Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)

(1)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA

(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH

VI BESITANG)

SKRIPSI

Oleh:

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO

071201030

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(2)

PEMETAAN SATWA MANGSA HARIMAU SUMATERA

(Panthera tigris sumatrae) DI TAMAN NASIONAL

GUNUNG LEUSER (SPTN WILAYAH

VI BESITANG)

SKRIPSI

Oleh:

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO 071201030/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2011


(3)

Judul Skripsi :Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah Vi Besitang)

Nama : Ricky Darmawan Priatmojo

NIM : 071201030

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Ketua

Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D Anggota

Mengetahui

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan


(4)

ABSTRAK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.

Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.


(5)

ABSTRACK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger

(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.

The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 19 November 1989 dari ayah Supriyono dan ibu Sri Darwati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMU Negeri 3 Medan dan pada tahun yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru memilih jurusan Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti kuliah, penulis aktif sebagai anggota mahasiswa Kehutanan USU dan pernah menjadi Asisten Praktik Pengenalan Ekosisten Hutan (PEH) tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi ekstrauniversitas Himpunan Mahasiswa Silva.

Penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Hutan Daratan Rendah Aras Napal dan Hutan Mangrove Pulau Sembilan Kabupaten Langkat tahun 2009. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di KPH Randublatung Unit I Jawa Tengah dari tanggal 1 Januari sampai dengan 1 Februari 2011.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini tepat pada waktunya.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “Pemetaan Satwa Mangsa Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang)”. Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing penelitian yaitu Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku ketua dan Ibu Rahmawaty, S.Hut, M.Si, Ph.D selaku anggota, serta kepada kedua orangtua saya yang telah mendukung saya dalam segi moril dan materiil dan teman-teman yang telah membantu saya.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan penelitian ini.

Akhirnya penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi para mahasiswa kehutanan.

Medan, Juni 2011


(8)

DAFTAR ISI

Hlm.

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Taksonomi Harimau Sumatera ... 6

Habitat Harimau Sumatera ... 7

Daerah Jelajah Harimau Sumatera ... 8

Pakan Harimau Sumatera ... 8

Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya ... 18

Piramida Makanan ... 19

Camera Trap ... 19

Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 20

Hutan Hujan Tropika ... 21

METODE PENELITIAN ... 23

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23

Bahan dan Alat Penelitian ... 23

Prosedur Penelitian ... 24

Penentuan sampling ... 24

Penggunaan camera trap ... 25

Matriks deteksi ... 25

Penentuan koordinat satwa ... 26

Pengolahan data spasial sebaran satwa ... 26


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

Lokasi pemasangan camera trap ... 28

Matriks deteksi ... 30

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera ... 33

Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap .... 42

Frekuensi kemunculan satwa ... 49

KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(10)

DAFTAR GAMBAR

No. Hlm.

1. Peta sebaran harimau sumatera ... 7

2. Lokasi penelitian ... 23

3. Camera trap tipe Panthera ... 24

4. Petak (grid) dan anak petak (sel) pemasangan camera trap ... 25

5. Bagan alur proses pengolahan data spasial ... 27

6. Peta lokasi pemasangan camera trap di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser ... 29

7. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 34

8. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang di Taman Nasional Gunung Leuser ... 38

9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43

10. Gambar babi hutan hasil camera trap di lokasi penelitian ... 43

11. Gambar kijang hasil camera trap di lokasi penelitian ... 44

12. Gambar kancil hasil camera trap di lokasi penelitian ... 45

13. Gambar beruk hasil camera trap di lokasi penelitian... 45

14. Gambar landak hasil camera trap di lokasi penelitian ... 46

15. Gambar trenggiling hasil camera trap di lokasi penelitian ... 47

16. Gambar beruang madu hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48

17. Gambar kuau raja hasil camera trap di lokasi penelitian ... 48

18. Total kemunculan satwa pada tiap kelas ketinggian tempat (mdpl) ... 50

19. Total kemunculan satwa pada hutan primer dan hutan sekunder ... 51

20. Total jenis satwa yang muncul berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tutupan lahan ... 52


(11)

DAFTAR TABEL

No. Hlm.

1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian... 30 2. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya... 31 3. Frekuensi kemunculan satwa ... 49


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hlm.

1. Titik koordinat pemasangan camera trap ... 58

2. Lokasi kemunculan satwa mangsa harimau sumatera ... 60

3. Frekuensi kehadiran satwa mangsa harimau sumatera ... 64

4. Jenis-jenis satwa yang terekam oleh camera trap ... 69

5. Gambar satwa lain yang terekam camera trap ... 71

6. Surat ijin masuk kawasan konservasi (SIMAKSI) ... 74

7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser ... 75


(13)

ABSTRAK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Pemetaan Satwa Mangsa Harimau

Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN Wilayah VI Besitang), dibimbing oleh PINDI PATANA dan RAHMAWATY.

Pemetaan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dilakukan di Taman Nasoinal Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang. Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2010 sampai dengan April 2011. Bertujuan untuk memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera dan untuk mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Metode pemetaan satwa mangsa dilakukan dengan menggunakan camera trap dan program Arc-View 3.3. Camera trap dipasang berpasangan di tiap sel dan aktif di lapangan selama 60 hari. Satwa mangsa dipetakan berdasarkan titik camera trap yang merekam satwa dan dipetakan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan. Ketinggian tempat dibagi menjadi 5 kelas yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, 1.500-2.000-2.500 mdpl.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa satwa mangsa harimau sumatera paling banyak muncul pada kelas ketinggian 0-500 dan 500-1.000 mdpl dengan tipe tutupan lahannya adalah hutan sekunder. Satwa mangsa harimau sumatera yang paling sering muncul adalah landak, baik berdasarkan ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan.


(14)

ABSTRACK

RICKY DARMAWAN PRIATMOJO : Mapping Animal Prey Sumatran Tiger

(Panthera tigris sumatrae) in Gunung Leuser National Park (SPTN BESITANG Region VI), supervised by PINDI PATANA and RAHMAWATY.

Mapping of the Sumatran tiger prey species (Panthera tigris sumatrae) conducted in Taman Gunung Leuser Nasoinal SPTN Besitang Region VI. This research was conducted from March 2010 until April 2011 as a purpose to map the exisiting of sumatran tiger prey species and to determine the frequency of appears of species based on altitude (masl) and land cover types. Mapping method of prey animals is done by using camera traps and the program Arc-View 3.3. Camera traps set in pairs in each cell and it active for 60 days. Animal prey mapped based on the point of recording wildlife camera traps and mapped based on elevation and land cover types. Elevation is divided into 5 classes; 0-500 masl, 500-1.000 masl, 1.000-1.500 masl, 1.500-2.000 masl, 2.000-2.500 masl.

The results showed that the Sumatran tiger prey species appears most at altitude classes 0-500 and 500-1.000 masl with land cover type is secondary forest. Sumatran tiger prey animals that most frequently appear are hedgehogs, both based on altitude and land cover types.


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di dunia ada delapan subspesies harimau. Tiga diantaranya terdapat di Indonesia yaitu harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dan harimau bali (Panthera tigris balica). Namun harimau jawa dan harimau bali telah dinyatakan punah, masing-masing pada tahun 1940-an dan 1980-an (Seidensticker dkk., 1999). Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang hanya hidup di Pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida dalam ekosistem hutan Sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh pemerintah Indonesia dan dikategorikan oleh International Union for

Conservation Nature (IUCN) sebagai satwa yang mendekati kepunahan.

Sementara itu Convention on International Trade in Dangered Species (CITES)

telah melarang perdagangan dan perburuan satwa ini (Departemen Kehutanan, 2007).

Pertemuan Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) yang diselenggarakan pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Republik Indonesia dengan IUCN Species Survival

Commission and Conservation Breeding Specialist Group (CBSG), menyatakan

bahwa hanya ada 400 ekor harimau yang masih bertahan hidup di lima taman nasional utama di Pulau Sumatera. Dari kelima taman nasional yang ada, populasi terbanyak adalah 110 ekor, terdapat di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara, sementara sisanya berada di taman-taman nasional lain yang


(16)

jumlahnya diperkirakan separuh atau bahkan lebih sedikit dari populasi yang ada disana (Franklin dkk., 1999).

Harimau sumatera memerlukan tiga kebutuhan dasar untuk mempertahankan hidup yaitu ketersediaan hewan mangsa yang cukup, sumber air,

dan tutupan vegetasi yang rapat untuk tempat menyergap mangsa (Lynam dkk.,2000). Apabila salah satu dari kebutuhan dasar tersebut tidak

terpenuhi, maka akan mengancam keberadaan harimau sumatera yang sudah semakin berkurang populasinya saat ini.

Kelimpahan dan penyebaran satwa mangsa secara merata mempengaruhi wilayah jelajah dari harimau sumatera. Satwa mangsa yang sedikit dan penyebarannya yang tidak merata akan memperjauh wilayah jelajah dari harimau sumatera. Hal itu disebabkan karena harimau sumatera akan memburu mangsanya sampai dapat untuk mempertahankan hidupnya. Apabila ketersediaan satwa mangsa sedikit dan tidak merata, secara tidak langsung akan meningkatkan persaingan antara individu harimau yang satu dengan yang lainnya dalam mendapatkan mangsa. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus terjadi, sangat mungkin populasi harimau akan berkurang akibat kematian. Hal tersebut yang menyebabkan mengapa perlu dilakukannya upaya perlindungan atau konservasi terhadap satwa mangsa harimau sumatera.

