Dampak Dan Pengarruh Sengketa Kepulauan Spratly Terhadap

Spratly telah ditetapkan sebagai milik Quang Ngãi Kecamatan. Dalam Đại nhất Nam Thong Toàn Đố Dai Nam Unified Peta, sebuah atlas di Vietnam pada 1838, truong Sa ditunjukkan sebagai wilayah Vietnam. Indonesia telah melakukan berbagai survei geografis dan sumber daya pulau. Hasil survei ini telah tercatat dalam sejarah sastra dan Vietnam diterbitkan sejak abad ke-17. Setelah menandatangani perjanjian dengan dinasti Nguyen, Perancis mewakili Indonesia dalam urusan internasional dan dilaksanakan atas kedaulatan pulau-pulau. The Deklarasi Kairo, dirancang oleh sekutunya dan Cina menjelang akhir Perang Dunia II, yang terdaftar di wilayah bahwa sekutunya untuk strip dari Jepang dan kembali ke Cina. Cina yang walaupun di antara draftees dari deklarasi, daftar ini tidak menyertakan Spratlys. Vietnam tanggapan dari Cina menyatakan bahwa Deklarasi Kairo entah diakui yang kedua dari kedaulatan atas Spratlys adalah bahwa klaim ini tidak memiliki dasar dalam kenyataan.

C. Dampak Dan Pengarruh Sengketa Kepulauan Spratly Terhadap

Diplomasi antara Negara-Negara ASEAN Penetapan batas-batas antar negara merupakan suatu hal yang bersifat konfliktual karena menyangkut masalah kedaulatan suatu negara. Maka, tidak heran dengan banyaknya masalah-masalah yang timbul karena batas teritorial di dunia internasional sampai saat ini. Perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas negara dan sulitnya penentuan batas teritorial di laut menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Begitu pun yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara, khususnya yang terjadi di Kepulauan Laut Cina Selatan. Awal mula dari sengketa di Laut Cina Selatan ini adalah pada saat Cina mengumumkan peta wilayah kedaulatannya termasuk kepulauan-kepulauan beserta gugusannya yang secara de jure belum jelas kepemilikannya. Sengketa ini semakin memanas dengan adanya cadangan minyak dan hidrokarbon di wilayah ini serta berkembangnya hukum internasional mengenai laut United Nations on the Law of the Sea UNCLOS pada tahun 1982. Sejak adanya hukum laut internasional pada tahun 1970an dan UNCLOS pada tahun 1982, maka semua yang menyangkut laut dan batas-batas negara yang berada di laut diatur dalam hukum tersebut. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan bahwa batas laut territorial adalah 12 mil dari garis pantai paling luar untuk menjaga kedaulatan dan keamanan, landas kontinen untuk eksplorasi sumber daya mineral, dan ZEE untuk eksplorasi serta eksploitasi sumber daya hayati. Dengan adanya aturan dalam hukum laut internasional tersebut, negara-negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan menjadi terpacu dan menyadari betapa pentingnya kawasan tersebut dalam bidang pelayaran, sumber daya alam, sumber daya mineral dan segala apapun yang terkandung didalamnya. Negara-negara yang mengklaim gugus-gugus Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yang telah dipaparkan diatas yaitu Vietnam, Filipina, Cina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Persaingan semakin ketat dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara tersebut dengan menduduki dan mengeksplorasi kepulauan tersebut atau dengan mengusir kapal nelayan maupun konflik terbuka di wilayah perairan tersebut. Perbedaan prinsip dan segala sesuatu yang dapat menimbulkan konflik diatur dalam UNCLOS 1982 dengan mengharuskan pihak-pihak yang bersengketa berunding antar negara untuk mencapai kesepakatan dan keadilan tanpa adanya konflik. Namun, hal tersebut menjadikan negara-negara yang bersengketa untuk mengedepankan national interest masing-masing negara. Terdapat 3 kemungkinan yang mungkin terjadi dalam penyelesaian klaim antara banyak negara di Laut Cina Selatan. Yang pertama adalah penyelesaian bilateral seperti halnya yang dilakukan oleh Cina dan Vietnam. Kedua, penyelesaian multilateral dimana semua negara-negara yang terlibat duduk bersama membicarakan penyelesaian maslah yang ada baik dalam lingkup internasional ataupun dalam forum regional, yang dalam hal ini adalah ASEAN. Dan yang ketiga, yaitu penyelesaian yang paling frontal yaitu dengan konflik bersenjata dimana meriam-meriam akan berbicara. 