Dari penjelasan-penjelasan sejarah konfrensi hukum laut diatas, terdapat 4 pengaturan hukum laut internasional yang telah disepakati oleh beberapa Negara
dalam konvensi-konvensi yang selanjutnya dikatakan sebagai rezim-rezim hukum laut.
B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pengaturan
Hukum Laut Internasional
Didalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut UNCLOS telah menjelaskan mengenai peraturan-peraturan dalam Hukum Laut
Internasional yang dimana bisa menyatakan mengenai status Hukum Laut territorial, Ruang Udara di atas laut territorialnya dan dasar laut dibawahnya.
Berkiblat dari permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini, bahwa dapat ditarik point-point yang perlu dibahas didalam pengaturan Hukum Laut
Internasional yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi, yaitu :
a Pengaturan Batas Laut Teritorial Dan Lintas Damai Di Laut
Teritorial
Dalam menentukan lebar laut territorial setiap negara telah ditentukan dalam “Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut” bahwa setiap negara berhak menetapkan lebar laut
teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut, didalam pengukurannya diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai
dengan konvensi ini.
Batas luar laut territorial adalah garis yang jarak setiap titiknya merupakan dari titik yang terdekat dari garis pangkal, sama seperti
penentuan mengenai lebar laut territorial. Kecuali jika ditentukan lain dalam konvensi ini. Dimana garis pangkal biasa untuk mengukur lebar
laut territorial adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala besar yang diakui resmi oleh negara pantai
tersebut.
Dalam hal pulau yang terletak pada atol atau pulau yang mempunyai karang-karang di sekitarnya,, maka garis pangkal untuk
mengukur lebar dari laut territorial adalah garis air rendah pada sisi karang ke arah laut sebagaimana ditunjukkan oleh tanda yang jelas
untuk itu pada peta yang diakui resmi oleh negara pantai bersangkutan.
Didalam penentuan Garis pangkal lurus terdapat beberapa hal yang harus dilakukan demi menentukan garis pangkal lurus tersebut dengan
benar, sebagai berikut :
- Ditempat-tempat dimana garis pantai menjorok jauh
kedalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu
deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya, cara penarikan garis pangkal lurus yang menghubungkan
titik-titik yang tepat dapat digunakan dalam menarik garis pangkal dari
mana lebar laut territorial diukur. -
Dimana karena adanya suatu delta dan kondisi alam lainnya garis pantai
sangat tidak tetap, maka titik-titik yang tepat dapat dipilih pada garis air
rendah yang paling jauh menjorok ke laut dan sekalipun garis air rendah kemudian
mundur, garis-garis pangkal lurus tersebut akan tetap berlaku sampai dirubah oleh negara pantai sesuai dengan konvensi
ini. -
Penarikan garis pangkal lurus tersebut tidak boleh menyimpang terlalu
jauh dari arah umum dari pada pantai dan bagian-bagian laut yang terletak
didalam garis pangkal demikian harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk
dapat tunduk pada rejim perairan pedalaman. -
Garis pangkal lurus tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi, kecuali
diatasnya didirikan mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen
ada diatas permukaan laut atau kecuali dalam hal penarikan garis pangkal
lurus ke dan dari elevasi demikian telah memperoleh pengakuan umum
internasional. -
Dalam hal cara penarikan garis pangkal lurus dapat diterapkan berdasarkan pada keterangan yang pertama, maka
didalam menetapkan garis pangkal tertentu dapat ikut
diperhitungkan kepentingan ekonomi yang khusus bagi
daerah yang bersangkutan, yang kenyataan dan pentingnya secara jelas dibuktikan oleh praktek yang berlangsung lama.
- Sistem penarikan garis pangkal lurus tidak boleh diterapkan
oleh suatu negara dengan cara yang demikian rupa sehingga laut territorial Negara
lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif
Adapun yang disebut dengan perairan pedalaman yang merupakan perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian
perairan pedalaman negara tersebut. Dalam hal penetapan garis pangkal lurus sesuai dengan cara yang ditetapkan dalam keterangan
garis pangkal lurus diatas berakibat tertutupnya sebagai perairan pedalaman daerah-daerah yang sebelumnya tidak dianggap demikian,
maka di dalam perairan demikian akan berlaku suatu hak lintas damai sebagai mana ditentukan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut UNCLOS.
Adapula yang dimaksud dengan teluk, yaitu suatu lekukan yang jelas lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya
sehingga mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata, seluas
atau lebih luas setengah lingkaran yang garis tengahnya adalah suatu garis yang ditarik melintasi mulut lekukan tersebut.
Didalam pengukurannya, daerah suatu lekukan adalah daerah yang terletak antara garis air rendah sepanjang pantai lekukan itu dan suatu
garis yang menghubungkan titik-titik garis air rendah pada pintu masuknya yang alamiah. Apabila karena adanya pulau-pulau, lekukan
mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang
garis yang melintasi berbagai mulut tersebut. Dan pulau-pulau yang terletak didalam lekukan harus dianggap seolah-olah sebagai daerah
perairan lekukan tersebut.
Jika jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk tidak melebihi 24 mil laut, maka garis penutup
dapat ditarik antara kedua garis air rendah tersebut dan perairan yang tertutup karenanya dianggap sebagai perairan pedalaman.
Apabila jarak antara titik-titik garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk melebihi 24 mil laut, maka suatu garis pangkal
lurus yang panjangnya 24 mil laut ditarik dalam teluk tersebut sedemikian rupa, sehingga menutup suatu daerah perairan yang
maksimum yang mungkin dicapai oleh garis sepanjang itu.
Untuk maksud penetapan batas laut territorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem
pelabuhan dianggap sebagai bagian daripada pantai. Instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi
pelabuhan yang permanen. Tempat berlabuh di tengah laut yang biasanya dipakai memuat, membongkar dan menambat kapal, dan
yang terletak seluruhnya atau sebagian di luar batas luar laut territorial, termasuk dalam laut territorial.
Suatu elevasi surut adalah suatu wilyah daratan yang terbentuk secara ilmiah yang dikelilingi dan berada di atas permukaan laut pada
waktu air surut, tetapi berada di bawah permukaan laut pada waktu air pasang. Dalam hal suatu evaluasi surut terletak seluruhnya atau
sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau, maka garis air surut pada elevasi
demikian dapat digunakan sebagai garis pangkal untuk maksud pengukuran lebar laut territorial.
