Kondisi Perfilman Indonesia Saat Ini

BAB IV KIPRAH CHAERUL UMAM DALAM PENGEMBANGAN FILM RELIGI

A. Kondisi Perfilman Indonesia Saat Ini

Film Indonesia agaknya sudah mulai menjadi tuan rumah di negara sendiri. Hal tersebut terlihat dari betapa menggeliatnya produksi film hasil karya anak bangsa yang banyak diputar di bioskop-bioskop sudut kota. Geliat yang terlihat dari maraknya persaingan pembuatan film pada masing-masing Production House rumah produksi dengan varian judul dan jenis film berbeda. Persaingan bertambah menarik manakala apresiasi masyarakat untuk menonton film yang berjudul dan berbahasa Indonesia tidak kalah banyaknya dengan jumlah penonton film produksi Hollywood, yang notebene menjadi kawah candra dimukanya industri film internasional, serta film impor dari Bollywood India yang menyuguhkan film drama dengan perpaduan seni musik serta tari yang kental dalam setiap adegannya, dan film mandarin dengan segala bentuk keindahan seni bela diri yang ditonjolkannya. Apakah kondisi film Indonesia tersebut menjadi pertanda kesuksesan dunia perfilman produksi anak negeri? Kalau ukurannya adalah pada tingginya tingkat produktifitas dan persaingan rumah produksi, serta respon masyarakat terhadap film Indonesia, meskipun hanya didominasi kaum muda, maka dapat dikatakan demikian, bahwa film Indonesia kini telah sukses. Namun jika pertanyaannya dilihat dari seberapa besar peran film Indonesia dalam membawa pesan moral dan perbaikan gaya hidup ditengah badai dekadensi moral yang menghantui budaya masyarakat Indonesia saat ini? Agaknya sangat jauh dari yang diharapkan. Suatu waktu, penulis melewati beberapa bioskop dalam perjalanan penulis menuju Depok. Penulis melihat billboard yang mengiklankan judul film yang akan ditayangkan pada bioskop-bioskop tersebut. Pada saat yang bersamaan penulis juga melihat judul-judul film tadi, kembali disiarkan di sebuah harian yang baru penulis beli. Pada harian ini, nampaknya iklan terhadap film yang akan diputar di bioskop- bioskop jauh lebih jelas dan rinci mengingat terdapat beberapa sinopsis dari cerita film yang akan diputar. Dari kesemua iklan film yang sedang diputar di bioskop- bioskop ibukota tersebut, didapat sebuah kesimpulan bahwa mayoritas film yang sedang diputar adalah film yang bertemakan mistik dan film komedi yang dikhususkan untuk kalangan dewasa dengan tayangan erotis sebagai bumbunya. Artinya adalah bahwa film yang bertemakan mistik erotis dan komedi erotis tadi sangat tidak bisa diharapkan bagi perbaikan moral bangsa. Justru sangat besar peran dari film-film tersebut bagi kemerosotan moral bangsa. Saat ini banyak dari kalangan muda, generasi harapan dan penerus bangsa, memandang seks adalah bukan sebagai suatu hal yang tabu lagi. Banyak dari kalangan muda yang telah melakukan hubungan seks dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan yang lebih mengagetkan adalah, budaya tersebut sudah menyentuh kalangan pelajar SMP. Bagi penulis, hal demikian adalah bukti bahwa tayangan dalam film sangat berpengaruh bagi proses pembentukan karakter sekelompok orang. Maka menjadi pekerjaan besar bagi segenap elemen bangsa yang peduli terhadap dunia seni Indonesia untuk mengembalikan citra bangsa dan menemukan kembali identitas bangsa melalui karya seni yang berpulang pada nilai-nilai keluhuran moral. Dari sedikit sutradara yang memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap komitmen perbaikan moral bangsa melalui film, Chaerul Umam merupakan nama besar yang tidak bisa dipisahkan dari unsur tersebut. Sebagai seorang sineas, kecakapan karya seni yang dihasilkan tentu menjadi prioritas. Tapi Chaerul Umam punya lebih dari sekadar mempertunjukkan kecakapan karya, dia lebih mengembalikan hasil karyanya dengan menitikberatkan karyanya pada sisi edukasi, sosial dan kemanusiaan. Terlebih sebagai seorang muslim yang taat, ia menjadikan film sebagai sarana menyampaikan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam Islam. Bagi Chaerul Umam, gerakan pembaruan dalam film Indonesia