Salah satu bentuk upaya perlindungan atau konservasi terhadap satwa mangsa harimau sumatera adalah dengan memetakan sebaran satwa mangsa. Keberadaan dan kelimpahan satwa mangsa akan dapat dilihat dari peta tersebut. Daerah yang sudah memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebarannya merata akan tetap dipertahankan dan dimonitoring. Sedangkan daerah yang belum


(17)

memiliki kelimpahan satwa mangsa dan penyebaran yang merata, perlu dilakukan tindak lanjut dalam upaya peningkatan populasi satwa mangsa. Dengan begitu, kita dapat mengetahui daerah mana saja yang memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai daerah konservasi bagi harimau sumatera.

Fungsi penggunaan lahan mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa mangsa harimau sumatera biasanya banyak dijumpai di hutan primer, namun tidak sedikit juga yang ditemukan di hutan sekunder. Bahkan beberapa jenis dari satwa tersebut ada yang memasuki perkebunan milik masyarakat. Hal tersebut dikarenakan banyaknya perambahan hutan yang terjadi saat ini yang mengakibatkan berkurangnya habitat dari satwa tersebut.

Ketinggian tempat juga mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Satwa mangsa harimau sumatera kebanyakan hidup di dataran rendah dan dataran tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena ketersediaan pohon pakan dari satwa mangsa yang sebagian besar merupakan herbivora masih melimpah dan jenisnya yang beragam. Sedangkan di daerah pegunungan, keberadaan satwa mangsa lebih sedikit, karena ketersediaan pohon pakan semakin sedikit dan jenisnya yang terbatas.

Perburuan liar juga salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan satwa mangsa. Tingginya aktifitas perburuan liar akan menyebabkan turunnya populasi dari satwa mangsa. Satwa mangsa akan sulit ditemukan di daerah yang sering dijadikan sebagai kawasan perburuan liar.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya konservasi harimau sumatera di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser bekerjasama dengan Yayasan Leuser Internasional. Penelitian ini dilakukan agar dapat diketahui sebaran dan


(18)

kelimpahan satwa mangsa harimau sumatera. Sehingga nantinya akan membantu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam upaya konservasi harimau sumatera yang sudah terancam punah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Memetakan keberadaan satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan.

2. Mengetahui frekuensi kemunculan satwa berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini akan menjadi referensi bagi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat, serta peneliti yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam upaya konservasi harimau sumatera yang sudah terancam punah.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Habitat hutan dataran tinggi yang tersisa saat ini tidak dapat mendukung biomassa jenis-jenis ungulata besar sebagai hewan mangsa. Sebaliknya, keberadaan hutan dataran rendah sangat penting karena dapat mendukung biomassa hewan ungulata besar seperti babi hutan (Sus scrofa), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kijang (Muntiacus muntjak) sebagai hewan mangsa. Namun, luasan hutan dataran rendah yang tersisa secara cepat menyusut akibat alih fungsi menjadi lahan pertanian. Diperkirakan antara 65-80% hutan dataran

rendah di Sumatera telah hilang atau beralih fungsi menjadi peruntukan lain (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Harimau menggunakan teknik perburuan yang mengandalkan taktik perburuan individual, bersembunyi, mengejar dan menyerang secara tiba-tiba lalu membunuh mangsanya. Keuletan dalam cara harimau menangkap dan membunuh mangsanya memungkinkan mereka memangsa berbagai jenis dan ukuran mangsa (Sunquist dkk., 1999).

Sebagai hewan pemangsa utama, harimau memerlukan wilayah habitat yang luas supaya dapat hidup dan berkembang biak. Oleh karena itu, kepadatan hewan mangsa sebagai sumber pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam mendukung keberlanjutan populasi harimau. Ketersediaan hewan mangsa ini juga memainkan peran penting dalam menentukan daerah jelajah individu harimau (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Penelitian-penelitian terdahulu (Schaller 1967; Sunquist 1981) secara kuantitatif menunjukkan adanya hubungan yang positif antara kepadatan harimau


(20)

pengurangan jumlah harimau liar saat ini. Apabila kepadatan mangsa berkurang jelas menimbulkan faktor yang sangat negatif, sehingga pengurangan tekanan melalui perburuan pada harimau itu sendiri bukanlah merupakan jawaban konservasi yang memadai. Hilang atau langkanya harimau di wilayah yang luas selama beberapa dekade bahkan dimana perburuan harimau yang terorganisir tidak lagi merupakan hal yang biasa, mungkin sebagian besar dikarenakan oleh rendahnya kepadatan mangsa. Oleh karena itu, penyusutan mangsa perlu diakui secara eksplisit sebagai ancaman nyata terhadap penyusutan fisik atau degradasi struktural dari habitat harimau (Karanth dan Stith, 1999).

Taksonomi Harimau Sumatera

Taksonomi harimau sumatera dalam biologi adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mammalia Ordo : Carnivora Famili : Felidae Genus : Panthera Spesies : Panthera tigris

Subspesies : Panthera tigris sumatrae


(21)

Habitat Harimau Sumatera

Harimau sumatera hanya ditemukan di Pulau Sumatera. Kucing besar ini mampu hidup di manapun, dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan, dan tinggal di banyak tempat yang tak terlindungi (Dinata dan Sugardjito, 2008). Peta sebaran harimau sumatera oleh Santiapillai dan Ramono (1985) dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera

Harimau sumatera dijumpai di hutan-hutan dataran rendah sampai dengan pegunungan. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0- 2.000 mdpl, tetapi kadang-kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400 mdpl. Hutan dataran rendah merupakan habitat utama harimau sumatera dengan kepadatan 1-3 ekor per 100 km2, sedangkan daerah pegunungan 1 ekor per 100 km2. Namun, tingginya kerusakan hutan dataran rendah di Sumatera (65-80%) menyebabkan harimau

Aceh

North Sumatra

West Sumatra

Bengkulu

South Sumatra

Lampung Jambi


(22)

bergerak ke atas menuju hutan perbukitan dan pegunungan (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Daerah Jelajah Harimau Sumatera

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, harimau membutuhkan daerah yang luas yang biasa disebut dengan daerah jelajah. Departemen Kehutanan (2007) menyebutkan bahwa daerah jelajah harimau sumatera betina dewasa berkisar antar 40-70 km2. Kemudian daerah jelajah harimau sumatera jantan sangat bervariasi yaitu antara 180 km2 pada kisaran ketinggian antara 100-600 mdpl, 274 km2 pada kisaran ketinggian antara 600-1700 mdpl, dan 380 km2 pada ketinggian 1700 mdpl.

Pakan Harimau Sumatera

Pakan utama harimau sumatera adalah dari keluarga Cervidae berukuran

besar dan Suidae, seperti rusa sambar (Cervus unicolor) dan babi hutan (Sus scrofa). Dalam keadaan tertentu harimau sumatera juga memangsa berbagai

jenis mangsa alternatif lain, seperti kijang (Muntiacus muntjac), kancil (Tragulus javanicus), beruk (Macaca nemestrina), landak (Hystrix brachyura), trenggiling (Manis javanica), beruang madu (Helarctos malayanus) dan kuau raja (Argusianus argus) (Departemen Kehutanan, 2007).

Keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 600- 1.700 mdpl. Semakin tinggi letak geografis habitat hutan semakin kecil variasi vegetasinya yang mempengaruhi pula kepadatan satwanya (Griffith, 1994).


(23)

1. Rusa Sambar

Taksonomi rusa sambar dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Cervus unicolor

(IUCN, 2010).

Rusa sambar mempunyai kaki yang panjang, dan pada dasarnya ia merupakan jenis menjangan Indonesia terbesar. Tingginya pada bagian bahu kira-kira 140 cm dan beratnya kira-kira-kira-kira 300 kg. Warnanya ada yang coklat ke hitam-hitaman, dan ada pula yang gelap sekali. Telinga binatang ini besar, dan lebih mengandalkan pendengaran daripada penglihatan dalam kehidupannya sehari-hari di dalam hutan (Veevers dan Carter, 1987).

Rusa sambar termasuk hewan yang aktif terutama pada malam hari, juga pagi hari dan menjelang petang. Makanannya meliputi rumput-rumputan, perdu, dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan buah-buahan yang jatuh. Rusa sering mengunjungi sumber mineral alami. Rusa sambar biasanya hidup soliter, tetapi kelompok yang terdiri dari dua ekor juga kadang terlihat. Paling umum terdapat di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi di daerah berlereng curam dan di hutan rawa. Memasuki beberapa kebun dan perkebunan


(24)

2. Babi hutan

Taksonomi babi hutan dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Sus scrofa

(IUCN, 2010).