Apabila suatu elevasi surut berada seluruhnya pada suatu jarak yang lebih dari laut territorial dari daratan utama atau suatu pulau,
maka elevasi demikian tidak mempunyai laut territorial sendiri. Negara pantai dapat menetapkan garis pangkal secara bergantian dengan
menggunakan cara penarikan manapun yang diatur dalam pasal-pasal
didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut untuk menyesuaikan dengan keadaan yang berlainan.
Dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak,
kecuali ada persetujuan yang sebaliknya antara mereka untuk menetapkan batas laut terrutorialnya melebihi garis tengah yang titik-
titiknya terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar laut territorial masing-masing negara diukur. Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku,
apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut territorial antara kedua
negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan didalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.
Didalam menjalankan perdagangan di dunia tiap negara-negara yang melakukan kerja sama dalam bidang perdagangan, dan
kepentingan lainnya dapat melakukan pengiriman melalui laut yang kemudian melewati negara-negara baik diluar maupun didalam laut
territorialnya, yang disebut dengan hak lintas damai.
Lintas yang berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan. Lintas ini dapat melintasi laut tanpa memasuki perairan
pedalaman atau singgah di tempat berlabuh ditengah laut roadstead atau fasilitas pelabuhan diluar perairan pedalaman. Kemudian lintas ini
dapat berlalu kea tau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut roadstead atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas dapat berhenti dan buang jangkar tetapi hanya
sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena mengalami kesulitan atau guna memberikan
pertolongan kepada orang, kapal, pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan.
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut UNCLOS dan peraturan hukum
internasional lainnya. Namun lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian. Ketertiban atau keamanan negara pantai,
apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut:
- Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap
kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik
Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang
merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
- Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun
- Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan
informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan
Negara pantai -
Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan
atau keamanan Negara pantai -
Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara diatas kapal
- Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan
dan perlengkapan militer
- Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang
secara bertentangan dengan ketentuan konvensi ini
- Setiap kegiatan perikanan
- Kegiatan riset atau survey
- Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem
komunikasi atau siap fasilitas atau instalasi Negara
pantai -
Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas
Di laut territorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan melakukan navigasi di atas permukaan air dan
menunjukkan benderanya.
b Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif
Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial yang tunduk pada rejim hukum
khusus yang diterapkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut UNCLOS. Berdasarkan mana hak-hak dan
yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum laut. Dalam zona ekonomi eksklusif, Negara pantai memiliki beberapa
hak yaitu: -
Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eskploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan diatas
dasar laut dan dari dasar laut dan tanah dibawahnya dan
berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, sama seperti produksi
energy dari air, arus dan angin. -
Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut berkenaan dengan ; pembuatan dan pemakaian
pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
- Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut UNCLOS dalam zona ekonomi eksklusif, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara
lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
Zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal dari lebar laut territorial diukur. Di zona ekonomi eksklusif
semua negara baik negara berpantai atau tak berpantai dapat menikmati dengan tunduk pada ketentuan yang relevan pada Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Kebebasan- kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan
kabel dan pipa bawah laut yang telah disebut pada pasal 87 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan penggunaan laut
lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan
dengan pengoprasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa dibawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain dalam
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut ini.
Dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut UNCLOS di zona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara
pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan peraturan hukum internasional lainnya
sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan.
Dalam hal ini dimana konvensi ini tidak memberikan hak-hak atau yuridiksi kepada negara pantai atau kepada negara lain di zona
ekonomi eksklusif dan timbul sengketa antara kepentingan- kepentingan negara pantai dan negara lain maka sengketa itu harus
diselesaikan berdasarkan keadilan dan dengan pertimbangan segala keadaan yang relevan dengan memperhatikan masing-masing
keutamaan kepentingan yang terlibat bagi para pihak maupun bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.
Di zona ekonomi eksklusif, negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan untuk menguasakn dan mengatur
pembangunan, operasi dan penggunaan, seperti ;
- Pulau buatan
- Instalasi dan bangunan untuk keperluan sebagaimana
ditentukan dalam pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut dan tujuan ekonomi lainnya
- Instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu
pelaksanaan hak-hak Negara pantai dalam zona tersebut
Negara pantai memiliki yurisdiksi eksklusif atas pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian, termasuk yurisdiksi bertalian dengan
peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi.
Pemberitahuan sebagaimana mestinya harus diberikan mengenai pembangunan pulau buatan, instalasi atau bangunan demikian dan
sarana tetap guna pemberitahuan ada-nya instalasi atau bangunan demikian harus dipelihara. Setiap instalasi atau bangunan yang
ditinggalkan atau tidak terpakai harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran, dengan memperhatikan setiap standar
internasional yang diterima secara umum yang ditetapkan dalam hal ini oleh organisasi internasional yang berwenang. Pembongkaran
demikian harus memperhatikan dengan semestinya penangkapan ikan, perlindungan lingkungan laut, dan hak-hak serta kewajiban Negara
lain. Pengumuman yang tepat harus diberikan mengenai kedalaman,posisi dan dimensi setiap instalasi atau bangunan yang
tidak dibongkar secara keseluruhan. Negara pantai, apabila diperlukan, dapat menetapkan zona keselamatan
yang pantas di sekeliling pulau buatan, instalasi dan bangunan demikian dimana Negara pantai dapat mengambil tindakan yang tepat
untuk menjamin baik keselamatan pelayaran maupun keselamatan pulau buatan, instalasi dan bangunan tersebut.
Lebar zona keselamatan harus ditentukan oleh Negara pantai dengan memperhatikan standar-standar internasional yang berlaku. Zona
keselamatan demikian harus dibangun untuk menjamin bahwa zona keselamatan tersebut sesuai dengan sifat dan fungsi pulau buatan,
instalasi dan bangunan tersebut tidak boleh melebihi jarak 500 meter sekeliling bangunan tersebut, diukur dari setiap titik terluar, kecuali
apabila diijinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau direkomendasikan oleh organisasi internasional yang berwenang.
Pemberitahuan yang semestinya harus diberikan tentang luas zona keselamatan tersebut.
Semua kapal harus menghormati zona keselamatan ini dan harus memenuhi standar internasional yang diterima secara umum yang
bertalian dengan pelayaran disekitar pulau buatan, instalasi, bangunan dan zona keselamatan.