1. Diplomasi bilateral Berbagai anggapan dan tanggapan yang menyebutkan bahwa diplomasi multilateral akan lebih mudah untuk dijalankan adalah suatu pilihan yang dipilih oleh Cina. Pada tahun 1991, Cina melakukan perundingan bilateral dengan Taiwan mengenai eksplorasi minyak bersama yang berlangsung di Singapura. 1 tahun berikutnya, Cina mengadakan pertemuan bilateral dengan Vietnam dan menghasilkan kesepakatan pembentukan kelompok khusus dalam menangani sengketa perbatasan teritorial. Pada bulan Juni 1993, Malaysia dan Filipina pun melakukan hal yang sama dengan menandatangani perjanjian kerjasama eksplorasi minyak dan gas bumi selama 40 tahun di wilayah yang disengketakan oleh enam negara tersebut. Cina dan Filipina juga melakukan pertemuan untuk bersama-sama mengeksplorasi dan mengembangkan wilayah Spratly. Namun, pada akhirnya diplomasi bilateral pun tidak dapat menyelesaikan masalah. Proses perjanjian-perjanjian dan kesepakatan yang dibentuk sama sekali tidak membahas wilayah kedaulatan yang sebenarnya adalah inti dari konflik tersebut. 2. Dialog Multilateral Berbeda halnya dengan Indonesia yang mengedepankan pentingnya stabilitas kawasan regional. Langkah penting yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan melakukan usaha-usaha pencegahan terjadinya konflik bersenjata. Penanganan sengketa yang dilakukan dengan jalur pendekatan preventif, menawarkan berbagai kerjasama dan bermitra untuk mencapai jalan penyelesaian masalah yang terbaik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya Indonesia pun memiliki kepentingan atas wilayah ini yaitu menjamin terciptanya kelancaran pelayaran dan kebebasan navigasi, keamanan dan keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut dan perlindungan terhadap lingkungan. Laut Cina Selatan merupakan jalur perdagangan regional -pelayaran kapal-kapal niaga, tanker-tanker minyak- yang menghubungkan Asia Timur ke Indonesia dan sebaliknya. Perairan ini merupakan jalur pelayaran perdagangan antar negara ASEAN. Dan dalam lingkup internasional, perairan ini menghubungkan Asia Timur dengan Eropa, Afrika dan Timur Tengah melalui Selat Malaka. Sebagai negara kepulauan terbesar di wilayah ini, Indonesia berkepentingan atas stabilitas keamanan di kawasan ini. Kepentingan Indonesia juga terletak pada penarikan garis perbatasan di sekitar Laut Natuna yang juga masuk dalam wilayah Laut Cina Selatan. Bila Cina masih bersikeras mengimplementasikan garis datarnya seperti yang tercantum pada peta tahun 1947, klaim ini mengintrusi wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia. Selain itu, Indonesia berkepentingan memberantas pelanggaran hukum yang terjadi. Serangkaian kepentingan Indonesia membentuk pengelolaan sengketa di kawasan tersebut dengan melakukan pendekatan preventif. Indonesia tidak mementingkan kepentingan-kepentingan yang telah disebutkan di atas, namun Indonesia menjadikan keadaan ini menjadi suatu peluang terbentuknya kerjasama yang luar biasa. Melalui serangkaian workshop bertajuk “Managing Potential Conflicts in the South China Sea” sejak tahun 1990, Indonesia berhasil menggalang aliansi kerjasama negara-negara yang mengklaim sekaligus menghentikan klaimnya. Dengan peran terdepan melakukan diplomasi preventif dalam kerangka 2nd track diplomacy, Indonesia berhasil mendudukkan pihak pemerintah negara-negara yang mengklaim dalam kapasitas non-resmi untuk membentuk komitmen kerjasama mengelola wilayah ini. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh Indonesia melalui dialog multilateral ini antara lain : a. Penyelenggaraan kerjasama Penyelenggaraan dialog mengenai masalah Laut Cina Selatan pertama kali dilakukan pada tahun 1990 dan dijadikan sebagai dialog rutin tahunan sejak tahun 1991. Dialog ini dilakukan sebagai langkah awal menangani masalah kedaulatan yang sangat sensitif. Kepemimpinan Indonesia dalam memelopori kerjasama membentuk kelompok-kelompok diskusi isu-isu kunci dalam masalah Laut Cina Selatan yaitu isu kedaulatan wilayah, isu-isu keamanan dan politis, keamanan pelayaran, manajemen sumber daya dan mekanisme institusional. Pada akhirnya, kesepakatan perlunya kerjasama dalam banyak hal untuk menangani potensi konflik dalam masalah Laut Cina Selatan pun disetujui. b. Technical Working Groups, Groups of Experts dan Study Groups Dialog ini juga melibatkan aktor-aktor non-negara seperti ahli-ahlikelautan dan akademisi. Dalam pembentukannya, tim yang tergabung mencari jalan terbaik bagi semua pihak yang bersengketa dengan menjalankan proyek kerjasama dalam hal monitoring ekosistem yang ada di Laut Cina Selatan, keamanan navigasi, pelayaran dan komunikasi. Proyek kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati berhasil disepakati. 3. Militerisasi dan Konflik Bersenjata Militerisasi dan konflik bersenjata akan mudah terjadi karena adanya beberapa faktor yaitu implikasi dari internasionalisasi konflik internal suatu negara tidak menutup kemungkinan akan menyeret negara lain untuk masuk ke dalam konflik tersebut, pertarungan antara petinggi-petinggi negara yang akan mempengaruhi lingkungan luar negeri negara tersebut, dan meningkatnya persaingan-persaingan negara maju untuk membangun pengaruh yang sangat menonjol di kawasan yang bersengketa. Konflik bersenjata di Paracel dan Spratly dipertajam dengan adanya klaim yang dipertegas melalui aksi pendudukan militer oleh sejumlah negara yang terlibat di dalamnya. Konflik senjata pertama kali terjadi di wilayah Laut Cina Selatan pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam. Kemudian terjadi untuk kedua kalinya pada tahunm 1988, dilatarbelakangi dengan makin intensifnya persaingan Cina- Vietnam di Indocina. Konflik senjata yang kedua antara Cina-Vietnam ini mengandung arti penting karena selain menunjukkan supremasi Cina di Spratly, juga membawa dua perkembangan yang saling berhubungan yang mempunyai konsekuensi terhadap stabilitas kawasan ini di masa depan. Pertama, penegasan kembali klaim-klain Cina dan Vietnam atas kepulauan Paracel dan Spratly, kedua, meningkatnya militerisasi Cina, Vietnam, dan negara-negara pengklaim lainnya. Terjadinya bentrokan militer antara Cina dan Vietnam pada pada Maret 1988 tersebutlah yang menjadi pendorong utama militerisasi Laut Cina Selatan dalam upaya menegaskan dan mengamankan kawasan tersebut, Sampai saat ini kecuali Brunei, masing-masing pihak telah menentukan “land base” diantara gugusan pulau-pulau Spratly, sekaligus menempatkan tentaranya di kawasan itu secara tidak menentu dan tanpa pola yang jelas. Situasi mulai berubah sejak Cina mempercepat program modernisasi Angkatan Laut dan meningkatkan kehadiran militernya di kepulauan tersebut. Cina mulai mengirimkan pasukannya sejak tahun 1973 dan terus membentengi posisi mereka di Paracel dan gugusan Spratly. Vietnam selatan menggunakan kemampuan militer atas klaimnya sejak tahun 1969 ketika negara itu mengirimkan pasukan ke kepulauan Paracel. Vietnam mulai menyatakan pemilikannya atas Spratly tahun 1975 dengan menempatkan tentaranya di 13 pulau kelompok Kepulauan Spratly. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Filipina merupakan negara pertama yang menggunakan kekuatan militer untuk menegaskan klaimnya di Laut Cina Selatan. Pada tahun 1968 Filipina menempatkan marinir pada sembilan pulau. Malaysia merupakan negara terakhir yang menempatkan pasukannya, pada akhir 1977 dan kini menduduki sejumlah sembilan pulau dari kelompok Kepulauan Spratly. Pada 4 September 1983 Malaysia mengirim sekitar 20 Pasukan Komando ke Terumbu Layang-layang. Brunei merupakan satu-satunya negara yang menahan diri untuk tidak menempatkan pasukannya di wilayah Spratly. Dalam kenyataannya Louisa Reef yang telah diklaimnya bahkan telah diambil alih Malaysia. Secara umum, negara negara pantai di Laut Cina selatan telah membangun kekuatan militer dalam beberapa waktu belakangan ini. Cina, misalnya kini sedang membangun kekuatan Angkatan Laut yang besar, berencana membeli dua kapal induk, dan membangun pangkalan udara militer yang dilengkapi radar canggih di Pulau Woody, kelompok Kepulauan Paracel. Pangkalan ini, bila telah selesai, memungkinkan Cina memberikan perlindungan udara terhadap Kepulauan Spratly. Selain itu, negara-negara lainnya juga meningkatkan kemampuan Angkatan Lautnya untuk menjaga klaim dan pendudukannya. Akhir-akhir ini di kawasan Kepulauan Spratly, Cina membangun pangkalan dan instalasi militer di Pulau Karang Mischief sejak 1995 dan diperluas pada 1998. Menurut Beijing, bangunan itu hanyalah tempat pemukiman para nelayan nama Mischief sendiri berasal dari bahasa Cina yang berarti Meiji wilayah Cina. Penggunaan mekanisme diplomasi preventif cukup signifikan pengaruhnya dalam penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Pihak pemerintah negara-negara yang mengklaim semakin menyadari efek konfrontasi militer berdampak buruk bagi semua pihak dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan konflik tersebut juga terlalu besar. Pengaruh signifikan diplomasi preventif yang dijalankan dapat dijelaskan sebagai berikut: • Mencegah negara-negara untuk melanjutkan sengketa. Pembahasan ini bertujuan untuk menyamakan persepsi negara-negara bersengketa terhadap kawasan yang menjadi sengketa dan bersama-sama mengelola kawasan tersebut menjadi ladang perekonomian bagi semua pihak. • Menyelesaikan sengketa dengan jalan damai. Pada bulan Maret 2005, Cina-Vietnam- Filipina menandatangani MOU kerjasama dalam bidang eksplorasi energi dan sepakat untuk menghentikan klaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly. • Negosiasi antara pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam dalam membicarakan hak pengelolaan ladang minyak di sekitar Sabah terus berlangsung. Selain itu, dialog ini berhasil membangun visi kerjasama di bidang keamanan, politik, navigasi, manajemen sumber daya alam, perlindungan lingkungan dan riset ilmiah kelautan serta mekanismenya. Melalui forum ini, Indonesia mengemban peran terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum yang lebih besar yaitu ARF ASEAN Regional Forum dan ASEAN Post-Ministerial Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari jalan penyelesaian terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa. Hal ini penting untuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan. Tahun 2002, ASEAN dan Cina menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea, dimana ini merupakan kesepakatan multilateral pertama yang dilakukan oleh Cina dalam masalah sensitif ini. Dalam rangka mengimplementasikan kesepakatan ini, Cina-ASEAN Joint Working Group kemudian melakukan pertemuan 2006 dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut Cina Selatan

BAB IV PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN UPAYA ORGANISASI