Binatang ini sangat pandai menyesuaikan diri, dan makan segala macam makanan. Mereka cepat sekali berkembang biak, meskipun sering diburu manusia ataupun dijadikan mangsa oleh binatang buas di rimba. Kakinya punya empat jari, jari belakang lebih kecil yang sangat membantunya kalau berjalan di atas tanah berlumpur. Babi selalu aktif siang dan malam, tetapi suka makan waktu pagi dan senja (Veevers dan Carter, 1987).

Sebagian besar babi hutan aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya, cacing tanah, dan binatang kecil lainnya. Tidak sedikit babi hutan yang merusak di perkebunan dan memakan bagian tumbuh pohon palem muda dan buah coklat. Populasi kecil menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan kebun. Sarang babi hutan terbuat dari anakan pohon dan perdu yang digigit atau dikoyakkan dan dionggokkan di atas tanah (Payne dkk., 2000).


(25)

3. Kijang

Taksonomi kijang dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus : Muntiacus

Spesies : Muntiacus muntjak

(IUCN, 2010).

Kijang jarang terdapat di tempat-tempat yang jauh dari hutan. Mereka terdapat di hutan-hutan primer dan sekunder dengan pohon-pohon yang rapat mulai dari daerah tepi pantai sampai daerah dengan ketinggian 2500 mdpl atau lebih lagi. Jenis binatang ini bisa bertahan hidup dan berkembang biak meskipun banyak musuh seperti manusia dan pemangsa-pemangsa lain, seperti harimau, macan tutul, dan lain-lain. Warna kijang adalah coklat kekuningan, sedangkan kaki dan dahinya lebih kehitam-hitaman. Di dagu, leher, perut, kaki bagian dalam dan di bawah ekornya terdapat warna putih (Veevers dan Carter, 1987).

Kijang aktif terutama pada siang hari. Makanannya meliputi dedaunan muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh (termasuk yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae). Kijang sering ditemukan

secara kebetulan sebagai pasangan jantan/betina dewasa, kadang sendiri (Payne dkk., 2000).


(26)

4. Kancil

Taksonomi kancil dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Tragulus javanicus

(IUCN, 2010).

Panjang tubuh kancil sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Kancil merupakan binatang herbivora yang menyukai rumput, daun-daunan yang berair, kecambah, buah-buahan yang jatuh di tanah, kulit pisang, pepaya, ubi, dan ketela. Habitat Kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat (Ihsan, 2010).

Kancil aktif pada malam dan siang hari. Makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Biasanya hidup menyendiri (soliter). Dewasa dan anakan beristirahat di tempat yang terlindung di bawah tajuk hutan. Terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki kebun-kebun dan semak belukar (Payne dkk., 2000).


(27)

5. Beruk

Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo :

Famili :

Genus : Macaca

Spesies : Macaca nemestrina

(IUCN, 2010).

Beruk merupakan jenis monyet yang mempunyai ekor pendek, lebih kurang sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut mulai dari coklat sampai coklat kekuningan, dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Jenis macaca ini hidup di hutan primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai, hutan rawa atau dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian lebih kurang 1.000 mdpl. Dalam usahanya mencari pakan, umumnya beruk sering menempuh perjalanannya di tanah daripada melalui pepohonan. Aktif pada siang hari (diurnal), menjelang petang mereka tidur pada pohon bersama kelompoknya. Beruk tidak membuat sarang (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Hewan ini hidup berkelompok, biasanya 15-40 ekor, tetapi hidup soliter juga sesekali ditemukan. Makanan meliputi buah-buahan yang masak dan vertebrata dan invertebrate kecil. Sebagian besar sering ditemukan di hutan perbukitan, kadang memasuki perkebunan dan kebun-kebun di dataran rendah


(28)

yang berdekatan dengan hutan. Kelompok hewan ini dapat menyebabkan kerusakan yang besar pada tanaman padi dan buah-buahan (Payne dkk., 2000).

6. Landak

Taksonomi beruk dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Rodentia

Famili :

Genus : Hystrix

Spesies : Hystrix brachyura

(IUCN, 2010).

Duri – duri dibagian atas badannya kasar dan liar seta berwarna putih. Dan hitam atau berjalur kekuning-kuningan. Duri-duri dibagian bawah badannya jauh lebih halus, jarang, pendek dan berwarna hitam. Landak mempunyai empat kuku pada kaki depan dan lima kuku pada kaki belakang (Wildlife, 2010).

Landak dapat ditemukan di berbagai habitat hutan. Satwa ini juga dapat ditemukan di daerah pertanian, tetapi perlu memiliki singkapan berbatu atau daerah lain di mana ia dapat menciptakan sebuah lubang sarang atau menggali (Lunde dkk., 2008). Biasanya landak memakan buah-buahan yang jatuh,

termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas. Terdapat di hutan dan lahan budidaya (Payne dkk., 2000).


(29)

7. Trenggiling

Taksonomi Trenggiling dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Pholidota Famili : Manidae

Genus :

Spesies : Manis javanica

(IUCN, 2010).

Trenggiling senang hidup di dalam hutan dan seringkali datang ke daerah perkebunan atau tanah-tanah pertanian. Trenggiling melindungi diri dari serangan musuhnya dengan cara menggulungkan dirirnya. Kalau seekor trenggiling sudah bergelung , tidak ada binatang lain kecuali barangkali harimau yang sanggup membuka gelungannya itu atau menggigitnya melalui sisik-sisiknya yang keras itu (Veevers dan Carter, 1987).

Umumnya aktif pada malam hari, siang hari trenggiling tidur di liang bawah tanah. Makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang diambil dari sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah. Sarang serangga dibuka dengan kaki yang bercakar kuat dan isinya dijilat dengan lidah yang panjang dan lengket. Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder, dan lahan budidaya termasuk kebun-kebun. Trenggiling sering terlihat di jalan pada malam hari, bergerak perlahan dan tidak mencolok, matanya berpendar jika terkena cahaya obor kecil (Payne dkk., 2000).


(30)

8. Beruang madu

Taksonomi beruang madu dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Carnivora Famili : Ursidae Genus : Helarctos

Spesies : Helarctos malayanus

(IUCN, 2010).

Beruang madu adalah satu-satunya jenis beruang yang hidup di hutan-hutan tropis di Indonesia. Beruang madu adalah pemakan campuran, artinya binatang ini selain memakan binatang kecil dan serangga, juga sayur-sayuran dan buah-buahan. Makanan yang paling disukainya ialah sarang lebah (anak beserta dengan madunya). Beruang madu kebanyakan makan malam hari, pada saat lebah sedang tidur. Siang hari tidur di dalam sarang yang sederhana terbuat dari dahan-dahan kayu, jauh tinggi di atas pohon (Veevers dan Carter, 1987).

Beruang Madu aktif secara teratur pada siang dan malam hari, hidup di permukaan tanah dan pada pepohonan yang tinggi. Hewan ini membuat sarang dari dahan-dahan kecil di atas pepohonan untuk tidur, mirip dengan yang dilakukan orangutan, tetapi biasanya lebih dekat ke batang pohon dan kurang tersusun rapi. Makanan meliputi seluruh sarang lebah, rayap, binatang kecil, dan buah-buahan. Terdapat di kawasan hutan yang luas dan kadang memasuki kebun-kebun di daerah terpencil (Payne dkk., 2000).


(31)

9. Kuau Raja

Taksonomi kuau raja dalam biologi adalah sebagai berikut:

Kerajaan :

Filum :

Kelas :

Ordo : Galliformes Famili : Phasianidae Genus : Argusianus Spesies : Argusianus argus

(IUCN, 2010).

Umumnya berada di hutan tinggi, dataran rendah primer hingga 1.300 mdpl, tetapi terutama berada di bawah 900 mdpl. Namun, spesies ini mungkin telah tidak menurun sangat cepat karena berkisar sampai dengan ketinggian di mana hilangnya hutan kurang parah dan terjadi di lokasi tebang pilih. Perangkap berlebihan terjadi di banyak daerah Kalimantan (BirdLife International, 2008).

Burung kuau termsuk jenis burung yang sangat sensitif terhadap gangguan sehingga menyukai tinggal didalam hutan yang sepi tanpa gangguan. Kuau jantan mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik dari daun-daunan maupun semak. Setiap pagi burung jantan selalu menari di tempat ini, jika ada gangguan dengan cepat lari masuk kedalam semak dan hutan (Alikodra, 2010).


(32)

Aktivitas Harimau Sumatera dan Satwa Mangsanya

Pola aktivitas Harimau Sumatera dapat dikatakan mengikuti pola aktivitas satwa mangsa, yaitu krepuskular dan diurnal (seperti kijang, beruk, babi hutan dan pelanduk) dan nokturnal (seperti rusa sambar). Kemungkinan hal tersebut berhubungan dengan pemangsaan. Perubahan pola aktivitas harian harimau sumatera juga kemungkinan disebabkan oleh tekanan dari manusia yang banyak beraktivitas di dalam kawasan dan di pinggir kawasan sehingga menyebabkan perubahan kualitas habitat dan menurunnya kelimpahan satwa mangsa utama (Hutajulu, 2007).