Pulau buatan, instalasi dan bangunan-bangunan serta zona keselamatan di sekelilingnya tidak boleh diadakan sehingga dapat mengakibatkan
gangguan terhadap peng-gunaan alur laut yang diakui yang penting bagi pelayaran internasional.
Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai status pulau. Pulau buatan, instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut
teritorialnya sendiri, dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut teritorial, zona eksklusif atau landas kon-tinen.
Negara pantai harus menentukan, jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam zona eksklusifnya.
Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan
konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak di bahayakan oleh
eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, Negara pantai dan organi- sasi internasional yang berwenang, baik sub-regional, regional maupun
global, harus bekerja sama untuk tujuan ini. Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan
populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjamin hasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh
faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, ter masuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus
Negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, saling keter gantungan persediaan jenis ikan dan standar
minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional maupun global.
Dalam mengambil tindakan demikian, Negara pantai harus memperhatikan akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau
tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan jenis populasi yang jenis yang ber-
hubungan atau tergantung demikian di atas tingkat dimana reproduksinya dapat sang-at terancam.
Keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi
persediaan jenis ikan harus disumbang -kan dan dapat dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang ber- wenang baik
sub-regional, regional maupun global dimana perlu dan dengan peran serta semua Negara yang berkepentingan, termasuk Negara yang
warga negaranya di perbolehkan menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif.
c Pengaturan Mengenai Batas Laut Territorial Antara Negara
Kepulauan Dengan Negara Pantai
Di dalam pengaturan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut UNCLOS terdapat beberapa perbedaan yang
signifikan mengenai penentuan batas territorial antara Negara Kepulauan dengan Negara Pantai.
Negara Kepulauan berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau perairan di antaranya dan lain lain wujud ilmiah yang hubungannya
satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujub alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi,
ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis.
Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan
karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah
diaman perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan Sembilan
berbanding satu. Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut,
kecuali bahwa 3 dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada
suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang jauh
dari konfigurasi umum kepulauan tersebut, sehingga harus sesuai. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut,
kecuali apabila diatasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di permukaan laut atau apabila
elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut territorial dari pulau yang terdekat.
Namun sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara Kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga
memotong laut territorial Negara Lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu
Negara kepulauan, terletak diantara dua bagian suatu negara tetangga
yang lansung berdampingan, hak yang ada dan kepentingan- kepentingan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh
negara tersebut terakhit di perairan demikian, serta segala hak yang diterapkan dalam perjanjian antara Negara-Negara tersebut akan
berlaku dan harus dihormati.
Demi menghitung perbandingan perairan dengan daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran batu
karang pulau-pulau dna atol, termasuk bagian yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu
gamping dan karang kering di atas permukaan laut yang terletak di sekeliling tebing tersebut.
Garis pangkal ditarik sesuai dengan harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan
posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci. Negara kepulauan harus
mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar demikian pada sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB.
Kedaulatan suatu Negara Kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan yang disebut
sebagai perairan kepulauan tanpa memerhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas
perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah dibawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung didalamnya.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 UNCLOS adalah suatu terobosan dalam mendefinisikan keluasan
wilayah maritim yang menjadi wilayah jurisdiksi dari masing-masing negara. UNCLOS 1982 tidak hanya menghasilkan kesepakatan
mengenai 12 mil laut territorial melainkan juga melahirkan perluasan zona laut dimana negara memiliki hak berdaulat sovereign rights
terhadap sumber daya hayati dan non hayati yang terkandung didalamnya. Zona-zona inilah yang dikenal dengan Zona Ekonomi
Ekslusif ZEE 200 mil dari garis pangkal dan Landas Kontinen hingga 350 mil dari garis pangkal. Lebih jauh pasal-pasal dalam LOS
1982 juga dapat dijadikan pedoman mengenai apa-apa yang menjadi hak dan kewajiban dari tiap negara dalam mengelola zona-zona
tersebut.
Dengan demikian, banyak negara-negara pantai yang mengintepretasikan Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS
1982 berdasarkan kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Hal ini kerap dijumpai manakala negara pantai menghendaki hak-hak
berdaulatnya, sementara kapal-kapal dari negara lain juga menuntut hak-hak kebebasannya di laut lepas freedoms of high seas di zona-
zona ini.
Manakala dua kepentingan ini bertabrakan, maka umumnya kepentingan negara pantailah yang dimenangkan. Lebih jauh,
kecenderungan yang terjadi dewasa ini adalah banyak negara pantai yang menerapkan peraturan enforcement yang melebihi dari
kewenangannya yang diatur oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982.
Melalui skripsi ini akan mengupas seberapa jauh suatu negara pantai boleh menegakan jurisdiksinya pada ZEE dan Landas Kontinen
sesuai dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982. Adapun pembahasannya difokuskan pada rezim navigasi dan
perikanan untuk kapal-kapal asing, serta kegiatan militer dari negara asing di kedua wilayah laut ini. Pembahasan tulisan ini juga akan
dilakukan melalui komparasi contoh-contoh praktik nyata yang dilakukan oleh negara-negara dunia. Dengan begitu kiranya dapat
ditarik kesimpulan sejauh mana penegakan jurisdiksi pada ZEE dan Landas Kontinen telah bergeser dari kesepakatan awal Konvensi PBB
tentang Hukum Laut UNCLOS 1982.
Pada ZEE negara pantai pemilik ZEE sesungguhnya tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam mengontrol pelayaran dari
kapal-kapal asing. Hal ini disebabkan pelayaran atau navigasi dari
kapal-kapal asing pada ZEE mengikuti rezim laut lepas dimana kebebasan bernavigasi adalah mutlak. Kewenangan ini menjadi
semakin lemah pada Landas Kontinen. Pada wilayah ini hak yang dimiliki negara pantai hanya sebatas menggali dan mengelola sumber
daya alam yang berada didasarnya seabed. Secara gambling Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982 telah
menetapkan bahwa saat menggunakan haknya pada Landas Kontinen, negara pantai tidak boleh melanggar atau melakukan sesuatu yang
menyebabkan dilanggarnya kebebasan berlayar yang dimiliki negara lain. Hal ini berarti kolom air diatas Landas Kontinen sebenarnya
adalah Laut Lepas dimana semua kapal asing berhak atas kebebasan berlayar secara penuh.