itu harusnya dimulai dari orang yang terlibat dalam pembuatan film. Kalau unsur pembuat filmnya sama, maka akan memunculkan film dengan tema yang sama juga dengan film yang selama ini ada. Tetapi jika orang-orang film berubah maka tema-temanya pun akan berubah. Karena dari dahulu moral dan tingkah laku para pembuat film dikenal tidak baik. Minuman keras, perempuan, dan judi menjadi kebiasaan yang dilakukan para pembuat film. Bagaimana bisa membuat film yang baik kalau pembuat filmnya cacat moral? Karena selama ini yang menjadi jargon bagi film adalah bahwa film sebagai sarana edukasi dan hiburan serta juga sebagai sarana bisnis. Namun pada realitasnya, hanya unsur hiburan dan bisnis yang akhirnya paling mendominasi dan yang muncul kepermukaan, sementara unsur edukasinya jarang atau bahkan tidak ada. 45 Sementara itu, Chaerul Umam menyoroti perkembangan perfilman saat ini. Menurutnya, film-film yang ada sekarang seperti mengalami keterputusan dengan generasi film sebelumnya. Film Indonesia mati kemudian muncul secara tiba-tiba. Sutradara-sutradara muda yang saat ini ada, kebanyakan memiliki latar belakang akademis dengan bersekolah film atau teater di luar negeri, kemudian pulang ke 45 “Susahnya Mencetak Sutradara Unggul; Wawancara Bersama Chaerul Umam”, Kolom Tatap Muka Majalah Tarbawi, edisi 173 tahun ke-9, Februari 2008, h. 21. Indonesia dan langsung membuat film dengan metode baru yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Chaerul Umam mengkisahkan pengalamannya menjadi sutradara, bahwa dia memulai dengan menjadi asisten sutradara dari Motinggo Boesye dan Asrul Sani, bahkan dirinya pernah menjadi dubber atau pengisi suara di beberapa judul film. Jadi terdapat regenerasi dalam karier pada film, kalau merunut pada sutradara muda saat ini, ilmu perfilman yang mereka praktekkan akhirnya cenderung bebas seiring dengan ilmu yang mereka dapat dari luar negeri. 46 Secara umum jika dipandang melalui sudut pandang tema, perfilman Indonesia dari dahulu hingga saat ini memang tidak mengalami perbedaan tema yang cukup signifikan. Chaerul Umam menambahkan bahwa tema-tema film yang ada saat ini tidak jauh berbeda dengan tema-tema film terdahulu. Tema-tema tersebut berkisar antara tema percintaan dan tema misteri. Dahulu ada judul Gita Cinta Dari SMA, Galih dan Ratna, dan Puspa Indah Taman Hati yang diperankan oleh Rano Karno atau film Pengantin Remaja yang diperankan Sophan Sopiaan dengan Widyawati. Kemudian judul film era sekarang tidak jauh berbeda dengan dahulu seperti film Ada Apa Dengan Cinta, Heart, Love Is Cinta, Eiffel I’m In Love dan lain sebagainya. Kemudian tema yang sama lainnya dengan tema pada era terdahulu adalah tema mengenai horor atau mistik. Di era terdahulu terdapat film horor dengan judul Beranak Dalam Kubur, Pembalasan Dendam Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul, dan lain sebagainya. Sekarang pun film semacam itu ada, misalnya Hantu Terowongan Casablanca, Pocong, Suster Ngesot, Bangku Kosong dan lain sebagainya. Jadi tidak ada tema yang terlalu berbeda secara spesifik dengan era dahulu. Justru sosok seperti Deddy Mizwar muncul dengan membawa jenis film dengan tema sosial yang kental di dalamnya melalui film Nagabonar. Meskipun di dalamnya juga gak terlalu jauh dari 46 Ibid tema-tema yang lama semisal percintaan, namun nuansa sosial dan edukasinya lebih besar daripada percintaannya. 47 Tema percintaan menjadi tema yang senantiasa digarap oleh hampir seluruh sineas di sepanjang waktu. Chaerul Umam berpendapat, bahwa memang masalah cinta adalah masalah yang universal, masalah semua orang dan masalah semua waktu. Tema cinta itu sudah ada sejak zaman dahulu. Kita tahu kisah Romeo and Juliet yang tenar di dataran Eropa atau di Indonesia ada kisah Roro Mendut dan Pronocitro misalkan. Dimana-mana tema cinta memang universal, hanya saja penggarapannya bisa kreatif atau tidak? Bisa dihubungkan atau tidak? Dengan nilai- nilai religius misalnya? 48

B. Latar Belakang Chaerul Umam Dalam Menyutradarai Film Islam