Hewan nokturnal adalah binatang yang melakukan aktifitas di malam hari. Sedangkan siang hari bagi binatang nokturnal adalah waktu untuk beristirahat (tidur). Lawan dari hewan aktifitas pada siang hari dan malam harinya digunakan untuk istirahat. Selain nokturnal dan diurnal juga masih terdapat binatang-binatang yang mempunyai waktu beraktifas tertentu seperti hewan matutinal (fajar menjelang pagi), hewan krepuskular (senja menjelang malam), dan hewan metaturnal (aktif di sebagian malam juga sebagian siang) (Alamendah, 2010).

Pada siang hari, kemungkinan harimau memangsa jenis-jenis yang melakukan aktivitas seperti Babi Hutan, Beruk dan Kijang, dan pada malam hari melakukan pemangsaan terhadap Rusa dan Kancil (Hutajulu, 2007). Babi sebagian besar aktif pada malam hari, tetapi juga secara periodik pada siang hari, terutama ketika cuaca sejuk. Beruk dan kijang adalah hewan yang aktif pada siang hari. Kancil aktif pada malam dan siang hari. Rusa aktif terutama pada malam hari, juga pada pagi hari dan menjelang petang. Beruang madu aktif secara teratur


(33)

pada siang dan malam hari.Trenggiling dan landak umumnya aktif pada malam hari, siang hari trenggiling tidur di liang bawah tanah (Payne dkk, 2000).

Piramida Makanan

Di dalam struktur piramida makanan, harimau terletak paling atas atau dikenal dengan top predator, sehingga keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan mangsa (Dinata dan Sugardjito, 2008).

Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai

makanan (top predator) di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Keberadaannya sangat rawan terhadap kepunahan dibandingkan dengan jenis satwa lain apabila kawasan hutan terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan kecil yang tidak mampu mendukung populasi hewan mangsa (Woodroffe dan Ginsberg, 1998).

Camera Trap

Untuk melakukan monitoring mamalia besar dengan perilaku menghindar (elusive) dan menyamar (cryptic) seperti harimau sumatera digunakan perangkap kamera (camera trap). Camera trap dapat memberikan data akurat di antaranya keberadaan jenis, sebaran, aktivitias satwa, daerah jelajah dan sebagainya (Hutajulu, 2007).

Kelimpahan harimau sumatera di alam sangat sulit untuk ditaksir. Hal ini disebabkan oleh sifat satwa liar ini yang tidak mudah dijumpai secara langsung


(34)

dan secara alamiah memiliki kepadatan yang rendah. Harimau sangat sulit dijumpai secara langsung di alam, maka kemungkinan memperoleh foto harimau menjadi sangat rendah. Oleh karena itu, camera trap harus ditempatkan pada lokasi-lokasi dimana kemungkinan mendapatkan foto harimau lebih tinggi. Namun demikian, sejauh ini belum ada rekomendasi mengenai jumlah set data minimum yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang dapat dipercaya (Wibisono, 2007).

Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG merupakan sebuah system yang saling berangkaian satu dengan yang lain. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berreferensi geografi. Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam bentuk digital yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Analisis SIG memerlukan tenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras computer, dan software pendukung (Budiyanto, 2002).

Pemetaan kesesuaian habitat satwaliar (Wildlife habitat suitability

mapping) merupakan suatu analisis hubungan komplek diantara beberapa variasi

faktor lingkungan yang tersedia dalam bentuk geografis. Model kesesuaian habitat setiap spesies satwaliar yang menjadi spesies kunci (key spesies) suatu kawasan konservasi telah terlebih dahulu diidentifikasi. Setiap model membutuhkan data kondisi makanan dan tutupan vegetasi. Faktor lainnya yang diperlukan adalah tipe hutan, topografi, sumber air, jarak dari pusat kegiatan manusia (kota/desa), dan


(35)

lain-lain. Analisis ini menjalankan setiap model dalam GIS dengan tujuan untuk mengidentifikasi kawasan-kawasan yang sangat dan cukup sesuai sebagai habitat satwaliar kunci tersebut. Dalam system zonasi, studi/analisis ini sangat cocok dalam menentukan kawasan zona inti suatu taman nasional (Ayudi, 2009).

Hutan Hujan Tropika

Salah satu formasi hutan di Indonesia adalah hutan hujan tropika. Berdasarkan ketinggian, hutan hujan tropika terbagi menjadi 3 zone yaitu : Hutan hujan bawah (2-1000 mdpl), Hutan hujan tengah (1000-3000 mdpl) dan hutan hujan atas (3000-4000 mdpl). Jenis pohon pada hutan hujan bawah terdiri dari suku Dipterocarpaceae. Jenis pohon hutan hujan tengah terdiri dari suku Lauraceae, Fagaceae, Magnoliaceae, Hammamelidaceae, dan Ericaceae. Jenis pohon hujan hujan atas terdiri dari suku Conifer, Ericaceae, Loptospermum, Clearia dan Quercus (Onrizal dan Kusmana, 2005).

Vegetasi hutan dataran rendah memiliki keunikan tersendiri. Dua karakteristik utama yang membedakan hutan dataran rendah dengan bioma terestrial lainnya adalah tingginya kerapatan jenis pohon dan status konservasi tumbuhannya yang hampir sebagian besar dikategorikan jarang secara lokal (Clark dkk., 1999). Komposisi jenis dan keanekaragaman tumbuhan di hutan tergantung pada beberapa faktor lingkungan seperti kelembaban, nutrisi, cahaya matahari, topografi, batuan induk, karateristik tanah, struktur kanopi dan sejarah tataguna lahan (Hutchincson dkk., 1999).

Hutan Primer mengacu pada tidak disentuh, hutan murni yang ada dalam kondisi aslinya. Hutan ini belum dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Hutan hujan primer sering ditandai dengan langit-langit penuh kanopi dan biasanya terdiri dari


(36)

beberapa lapis. Lantai hutan umumnya dari vegetasi berat karena kanopi yang penuh memungkinkan cahaya masuk yang sangat kecil. Hutan primer adalah jenis yang paling beragam secara hayati hutan. Hutan sekunder adalah hutan yang telah terganggu dalam beberapa cara, alami maupun buatan. Hutan sekunder dapat dibuat dalam beberapa cara, dari hutan terdegradasi pulih dari tebang pilih, ke daerah dibersihkan dengan garis miring dan bakar pertanian yang telah direklamasi oleh hutan. Umumnya, hutan sekunder ditandai (tergantung tingkat degradasi) oleh struktur kanopi kurang berkembang, pohon-pohon yang lebih kecil, dan keanekaragaman kurang (Butler, 1994).


(37)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 s.d. April 2011. Pemasangan camera trap dilakukan pada dua grid, yaitu Grid N25W27 (Grid I) dan N26W26 (Grid II) yang berada di areal Taman Nasional Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara (Gambar 1).

Gambar 2. Lokasi penelitian

Bahan dan Alat Penelitian

Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah Peta Kelas Ketinggian SPTN Wilayah VI Besitang, Peta Tipe Tutupan Lahan SPTN Wilayah VI Besitang, Peta Administrasi SPTN Wilayah VI Besitang, camera trap tipe


(38)

Panthera, GPS Garmin 76CSX, kompas, kamera digital, laptop dengan program

Arcview 3.3, meteran, dan alat tulis.

Gambar 3. Camera trap tipe Panthera

Prosedur Penelitian

Penentuan sampling

Populasi dari penelitian ini adalah Taman Nasional Gunung Leuser SPTN Wilayah VI Besitang dengan luas 125.825 Ha. Penelitian ini menggunakan petak contoh (grid) dengan luas 28900 Ha (17 km x 17 km) sebagai sampel, dengan pertimbangan bahwa daerah jelajah terluas harimau di Asia Tenggara diperkirakan 250 km2. Oleh sebab itu, penentuan petak seluas 289 km2 diperkirakan cukup luas untuk memungkinkan penaksiran penggunaan wilayah yang sebenarnya oleh harimau (Wibisono, 2007). Tiap petak diberi identitas (ID Petak) untuk kepentingan pengelolaan data. Sistem petak (grid system) yang meliputi seluruh pulau Sumatera telah dikembangkan oleh proyek konservasi harimau WCSIP dan secara umum telah disepakati dan digunakan oleh organisasi


(39)

lain, seperti ZSL, FFI, dan WWF-Riau, dan saat ini telah digunakan untuk survai mamalia besar di seluruh Pulau Sumatera. Setiap petak dibagi menjadi 16 anak petak (sel) berukuran identik 4,25 km x 4,25 km (atau dengan luas 1.806,25 Ha).

Penggunaan camera trap

Pada tiap sel dipasang dua buah camera trap yang saling berhadapan dengan jarak 7-10 meter, sehingga total kamera yang terpasang adalah 32 unit. Penentuan lokasi pemasangan camera trap berdasarkan atas temuan jejak satwa yang paling dominan. Jarak rata-rata camera trap antar sel adalah 3-6 km. Jarak rata-rata ini sesuai dengan penelitian menggunakan camera trap di daerah hutan tropis lainnya dan juga sesuai rekomendasi dari WCS Program India. Camera trap akan diaktifkan selama 2 periode dengan lama waktu tiap periode adalah 30 hari, sehingga total hari aktif kamera adalah 2 bulan.