Terlepas dari itu, negara pantai juga memiliki jurisdiksi ekslusif atas pulau-pulau buatan dan banguan yang didirikan diatas ZEE dan
Landas Kontinen. Jurisdiksi ini meliputi kewenangan atas pabean, fiscal, kesehatan, keselamatan dan peraturan-peratutran lain yang
terkait dengan keimigrasian Jika diperlukan, negara pantai juga diijinkan untuk menetapkan zona keamanan safety zones di
sekelilingnya yang tidak melebihi dari 500 meter. Pada zona ini negara pantai berhak melakukan tindakan-tindakan yang menjamin
keselamatan baik untuk pelayaran maupun untuk pulau buatan, bangunan dan instalasi tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat terlihat bahwa negara pantai hanya memiliki kewenangan yang sangat terbatas terhadap kapal-kapal
asing yang berlayar melalui ZEE dan Landas Kontinen-nya. Terlebih lagi, tidak ada jurisdiksi tambahan yang diberikan jika standar
internasional tidak mengaturnya. Ini berarti, negara pantai tidak berhak bertindak secara unilateral terhadap kapal-kapal asing, melainkan
harus senantiasa mengacu pada peraturan-peraturan yang diterima secara internasional Selain itu, tindakan unilateral tetap tidak dapat
dibenarkan kendati negara pantai mengangap peraturan internasional yang ada kurang memadai.
Namun demikian, terdapat pasal-pasal dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982 yang memberikan diskresi yang
besar bagi negara pantai untuk melindungi kewenangannya. Salah satu contohnya adalah pasal-pasal yang menganjurkan negara pantai untuk
memiliki kendali yang lebih luas terhadap kapal-kapal asing yang berlayar di ZEE-nya yang berpotensi menyebabkan polusi yang
signifikan. Pasal-pasal ini pada kenyataannya telah dikembangkan secara sepihak dengan cara-cara yang menyebabkan terganggunya
kebebasan pelayaran tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang diterima secara internasional. Lebih jauh hal ini telah dipergunakan untuk
memperbesar kewenangan negara pantai untuk mengontrol kapal-kapal
asing di ZEE dan Landas Kontinenntya, melampaui apa yang telah ditentukan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNLOS 1982.
Terdapat beberapa contoh kasus nyata untuk hal tersebut. Kasus pertama adalah kasus kapal tanker Prestige pada November 2002.
Setelah insiden tumpahan minyak oleh kapal tanger berdinding tunggal single-hulled, negara-negara yang tercemari pantainya seperti Portugal,
Perancis and Spanyol mengeluarkan peraturan yang ketat terhadap semua kapal tanker yang berlayar di ZEE mereka. Ketentuan ini
meliputi wajib lapor sebelum kedatangan, pemeriksaan ditempat dan bahkan pengusiran dari wilayah ZEE mereka jika terbukti tidak laik
berlayar not sea-worthy. Selain itu, pada tahun 2003, French National Assembly menetapkan aturan baru yang mengijinkan pencegatan kapal
asing yang berlayar pada radius hingga 90 mil dari pantai jika kapal itu terlibat dengan tindakan pecemaran. Aturan tersebut juga menetapkan
bahwa Captain kapal yang melakukan pencemaran dapat dipidana penjara hingga 4 tahun dan denda hingga US 600,000.
2
2
Simons, M., “France Clamps Down on Shipping Pollution,” The New York Times, 7 April 2003,
available at
Peraturan ini diberlakukan hanya berselang beberapa hari 15 negara Eropa sepakat
untuk melarang tanker berdinding tunggal memasuki pelabuhannya. Hampir pada waktu yang bersamaan Spanyol, Perancis, Portugal,
http:www.nytimes.com diakses pada 15
desember 2012
Belgia dan Inggris mengajukan permohonan resmi kepada the International Maritime Organization IMO untuk menyatakan bahwa
seluruh wilayah ZEE mereka adalah daerah sensitif yang terlarang bagi tanker berdinding tunggal dan pengangkut barang-barang berbahaya
lainnya.
3
Praktik negara yang lainnya dapat dilihat pada kasus kapal Jepang bernama Akatsuki Maru di tahun 1992. Kapal tersebut digunakan
untuk membawa material hasil daur ulang plutonium dari Perancis menuju ke Jepang untuk bahan bakar reaktor PLTN. Dalam pada ini,
banyak negara yang wilayahnya akan dilalui rute kapal tersebut menolak kehadiran kapal itu di perairannya termasuk juga di ZEE-nya.
Akibatnya Akatsuki Maru harus mengalihkan rute pelayarannya guna menghindari 12 mil laut teritorial dan 200 mil ZEE negara-negara
pantai yang dilalui kecuali Perancis dan Polynesia. Kasus serupa juga dialami pada tahun 1995,oleh kapal berbendera Inggris bernama
Pacific Pintail. Saat ia berlayar untuk mengangkut limbah nuklir, kapal itu harus merubah jalur pelayarannya untuk menghindari ZEE dari
Brasil, Argentina, Chili dan negara lainnya sebagai akibat dari penolakan keras oleh negara-negara tersebut. Chili bahkan bertindak
3
International Maritime Organization, Marine Environment Protection Committee MEPC, 49th
session: 14-18 July 2003, IMO, 22 July 2008, available at
http:www.imo.org diakses pada 13
Desember 2012
lebih jauh dengan mengirimkan kapal perang dan pesawatnya untuk mencegat Pacific Pintail jika sampai melanggar larangannya.
Kasus-kasus ini menjadikan suatu preseden bahwa negara pantai memiliki kekuasaan untuk menerapkan jurisdiksinya terhadap lalu
lintas pelayaran di ZEE dan Landas Kontinen berdasarkan jenis kargo yang dibawa. Preseden ini terus berkembang dan diadop oleh berbagai
negara di dunia menurut kepentingan nasional dan intepretasinya masing-masing. Sebagai contoh, setahun setelah peristiwa Argentina
mengajukan usul kepada IMO’s Legal Committee untuk melarang pengangkutan bahan bakar nuklir melalui laut teritorial dan ZEE
negara lain. Tiga tahun kemudian pada tahun 1996 Selandia Baru mengeluarkan aturan pelarangan pengangkutan bahan-bahan nuklir
melalui ZEE-nya.
