fiksasi alkohol dengan sputum inhalasi fiksasi saccomanno dan bilasan bronkus fiksasi alkohol untuk diagnosis kanker paru. J Respir Indo. Oktober 2010; 30 (4): 181-89.

14.Rivera MP, Mehta AC. Initial diagnosis of lung cancer. ACCP Evidence-based clinical practice guidelines (2nd Edition). CHEST Journal. CHEST Journal. 2007; 132: 131s-48s.

15.Cok G, Alpaydin AB, Solak ZA, Goksel T. Role of fiberoptic bronchoscopy in the diagnosis of primary lung cancers. Turkiye Klinikeri. 2006. Volume 7.

16.Funahashi A, Browne TK, Houser WC, Hranicka LJ. Diagnostic value of bronchial aspirate and postbronchoscopic sputum in fiberoptic bronchoscopy. CHEST Journal. 1979; 76: 514-17.

17.Kvale PA, Bode FR, Kini S. Diagnostic accuracy in lung cancer. Comparison of techniques used in association with flexible fiberoptic bronchoscopy. CHEST Journal. 1976; 69: 752-56.

18.Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman nasional untuk diagnosa & penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2005.

19.Shah P. Clinical considerations in lung cancer. In: Desai SR, editor. Lung cancer. New York: Cambridge University Press; 2007.p.1-11.


(5)

20.What Are The Key Statistics About Lung Cancer? American Cancer

Society. 2010. Available from: http://www.cancer.org/Cancer/LungCancerNonSmallCell/DetailedGuide/n

on-small-cell-lung-cancer-key-statistics.  Accessed on August 17th, 2010. 21.Maryska LG, Janssen H. Epidemiology of lung cancer. In: Syrigos KN,

Nutting CM, Roussos C, editors. Tumors of the chest. Biology, diagnosis and management. Germany: Springer Berlin Heidelberg; 2006.p.1-12. 22.Chapter 4: Lung Cancer Diagnosis and Staging. Available from:

http://www.lungcancerguidebook.org/lcguidebook_aug05/ch4_0605.pdf.  Accessed on August 19th, 2010.

23.Chodosh S. Sputum examination. In: Fishman AP, editor. Pulmonary diseases and disorders. Second Edition. Volume 1. New York: McGraw-Hill Inc; 1988.p.411-21.

24.Miller YE, Petty TL, Lam S. The early detection of lung cancer using bronchoscopy and cytology analysis. In: Pass HI, Carbone DP, Johnson DH, Minna JD, Turrisi AT, editors. Lung cancer: principles and practice. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.p.190-99.

25.Prindiville SA., Byers T, Hirsch FR, Franklin WA, Miller YE, Vu KO, et al. Sputum cytological atypia as a predictor of incident lung cancer in a cohort of heavy smokers with airflow obstruction. Volume 12. 2003. 26.Fergusson RJ. Lung cancer. In: Seaton A, Seaton D, Leitch AG, editors.

Crofton and Douglas’ respiratory diseases. 5th edition. Volume 1. Japan: Blackwell Science Ltd; 2000.p.1077-123.

27.Byers T, Wolf HJ, Franklin WA, Braudrick S, Merrick DT, Shroyer KR, et al. Sputum cytologic atypia predicts indicent lung cancer: defining latency and histologic spesificity. Cancer Epidemiology Biomarkers Prev; 2008. 28.Current Issues. Guidelines of the papanicolaou society of cytopathology

for the examination of cytologic specimens obtained from the respiratory tract. Diagnostic cytopathology. Papanicolaou society of cytopathology task force on standards of practice. Volume 21. Willey-Liss, Inc.; 1999.p. 62,66.

29.Zaman MB, Melamed MR. Pulmonary cytology. In: Fishman AP, editor. Pulmonary diseases and disorders. Second Edition. Volume 1. New York: McGraw-Hill Inc; 1988.p.427-33.


(6)

30.Marek W, Richartz G, Philippou S, Marek L, Kotschy-Lang N. Sputum screening for lung cancer in radon exposed uranium miners: a comparison of semi-automated sputum cytometry and conventional cytology. Journal of Physiology and Pharmacology. 2007; 58. Available from: http://www.jpp.krakow.pl. Accessed on September 4th, 2010.

31.Agarwal SP. Manual for cytology. India: Ministry of Health and Family Welfare; 2005.

32.Gustyawan I. Formulasi sediaan salep minyak atsiri daun jeruk nipis (Citrus aurantifolia (Cristm & Panz) Swingle) dengan basis polietilen glikol 400 dan polietilen glikol 4000 sebagai anti jerawat (skripsi). Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah; 2009; h.16-7. 33.Bronkoskopi. Wikipedia: Ensiklopedia Bebas. Available from:

http://www.id.wikipedia.org/wiki/Bronkoskopi.  Accessed on April 2nd, 2011.

34.Miyazawa T. History of the flexible bronchoscope. In: Bolliger CT, Mathur PN, editors. Interventional bronchoscopy. Volume 30. Kargel AG. Switzerland; 2000.

35.Kupeli E, Karnak D, Mehta AC. Flexible bronchoscopy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, et al, editors. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. Fifth Edition. Volume 1. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.

36.Dalal DD, Vyas JJ. Diagnostic bronchoscopy. Tata memorial hospital

parel mumbai. Available from: http://www.bhj.org/journal/1999_4103_july99/reviews_537.htm.

Accessed on April 3rd, 2011.

37.Hansell D.M., Lynch D.A., McAdams H.P., Bankier A.A. Imaging of Diseases of The Chest. 5th Edition. Mosby Elsevier; 2010.p.789-97.

38.Kasuma D. Penilaian Visualisasi Pemeriksaan Bronkoskopi Serat Optik Lentur dengan Konfirmasi Pemeriksaan Sitologi Bronkus dalam Menegakkan Diagnosis Kanker Paru (tesis). Medan: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2011. h.44-5.