Matriks deteksi

Matriks deteksi atau dikenal dengan istilah detection matrix adalah matriks sejarah rekam dari individu yang berbeda yang terekam camera trap setidaknya satu kali. Indivudu yang terekam camera trap akan dicatat dalam tabel matriks

17 km

17 km

4,25 km

4,25 km


(40)

deteksi. Matriks deteksi terdiri dari baris yang mewakili individu ulangan. Setiap baris di dalam matriks deteksi terdiri beberapa kolom dari angka “0” dan “1”, masing-masing mewakili tidak terekam dan terekam (Wibisono, 2007).

Penentuan koordinat satwa

Satwa mangsa harimau yang tertangkap kamera akan diambil titik koordinatnya dengan menggunakan GPS Garmin 76CSX. Koordinat tersebut dapat diperoleh dari titik koordinat kamera yang merekam satwa. Koordinat tersebut kemudian dicatat dalam tabel koordinat satwa di program Microsoft Excel 2003 dan disimpan dalam bentuk DBF 4.

Pengolahan data spasial sebaran satwa

Pengolahan data spasial sebaran satwa mangsa harimau sumatera dilakukan dengan menggunakan aplikasi Arcview 3.3. Data koordinat satwa dari Tabel 2 yang telah dikerjakan pada program Microsoft Excel 2003 dan disimpan dalam file DBF 4 akan dikonversi menjadi file Shapefile pada program Arcview 3.3. Kemudian koordinat tersebut akan di-overlay-kan dengan Peta kelas ketinggian SPTN Wilayah VI Besitang, Peta tipe tutupan lahan SPTN Wilayah VI Besitang, dan Peta administrasi SPTN Wilayah VI Besitang, sehingga akan dihasilkan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan. Proses pengolahan data spasial disajikan dalam bentuk bagan alur seperti pada Gambar 5.


(41)

Gambar 5. Bagan Alur Proses pengolahan data spasial

Frekuensi kemunculan satwa

Satwa yang terekam akan diketahui frekuensi kehadirannya dengan melihat foto yang ada. Kehadiran satwa dilihat berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. kelas ketinggian yang digunakan adalah 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, 1.000-1.500 mdpl, 1.500-2.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl.

Data koordinat satwa dari Tabel 2 pada Ms. Excel (file dbf)

Konversi data koordinat satwa pada Arcview 3.3 (file shp)

Overlay:

• Peta kelas ketinggian SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang

Overlay:

• Peta tipe tutupan lahan SPTN Wil.VI Besitang • Peta administrasi SPTN Wil.VI Besitang


(42)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi pemasangan camera trap

Berdasarkan metode yang digunakan untuk memetakan satwa mangsa harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan menggunakan camera trap, penelitian ini dilakukan pada 2 grid penelitian, yaitu Grid N25W27 (Grid I) dan Grid N26W26 (Grid II), dengan jumlah sel yang terpasang camera trap pada masing-masing grid adalah 16 sel, sehingga total seluruhnya adalah 32 sel. Namun, penambahan grid dilakukan (yaitu Grid N26W27/Grid III) karena pada beberapa sel pada Grid II tidak dimungkinkan untuk dilakukan pemasangan

camera trap, sehingga digantikan dengan beberapa sel pada Grid III yang masih

bersebelahan dengan Grid II.

Ada 6 sel yang tidak dipasang camera trap pada Grid II, yaitu Sel 20, Sel 24, Sel 27, Sel 28, Sel 31, dan Sel 32. Pada Sel 20 tidak dipasang camera trap karena sel tersebut berada di luar kawasan TNGL, sedangkan pada sel-sel yang lainnya karena telah terjadi perambahan hutan pada lokasi tersebut, sehingga

camera trap tidak dipasang dengan alasan keamanan. Sebagai gantinya, camera trap dipasang di 6 sel pada Grid III yang bersebelahan dengan Grid II, yaitu Sel

39, Sel 40, Sel 43, Sel 44, Sel 47, dan Sel 48.

Selama camera trap terpasang di lokasi penelitian, terdapat satu sel yang kehilangan camera trap, yaitu Sel 40 pada Grid III. Camera trap tersebut diketahui hilang pada saat dilakukan pengecekan, dan belum ditemukan sampai saat ini. Diduga yang mengambil camera trap tersebut adalah pemburu satwa liar, karena menurut masyarakat masih sering terjadi perburuan satwa di lokasi


(43)

(44)

Camera trap dipasang pada berbagai tipe tutupan lahan dan ketinggian tempat (mdpl). Data koordinat pemasangan camera trap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Koordinat pemasangan camera trap di lokasi penelitian

Grid Sel

Koordinat

Ketinggian

(mdpl) Tipe Tutupan Lahan Bujur Timur

(BT)

Lintang Utara (LU)

I 1 97° 54' 43" 3° 49' 38" 1870 Hutan Sekunder

I 2 97° 55' 51" 3° 49' 08" 1038 Hutan Sekunder

I 3 97° 58' 42" 3° 49' 43" 846 Hutan Sekunder

I 4 98° 00' 22" 3° 50' 08" 247 Hutan Sekunder

I 5 97° 54' 27" 3° 46' 14" 736 Hutan Primer

I 6 97° 55' 22" 3° 46' 16" 1972 Hutan Primer

I 7 97° 57' 16" 3° 46' 31" 947 Hutan Primer

I 8 97° 59' 43" 3° 46' 25" 1717 Hutan Sekunder

I 9 97° 54' 39" 3° 44' 07" 2192 Hutan Primer

I 10 97° 56' 16" 3° 43' 52" 1798 Hutan Primer

I 11 97° 59' 07" 3° 44' 45" 706 Hutan Primer

I 12 98° 00' 43" 3° 44' 04" 609 Hutan Sekunder

I 13 97° 54' 27" 3° 43' 39" 1965 Hutan Primer

I 14 97° 58' 22" 3° 43' 03" 1710 Hutan Primer

I 15 97° 58' 31" 3° 42' 58" 539 Hutan Primer

I 16 98° 00' 19" 3° 42' 49” 430 Hutan Sekunder

II 17 98° 03' 03" 3° 58' 13" 106 Hutan Sekunder

II 18 98° 04' 28" 3° 58' 42" 80 Hutan Sekunder

II 19 98° 06' 23" 3° 57' 46" 71 Hutan Sekunder

II 21 98° 03' 14" 3° 56' 47" 72 Hutan Sekunder

II 22 98° 04' 48" 3° 56' 26" 95 Hutan Sekunder

II 23 98° 06' 27" 3° 56' 47" 57 Hutan Sekunder

II 25 98° 03' 21" 3° 54' 45" 60 Hutan Sekunder

II 26 98° 04' 47" 3° 55' 04" 118 Hutan Sekunder

II 29 98° 02' 46" 3° 52' 23" 104 Hutan Sekunder

II 30 98° 04' 36" 3° 52' 27" 98 Hutan Sekunder

III 39 97° 58' 33" 3° 55' 59" 470 Hutan Sekunder

III 40 98° 00' 56" 3° 56' 38" 89 Hutan Sekunder

III 43 97° 58' 29" 3° 53' 15" 757 Hutan Sekunder

III 44 98° 00' 39" 3° 54' 10" 144 Hutan Sekunder

III 47 97° 59' 08" 3° 51' 58" 599 Hutan Sekunder

III 48 98° 00' 54" 3° 51' 26" 110 Hutan Sekunder

Matriks deteksi

Hasil camera trap menunjukkan bahwa sebaran satwa mangsa harimau berbeda-beda tiap jenisnya. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya disajikan dalam Tabel 2.


(45)

Tabel 2. Matriks deteksi harimau sumatera dan satwa mangsanya

Jenis Satwa

Grid I Grid II Grid III

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 21 22 23 25 26 29 30 39 40 43 44 47 48 Harimau sumatera

(Panthera tigris

sumatrae)

0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Rusa sambar

(Cervus unicolor) 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0 0

Babi hutan

(Sus barbatus) 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1

Kijang

(Muntiacus muntjak) 1 0 0 1 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 1

Kancil

(Tragulus javanicus) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 1

Beruk

(Macaca nemestrina) 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Landak

(Hystrix brachyura) 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

Trenggiling

(Manis javanica) 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Beruang madu

(Helarctos malayanus) 0 0 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0

Kuau raja

(Argusianus argus) 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 1 0 0

Total Jenis 1 1 5 5 2 2 3 5 0 3 6 5 0 2 6 6 5 6 2 6 5 6 5 5 7 8 4 4 5 4 5


(46)

Data pada Sel 40 Grid III tidak diperoleh dikarenakan camera trap yang hilang. Akibatnya, terjadi kekosongan data mengenai keberadaan harimau sumatera maupun satwa mangsanya pada lokasi tersebut.