Dalam konteks rezim perikanan, LOS 1982 telah mentapkan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat atas sumber daya hayati dan non-
hayati yang terkandung didalam zona 200 mil-nya. Hak ini mencakup hak eksplorasi, mengolah, memelihara dan mengelola sumber-sumber
tersebut. Pada kasus kebanyakan sumber daya yang dimaksud adalah yang menyangkut dengan perikanan. Selain itu pasal-pasal LOS 1982
juga menjamin kewenangan negara pantai terhadap hak berdaulatnya yang meliputi tindakan-tindakan berupa pemeriksaan kapal, penahanan
dan penahanan hingga penuntutan secara hukum “take such measures,
including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings.” Namun terkait dengan penahanan LOS 1982 tidak mengijinkan adanya
hukuman penjara tanpa persetujuan negara yang warganya terlibat perkara. “penalties for violation of fisheries laws and regulations in
the EEZ may not include imprisonment, in the contrary by the States concerned or any other form of corporal punishment.”
Sehingga akibat yang ditimbulkan oleh Illegal, Unreported and Unregulated IUU fishing sangat parah. Suatu studi bahkan
mengungkapkan bahwa kerugian yang ditimbulkan diperkirakan dapat mencapai US 9.5 billion. Akibatnya praktik-praktik dari negara yang
terkait menjadi sangat keras terutama dalam melindungi ZEE-nya. Contoh pertama tampak pada sikap tegas pemerintah Australia
terhadap pemancing ilegal di perairannya. Pada tanggal 15 Juni 2008, sebuah kapal penangkap ikan berbendera Indonesia bernama Ramlan-
07 tertangkap tangan oleh otoritas Australia tengah memancing di laut Arafura. Setelah menahan kapal tersebut otoritas Australia langsung
membakar kapal dan memenjarakan keenam awaknya. Ini bukanlah kali yang pertama, pada bulan April 2008, tercatat sedikitnya 253
nelayan asal Indonesia ditangkap oleh otoritas Australia dan dipenjarakan di Darwin Detention Center. Sementara para nelayan
tersebut menunggu sidangnya di pusat penahanan, hampir seluruh kapal mereka telah dibakar oleh otoritas Australia.
4
Meski UNCLOS 1982 tidak merekomendasikan hal tersebut, namun tindakan unilateral memenjarakan nelayan ilegal tanpa
perjanjian awal dengan negara terkait, menjadi praktik umum yang dilakukan oleh negara-negara pantai. Salah satu contohnya adalah UU
Kelautan Republik Indonesia nomor 31 2004 . Dalam pasalnya UU ini menetapkan hukuman penjara bagi nelayan yang terlibat penangkapan
ikan ilegal di wilayah perikanan Indonesia yang meliputi sungai, danau, rawa, laut teritorial termasuk juga ZEE Indonesia.
Untuk memberikan ilustrasi lain tentang tindakan keras yang dilakukan oleh negara pantai, perlu ditinjau ulang mengenai kasus
yang dialami kapal Monte Confurco. Kasus ini melibatkan kapal berbendera Sisilia yang dihentikan dan diperiksa oleh otoritas Perancis
di Kerguelen Kepulauan Antartika yang diklaim Perancis. Meski tidak ditemnukan adanya ikan segar di dalam kapal, namun kapal
tersebut tetap menghadapi tuntutan pencurian ikan. Kapal Sisilia
4
Muhktar, “Australia Burnt Another Indonesian Fishing Vessel,” IUU Fishing, Department of Marine Affairs and Fisheries of Republic
Indonesia, 30 June 2008 available at
http:www.dkp.go.idindex.phpind newsmenus229australia-bakar-
lagi-satu-kapal-nelayan-indonesia diakses pada 20 Desember 2012
tersebut kedapatan menyimpan 158 tons Patagonian toothfish jenis ikan, longlines jenis pukat dan umpan beku yang seolah-olah baru
dilepaskan dilaut. Karena kapal tidak dapat menunjukan bukti bahwa ikan-ikan tersebut ditangkap didaerah yang ditentukan dan tidak
memberikan pemberitahuan tentang pelayarannya maka Pengadilan Internasiaonal memenangkan Perancis untuk kasus ini. Kasus ini
kemudian menjadi jurispruden bahwa kapal ikan yang didapati berlayar di ZEE negara lain, tanpa ijin dan membawa ikan dapat
dituduh mencuri ikan di ZEE tersebut. Dengan kata lain, untuk mengindari penyitaan terhadap kargonya, suatu kapal ikan harus
meminta ijin terlebih dahulu untuk melintas di suatu ZEE.
Pada kasus perikanan diatas Landas Kontinen, rezim yang berlaku sebenarnya sama dengan perikanan di laut lepas. Untuk ini UNLOS
1982 telah mengatur bahwa, terkecuali untuk “sedentary species,” negara manpun berhak menangkap ikan di perairan diatas Landas
Kontinen suatu negara. Namun tindakan unilateral negara pantai dalam melindungi cadangan ikan “lainnya” tidak dapat dihindarkan. Pada
bulan Mei 1994, Kanada mengeluarkan undang-undang yang memperluas kewenangannya untuk mengatur penangkapan ikan di
daerah yang dikenal sebagai Nose dan Tail dari Grand Banks. Area- area ini sebenarnya terletak pada landas kontinen Kanada, bagian
tenggara Newfoundland, yang sebenarnya sudah berada diluar zona
200 mil. Menurut UU tersebut Kanada berhak menangkap setiap kapal yang kedapatan menangkap ikan yang tergolong spesies-spesies yang
dilindungi. Kapal yang tertangkap akan ditarik ke pelabuhan dan Captain kapal dapat dituntut denda sebanyak US360,000 termasuk
kehilangan hasil tangkapannya.
