3. Pertanyaan : Dan memang sepertinya film Indonesia tidak akan jauh
dari tema-tema yang lama itu ya pak percintaan dan horor?
Jawab :
Mungkin masalah cinta adalah masalah yang universal, masalah semua orang dan masalah semua waktu. Tema cinta
itu sudah ada sejak zaman dahulu. Kita tahu kisah Romeo and Juliet atau di Indonesia ada kisah Roro Mendut dan
Pronocitro misalkan. Dimana-mana tema cinta memang universal, hanya saja penggarapannya bisa kreatif atau tidak?
Bisa dihubungkan atau tidak dengan nilai-nilai religius misalnya?
4. Pertanyaan : Itu makanya, tidak banyak sutradara yang memiliki
pandangan berbeda seperti itu. Nah, bapak agaknya memilikinya, terbukti misalnya melalui sinetron
Maha Kasih yang mendapat sambutan baik oleh masyarakat.
Tapi kemudian mengapa para pembuat film enggan menggarap tema yang seperti itu?
Jawab :
Menurut saya mungkin karena yang membuatnya tidak dekat dengan religius. Nah kebetulan saya memiliki latarbelakang
yang dekat dengan masalah-masalah religius. Ibu saya sendiri adalah seorang muballighah. Dari kecil saya sering diajak ibu
saya kalau pergi mengaji kemana-mana. Ketika sekolah juga saya berkumpul dengan organisasi-organisasi Islam seperti di
Muhammadiyah Ikatan Remaja Muhammadiyah-pen dan HMI Himpunan Mahasiswa Islam. Ketika masuk teater,
saya masuk teater yang Islam. Saya ikut teater HMI. Ketika terjun kedunia film, meskipun belum punya pegangan karena
baru berkecimpung waktu itu, tapi saya sadari bahwa saya ingin membuat film yang dekat dengan dunia saya, yakni
dunia Islam. Menurut pendapat saya, segala sesuatu atau semua karya itu akan bisa dikatakan komunikatif apabila
digarap oleh orang yang tahu masalahnya atau dekat dengan dunianya. Kalau sesuatu dikerjakan oleh orang yang tidak
tahu masalahnya maka hasilnya akan tidak komunikatif. Orang ingin menggarap film religius, tetapi tidak mengerti
dunia religi, tidak mengerti masalah syar’i, maka hasilnya akan tidak komunikatif atau tidak nyambung.
5. Pertanyaan : Melalui penjelasan tadi, bahwa sepertinya bapak memang
memiliki dedikasi besar untuk membuat film religius, apakah bapak setuju kalau bapak disebut sebagai seorang
da’i ?
Jawab :
Tidak berani saya kalau saya dipanggil da’i, karena bagi saya pemaknaan da’i itu adalah sesuatu yang luar biasa. Orang
setelah melalui tahapan Jihad baru melangkah ketahapan da’i untuk berdakwah. Saya cukup dikatakan sebagai sutradara
sajalah he...he...he.... Bahwa kalau hasil karya saya nantinya dipandang ada nilai dakwahnya ya syukur, alhamdulillah.
Saya cukup membuat sesuatu yang saya ketahui. Kalau
akhirnya saya dikatakan sebagai da’i atau karya saya mengandung unsur dakwah ya syukur. Tetapi kalau
mengatakan diri saya sebagai da’i, saya masih minder tidak percaya diri-pen.
6. Pertanyaan :
Kemudian apa sebenarnya motivasi bapak dalam membuat film religius?
Jawab :
Motivasi saya adalah saya hanya ingin membuat film yang dekat dengan dunia saya tadi. Kalau saya membuat film
dengan tema kemewahan, glamour, maka film itu tidak akan berhasil karena saya tidak dekat dengan dunia itu, saya besar
dalam tradisi kampung. Kalau saya disuruh membuat film tentang percintaan, maka saya pun sangat tidak memahami
dan mengalami kisah percintaan semacam pacaran, jadinya sulit. Makanya saya membuat film yang sesuai dengan dunia
saya. Membuat film dengan latarbelakang kehidupan pesantren misalnya, itu baru dunia saya dan saya sangat asyik
membuatnya. Namun orang-orang menganggap saya da’i. Padahal disetiap film religius yang saya buat, saya pasti selalu
menyertakan seorang ustadz sebagai supervisi dari film saya tersebut. Jadi ustadz akan menegur saya jika saya salah dan
lain sebagainya.
7. Pertanyaan
: Kemudian menurut bapak bagaimana caranya menyaingi atau meng-
counter film-film buatan sineas yang selalu didominasi oleh unsur seks dan horor?
Jawab :
Awalnya saya menganggap ya sudahlah buat yang biasa-biasa saja. Dari tahun 1975 saya membuat film yang biasa saja.
Hanya film al-Kautsar saja yang bertemakan religi. Ya inginnya sih membuat film yang lebih dekat dengan dunia
saya, dalam hal ini dunia Islam, tetapi kan kesempatan itu tidak mudah saya dapatkan. Baru pada film ketujuh, saya
diberi kesempatan membuat film dengan judul Titian Serambut Dibelah Tujuh yang sesuai dengan dunia saya.
Kemudian kesempatan itupun tidak kembali didapat dalam jangka waktu yang cukup lama dan baru pada tahun 1992
didapat kembali melalui film Nada dan Dakwah. Nah selama waktu tidak datangnya kesempatan untuk menuangkan
sebuah film yang sesuai dengan dunia saya yang cukup lama itu, selama kurun waktu itu saya isi dengan pembuatan film
yang biasa-biasa saja, agar jiwa kreatifitas saya tidak mati. Akhirnya pada tahun 1997 saya tetapkan untuk tidak
menerima tawaran membuat film dengan tema-tema yang lain selain tema religius. Jadi niatnya bukan untuk menandingi
atau meng-counter film-film yang merusak itu. Percuma Saya sendirian sementara mereka jumlahnya ribuan,
bagaimana bisa dikatakan meng-counter??? Tetapi niat saya ingin membuat film yang komunikatif, agar orang lain
mengerti apa yang saya inginkan melalui film saya.
8. Pertanyaan : Apa saja hambatan yang bapak temukan didalam