Harimau sumatera terekam hanya pada Grid I, yaitu pada Sel 6, Sel 7, Sel 10, Sel 11, Sel 14, dan Sel 15, sedangkan satwa mangsa yang juga terekam pada sel-sel tersebut adalah kijang, rusa sambar, beruang madu, babi hutan, beruk, landak, dan kuau raja. Pada Grid II dan Grid III tidak terekam harimau sumatera, namun satwa mangsa harimau sumatera yang terekam pada grid tersebut lebih banyak dibandingkan dengan Grid I. Hal tersebut dapat disebabkan oleh ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan yang ada pada Grid II dan Grid III lebih sesuai bagi kelangsungan hidup satwa mangsa harimau sumatera.

Satwa mangsa harimau sumatera paling banyak ditemukan di hutan sekunder. Sementara harimau sumatera hanya ditemukan di hutan primer. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh lokasi penelitian yang dahulunya merupakan bekas HPH PT. Raja Garuda Mas yang rusak parah pada tahun 1980-an. Akibat tingginya aktifitas manusia pada saat itu diduga menjadi penyebab harimau sumatera yang berada di lokasi tersebut menghindar dan pindah ke tempat yang tidak ada aktifitas manusia, yaitu pada ketinggian yang lebih tinggi dari daerah asalnya dengan kondisi hutan yang masih alami (hutan primer). Diduga hingga saat ini harimau sumatera cenderung tidak menjelajah sampai ke daerah asalnya yang saat ini telah berubah menjadi hutan sekunder. Hal tersebut sangat berbeda dengan satwa mangsanya yang lebih menyukai hutan sekunder karena ketersediaan sumber pakan yang sangat banyak bagi satwa mangsa tersebut yang umumnya menyukai dedaunan muda dan buah-buahan. Ketinggian tempat pada


(47)

hutan sekunder tersebut juga sangat sesuai sebagai habitat bagi satwa mangsa harimau sumatera. Apabila kondisi tersebut tetap bertahan, maka akan berakibat pada ekosistem yang tidak seimbang akibat pertumbuhan satwa mangsa harimau sumatera yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan harimau sumatera di lokasi tersebut. Berbeda halnya dengan harimau sumatera yang cukup kesulitan untuk mendapatkan mangsa pada daerah jelajahnya akibat tipe habitat yang berbeda antara harimau sumatera dengan satwa mangsanya. Dengan demikian, lama-kelamaan satwa mangsa harimau sumatera pada lokasi tersebut akan menjadi hama bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

Untuk itu, perlu adanya tindakan serius yang melibatkan semua pihak yang berhubungan, yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat yang berada di sekitar hutan. Tindakan yang dapat dilakukan adalah peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan beserta seluruh yang termasuk di dalamnya dan peningkatan taraf hidup masyarakat sehingga masyarakat tidak akan mengambil sesuatu dari hutan secara illegal. Dengan berkurangnya aktifitas manusia di hutan diduga dapat mendukung upaya konservasi harimau sumatera beserta satwa mangsanya di lokasi tersebut.

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera

Satwa mangsa harimau sumatera yang tertangkap oleh camera trap dipetakan berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tipe tutupan lahan. Lokasi kemunculan satwa yang beragam baik menurut kelas ketinggian tempat maupun tipe tutupan lahan akan terlihat pada Gambar 7 dan 8.


(48)

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser


(49)

Rusa sambar hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 8 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 2 titik kemunculan. Ketinggian tempat dimana rusa sering muncul adalah 0-1.000 mdpl. Pada ketinggian tersebut, habitat rusa sambar yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae. Rusa sambar sangat cocok hidup pada habitat tersebut, karena sangat banyak tumbuhan yang menghasilkan buah yang merupakan pakan dari satwa ini. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa rusa sambar paling umum terdapat di hutan sekunder di daerah landai, tetapi juga di hutan yang tinggi di daerah berlereng curam dan di hutan rawa. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Rusa Sambar hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa Rusa sering mengunjungi sumber mineral alami.

Babi hutan hanya muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa Babi Hutan hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa di kawasan hutan yang luas, secara periodik babi hutan membentuk kelompok yang sangat besar yang berjalan sangat jauh untuk mencari makanan, berenang menyeberangi sungai dan mendaki jajaran gunung.


(50)

Kijang muncul pada empat kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 11 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 4 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kijang hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kancil muncul pada satu kelas ketinggian saja, yaitu 0-500. Pada kelas ketinggian tersebut terdapat 8 titik kemunculan. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa kancil hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ihsan (2010) yang menyatakan bahwa habitat kancil (Tragulus javanicus) di hutan primer dan sekunder yang cukup lebat atau tanah kering di dataran rendah atau kaki bukit tidak jauh dari sungai dengan vegetasi lebat.

Beruk muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 6 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa beruk hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supriatna dan Wahyono (2000) bahwa jenis macaca ini hidup di hutan primer, sekunder, lahan perkebunan dan pertanian, tepi sengai, hutan rawa atau dataran rendah sampai hutan pegunungan hingga ketinggian lebih kurang 1.000 mdpl. Beruk paling banyak muncul pada ketinggian 0-500 mdpl karena pada ketinggian tersebut banyak terdapat pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae yang merupakan sumber makanan utama bagi satwa ini. Menurut


(51)

Mackinnon dkk. (2000), buah yang disukai primata termasuk manggis, rambutan dan juga durian, yaitu buah-buah yang juga dihargai orang dan dipilih untuk dibudidayakan.

Landak muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 14 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa landak hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Trenggiling muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 1 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa trenggiling hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Beruang madu muncul pada tiga kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl, 500-1.000 mdpl, dan 1.500-2.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 5 titik kemunculan, pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 7 titik kemunculan, dan pada kelas ketinggian 1.500-2.000 mdpl terdapat 2 titik kemunculan. Gambar 8 juga menunjukkan bahwa beruang madu hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.

Kuau raja muncul pada dua kelas ketinggian saja, yaitu 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl. Pada kelas ketinggian 0-500 mdpl terdapat 9 titik kemunculan, sedangkan pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl terdapat 5 titik kemunculan. Gambar 7 juga menunjukkan bahwa kuau raja hidup tidak jauh dari sungai yang merupakan sumber air bagi kelangsungan hidupnya.


(52)

Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Peta sebaran satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser


(53)

Rusa sambar hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Rusa sambar lebih banyak dijumpai di hutan sekunder, delapan dari sepuluh lokasi temuan rusasambar terdapat di hutan sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 8 titik kemunculan. Kemunculan rusa sambar yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Di hutan sekunder juga banyak terdapat rerumputan yang juga merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal itu sesuai dengan pernyataan Payne (2000) Makanannya meliputi rumput-rumputan, perdu, dedaunan muda tumbuhan berkayu, dan buah-buahan yang jatuh.

Babi hutan hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Babi hutan paling banyak dijumpai di hutan sekunder. Dari 18 lokasi temuan babi hutan, yaitu 16 lokasi kemunculan berada di hutan sekunder Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 16 titik kemunculan. Kemunculan babi hutan yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan Payne (2000) bahwa makanannya meliputi buah-buahan yang jatuh dan biji-bijian, akar-akaran dan bahan tumbuhan lainnya, cacing tanah, dan binatang kecil lainnya. Hutan sekunder yang ada di lokasi penelitian didominasi oleh pohon-pohon dari jenis Dipterocarpaceae karena masih berada pada ketinggian 0-1.000 mdpl. Sebagian besar jenis pohonnya berbuah, sehingga keberadaan babi hutan masih banyak pada tipe tutupan lahan ini. Hasil tersebut


(54)

sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) yang menyatakan bahwa di daerah dimana hutan telah terfragmentasi menjadi petak-petak kecil, populasi kecil menjadi penetap dan beradaptasi dengan hutan sekunder dan kebun.

Kijang hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 3 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 13 titik kemunculan. Kemunculan kijang yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanannya meliputi dedaunan muda, rumput-rumputan, serta buah-buahan dan biji-bijian yang jatuh (termasuk yang berasal dari pohon-pohon Dipterocarpaceae).

Kancil hanya muncul pada satu tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan sekunder. Di tipe tutupan lahan ini terdapat 8 titik kemunculan. Seluruh lokasi kemunculan satwa ini berada di hutan sekunder, yang 5 lokasi di antaranya berada dekat dengan semak belukar dan kebun masyarakat. Keberadaan kancil yang hanya ada di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Payne dkk. (2000) bahwa makanan kancil meliputi buah-buahan yang jatuh, pucuk-pucuk daun dan jamur. Terdapat di hutan yang tinggi dan hutan sekunder, kadang memasuki kebun-kebun dan semak belukar.

Beruk hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 1 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan beruk yang lebih


(55)

dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya anakan pohon yang masih muda yang merupakan salah satu sumber makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruk meliputi buah-buahan yang masak, vertebrata dan invertebrate kecil.

Landak hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan landak yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya jenis buah-buahan dan tunas tumbuhan muda yang merupakan bahan makanan bagi satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa biasanya landak memakan buah-buahan yang jatuh, termasuk kelapa sawit, akar-akar dan tunas. Terdapat di hutan dan lahan budidaya.