Oleh karena itu, legislasi ini dapat dianggap sebagai tindakan unilateral Kanada dalam memperluas jurisdiksinya diluar apa yang
telah ditetapkan sebagai 200 mil kesepakatan internasional. Selain itu masih terdapat ketidaksepahaman mengenai apa yang dimaksud
dengan “sedentary species.” Namun lagi-lagi negara pantai bertindak secara unilateral dalam menentukan status suatu spesies menurut
kepentingan nasionalnya. Hal ini terlihat pada kasus penangkapan 2 kapal ikan berbendera Amerika oleh otoritas Kanada pada bulan Juli
1994. Kedua kapal tersebut kedapatan menangkap Icelandic Scallops dari Landas Kontinen Kanada diluar batas zona 200 mil. Sementara
kedua negara masih berdebat soal status dari Icelandic Scallops apakah termasuk sedentary species atau bukan Kanada tetap
memberlakukan penangkapan terhadap kapal-kapal pemancing lainnya. Akan tetapi, Kanda akhirnya secara berhasil meloloskan
undang-undang sepihaknya tersebut. Beberapa bulan kemudian Amerika akhirnya mengakui klaim Kanada atas spesies yang
sebenarnya terletak diluar batas zona 200 mil.
Isu yang paling menjadi perdebatan adalah mengenai kegiatan militer asing di suatu ZEE. Persoalan ini sebenarnya berakar pada
status ZEE sebagai suatu sui generis -bukan merupakan laut teritorial maupun laut lepas- hal ini meninggalkan isu tentang residual rights
menjadi perdebatan. Ngera-negara yang pro terhadap kegiatan militer di ZEE beranggapan bahwa secara prinsip ZEE merupakan laut lepas
dengan beberapa hak tertentu yang diberikan kepada negara pantai. Sehingga hak lain yang tidak diatur secara tegas menjadi hak negara
lainnya termasuk didalamnya yang menyangkut dengan kegiatan militer. Dilain pihak, pandangan yang kontra berpendapat bahwa ZEE
adalah perairan pantai yang didalamnya terdapat beberapa hak yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain. Jadi pada saat terjadi sengketa
terhadap hak-hak yang belum diatur, seharusnya itu dimenangkan oleh negara pantai pemilik ZEE.
Kasus ini menjadi lebih rumit manakala ditinjau dari jenis kapal- kapal yang terlibat dalam kegiatan militer. Jika tidak seluruhnya,
namun sebagian besar status kapal-kapal yang terlibat adalah kapal pemerintah yang imun terhadap jurisdiksi negara pantai. Lebih jauh
setiap negara dapat menyatakan ketidakbersediaannya menerima ketentuan wajib pihak ketiga yang terkait dengan sengketa kegiatan
militer oleh kapal-kapal pemerintah dan pesawat yang bersifat non- komersil “disputes concerning military activities, including military
activities by government vessels and aircraft engaged in non- commercial service.” Oleh karenanya celah perdebatan mengenai
residual rights untuk kegiatan militer tidak pernah akan terselesaikan sampai pada suatu ketika praktek dari negara-negara di dunia menuju
suatu kesamaan atau sampai tercapainya suatu kesepakatan baru.
Meski masih menjadi sesuatu yang ambigu, namun praktek-praktek yang dilakukan oleh negara secara preemptive akan mengedepankan
kepentingan nasionalnya ketimbang ketentuan hukum internasional. Beberapa kasus dapat dijadikan catatan sebagai suatu tindakan agresif
dari negara pantai terhadap kegiatan militer di ZEE-nya. Seperti Libya dalam Kasus Teluk Sidra yang terjadi tahun 1986. Sebagai negara
pantai Libya merespon kehadiran Kapal-kapal perang Amerika di Teluk Sidra dengan meluncurkan rudal-rudal darat ke udara atau
Surface to Air Missile SAM-5. Kasus lainnya juga terjadi pada bulan April 2001. Saat itu dua jet tempur Cina jenis F-8 fighters
diterbangkan untuk mencegat pesawat mata-mata US jenis EP-3 yang tengah terbang di pesisir Cina Pada insiden ini salah satu pesawat Cina
menabrak pesawat EP-3 Amerika yang menyebabkan pesawat tersebut terpaksa mendarat darurat di kepulauan Hainan Cina. Selang setahun
berikutnya 3 insiden lainnya terjadi yang menyebabkan jet-jet tempur Cina dan Amerika hampir saling berhadapan satu sama lain.
Meskipun telah juga ditegaskan bahwa tidak ada reservasi ataupun pengecualian yang dapat diberikan terhadap LOS 1982, namun ada
saja negara yang melakukannya semata-mata untuk mendukung tindakan unilateralnya. Iran contohnya, pada tahun 1993, membuat
undang-undang yang melarang kegiatan militer asing di wilayah ZEE- nya. India pada tahun 1995 juga mengeluarkan deklarasi bahwa
pemerintahnya mengadop LOS 1982 namun dengan syarat bahwa India melarang segala kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinen
tanpa ijin dari negara pantai yang bersangkutan. Pada dua tahun berikutnya, Malaysia 1996 dan Pakistan 1997, mengeluarkan juga
deklarasi yang pada intinya sama dengan India.
Selain itu beberapa negara yang menolak kegiatan militer di ZEE dan Landas Kontinennya berpendapat bahwa ZEE dan Landas
kontinen pada kaitan tertentu adalah mutatis mutandis pada istilah “kepentingan damai” for peaceful purposes pada provisi laut lepas
dan provisi dari “penggunaan laut untuk damai” Peaceful uses of the seas. Namun begitu kegiatan militer tidak selalu berkaitan dengan
“kepentingan tidak damai” yang membuatnya jadi bertentangan dengan UNCLOS 1982. Pandangan yang bersebrangan Negara-negara
yang berpandang lain dapat saja mengklaim bahwa kegiatan militernya
bertujuan damai, seperti untuk operasi penangulangan obat terlarang, pemetaan dasar laut, atau pengamanan jalur pelayaran.
Namun demikian, secara umum belum ada kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan “kepentingan damai.” Seseorang dapat
beranggapan demikian sementara yang lainnya tidak. Hal ini digambarkan dalam insiden kapal Angkatan laut Amerika bernama
Bowditch. Kapal militer survei hidrografis tidak bersenjata ini beberapa kali diganggu dan dipaksa untuk berhenti oleh negara panti
saat melakukan kegiatan surveinya. Hal serupa juga dialami oleh kapal Inggris bernama HMS Scott. Kapal ini menuai protes diplomatik
terhadap negara pemiliknya karena kegiatannya yang melakukan survei di wilayah ZEE negara lain. Meski dalam kedua kasus tersebut
pemilik kapal mengklaim kapal mereka melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum, namun India dan Cina beranggapan
mereka telah melakukan operasi survei kelautan yang tak berijin dan tidak sah. Pada contoh kasus ini sekali lagi kepentingan nasional yang
lebih dimenangkan dan menjadi dasar untuk tindakan-tindakan unilateral.
C.
Penyelesaian Sengketa Kepulauan Menurut Hukum Internasional
Dalam interaksi sosial sehari-hari manusia tidak jarang luput dari kesalahan, yang biasanya menimbulkan konflik akibat adanya
kepentingan-kepentingan yang saling berbenturan. Begitu pula dengan negara maupun aktor-aktor dalam hubungan internasional lainnya, dimana
hubungan yang terjalin begitu kompleks sehingga konflik sangat mudah terjadi. Dalam hubungan antar negara, sengketa acapkali terjadi akibat
perebutan wilayah perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan juga isu-isu sosial lainnya. Oleh karena itu yang
seharusnya memainkan peranan di sini adalah hukum internasional, yang mengatur mekanisme hubungan yang terjadi antar aktor internasional
dengan mengedepankan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
Sengketa internasional sendiri dibedakan ke dalam dua jenis yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Menurut Friedman dalam Adolf
dalam tulisannya Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional sengketa hukum berarti perselisihan-perselisihan antarnegara yang mampu
diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada dan sudah pasti, yang sifatnya mempengaruhi kepentingan vital
negara seperti integritas wilayah dan kehormatan, di mana penerapan hukum internasional yang ada sudah cukup untuk menghasilkan keputusan
yang sesuai dengan keadilan antara negara dengan perkembangam progresif hubungan-hubungan internasional. Ia berkaitan dengan
persengketaan hak-hak hukum dan menuntut adanya perubahan melalui
hukum yang telah ada
5
Berkebalikan dengan Friedman, Waldock dalam buku Adolf mengemukakan bahwa penentuan suatu sengketa sebagai sengketa hukum
atau politik ditentukan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Ketika sengketa tersebut memerlukan patokan-patokan tertentu yang tidak ada
dalam hukum internasional, maka sengketa tersebut digolongkan sebagai sengketa politik. “
. Pandangan Friedman tersebut juga digunakan oleh International Court of Justice ICJ.
The legal or political character of a dispute is ultimately determined by the objective aimed at or the position adopted by each party
in the dispute …” .
6
Pandangan ketiga yaitu pandangan Oppenheim dan Kelsen yang oleh Adolf 2004 dianggap sebagai jalan tengah dari kedua pandangan
sebelumnya. Menurut Oppenheim dan Kelsen, antara sengketa hukum dan politis tidak ada pembenaran ilmiah kriteria objektif yang mendasarinya.
Sebab setiap sengketa memiliki aspek politis dan hukumnya masing- masing. Sengketa yang dianggap sebagai sengketa hukum mungkin
memiliki nilai kepentingan politis pihak yang bersangkutan. Dan Adolf sendiri menganggap sudut pandang Waldock
lebih tepat, sebab menurutnya pihak yang bersengketa lebih memahami jenis sengketa yang sedang dihadapinya. Misalnya adalah sengketa
perbatasan, pelanggaran hak-hak diplomatik, dan sebagainya yang tentu berpengaruh terhadap hubungan baik kedua pihak.
5
Adolf, Huala. 2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 6
6
Ibid hal 7
sebaliknya, sengketa yang dianggap politis mungkin dapat diterapkan dalam prinsip dan aturan hukum internasional.
7
Dari sedikit penjelasan mengenai sengketa diatas terdapat beberapa cara untuk menyelesaiakan sengketa, yakni melalui cara kekerasan, cara
damai, dan cara hukum. Cara kekerasan biasanya digunakan ketika pihak yang bersengketa mengalami jalan buntu atas solusi damai, sehingga
kemungkinan yang terjadi adalah pihak-pihak yang terlibat menggunakan cara-cara paksaan seperti perang, retorsi, dan blokade. Perang berarti pihak
yang terlibat sengketa utamanya negara menggunakan angkatan bersenjata yang dimilikinya dan bertujuan untuk menaklukan lawan dan memenuhi
kehendaknya dan membebankan syarat-syarat penyelesaian dan perdamaian pada pihak lawan yang dikalahkan, yang tidak mempunyai
allternatif lain selain mematuhinya.
Retorsi berarti suatu pihak melakukan tindakan pembalasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak pantas dari pihak lawan.
Misalnya adalah merenggangkan hubungan diplomatik, pencabutan hak istimewa diplomatik, menarik diri dari konsesi-konsesi fiscal dan bea, dan
penghentian bantuan ekonomi. Meski dari beberapa tindakan tersebut motif yang digunakan tidak selalu pembalasan, namun seolah menjadi
kode bahwa konflik sedang terjadi di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Sementara itu blokade berarti mengepung atau memblokir
wilayah lawan guna memutus hubungan wilayah tersebut dengan pihak
7
Ibid Hal 9
luar. Terdapat dua macam blokade yaitu blokade masa damai, dimana pihak selain yang sedang bersengketa dan diblokade tidak berhak untuk
ditangkap ketika pihak tersebut melanggar blokade yang sedang dilakukan; dan blokade masa perang, yaitu ketika pihak selain yang
diblokade ini berhakuntuk ditangkap dan diperiksa ketika pihak yang tidak berdangkutan tersebut melanggar blokade yang sedang diberlakukan.
Blokade dilakukan dengan tujuan memaksa pihak yang diblokade supaya mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara
yang memblokade.
Cara damai berarti menggunakan cara tanpa kekerasan sebagai jalan keluar dari penyelesaian sengketa, yaitu negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi. Negosiasi biasanya merupakan cara yang pertama kali ditempuh ketika konflik mulai terjadi dan juga efektif sebab ia menawarkan
alternatif-alternatif kemungkinan antara pihak yang bersengketa secara langsung. Negosiasi merundingkan secara langsung sengketa antara kedua
pihak yang bersangkutan dengan tujuan mencari penyelesaian masalah melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga .
8
8
Ibid Hal 28
Sisi positif dari nogosiasi adalah bahwa para pihak sengketa sendiri yang terlibat dalam negosiasi,
sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan kesepakatan tanpa adanya paksaan dan tekanan dari pihak lain, juga karena terhindar
dari perhatian publik. Prosedur penyelesaian juga dapat diawasi secara langsung. Namun demikian yang menjadi kelemahannya adalah ketika
kedudukan pihak-pihak yang bersengketa tidak seimbang, dalam artian
terdapat salah satu pihak yang lebih kuat sehingga dapat menekan pihak lain yang lebih lemah; dan ketika pihak-pihak yang bersengketa sama-
sama berpendirian keras maka proses negosiasi tidak dapat berjalan produktif, sebab tidak ada yang mau mengkompromikan kepentingan dari
semua pihak .