Trenggiling hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 19 titik kemunculan. Kemunculan trenggiling di hutan primer dan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan hanya terdiri dari semut dan rayap yang diambil dari sarangnya di pepohonan, di atas tanah atau di bawah tanah. Trenggiling terdapat di hutan yang tinggi, hutan sekunder, dan lahan budidaya termasuk kebun-kebun.

Beruang madu hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 5 titik kemunculan,


(56)

sedangkan di hutan sekunder terdapat 9 titik kemunculan. Kemunculan beruang madu yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh banyaknya serangga yang hidup di hutan sekunder, sehingga menjadi makanan bagi kelangsungan hidup satwa ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Payne (2000) yang menyatakan bahwa makanan beruang madu meliputi seluruh sarang lebah, rayap, binatang kecil, dan buah-buahan.

Kuau raja hanya muncul pada dua tipe tutupan lahan saja, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Di hutan primer terdapat 2 titik kemunculan, sedangkan di hutan sekunder terdapat 12 titik kemunculan. Kemunculan kuau raja yang lebih dominan di hutan sekunder dapat disebabkan oleh keberadaan pohon pakan yang ada di hutan sekunder lebih banyak dibandingkan di hutan primer. Pada lokasi kemunculan satwa ini merupakan hutan sekunder, dimana pepohonan belum begitu besar dan banyak sekali ruang-ruang kecil yang biasanya sering digunakan kuau raja sebagai lokasi untuk menari-nari sambil memamerkan keindahan corak yang ada pada bulunya. Menurut Alikodra (2010), kuau jantan mempunyai kebiasaan untuk memikat betina sebelum melakukan perkawinan dengan cara menari-nari. Arena tari dibuat ditengah-tengah hutan, yang mempunyai garis tengah kira-kira 6 meter dan selalu menjaga kebersihannya baik dari daun-daunan maupun semak.

Gambar satwa mangsa harimau sumatera yang terekam camera trap

1. Rusa Sambar (Cervus unicolor)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa rusa sambar mempunyai bagian tubuh atas berwarna coklat abu-abu dengan variasi pola warna kecerahan, biasanya lebih gelap sepanjang garis punggung. Rusa sambar aktif


(57)

pada malam hari, pagi hari, dan menjelang petang. Gambar rusa sambar yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Gambar rusa sambar hasil camera trap di Sel 17 Grid II

Rusa sambar hanya muncul di 10 titik dari 32 titik yang terpasang camera

trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak

terlalu banyak.

2. Babi Hutan (Sus scrofa)

Babi hutan cukup sering muncul di lokasi penelitian. Gambar babi hutan yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Gambar babi hutan sambar hasil camera trap di Sel 21 Grid II

Babi hutan muncul di 18 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.


(58)

3. Kijang (Muntiacus muntjac)

Secara morfologi Payne dkk (2000) menyatakan bahwa kijang mempunyai tubuh bagian atas tengguli, agak lebih gelap sepanjang garis punggung, bagian bawah keputih-putihan, sering berulas abu-abu. Ekor coklat tua diatas, putih dibawah. Gambar kijang yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Gambar kijang hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Kijang cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan dari kemunculan satwa ini di 16 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

4. Kancil (Tragulus javanicus)

Menurut Alamendah (2010) kancil mempunyai panjang tubuh sekitar 20-25 cm. Tubuh bagian atas Kancil atau Pelanduk berwarna coklat kemerahan, sedangkan tengkuk bagian tengah biasanya lebih gelap daripada bagian tubuh lainnya. Bagian bawah berwarna putih dengan batas sedikit kecoklatan di tengah, tanda khusus di kerogkongan dan dada bagian atas berwarna coklat tua. Gambar kancil yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 12.


(59)

Gambar12. Gambar kancil hasil camera trap di Sel 23 Grid II

Kancil hanya muncul di 8 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak terlalu banyak.

5. Beruk (Macaca nemestrina)

Menurut Supriatna dan Wahyono (2000) panjang ekor beruk lebih kurang sepertiga dari panjang tubuhnya. Warna rambut dari coklat sampai coklat kekuningan dengan bagian mahkota berwarna lebih gelap. Panjang tubuh 450 – 600 mm. Gambar beruk yang terekam camera trap ditunjukkan pada gambar berikut.

Gambar 13. Gambar beruk hasil camera trap di Sel 23 Grid II


(60)

Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

6. Landak (Hystrix brachyura)

Landak Menurut Wildlife (2010) duri – duri dibagian atas badannya kasar dan liar seta berwarna putih. Dan hitam atau berjalur kekuning-kuningan. Duri-duri dibagian bawah badannya jauh lebih halus, jarang, pendek dan berwarna hitam. Landak mempunyai empat kuku pada kaki depan dan lima kuku pada kaki belakang. Gambar landak yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Gambar landak hasil camera trap di Sel 18 Grid II

Landak cukup sering muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan dari kemunculan satwa ini di 21 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian cukup banyak.

7. Trenggiling (Manis javanica)

Menurut Veevers dan Carter (1987) trenggiling, satu-satunya jenis mamalia di asia yang bersisik. Tetapi sisik itu sendiri sebetulnya adalah semacam rambut atau duri yang pipih, tumbuh dari lapisan yang membuat rambut pada


(61)

punggung, rusuk, kaki, kepala, dan ekor binatang itu. Rambut yang normal, tetapi kasar, tumbuh juga pada bagian bawah atau di sela-sela sisik. Pinggir luar sisik itu sangat keras dan tajam. Gambar trenggiling yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15. Gambar trenggiling hasil camera trap di Sel 19 Grid II

Trenggiling sangat jarang muncul di lokasi penelitian. Hal ini dapat dibuktikan dari kemunculan satwa ini yang hanya muncul di 2 titik dari 32 titik yang terpasang camera trap. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Sedikitnya kemunculan Trenggiling dapat diprediksi bahwa populasi satwa ini di lokasi penelitian sangat sedikit. Hal itu dapat disebabkan oleh perburuan liar terhadap satwa ini, karena harganya yang mahal. Perburuan satwa liar dan dilindungi masih terjadi di lokasi penelitian. Dugaan tersebut diperkuat oleh hilangnya dua unit camera trap yang sedang aktif di lokasi penelitian.

8. Beruang Madu (Helarctos malayanus)

Gambar beruang madu yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 16.


(62)

Gambar 16. Gambar beruang madu hasil camera trap di Sel 47 Grid III

Beruang madu hanya muncul di 14 titik dari 32 titik yang terpasang

camera trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi

penelitian tidak terlalu banyak. 9. Kuau Raja (Argusianus argus)

Kuau raja hanya muncul di 14 titik dari 32 titik yang terpasang camera

trap. Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan satwa ini di lokasi penelitian tidak

terlalu banyak. Gambar Kuau raja yang terekam camera trap ditunjukkan pada Gambar 17.


(63)

Frekuensi kemunculan satwa

Jumlah kemunculan satwa mangsa yang terekam pada camera trap berbeda pada tiap kelas ketinggian dan tipe tutupan lahan. Nilai frekuensi yang paling tinggi menunjukkan dimana satwa tersebut paling sering muncul, sedangkan nilai frekuensi yang paling rendah menunjukkan dimana satwa tersebut paling jarang muncul. Frekuensi kemunculan satwa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Frekuensi total kemunculan satwa mangsa harimau sumatera berdasarkan ketinggian tempat dan tipe tutupan lahan

Ketinggian (mdpl)

Tipe tutupan

lahan

Jenis satwa Total

frekuensi seluruh satwa Rusa Sambar Babi

Hutan Kijang Kancil Beruk Landak Trenggiling

Beruang Madu

Kuau Raja

0 – 500 HP 0 0 0 0 0 8 0 5 0 13

HS 15 26 35 29 62 76 1 8 40 292

500 - 1.000 HP 12 4 0 0 6 27 0 10 24 83

HS 1 17 2 0 19 10 0 6 15 70

1.000 - 1.500 HP 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

1.500 - 2.000 HP 0 2 16 0 0 0 1 4 0 23

HS 0 0 11 0 0 0 0 0 0 11

2.000 - 2.500 HP 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

HS 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Total frekuensi persatwa

28 49 64 29 87 122 2 33 79 493

Ket: HP = Hutan Primer; HS = Hutan Sekunder

Satwa mangsa harimau sumatera yang ada pada Tabel 3 memiliki nilai frekuensi kemunculan yang berbeda-beda di tiap kelas ketinggian. Secara keseluruhan, satwa-satwa tersebut paling banyak ditemukan pada kelas ketinggian 0-500 mdpl dan paling jarang ditemukan pada kelas ketinggian 2.000-2.500 mdpl. Perbandingan nilai-nilai tersebut jelas terlihat pada Gambar 18.