9
Cara damai yang kedua yaitu mediasi, yang berarti terdapat pihak ketiga sebagai penengah dari konflik yang ada, yang bisa berupa individu,
organisasi internasional, maupun institusi lain yang berdaulat. Pihak ketiga dalam negosiasi tersebut tidak memiliki kapasitas untuk turut mengambil
keputusan, kecuali sebatas saran penyelesaian sengketa. Fungsi utama mediator adalah mencarikan solusi, mengidentifikasi hal-hal yang dapat
disepakati serta usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa .
10
Cara damai yang lain adalah konsiliasi, yaitu penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau sebuah komisi yang dibentuk oleh pihak
yang bersengketa. Konsiliasi sifatnya lebih formal dibanding negosiasi dan mediasi. Komisi konsiliasi dapat berupa komisi yang sudah melembaga
maupun bentukan sementara Dalam
menjalankan fungsinya mediator tidak perlu tunduk pada aturan tertentu, dan bebas untuk mnentukan bagaimana proses penyelesaian sengketa
berlangsung.
ad hoc
9
Ibid Hal 29
yang fungsinya menetapkan
10
Ibid Hal 33
persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh yang bersengketa, meskipun sifatnya tidak mengikat.
11
Selanjutnya adalah penyelesaian sengketa internasional melalui cara hukum, yaitu arbitrase dan melalui pengadilan internasional.
Arbitrase merupakan penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan bersifat final dan
mengikat.
12
Dapat juga dikatakan bahwa arbitrase merupakan suatu bentuk pemusatan atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa hakim
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim, yang menentukan siapa arbiter yang
mereka pilih dalam hukum, dan hakim mana yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa.
13
Arbitrator harus ahli dalam bidang yang sedang disengketakan, dimana sebelumnya para pihak sengketa menyerahkan
klausul arbitrase yang merupakan titik kompromis kedua pihak. Meski sudah ada sejak jaman Yunani Kuno, arbitrase dalam dunia modern
menemukan titik baliknya seiring dengan dikeluarkannya The Hague Convention for The Pacific Settlement of International Disputes
Cara hukum lain adalah melalui pengadilan internasional. Cara ini ditempuh ketika penyelesaian lain tidak menghasilkan solusi. Pengadilan
internasional dapat berupa dua jenis, yaitu pengadilan permanen yakni pada
tahun 1989.
11
Ibid Hal 34
12
Ibid Hal 35
13
Subekti, R. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Binacipta Hal. 110
Mahkamah Internasional International Court of Justice, dan pengadilan sementara atau ad hoc. Pengadilan sementara biasanya menghasilkan
putusan berupa perjanjian-perjanjian yang mengikat.
14
Mahkamah Internasional, yaitu badan hukum utama dalam PBB Persatuan Bangsa-Bangsa. Komposisi Mahkamah Internasional terdiri
dari hakim internasional, hakim sementara, Chambers
, dan The Registry. Hakim internasional terdiri atas 15 hakim terpilih berdasarkan suara
mayoritas mutlak dalam pertemuan terpisah Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, dipilih untuk masa jabatan selama 9 tahun dan
berhak untuk dipilih kembali.
15
Sementara itu hakim sementara dipilih ketika ada kasus tertentu, oleh pihak yang bersengketa. Meski demikian ia tetap harus mengucapkan
sumpah layaknya hakim tetap, namun tidak terhitung dalam prasyarat kuorum hakim tetap.
Keputusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Internasional tersebut harus berdasarkan pasal 38 ayat 1
Statuta Mahkamah Internasional, antara lain konvensi atau perjanjian internasional yang mnegandung ketentuan hukum yang diakui oleh negara
yang bersengketa; kebiasaan-kebiasaan internasional; prinsip-prinsip hukum umum; dan putusan pengadilan ataupun ajaran para cendekiawan
sebagai sumber hukum tambahan.
Chambers
14
Adolf Huala, Opcit Hal.37
berarti sekelompok hakim yang dipilih oleh Mahkamah Internasional untuk memeriksa suatu pihak yang
15
Brownlie, Ian . 2008. Principles of Public International Law 7th edition. New
York: Oxford
University Press Page 711
bersengketa secara rahasia akibat pihak tersebut tidak ingin diperiksa oleh hakim secara keseluruhan.
16
Yang terakhir yaitu the registry, adalah organ administratif mahkamah yang bertugas memberi bantuan jasa pada bidang
administratif pihak-pihak yang bersengketa. Fungsinya menyerupai secretariat yang mengurusi bidang administratif, keuangan,
penyelenggaraan konferensi, dan jasa penerangan dari suatu organisasi internasional.
17
Bahwa dalam hubungan internasional, konflik atau sengketa yang terjadi antar aktor baik negara maupun non-negara dapat
dikatakan sebagai fenomena sosial. Sengketa internasional sendiri dibedakan menjadi dua, yaitu sengketa hukum dan sengketa politik. Secara
umum sengketa hukum berarti sengketa yang dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sementara sengketa politik
berarti sengketa yang penyelesaiannya hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa karena terdapat kepentingan politis dibalik
persengketaan tersebut. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu cara kekerasan yang dapat berupa perang, retorsi, dan blokade;
cara damai yang dapat berupa negosiasi, mediasi, dan konsiliasi; dan cara hukum melalui arbitrasi dan pengadilan internasional. Struktur pengadilan
mahkamah internasional sendiri terdiri atas empat jenis kehakiman, yakni hakim internasional yang tetap, hakim sementara atau
ad hoc , chambers,
dan the registry
16
Adolf huala, Opcit Hal. 13
. Dalam materi kali ini penulis beropini bahwa
17
Ibid Hal. 14-15
penyelesaian sengketa yang paling efektif adalah negosiasi, dimana pihak yang bersengketa dapat langsung bertemu dan mengkompromikan masing-
masing keinginan tanpa harus timbul konflik.
BAB III GAMBARAN SEJARAH KONFLIK KEPULAUAN SPRATLY