(64)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0-500 500-1.000 1.000-1.500 1.500-2.000 2.000-2.500

15

13

0 0 0

26

21

0 2 0

35 2 0 28 0 29

0 0 0 0

62

25

0 0 0

84

37

1 0 0

1 0 0 1 0

13 16

0

4

0

40 39

0 0 0

F re k ue ns i k em unc ul a n sa tw a

Ketinggian tempat (mdpl)

Rusa sambar Babi hutan Kijang Kancil Beruk Landak Trenggiling Beruang madu Kuau raja

Gambar 18. Total kemunculan satwa pada tiap kelas ketinggian tempat (mdpl)

Gambar 18 menunjukkan bahwa secara umum, satwa mangsa harimau sumatera yang ada pada lokasi penelitian lebih sering muncul pada ketinggian 0-500 mdpl. Rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil, beruk, landak, dan kuau raja lebih sering muncul pada kelas ketinggian 0-500 mdpl dengan nilai frekuensi kemunculan masing-masing yaitu 15 kali, 26 kali, 35 kali, 29 kali, 62 kali, 84 kali, dan 40 kali. Berbeda halnya dengan ketujuh satwa tersebut, beruang madu lebih sering muncul pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl dengan nilai frekuensi kemunculannya adalah 16 kali. Namun trenggiling yang hanya muncul sebanyak dua kali, terlihat di dua kelas ketinggian, yaitu pada kelas ketinggian 0-500 mdpl dan 500-1.000 mdpl.

Satwa mangsa harimau sumatera banyak ditemukan pada hutan sekunder. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa nilai frekuensi kemunculan satwa pada hutan sekunder lebih tinggi dibandingkan dengan nilai frekuensi kemunculan satwa pada hutan primer. Nilai frekuensi setiap satwa yang ada menunjukkan


(65)

bahwa satwa-satwa tersebut lebih dominan keberadaannya di hutan sekunder. Perbandingan nilai-nilai tersebut jelas terlihat pada Gambar 19.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Hutan Primer Hutan Sekunder

12 16 6 43 16 48 0 29 6 81 27 95 1 1 24 19 40 55 F re k ue ns i k em unc ul a n sa tw a

Tipe tutupan lahan

Rusa sambar Babi hutan Kijang Kancil Beruk Landak Trenggiling Beruang madu Kuau raja

Gambar 19. Total kemunculan satwa pada hutan primer dan hutan sekunder

Perbedaan nilai frekuensi setiap satwa yang diperlihatkan pada Gambar 19 dapat menunjukkan satwa-satwa tersebut lebih menyukai kondisi habitat pada hutan sekunder. Rusa terlihat cukup aktif pada kedua tipe tutupan lahan yang ada, yang terlihat dari nilai frekuensi kemunculannya yang tidak berbeda jauh, yaitu 12 kali pada hutan primer dan 16 kali pada hutan sekunder. Namun perbedaan terlihat pada babi hutan yang lebih aktif pada hutan sekunder dibandingkan pada hutan primer, dengan nilai masing-masing frekuensi kemunculannya yaitu 43 kali dan 6 kali. Hal yang sama terlihat pada kijang yang lebih aktif muncul pada hutan sekunder dibandingkan pada hutan primer, dengan nilai masing-masing frekuensi kemunculannya yaitu 48 kali dan 16 kali. Sementara kancil sama sekali tidak terlihat pada hutan primer, tetapi satwa ini muncul sebanyak 29 kali pada hutan sekunder. Perbedaan yang sangat drastis terlihat pada beruk dan landak. Kedua satwa ini sangat sering muncul pada hutan sekunder dibandingkan pada hutan


(66)

primer, dengan nilai frekuensi masing-masing satwa tersebut adalah 81 kali dan 95 kali pada hutan sekunder sedangkan pada hutan primer hanya 6 kali dan 27 kali. Hal yang sangat berbeda terlihat pada trenggiling, dimana satwa ini hanya satu kali muncul pada masing-masing tipe tutupan lahan yang ada. Beruang madu hampir sama dengan rusa sambar, dimana satwa ini cukup aktif pada kedua tipe tutupan lahan yang ada, dengan nilai frekuensi kemunculannya yaitu 14 kali pada hutan primer dan 19 kali pada hutan sekunder. Kuau raja lebih sering muncul pada hutan sekunder, yaitu 55 kali kemunculan dibandingkan pada hutan primer yang hanya 24 kali muncul.

Berdasarkan jumlah satwa yang muncul di masing-masing kelas ketinggian, dapat diketahui keanekaragaman jenis satwa yang ada di masing-masing kelas ketinggian. Total jenis satwa yang muncul berdasarkan ketinggian tempat dapat dilihat pada Gambar 20.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0-500 500-1.000 1.000-1.500 1.500-2.000 2.000-2.500

2 6 0 4 0 9 7 1 1 0 T o ta l j e n is s a tw a

Ketinggian tempat (mdpl)

Hutan Primer Hutan Sekunder

Gambar 20. Total jenis satwa yang muncul berdasarkan ketinggian tempat (mdpl) dan tutupan lahan


(67)

Pada Gambar 20 menunjukkan bahwa total jenis satwa yang terbanyak di hutan primer adalah 6 jenis satwa, yaitu pada kelas ketinggian 500-1.000 mdpl, sedangkan total jenis satwa yang terbanyak di hutan sekunder adalah 9 jenis satwa, yaitu pada kelas ketinggian 0-500 mdpl. Pada Gambar 20 juga dapat dilihat bahwa total jenis satwa pada hutan sekunder relatif lebih tinggi dibandingkan pada hutan primer. Hal tersebut dapat disebabkan oleh lokasi pemasangan camera trap yang relatif lebih banyak berada pada hutan sekunder dibandingkan pada hutan primer. Namun, hasil di atas (Gambar 20) dapat memperlihatkan bahwa semua satwa mangsa harimau sumatera menyukai habitat hutan yang berada pada ketinggian 0-500 mdpl. Hal ini sesuai dengan pernyataan Griffith (1994) bahwa keanekaragaman dan kepadatan hewan mangsa di hutan dengan ketinggian 100-600 mdpl lebih banyak dibandingkan di hutan dengan ketinggian 100-600- 1.700 mdpl. Hasil yang ditunjukkan pada Gambar 20 membuktikan bahwa keanekaragaman jenis satwa mangsa harimau sumatera yang tertinggi adalah pada hutan sekunder. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kondisi habitat hutan sekunder lebih disukai oleh satwa-satwa tersebut akibat tidak terlalu rapatnya kanopi hutan, sehingga beberapa dari satwa tersebut dapat menikmati cahaya matahari.

Berdasarkan temuan satwa yang diperoleh pada penelitian ini, maka satwa-satwa tersebut dapat ditampilkan dalam satu piramida makanan seperti pada Gambar 21.


(68)

Gambar 21. Piramida makanan dari satwa yang terekam camera trap

Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa harimau sumatera menempati posisi paling atas sebagai Konsumen III. Beruang madu, landak, dan trenggiling berada pada posisi sebagai Konsumen II karena satwa-satwa ini memakan serangga-serangga pemakan tumbuhan (Konsumen I). Rusa sambar, babi hutan, kijang, kancil, beruk, dan kuau raja berada pada posisi sebagai Konsumen I dan berada di atas Produsen (tumbuh-tumbuhan).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa kepadatan satwa mangsa harimau sumatera di lokasi penelitian masih sangat kurang dan penyebarannya belum cukup untuk memudahkan satwa ini memburu mangsanya. Hal tersebut terbukti dari sedikitnya nilai frekuensi kemunculan satwa. Nilai frekuensi kemunculan satwa yang rendah dapat menunjukkan bahwa populasi satwa tersebut juga kecil sehingga kemunculan satwa juga akan semakin sedikit. Populasi satwa yang kecil akan berpengaruh kepada populasi harimau sumatera itu sendiri, karena sumber pakannya sedikit. Hal ini sesuai dengan

Harimau

Tumbuh-tumbuhan Rusa sambar

Kijang

Babi hutan

Kancil Beruk Kuau raja Trenggiling

Landak

Beruang madu

Konsumen III

Konsumen II

Konsumen I


(69)

pernyataan Karanth dan Stith (1999) bahwa apabila kepadatan mangsa berkurang jelas menimbulkan faktor yang sangat negatif, sehingga pengurangan tekanan melalui perburuan pada harimau itu sendiri bukanlah merupakan jawaban konservasi yang memadai.


(1)

Peta sebaran Kancil berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Kancil berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Lanjutan Lampiran 7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Sumber :

Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (Tahun 2007)

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)


(2)

Peta sebaran Beruk berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Beruk berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Lanjutan Lampiran 7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau

Sumber :

Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (Tahun 2007)

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)


(3)

Peta sebaran Landak berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Landak berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Lanjutan Lampiran 7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Sumber :

Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (Tahun 2007)

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)


(4)

Peta sebaran Trenggiling berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Trenggiling berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Lanjutan Lampiran 7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)


(5)

Peta sebaran Beruang Madu berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Beruang Madu berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Lanjutan Lampiran 7. Peta sebaran masing-masing satwa mangsa harimau sumatera di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Sumber :

Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (Tahun 2007)

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)


(6)

Peta sebaran Kuau Raja berdasarkan ketinggian tempat di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Peta sebaran Kuau Raja berdasarkan tipe tutupan lahan di SPTN Wilayah VI Besitang Taman Nasional Gunung Leuser

Sumber :

1.Peta Batas Administrasi BPTN III Stabat oleh BBTNGL (Tahun 2007)

2.Peta Tutupan Lahan Oleh BPKH Wilayah I Medan (Tahun 2009)